Pasca kematian Affan Kurniawan, semua mata mulai terbuka, Partai Ijo atau driver-driver ojek online memiliki solidaritas yang kuat meski pernah diintimidasi ojek pangkalan (opang), dihisap darahnya oleh aplikator, hingga harus bersaing dengan teman sendiri, tapi sejarah merekam, partai ijo adalah entitas yang tak bisa dibilang kecil.
(Lontar.co): Dalam penglihatan Basri, ruas Jalan Untung Suropati sore menjelang petang di akhir 2017 lalu itu, terasa jauh lebih lengang dari biasanya.
Ia juga merasakan semua mata seperti sedang memandang kearahnya, janggal, tapi Basri tetap saja melaju pelan mengendarai sepeda motornya.
Selepas gedung Pengadilan Agama Bandarlampung, dari balik kaca helmnya yang transparan, ia melihat ada 6 orang duduk di atas sepeda motor di bahu jalan, wajah mereka memendam marah, di tangan-tangan mereka kayu dan golok, tergenggam dengan amat kuat.
Ia melambat, ragu, tapi masih sangsi, sampai sedetik kemudian, rombongan motor itu melaju kencang ke arah Basri.
Di mulut Jalan Untung Suropati yang saling beririsan dengan Jalan Z.A Pagar Alam, Basri tergeletak di aspal, saat hendak bangkit, punggungnya langsung dihantam kayu, ia jatuh lagi,”copot jaket kamu!”.
Basri tak kuasa, ia turuti perintah itu, jaket hijau berlogo helm yang baru ia dapat tiga hari lalu, lima menit kemudian hampir hangus tak tersisa.
…
Malam sudah hampir sempurna di Jalan Teuku Umar, Kedaton, Jumat (10/8/2018), sekitar pukul 20.00, tapi cahaya temaram dari lampu jalan, seketika menjadi bias oleh ratusan pengendara sepeda motor dari berbagai penjuru dengan seragam yang sama; hijau.
Mereka menuju pada satu titik, Rumah Makan Geprek Bensu yang tak terlalu jauh dari Pasar Koga.
Ada teriakan marah yang ramai di balik raungan knalpot motor yang riuh rendah.
Tempat itu seketika menjadi kerumunan yang masif, dengan warna hijau yang dominan.
Awalnya, Lutfi menerima orderan Gofood, ia kemudian menuju ke Geprek Bensu, sampai di sana, secara tak sengaja, ia beradu pandang dengan Alvin, karyawan Geprek Bensu, entah kenapa Lutfi kemudian dipukul.
Solidaritas Jalanan
Tak hanya di Lampung, ojol diberbagai wilayah di Indonesia dikenal dengan solidaritas mereka yang kuat, kesamaan nasib yang membuat solidaritas jalanan itu muncul dengan sendirinya.
Terkadang mereka kerap disebut arogan, sering pula dianggap selalu dominan, padahal kemarahan yang mereka sampaikan adalah ketidakadilan yang mereka alami.
Solidaritas jalanan yang kuat ini, bahkan melepas sekat-sekat yang melingkupi mereka, secara personal maupun secara aturan, ketika satu disakiti, maka yang lain merasakan lukanya.
Meski secara sadar, mereka adalah orang-orang yang ‘terjajah’ oleh kewajiban platform yang mengangkangi mereka dengan banyak aturan hingga potongan, tapi hidup memang harus diperjuangkan.
Maka, jangan ganggu mereka yang melintang di jalan untuk sesuap nasi, bahkan tak lebih. Hidup hari ini, adalah tentang tanggung jawab besar di pundak, bukan tentang mencari kekayaan.
Jika solidaritas jalanan itu akhirnya hadir, kesamaan nasib yang kuat akan keadaan yang terus menekan, jalan lain memang harus dipilih, meski harus dengan kekerasaan, karena hanya dengan cara ini mereka mengajarkan sebuah rasa, setelah dididik dengan keras di jalanan.
Ojol dan Wajah Kota yang Muram
Tak ada yang melekat di tiap individu driver ojek online, mereka dan keluarga mereka, dipaksa oleh keadaan untuk bertahan setiap saat, semua dalam posisi bersiap, meski resiko kadang selalu berjalan mengintai mereka.
Di tepian jalan, di emperan toko, hingga di sudut-sudut gardu yang kusam, mereka membangun harapan yang besar dari tubuh mereka yang kebanyakan ringkih.
Setiap hari pula, mereka diintimidasi, bukan hanya oleh keadaan tapi juga oleh aplikasi tempat mereka mencari nasi, mau melawan tapi tak pernah bisa, karena di aplikasi, wajah anak dan istri selalu membayangi.
Oleh keadaan, mereka dihadapkan pada situasi yang tak pernah menentu, seperti berjudi. Hari ini menang, besok kalah, tapi lebih banyak kalah dan bertubi-tubi.
Pengemudi ojek online adalah komunitas yang unik sebenarnya, sebagai individu mereka adalah wajah kota yang muram, sedang sebagai kelompok, mereka layaknya peledak yang bisa meledak kapan saja, dalam wujud yang bahkan tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Semua soal makna, mereka kerap kali tak pernah dianggap sebagai sosok yang pernah sedikit saja berjasa untuk setiap orang yang berkepentingan, dianggap angin lalu, tak pernah dihargai, tapi semuanya mereka simpan, kadang sebagai ujian, tapi untuk peristiwa yang lebih besar, keadaan itu bisa jadi berubah menjadi dendam kolektif.
Di saat satu dari yang lain menjadi korban, maka yang lain adalah saudara sekandung yang siap melakukan apa saja, demi harga diri bukan pribadi tapi kolektif.
Tak ada pemimpin tunggal, pemimpin adalah mereka sendiri, komandonya adalah kesamaan nasib yang berubah menjadi upaya perlawanan besar yang harus tuntas saat itu juga.
Pekerja prekariat, dalam kondisi struktural layaknya anak tiri, memang lebih memilih kekerasan sebagai awal sekaligus cara terakhir mereka menyelesaikan masalah, karena terkadang dengan bicara saja, masalah selamanya tak akan pernah selesai.
Cerita Syamsuri dan Martir
Syamsuri masih ingat, waktu itu tahun 2018, ia sebenarnya hendak pulang ke kontrakan, bertemu anak dan istri, tapi dari sakunya notifikasi itu mendadak berbunyi, tapi seketika ia gamang, ada nama Terminal Rajabasa di layar.
Ia bukan orang yang terlalu bernyali untuk menantang ojek-ojek pangkalan itu secara langsung, tapi urusan perut memang selalu tak pernah bisa dikalahkan.
Di muka pintu terminal yang selalu terasa angker itu, dua pria berwajah keras sudah menatapnya amat lekat, Syamsuri tak bisa mengelak, meski penumpang yang ia jemput sudah di depan matanya.
Sore itu, badannya remuk redam, helm dan jaketnya hilang entah kemana, uang Rp183 ribu yang ia dapat sejak pagi, tak ada lagi.
Sejak itu, Terminal Rajabasa adalah zona merah, bersama dengan beberapa titik lain yang membahayakan buat Syamsuri dan kawan-kawannya.
Syamsuri bisa jadi martir untuk saudara-saudara jalanannya, yang mungkin tak bisa ia kenali satu per satu, tapi dari lukanya, dari penderitaannya, ia membangun solidaritas itu terus tumbuh dan makin kuat sampai saat ini, dan selalu dalam kondisi berjaga.