Pasar Bambu Kuning kini tak ubahnya kuburan, sepi. Pembeli bisa dihitung dengan jari dan pedagang yang mulai pergi meninggalkan simbol pasar yang pernah amat berjaya selama 13 dasawarsa lalu.
(Lontar.co): Jalan tanah itu membentang panjang seperti tak berujung. Batang-batang bambu yang rimbun tumbuh melengkung teduh menaungi jalan dan semua entitas yang ada di bawahnya.
Sementara di kanan kiri straat, gubuk-gubuk bambu tak bersekat yang lebih mirip bale, berderet memanjang saling berhadapan satu sama lain.
Baju-baju yang digantung seadanya, dan beberapa orang yang tengah beraktivitas, menandakan tempat itu menggeliat khas suasana pasar tempo lalu.
Foto bertarikh 1894 itu dilengkapi pula dengan sebaris kalimat penegas; “Passar en bamboelaan te Tandjong-karang. 1894. Lampung, Indonesia. (Pasar dan sebuah jalan bambu di Tanjung Karang. 1894. Lampung, Indonesia)”. Foto ini adalah koleksi milik Museum Volkenkunde Belanda yang direproduksi ulang oleh situs Geheuhen Delpher Netherlands.
Geheuhen Delpher Netherlands atau Memory of Netherlands adalah situs rujukan untuk mengakses arsip Belanda yang sudah melalui proses digitalisasi dan sudah terafiliasi dengan Delpher–semacam peramban untuk menelusuri arsip-arsip sejarah berbahasa Belanda yang dikelola oleh Koninklijke Bibliotheek atau perpustakaan resmi milik Kerajaan Belanda.
Foto yang kemudian ramai setelah diunggah oleh Komunitas Tempo Doeloe itu disebut sebagai cikal bakal Pasar Bambu Kuning yang sempat diabadikan pada masa kolonial Belanda.
Kala itu, merujuk pada sejarah yang masih menukil dari Geheuhen Delpher, pasar ini adalah tempat yang hidup, semasa pagi hingga petang. Aroma pakaian baru menguar menusuk hidung buat siapapun yang melintas.
Orang-orang lalu lalang, delman hilir mudik. Yang kaya, bertransaksi langsung dengan uang Gulden, sedangkan banyak yang lainnya memilih membawa hasil bumi kemudian ditukar dengan baju-baju yang dijual di pasar ini.
Bisa jadi, penamaan Bambu Kuning pada pasar ini bermula dari rumpun-rumpun bambu yang tumbuh subur di sekitar pasar, sebagaimana umumnya penamaan daerah atau tempat yang merujuk pada jenis flora yang tumbuh subur dan meng-habitasi daerah itu.
Pendapat ini pula dikuatkan melalui sejumlah buku-buku riwayat, yang tak spesifik mengulas secara khusus tentang pasar ini, nama Pasar Bambu Kuning disebut, tapi tak diulas dengan detil.
Keberadaan Pasar Bambu Kuning makin ramai, mana kala 11 tahun kemudian atau tahun 1905, pemerintah Belanda membangun tempat penampungan air raksasa untuk memasok kebutuhan air warga Tanjungkarang kala itu, Gedong Air, begitu warga menyebut.
Gedong Air dibangun hanya berjarak sepelemparan batu dari Pasar Bambu Kuning, secara tak langsung, aktivitas warga di pasar ini makin ramai.
Padahal, waktu itu, Pasar Bambu Kuning usianya paling muda dibanding Pasar Bawah dan Pasar Cimeng, tapi karena menjadi sumbu perlintasan dari berbagai arah, Bambu Kuning adalah primadona. Posisinya yang strategis menjadi tempat transit bagi banyak orang.
Dulu, kebiasaan penduduk pribumi Tanjungkarang yang bertani, adalah menjual hasil-hasil buminya di Pasar Bawah dan Pasar Cimeng, uang hasil jualannya kemudian dipakai untuk mencari sandang di Bambu Kuning. Tapi, ada pula penduduk yang langsung menukar hasil buminya ke Bambu Kuning.
Kebiasaan barter ini juga yang kemudian menumbuhkan pasar baru di Bambu Kuning yang tak hanya melulu berjualan kebutuhan sekunder, tapi juga kebutuhan pangan, yang bisa jadi pula mengarah pada terbentuknya Pasar SMEP saat ini.
Bambu Kuning makin terglorifikasi mana kala Belanda menggagas program transmigrasi pertama kali di daerah Kawedanan Gedongtataan, sebagai percobaan kolonisasi pertama yang dibalut politik balas budi Belanda setelah mendapat tekanan dari banyak pihak.
Upaya kolonisasi yang dilakukan Belanda, yang terpusat di Gedongtataan itu, membuat para transmigran, secara tak langsung, melihat Bambu Kuning sebagai pusat perdagangan yang ramai, apalagi selepas turun dari Stasiun Tanjoengkarang, setelah melalui perjalanan laut, ribuan transmigran ini terlebih dahulu transit di area sekitar Bambu Kuning, sebelum akhirnya menuju Gedongtataan.

Rahmadsyah, kini 70 tahun dan tinggal di Jalan Tamin, mengingat usia kecilnya yang banyak dihabiskan di pasar itu,”dulu bawa uang lima rupiah ke Bambu Kuning sudah gagah betul,” ujar pensiunan ASN ini.
Ia tahu persis ketika Pasar Bambu Kuning mulai di revitalisasi, dari gubuk-gubuk papan kemudian dibangun menjadi pasar permanen sekitar tahun 1974.
“Dulu waktu masih dibangun, kami suka ambilin paku-pakunya yang panjang, terus dibawa ke stasiun, sebelum kereta lewat, pakunya kita pasang di rel biar digiling ban kereta, setelah pakunya pipih, kita jadikan pisau,” kenangnya.
Saat renovasi pertama, jumlah pedagang di Pasar Bambu Kuning tercatat sebanyak 257 pedagang, dan 150 pedagang kaki lima (PKL).
Seiring waktu jumlah pedagang terus bertambah, PKL pun meluap hingga ke jalan. Bambu Kuning sesak oleh pedagang. Pedagang di Pasar Bawah dan beberapa pasar kecil di Tanjungkarang pun, ramai-ramai eksodus ke Bambu Kuning.
Benih-benih ‘preman pasar’ juga mulai tumbuh disini. Bambu Kuning adalah lahan seksi khususnya buat kelompok-kelompok dari Kaliawi dan Gunungsari, ada gesekan-gesekan kecil, tapi tak terlalu terlihat, mereka ‘keder’ pula, karena di dekat Bambu Kuning ada markas Polisi Militer. TNI masih amat mendominasi waktu itu.
Sampai kemudian ada pembagian wilayah melalui kesepakatan tak tertulis. Kaliawi pegang Bambu Kuning, Gunungsari pegang Stasiun Tanjungkarang.
Dalam penguasaannya, sempat pula ada kelompok-kelompok sempalan lain yang juga ingin menguasai Bambu Kuning, tapi ketegangannya tak terlalu muncul ke permukaan. Apalagi, ‘petrus-petrus’ juga mengintai. Hegemoni orde baru kala itu memang amat kuat.
Terlepas dari kelompok-kelompok sempalan itu, seiring makin tumbuhnya pedagang dan pembeli di Bambu Kuning, upaya revitalisasi tahap kedua dilakukan tahun 1986.
Saat itu, banyak pedagang apalagi PKL yang tak terakomodir di Pasar Bambu Kuning, padahal Bambu Kuning adalah magnet utama bagi banyak orang untuk datang ke Tanjungkarang.
Ada 97 pedagang dan ratusan PKL yang semula sudah terdata sebagai pedagang resmi Bambu Kuning, malah tak mendapat tempat.
Riak-riak antarsesama pedagang, pedagang dan pemerintah makin sering terjadi, hingga akhirnya tuntutan pedagang dipenuhi, tapi tak semua, hanya 46 dari 90-an pedagang yang bisa berjualan di Bambu Kuning, sementara ratusan PKL dilarang total.
Larangan ini membuat PKL harus kucing-kucingan dengan pemerintah. Lapak-lapak yang mereka sewa dari oknum dan pengelola pasar harus siap kapan saja dibongkar Pol-PP.
Arah kebijakan kala itu memang amat tergantung dari sentimen pemimpinnya, yang punya kecenderungan tunduk pada perintah dari atas, apalagi waktu itu era Orde Baru masih mencengkeram hingga level desa.
Makin lengkap ketika Walikota Bandarlampung saat itu, Nurdin Muhayat dikenal sebagai ‘wagiman’, walikota gila taman. Nurdin yang cenderung estetis, mengubah banyak wajah Bandarlampung dengan taman-taman. Ia pula tak ingin melihat kesemrawutan kota, termasuk PKL-PKL di Bambu Kuning.
Ketika resesi yang berujung pada tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998, praktis terjadi kekacauan dimana-mana. Bambu Kuning pun terdampak. Banyak pekerja yang terkena PHK kemudian beralih menjadi PKL di Bambu Kuning. Bambu Kuning pun makin padat.
Dua ruas jalan utama yang membelah Bambu Kuning, yakni; Jalan Batu Sangkar dan Bukittinggi, sesak dengan lapak-lapak pedagang PKL.
Suasananya makin tak teratur. Sampah dimana-mana, belum lagi aksi kejahatan kerap mengancam pengunjung pasar. Banyak laporan pencopetan hingga penodongan disini.
Bambu Kuning menjadi identitas pembentuk utama Kota Bandarlampung. Semua yang datang ke kota tujuannya mayoritas adalah Bambu Kuning.
Kesan kumuh juga mulai nampak. Bambu Kuning juga mulai riuh dengan konotasi negatif. Bangunan di atas lantai 1, yang difungsikan sebagai gedung bioskop, arena biliar kental dengan keributan dan beragam aksi kejahatan.
Saat kepemimpinan beralih ke Eddy Sutrisno, penataan kembali dilakukan.
Jalan Batu Sangkar dan Bukittinggi harus bersih dari PKL. Mereka direlokasi ke lantai II dan III Bambu Kuning. Tapi, pemindahan ini ditolak pedagang, karena selain sepi, biaya sewanya terbilang mahal.
Di sisi lain, pedagang juga khawatir akan kualitas konstruksi khususnya lantai III Bambu Kuning yang amat riskan. Apalagi jika ditempati oleh ratusan pedagang, belum ditambah pengunjung.
Bambu Kuning memang bak perempuan cantik yang memikat siapa saja.
Arus perputaran uang sejak tahun 1986 hingga 2010 tembus hingga miliaran rupiah perharinya.
Pembeli yang dijangkau bukan cuma di Lampung, tapi merambah hingga Palembang, Bengkulu hingga Jambi.
Sebelum sektor pariwisata mendominasi, Bambu Kuning adalah destinasi penting bagi siapapun yang berkunjung ke Bandarlampung.
Barang yang dijual pun tak hanya melulu berasal dari Pasar Tanah Abang tapi bahkan hingga Arab Saudi.
Sebagai surga barang murah, Pasar Bambu Kuning juga identik dengan barang kualitas KW hingga pemalsuan produk, semuanya bertumpuk menjadi satu.
Dari celana hingga kemeja bermerek hingga aspal ada disini. Tas-tas berlabel LV hingga Hermes bersanding dengan produk-produk asal Cibaduyut.
Setiap hari, ribuan pengunjung memadati pasar ini. Lorong-lorong pasar sesak dengan orang yang berlalu-lalang, berdesak-desakan dengan dagangan yang dipajang hingga mempersempit gerakan.
Adu kuat tawar menawar juga lazim terdengar. Sepotong celana yang semula ditawarkan seharga ratusan ribu rupiah, bisa dilepas seharga puluhan ribu,”kalau masih masuk (untungnya), walau sedikit kita lepas, yang penting barang muter,” ujar Uni Yanti salah satu pedagang di Bambu Kuning.
Uni Yanti yang sudah sepuluh tahun lebih berjualan di Pasar Bambu Kuning mengenang masa itu sebagai era kejayaan para pedagang.
Tak ada satupun toko di Bambu Kuning yang tak menghasilkan uang.
“Sesepi-sepinya jualan, itu kita masih bawa pulang uang satu jutaan lebih,” katanya lagi.
Setiap hari pula, ratusan bal produk garmen datang dari berbagai penjuru ke Bambu Kuning.
“Dulu kita itu nggak sempat makan siang sambil santai-santai gitu. Makan siang itu sambil ngelayanin pembeli”.
Sama halnya dengan Uni Yanti, Sahrin salah satu pedagang yang terbilang senior di Bambu Kuning mengenang keriuhan pasar ini dengan cerita-cerita kemewahan para pedagangnya.
“Semua pedagang disini punya paling sedikit dua toko, pekerjanya bisa sampai 8 orang, itu kita juga masih keteteran ngelayanin pembeli. Sewanya nggak setahun dua tahun tapi minimal 5 tahun dibayar langsung,” tutur Sahrin.
Ia bahkan menyebut ada salah seorang pedagang asal Bambu Kuning berdarah minang yang sukses membangun pusat perbelanjaan sendiri, bahkan hingga di dua tempat sekaligus, meski kemudian harus surut.
“Uang di Bambu Kuning ini nggak main-main, banyak cerita pedagangnya yang sukses”.
Sekarang, 13 dasawarsa sejak cikal bakal Pasar Bambu Kuning ada, di bawah teduhnya rumpun bambu, pasar itu kini lengang.
Banyak toko yang tutup, jumlahnya bahkan hampir mendekati angka 80 persen. Sementara sisanya, masih mencoba bertahan meski tak terlalu berharap bisa seramai seperti dulu lagi.
“Yang penting ada yang laku aja satu atau dua potong sudah alhamdulillah, karena sayang uang sewanya,” terang Uni Yanti lagi.
Ia mengakui kebanyakan toko yang tutup memang sudah habis masa sewanya, sedangkan toko-toko yang sudah berstatus hak milik juga terpaksa tutup karena biaya operasional yang besar sementara pembeli tak ada.
…
Uni Yanti melangkah pelan menyusuri lorong-lorong Pasar Bambu Kuning yang sepi. Sesekali ia menyapa pedagang yang masih tersisa.
Bekal makanan yang ia bawa juga tak terlalu banyak,”ini cuma buka sebentar, kalau sampai jam 12 sepi, mau pulang aja,” katanya.

Ia masih berjualan di Pasar Bambu Kuning bukan karena berharap dagangannya laku, tapi karena terpaksa daripada masa sewa tokonya habis percuma.
“Dagangannya sudah susah laku. Kebanyakan saya jualin online, tapi untungnya tipis banget”.
Ia kini mulai mencoba beradaptasi dengan pasar-pasar online seperti Shopee dan Tiktok Shop, meski sempat terkejut ketika pertama kali melihat persaingan ‘banting-bantingan harga’ antarsesama pedagang untuk satu produk yang sama.
Yang masih agak lumayan Ko Awi, pedagang emas di lantai 1 Pasar Bambu Kuning ini masih bisa menikmati hasil berniaganya,”ya tapi kalau mau dibandingin sama dulu, jelas jauh lah. Dulu mah sehari bisa 10 kilo emas saya jual”.
Menurutnya, saat ini kebanyakan pembelinya saat ini adalah pelanggan loyalnya sejak lama.
Ko Awi mengaku rindu momen-momen Pasar Bambu Kuning seperti dulu, bukan hanya soal omzet, tapi juga keriuhan dan kehangatan antarsesama pedagang yang harmonis.
Bambu Kuning kini memang sudah menjelang layu.
Bambu Kuning sejatinya adalah identitas sesungguhnya yang membentuk Kota Bandarlampung kini.
Dibalik murungnya Bambu Kuning saat ini, pernah ada ribuan nyawa yang hidup dan menggantungkan nasibnya disini.