Penulis: Meza Swastika

  • bambu kuning

    Pasar Bambu Kuning kini tak ubahnya kuburan, sepi. Pembeli bisa dihitung dengan jari dan pedagang yang mulai pergi meninggalkan simbol pasar yang pernah amat berjaya selama 13 dasawarsa lalu. 

    (Lontar.co): Jalan tanah itu membentang panjang seperti tak berujung. Batang-batang bambu yang rimbun tumbuh melengkung teduh menaungi jalan dan semua entitas yang ada di bawahnya. 

    Sementara di kanan kiri straat, gubuk-gubuk bambu tak bersekat yang lebih mirip bale, berderet memanjang saling berhadapan satu sama lain. 

    Baju-baju yang digantung seadanya, dan beberapa orang yang tengah beraktivitas, menandakan tempat itu menggeliat khas suasana pasar tempo lalu. 

    Foto bertarikh 1894 itu dilengkapi pula dengan sebaris kalimat penegas; “Passar en bamboelaan te Tandjong-karang. 1894. Lampung, Indonesia. (Pasar dan sebuah jalan bambu di Tanjung Karang. 1894. Lampung, Indonesia)”. Foto ini adalah koleksi milik Museum Volkenkunde Belanda yang direproduksi ulang oleh situs Geheuhen Delpher Netherlands. 

    Geheuhen Delpher Netherlands atau Memory of Netherlands adalah situs rujukan untuk mengakses arsip Belanda yang sudah melalui proses digitalisasi dan sudah terafiliasi dengan Delpher–semacam peramban untuk menelusuri arsip-arsip sejarah berbahasa Belanda yang dikelola oleh Koninklijke Bibliotheek atau perpustakaan resmi milik Kerajaan Belanda. 

    Foto yang kemudian ramai setelah diunggah oleh Komunitas Tempo Doeloe itu disebut sebagai cikal bakal Pasar Bambu Kuning yang sempat diabadikan pada masa kolonial Belanda. 

    Kala itu, merujuk pada sejarah yang masih menukil dari Geheuhen Delpher, pasar ini adalah tempat yang hidup, semasa pagi hingga petang. Aroma pakaian baru menguar menusuk hidung buat siapapun yang melintas. 

    Orang-orang lalu lalang, delman hilir mudik. Yang kaya, bertransaksi langsung dengan uang Gulden, sedangkan banyak yang lainnya memilih membawa hasil bumi kemudian ditukar dengan baju-baju yang dijual di pasar ini. 

    Bisa jadi, penamaan Bambu Kuning pada pasar ini bermula dari rumpun-rumpun bambu yang tumbuh subur di sekitar pasar, sebagaimana umumnya penamaan daerah atau tempat yang merujuk pada jenis flora yang tumbuh subur dan meng-habitasi daerah itu. 

    Pendapat ini pula dikuatkan melalui sejumlah buku-buku riwayat, yang tak spesifik mengulas secara khusus tentang pasar ini, nama Pasar Bambu Kuning disebut, tapi tak diulas dengan detil. 

    Keberadaan Pasar Bambu Kuning makin ramai, mana kala 11 tahun kemudian atau tahun 1905, pemerintah Belanda membangun tempat penampungan air raksasa untuk memasok kebutuhan air warga Tanjungkarang kala itu, Gedong Air, begitu warga menyebut. 

    Gedong Air dibangun hanya berjarak sepelemparan batu dari Pasar Bambu Kuning, secara tak langsung, aktivitas warga di pasar ini makin ramai. 

    Padahal, waktu itu, Pasar Bambu Kuning usianya paling muda dibanding Pasar Bawah dan Pasar Cimeng, tapi karena menjadi sumbu perlintasan dari berbagai arah, Bambu Kuning adalah primadona. Posisinya yang strategis menjadi tempat transit bagi banyak orang.  

    Dulu, kebiasaan penduduk pribumi Tanjungkarang yang bertani, adalah menjual hasil-hasil buminya di Pasar Bawah dan Pasar Cimeng, uang hasil jualannya kemudian dipakai untuk mencari sandang di Bambu Kuning. Tapi, ada pula penduduk yang langsung menukar hasil buminya ke Bambu Kuning. 

    Kebiasaan barter ini juga yang kemudian menumbuhkan pasar baru di Bambu Kuning yang tak hanya melulu berjualan kebutuhan sekunder, tapi juga kebutuhan pangan, yang bisa jadi pula mengarah pada terbentuknya Pasar SMEP saat ini. 

    Bambu Kuning makin terglorifikasi mana kala Belanda menggagas program transmigrasi pertama kali di daerah Kawedanan Gedongtataan, sebagai percobaan kolonisasi pertama yang dibalut politik balas budi Belanda setelah mendapat tekanan dari banyak pihak. 

    Upaya kolonisasi yang dilakukan Belanda, yang terpusat di Gedongtataan itu, membuat para transmigran, secara tak langsung, melihat Bambu Kuning sebagai pusat perdagangan yang ramai, apalagi selepas turun dari Stasiun Tanjoengkarang, setelah melalui perjalanan laut, ribuan transmigran ini terlebih dahulu transit di area sekitar Bambu Kuning, sebelum akhirnya menuju  Gedongtataan. 

    pasar bambu kuning
    Keadaan Pasar Bambu Kuning diperkiraan tahun 1970-an. Foto: ist

    Rahmadsyah, kini 70 tahun dan tinggal di Jalan Tamin, mengingat usia kecilnya yang banyak dihabiskan di pasar itu,”dulu bawa uang lima rupiah ke Bambu Kuning sudah gagah betul,” ujar pensiunan ASN ini. 

    Ia tahu persis ketika Pasar Bambu Kuning mulai di revitalisasi, dari gubuk-gubuk papan kemudian dibangun menjadi pasar permanen sekitar tahun 1974. 

    “Dulu waktu masih dibangun, kami suka ambilin paku-pakunya yang panjang, terus dibawa ke stasiun, sebelum kereta lewat, pakunya kita pasang di rel biar digiling ban kereta, setelah pakunya pipih, kita jadikan pisau,” kenangnya. 

    Saat renovasi pertama, jumlah pedagang di Pasar Bambu Kuning tercatat sebanyak 257 pedagang, dan 150 pedagang kaki lima (PKL). 

    Seiring waktu jumlah pedagang terus bertambah, PKL pun meluap hingga ke jalan. Bambu Kuning sesak oleh pedagang. Pedagang di Pasar Bawah dan beberapa pasar kecil di Tanjungkarang pun, ramai-ramai eksodus ke Bambu Kuning. 

    Benih-benih ‘preman pasar’ juga mulai tumbuh disini. Bambu Kuning adalah lahan seksi khususnya buat kelompok-kelompok dari Kaliawi dan Gunungsari, ada gesekan-gesekan kecil, tapi tak terlalu terlihat, mereka ‘keder’ pula, karena di dekat Bambu Kuning ada markas Polisi Militer. TNI masih amat mendominasi waktu itu. 

    Sampai kemudian ada pembagian wilayah melalui kesepakatan tak tertulis. Kaliawi pegang Bambu Kuning, Gunungsari pegang Stasiun Tanjungkarang. 

    Dalam penguasaannya, sempat pula ada kelompok-kelompok sempalan lain yang juga ingin menguasai Bambu Kuning, tapi ketegangannya tak terlalu muncul ke permukaan. Apalagi, ‘petrus-petrus’ juga mengintai. Hegemoni orde baru kala itu memang amat kuat. 

    Terlepas dari kelompok-kelompok sempalan itu, seiring makin tumbuhnya pedagang dan pembeli di Bambu Kuning, upaya revitalisasi tahap kedua dilakukan tahun 1986. 

    Saat itu, banyak pedagang apalagi PKL yang tak terakomodir di Pasar Bambu Kuning, padahal Bambu Kuning adalah magnet utama bagi banyak orang untuk datang ke Tanjungkarang. 

    Ada 97 pedagang dan ratusan PKL yang semula sudah terdata sebagai pedagang resmi Bambu Kuning, malah tak mendapat tempat. 

    Riak-riak antarsesama pedagang, pedagang dan pemerintah makin sering terjadi, hingga akhirnya tuntutan pedagang dipenuhi, tapi tak semua, hanya 46 dari 90-an pedagang yang bisa berjualan di Bambu Kuning, sementara ratusan PKL dilarang total. 

    Larangan ini membuat PKL harus kucing-kucingan dengan pemerintah. Lapak-lapak yang mereka sewa dari oknum dan pengelola pasar harus siap kapan saja dibongkar Pol-PP. 

    Arah kebijakan kala itu memang amat tergantung dari sentimen pemimpinnya, yang punya kecenderungan tunduk pada perintah dari atas, apalagi waktu itu era Orde Baru masih mencengkeram hingga level desa. 

    Makin lengkap ketika Walikota Bandarlampung saat itu, Nurdin Muhayat dikenal sebagai ‘wagiman’, walikota gila taman. Nurdin yang cenderung estetis, mengubah banyak wajah Bandarlampung dengan taman-taman. Ia pula tak ingin melihat kesemrawutan kota, termasuk PKL-PKL di Bambu Kuning. 

    Ketika resesi yang berujung pada tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998, praktis terjadi kekacauan dimana-mana. Bambu Kuning pun terdampak. Banyak pekerja yang terkena PHK kemudian beralih menjadi PKL di Bambu Kuning. Bambu Kuning pun makin padat. 

    Dua ruas jalan utama yang membelah Bambu Kuning, yakni; Jalan Batu Sangkar dan Bukittinggi, sesak dengan lapak-lapak pedagang PKL. 

    Suasananya makin tak teratur. Sampah dimana-mana, belum lagi aksi kejahatan kerap mengancam pengunjung pasar. Banyak laporan pencopetan hingga penodongan disini. 

    Bambu Kuning menjadi identitas pembentuk utama Kota Bandarlampung. Semua yang datang ke kota tujuannya mayoritas adalah Bambu Kuning.  

    Kesan kumuh juga mulai nampak. Bambu Kuning juga mulai riuh dengan konotasi negatif. Bangunan di atas lantai 1, yang difungsikan sebagai gedung bioskop, arena biliar kental dengan keributan dan beragam aksi kejahatan. 

    Saat kepemimpinan beralih ke Eddy Sutrisno, penataan kembali dilakukan.  

    Jalan Batu Sangkar dan Bukittinggi harus bersih dari PKL. Mereka direlokasi ke lantai II dan III Bambu Kuning. Tapi, pemindahan ini ditolak pedagang, karena selain sepi, biaya sewanya terbilang mahal. 

    Di sisi lain, pedagang juga khawatir akan kualitas konstruksi khususnya lantai III Bambu Kuning yang amat riskan. Apalagi jika ditempati oleh ratusan pedagang, belum ditambah pengunjung. 

    Bambu Kuning memang bak perempuan cantik yang memikat siapa saja.  

    Arus perputaran uang sejak tahun 1986 hingga 2010 tembus hingga miliaran rupiah perharinya. 

    Pembeli yang dijangkau bukan cuma di Lampung, tapi merambah hingga Palembang, Bengkulu hingga Jambi. 

    Sebelum sektor pariwisata mendominasi, Bambu Kuning adalah destinasi penting bagi siapapun yang berkunjung ke Bandarlampung. 

    Barang yang dijual pun tak hanya melulu berasal dari Pasar Tanah Abang tapi bahkan hingga Arab Saudi. 

    Sebagai surga barang murah, Pasar Bambu Kuning juga identik dengan barang kualitas KW hingga pemalsuan produk, semuanya bertumpuk menjadi satu. 

    Dari celana hingga kemeja bermerek hingga aspal ada disini. Tas-tas berlabel LV hingga Hermes bersanding dengan produk-produk asal Cibaduyut. 

    Setiap hari, ribuan pengunjung memadati pasar ini. Lorong-lorong pasar sesak dengan orang yang berlalu-lalang, berdesak-desakan dengan dagangan yang dipajang hingga mempersempit gerakan. 

    Adu kuat tawar menawar juga lazim terdengar. Sepotong celana yang semula ditawarkan seharga ratusan ribu rupiah, bisa dilepas seharga puluhan ribu,”kalau masih masuk (untungnya), walau sedikit kita lepas, yang penting barang muter,” ujar Uni Yanti salah satu pedagang di Bambu Kuning. 

    Uni Yanti yang sudah sepuluh tahun lebih berjualan di Pasar Bambu Kuning mengenang masa itu sebagai era kejayaan para pedagang. 

    Tak ada satupun toko di Bambu Kuning yang tak menghasilkan uang. 

    “Sesepi-sepinya jualan, itu kita masih bawa pulang uang satu jutaan lebih,” katanya lagi. 

    Setiap hari pula, ratusan bal produk garmen datang dari berbagai penjuru ke Bambu Kuning.  

    “Dulu kita itu nggak sempat makan siang sambil santai-santai gitu. Makan siang itu sambil ngelayanin pembeli”. 

    Sama halnya dengan Uni Yanti, Sahrin salah satu pedagang yang terbilang senior di Bambu Kuning mengenang keriuhan pasar ini dengan cerita-cerita kemewahan para pedagangnya. 

    “Semua pedagang disini punya paling sedikit dua toko, pekerjanya bisa sampai 8 orang, itu kita juga masih keteteran ngelayanin pembeli. Sewanya nggak setahun dua tahun tapi minimal 5 tahun dibayar langsung,” tutur Sahrin. 

    Ia bahkan menyebut ada salah seorang pedagang asal Bambu Kuning berdarah minang yang sukses membangun pusat perbelanjaan sendiri, bahkan hingga di dua tempat sekaligus, meski kemudian harus surut. 

    “Uang di Bambu Kuning ini nggak main-main, banyak cerita pedagangnya yang sukses”. 

    Sekarang, 13 dasawarsa sejak cikal bakal Pasar Bambu Kuning ada, di bawah teduhnya rumpun bambu, pasar itu kini lengang. 

    Banyak toko yang tutup, jumlahnya bahkan hampir mendekati angka 80 persen. Sementara sisanya, masih mencoba bertahan meski tak terlalu berharap bisa seramai seperti dulu lagi. 

    “Yang penting ada yang laku aja satu atau dua potong sudah alhamdulillah, karena sayang uang sewanya,” terang Uni Yanti lagi. 

    Ia mengakui kebanyakan toko yang tutup memang sudah habis masa sewanya, sedangkan toko-toko yang sudah berstatus hak milik juga terpaksa tutup karena biaya operasional yang besar sementara pembeli tak ada. 

     

    Uni Yanti melangkah pelan menyusuri lorong-lorong Pasar Bambu Kuning yang sepi. Sesekali ia menyapa pedagang yang masih tersisa. 

    Bekal makanan yang ia bawa juga tak terlalu banyak,”ini cuma buka sebentar, kalau sampai jam 12 sepi, mau pulang aja,” katanya. 

    pasar bambu kuning
    Kondisi Pasar Bambu Kuning saat ini. Foto: Meza Swastika

    Ia masih berjualan di Pasar Bambu Kuning bukan karena berharap dagangannya laku, tapi karena terpaksa daripada masa sewa tokonya habis percuma. 

    “Dagangannya sudah susah laku. Kebanyakan saya jualin online, tapi untungnya tipis banget”. 

    Ia kini mulai mencoba beradaptasi dengan pasar-pasar online seperti Shopee dan Tiktok Shop, meski sempat terkejut ketika pertama kali melihat persaingan ‘banting-bantingan harga’ antarsesama pedagang untuk satu produk yang sama. 

    Yang masih agak lumayan Ko Awi, pedagang emas di lantai 1 Pasar Bambu Kuning ini masih bisa menikmati hasil berniaganya,”ya tapi kalau mau dibandingin sama dulu, jelas jauh lah. Dulu mah sehari bisa 10 kilo emas saya jual”. 

    Menurutnya, saat ini kebanyakan pembelinya saat ini adalah pelanggan loyalnya sejak lama. 

    Ko Awi mengaku rindu momen-momen Pasar Bambu Kuning seperti dulu, bukan hanya soal omzet, tapi juga keriuhan dan kehangatan antarsesama pedagang yang harmonis. 

    Bambu Kuning kini memang sudah menjelang layu. 

    Bambu Kuning sejatinya adalah identitas sesungguhnya yang membentuk Kota Bandarlampung kini. 

    Dibalik murungnya Bambu Kuning saat ini, pernah ada ribuan nyawa yang hidup dan menggantungkan nasibnya disini. 

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     


  • manusia gerobak

    Disadari atau tidak, kian hari jumlah manusia gerobak di Bandarlampung makin ramai. Ini bukan kebetulan, bisnis eksploitasi ‘iba’ ala manusia gerobak ini, sebenarnya bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi lebih ke gaya hidup. Pemkot Bandarlampung tak punya solusi akhir untuk penanganannya. 

    (Lontar.co): Di balik gerobak kayu, di salah satu sudut parkiran Puskesmas Rawat Inap Way Halim yang jembar,  dua perempuan paruh baya itu, terlihat serius menghitung tumpukan uang kertas di pangkuan mereka masing-masing. Jumlahnya lumayan banyak, nominalnya juga tak ada yang kecil.  

    Sesekali mereka terlihat gelagapan menutupi uang-uang itu dengan karung, dan saling tertawa, saat ada yang melintas di dekatnya. 

    Sementara dua anak kecil yang selalu mereka ‘gendong’ di gerobak dibiarkan bermain pasir. 

    Tak berselang lama, salah satu diantaranya menarik smartphone hitam berkamera boba yang disimpan di dalam tas selempang yang diletakkan di bagian depan gerobak.  

    Ia terlihat sedang menghubungi seseorang, mimik wajahnya sesekali serius, tapi sebentar kemudian tertawa. 

    Perempuan 40-an tahun itu juga seperti tak leluasa memainkan ponsel pintarnya, sesekali matanya awas melirik ke segala arah, sejenak kemudian matanya serius memandangi layar ponsel berkelir putih miliknya. 

    Semakin sore, tiga gerobak lain yang penuh dengan tumpukan kardus dan kipas angin rusak, menyusul. Semuanya perempuan, pakaian mereka terlihat lusuh, tapi wajah mereka lebih banyak cerah. 

    Suara percakapan antarmereka juga kerap terdengar riuh. Ada pula yang santai menyantap nasi kotak. 

    Mendekati Maghrib, satu per satu mereka pulang membawa gerobak, sementara tiga lainnya dijemput dengan sepeda motor matic keluaran terbaru. 

    Entah sejak kapan, halaman parkir Puskesmas Rawat Inap Way Halim itu jadi titik kumpul manusia-manusia gerobak ini, namun yang jelas, pemandangan ini selalu rutin terlihat tiap sore hari. 

    Lokasinya yang teduh oleh pepohonan dan berada tepat di belakang  Masjid Al Muhajirin membuat lahan parkir ini diminati. 

    Tapi, pengelola masjid dan puskesmas kerap jengah dengan tingkah mereka,”sering diingatkan, kalau disini bukan tempat untuk ngemis, tapi bukannya pergi malah ngelawan, akhirnya malah tambah banyak yang nongkrong di parkiran puskesmas ini,” ujar salah seorang warga. 

    Kemarin saja, saat bulan Ramadhan, manusia-manusia gerobak ini tumpah di parkiran ini, sejak siang hari hingga mendekati waktu berbuka. Tak ada satupun dari mereka yang puasa. 

    Mereka hanya sekedar duduk dengan wajah memelas, kemudian menunggu jemaah-jemaah masjid selesai shalat. 

    Di hari-hari biasa, rutinitas itu tetap berlangsung tapi tak terlalu intens, kecuali hari Jum’at, biasanya manusia-manusia gerobak ini akan berkumpul di pintu-pintu keluar Masjid Al Muhajirin. 

    Pemandangan yang kurang lebih sama juga terlihat di depan Masjid Ad-Du’a Jalan Sultan Agung yang bahkan sudah ‘hadir’ jauh sebelum shalat Jum’at digelar. 

    Mereka memenuhi trotoar-trotoar di depan masjid, bahkan ada yang masuk hingga ke dalam komplek masjid dengan beragam mimik yang kebanyakan dibuat murung. 

    Sebenarnya, ‘profesi’ utama manusia-manusia gerobak ini bukanlah pengemis, mereka adalah pemulung yang kemudian bersalin rupa setelah melihat peluang lain dari gerobak yang mereka pakai untuk mengangkut barang-barang bekas ini, efektif menarik empati penduduk kota terhadap hal-hal yang cenderung mengundang simpati. 

    Awalnya, ada sebagian dari manusia gerobak ini berulah dengan memanfaatkan situasi saat mencari barang rongsok di lingkungan perumahan. Banyak peralatan rumah yang sebenarnya masih digunakan justru dicuri oleh mereka, saat pemiliknya lengah. 

    Keadaan ini membuat banyak warga kesal dan menutup akses bagi para pengumpul barang bekas ini. Banyak perumahan-perumahan yang memasang larangan ke tukang-tukang rongsok untuk tak masuk ke dalam komplek. 

    Makin sempitnya ruang gerak mereka, membuat pengumpul rongsok ini merangsek ke daerah kota. 

    Pakaian yang lusuh, kerap membawa anak di dalam gerobak saat bekerja inilah atribut-atribut yang  kemudian memantik empati dari kebanyakan orang. 

    Maka kemudian, mereka mengeksploitasi diri melalui singgungan empati berbalut keyakinan-keyakinan yang dominan, seperti Jum’at berkah hingga hari-hari keagamaan yang kental, untuk mendulang pundi-pundi uang yang tak kecil.  

    Kini mereka melegitimasi dan menjadi penghias wajah kota. Di beberapa ruas jalan arteri di Bandarlampung yang tingkat kepadatannya amat tinggi, pemandangan manusia gerobak menjadi amat lazim kini. 

    Lihat saja, di sepanjang Jalan Raden Intan, yang nadi ibukota bisa dirasakan di jalan ini, manusia gerobak bertebaran, duduk santai di trotoar-trotoar, sembari makan, sembari tidur atau sekedar ‘memancing’ iba pengendara dengan anak-anak mereka yang sengaja dibuat kumuh. 

    Di Bundaran Gajah, realitas serupa juga terlihat. Gerobak-gerobak mereka berjejer tak beraturan seperti hendak menahan laju kendaraan yang melintas untuk sekedar ‘menengok’ keadaan mereka. 

    Mereka-mereka ini, para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), setidaknya terlihat di jalan-jalan protokol Kota Bandarlampung yang ramai, seperti; Jalan Raden Intan, Bundaran Gajah, Jalan R.A Kartini,  dan sebagian Jalan Pangeran Antasari. 

    Jumlahnya tak sedikit. Bahkan jika ditotal, ada hingga 30-an orang. Itu belum termasuk dengan anak-anak yang mereka bawa. Kadang, satu gerobak bisa membawa dua orang anak sekaligus. 

    Soal keadaan, mereka sebenarnya bukan orang yang tergolong tak mampu, beberapa diantara mereka bahkan hidup berlebih.  

    Selain beberapa manusia gerobak yang dijumpai di area parkir Puskesmas Rawat Inap Way Halim, Lontar juga pernah mendapati seorang manusia gerobak yang dijemput oleh anaknya dengan sepeda motor. Ia dibonceng sembari kedua tangannya menarik gerobak di belakang. 

    Karena merasa dibuntuti, perempuan tua dan anak perempuannya ini sempat berusaha kabur dengan masuk ke salah satu gang di Jalan Sultan Agung, Way Halim. 

    Tapi kemudian, diketahui tempat tinggal mereka terbilang mewah untuk ukuran manusia gerobak.  

    Rumah luas berwarna kuning emas dengan bangunan permanen di sudut gang, tak jauh dari rumah pribadi mantan Gubernur Lampung Arinal Djunaidi. 

    Ada pula dua unit motor yang masih relatif baru dan satu sepeda anak-anak, rumah ini bahkan jauh dari kesan sederhana. 

    Manusia gerobak, menurut psikolog Ceria Hermina adalah cermin kelompok masyarakat yang punya kecenderungan melihat hidup secara instan sehingga membuat mereka tak produktif apalagi kreatif. 

    “Mental manusia gerobak itu semuanya instan, mencari uang dengan cara mudah melalui rasa iba,” jelasnya. 

    Sebagai regulator, Ceria melihat pentingnya peran pemerintah yang tak hanya sekedar menertibkan manusia-manusia gerobak ini saja,tapi juga memberi solusi jangka panjang untuk manusia-manusia gerobak ini agar lebih produktif. 

    Masalahnya, Pemkot Bandarlampung memang tak punya solusi akhir untuk menangani penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), kecuali hanya sekedar proses penertiban yang terbatas pada pendataan, satu dua bulan kemudian manusia-manusia gerobak ini kembali mengais iba. 

    Akhirnya, upaya-upaya penertiban manusia gerobak, gepeng, manusia silver dan sejenisnya hanya menjadi rutinitas kerja yang terus berulang setiap kalinya. 

    Sebagai ibukota, Bandarlampung sudah selayaknya memiliki panti sosial yang khusus, bukan hanya untuk membina mereka, tapi juga sebagai efek kejut agar manusia-manusia gerobak ini tak berulah kembali. 

    Sebab, selama ini, panti yang digunakan adalah milik provinsi, sehingga otomatis, baik Dinas Sosial maupun pemkot terkesan melepas proses pembinaan ke panti yang secara struktural tak hanya sekedar menangani penyandang masalah kesejahteraan sosial asal Bandarlampung saja. 

    Faktanya, upaya pembiaran yang dilakukan Pemkot Bandarlampung terhadap anak-anak yang dibiarkan ikut orang tuanya mengemis atau bahkan ikut menjadi pengemis sebagai tindakan yang tak ideal apalagi untuk kota yang meng-klaim sebagai kota layak anak. 

     

     

      

     

     



  • Keterbatasan lapangan kerja dan rendahnya nilai upah pekerja adalah dilema angkatan kerja di Lampung. Sementara, memilih merantau ke Jakarta juga bukan solusi, pekerja asal Lampung kadung ditandai sebagai pembuat masalah. 

    (Lontar.co): Sudah hampir tiga bulan, Rizki ‘terdampar’ di Jakarta. Kerjanya tak tentu. Kadang jadi mekanik serep di bengkel motor, kadang pula nyambi di steam motor yang ada di kawasan Rawa Badak, Koja, Jakarta Utara. 

    Pemuda tanggung, lulusan salah satu SMK di Bandarlampung ini nyaris pasrah dengan nasibnya di Jakarta. Ia tak tahu lagi harus melamar kerja dimana. 

    Badannya pun makin kurus, kulitnya makin melegam. 

    Ia sempat terpikir untuk pulang saja ke rumahnya di Lampung Tengah, tapi ia terlanjur malu. 

    Bermula dari ajakan seorang teman yang tinggal sekampung dengannya yang sudah bekerja di salah satu mall di Jakarta, Rizki terbuai. Apalagi, dua tahun setelah lulus dari SMK, ia tak kunjung mendapat pekerjaan. Padahal, nilainya lumayan bagus untuk ukuran lulusan sekolah kejuruan. 

    “Sampe di Jakarta, sudah ngelamar kemana-mana tapi malah di blacklist, katanya orang dari Lampung susah diatur,” katanya. 

    Mau tak mau ia harus mengganti identitas kependudukannya untuk bisa mendapatkan kerja, tapi agak sulit bagi pendatang yang terbilang baru seperti Rizki. 

    “Teman saya harus tingggal minimal setahun dulu baru bisa bikin KTP Jakarta, itu juga pake uang”. 

    Akhirnya, ia hanya bisa ‘luntang-lantung’ di ibukota. Beruntung, ia memiliki keahlian menjadi mekanik, sesuai dengan ilmu yang ia dapat di sekolah,”jadi mekanik serep, di bengkel deket kost. Kalau lagi nggak ada serepan, ikut nyetim motor,” ujarnya. 

    Hasilnya jauh dari cukup, untuk makan sehari-hari saja, ia hanya mengandalkan jatah makan dari steam motor tempatnya bekerja, sisanya untuk bayar kost-kostan yang luasnya hanya cukup untuk tidur saja. 

    Meski susah mencari kerja, Rizki lebih memilih tetap bertahan di Jakarta, daripada memilih pulang ke Lampung. 

    “Di Lampung, nyari kerja susah, kalau ada juga, gajinya kecil. Sudahlah, tahan-tahan aja disini (Jakarta), sambil ngumpulin uang buat KTP”. 

    Memiliki KTP Jakarta adalah masa depan lain buatnya. Meski ia mendengar selentingan untuk bisa mendapat selembar KTP ibukota butuh uang hingga ratusan ribu. 

    “Punya KTP Jakarta itu solusi satu-satunya untuk bisa kerja, walaupun harus bayar asal bisa kerja nggak apa-apa,” katanya optimis. 

    Ia mengakui, buat perantau asal Lampung sepertinya, amat sulit mencari kerja di Jakarta, stigma negatif pencari kerja asal Lampung  memang sudah terlanjur melekat sebagai tukang buat onar hingga identik dengan tindakan kriminal.“Padahal, nggak semua orang seperti itu,” bela Rizki. 

    Faktanya, stigma itu masih berlaku sampai saat ini, meski tak tertulis dan bukan hanya kasuistik.  

    Karakter masyarakat Lampung yang dikenal keras makin melegitimasi stigma itu. 

    Identitas kultural yang melekat terhadap orang Lampung memang membuat dilema, sekeras apapun dibantah dan sebaik apapun sikap di Jakarta, beridentitas sebagai orang Lampung tetaplah masalah serius. 

    Pada akhirnya kebanyakan pencari kerja asal Lampung khususnya, harus mengganti identitas mereka sebagai solusi agar bisa bekerja dan bertahan di Jakarta. 

    Mereka yang awalnya berharap bisa bekerja di sektor formal, terpaksa pula harus tersisih dan menjadi pekerja-pekerja informal dengan hasil yang jauh dari memadai. 

    “Biaya hidupnya besar disini, beda sama di Lampung. Uang seratus ribu cuma cukup untuk hidup sehari kalau tak pandai-pandai menghemat,” aku Rizki. 

    Rizki bahkan hanya makan satu kali sehari, dan disimpan untuk keperluan lain. Sesekali teman sekampungnya datang untuk sekedar mengajak makan. 

    Entah sejak kapan stigma yang cenderung rasis ini berlangsung, namun yang jelas sejak puluhan tahun lalu, banyak perantau asal Lampung khususnya yang memang kesulitan mencari kerja tak hanya di Jakarta saja, tapi juga di daerah Tangerang, Bekasi hingga Bogor. 

    Parahnya, meski stereotip tentang orang Lampung di mata Jakarta sudah terlanjur melekat, tapi setiap tahun, arus pendatang asal Lampung ke Jakarta bukannya menyurut tapi malah terus bertambah. 

    Sementara saat berada di Jakarta, mereka tak bisa berbuat banyak. Selain karena stereotip, kenyataannya sebagian besar dari mereka datang ke Jakarta tanpa keahlian. 

    Sebelumnya, Dinas Perhubungan (Dishub) Jakarta mencatat adanya lonjakan pendatang hingga 129 persen yang masuk ke Jakarta usai Lebaran 2025.  

    Data ini diperoleh berdasarkan arus balik pascalebaran. Jumlah ini bahkan melonjak jika dibanding arus balik lebaran 2024 lalu. 

    Dari total jumlah lonjakan itu, tak sedikit pendatang asal Lampung yang masuk ke Jakarta untuk berharap mendapat kerja di ibukota. 

    Meningkatnya volume pendatang ini, jelas berdampak pada angka kepadatan penduduk Jakarta. 

    Proses urbanisasi ini–termasuk yang berasal dari Lampung, ke Jakarta dengan membawa mimpi besar yang pada akhirnya harus pupus karena adanya stereotip tentang orang Lampung yang cenderung rasis dan diskriminatif. 

    Kenyataan ini juga diakui oleh Ega Faizal, Founder Komunitas Teman Baru yang menyebut ini sebagai tindakan yang diskriminatif. 

    Tak jelas alasan bagi kebanyakan industri yang menolak mempekerjakan perantau asal Lampung, meski memiliki keahlian yang sesuai sekalipun. 

    “Mungkin lebih ke arah khawatir karena orang Lampung kan memang terkenal keras. Khawatir akan menjadi masalah atau malah jadi tukang buat onar,” ujar Ega Faizal dalam video yang ia bagikan melalui media sosial. 

    Padahal, jika bicara soal keahlian, kebanyakan perantau asal Lampung memiliki skil yang mumpuni dan tak kalah dengan pelamar lain, Rizki misalnya, sejak masih berstatus pelajar di salah satu SMK di Bandarlampung, ia memiliki keahlian merakit sepeda motor.  

    Novrian, perantau asal Lampung lainnya bahkan pernah merasakan diskriminasi itu, saat sesi interview di salah satu perusahaan di Jakarta, bagian HRD perusahaan itu malah riuh dan nyinyir saat melihat ijazah Novrian yang lulusan Lampung. 

    “Begitu lihat ijazah saya dari Lampung, langsung stigma itu muncul, ya begal lah, ya tukang ribut lah,” ujarnya. 

    Ia juga baru tahu jika kebanyakan calon pekerja asal Lampung memang masuk dalam ‘daftar hitam’ oleh kebanyakan perusahaan. 

    Daftar hitam pekerja asal Lampung juga merambah bahkan hingga ke gender. Perspektif buruk tak hanya dialami oleh kaum pria, tak sedikit calon pekerja perempuan asal Lampung yang ikut merasakan imbasnya. 

    Tak hanya di sektor informal, calon pekerja di sektor domestik, seperti Asisten Rumah Tangga hingga babby sitter asal Lampung pun ikut terkena dampaknya. 

    Arizal, orang Lampung yang bisa dibilang sukses di Jakarta mengakui hal itu, menurutnya stigma negatif orang Lampung di mata orang Jakarta sudah ada bahkan sejak tahun 90-an. 

    “Pertama saya datang ke Jakarta tahun 92-an aja, stigma itu sudah ada. Waktu ngelamar kerja di supermarket, cuma saya yang disuruh tandatangan perjanjian untuk nggak buat masalah karena KTP saya Lampung,” kenang Arizal yang kini bekerja di salah satu anak usaha milik BUMN di Jakarta. 

    Waktu itu, lanjutnya, ada empat saja falsafah orang Lampung yang berusaha ‘hidup’ di Jakarta,”otak, otot, ngotak, ngotot, itu aja pegangan hidupnya di Jakarta. Kalau mau rusak, rusak sekalian, atau kalau mau jadi, jadi sekalian, karena ini soal pi’il ”. 

    Meski demikian, pria paruh baya asal Blambanganumpu, Way Kanan itu tak menyarankan untuk merantau ke Jakarta, selain tingkat persaingan kerja yang sulit, ekomomi yang terus melesu,  ditambah beban Jakarta untuk menampung penduduk pendatang juga sudah semakin payah. Selain itu, potensi untuk menjadi pelaku kejahatan juga besar. 

    “Sering banget liat di medsos, orang Lampung di Jakarta, ditangkep karena maling motor, berantem, jadi tambah jelek citranya orang Lampung, cuma karena nggak punya kerjaan di Jakarta akhirnya bikin masalah di sini,” paparnya melalui pesan whatsapp. 

    Tapi, ia juga tak menampik, karakter orang Lampung di Jakarta cukup disegani karena mental yang berani, bahkan ada salah satu preman senior asal Lampung yang pernah begitu menguasai salah satu terminal di Jakarta,”orangnya masih ada tapi sudah tua, sekarang buka usaha bengkel motor di deket terminal itu,” ujarnya. 

    Identitas kultural masyarakat Lampung yang keras ini, memang menjadi pembeda dari kebanyakan masyarakat lain yang ada di Jakarta. Karakter yang identik, cenderung keras, membuat kebanyakan perantau asal Lampung lebih mudah dikenali. 

    Stigma buruk tentang orang Lampung di Jakarta dan masih berlangsung sampai saat ini, juga diakui oleh Founder Komunitas Teman Baru, Ega Faizal yang menilai tak selayaknya praktik rasis diterapkan kepada orang Lampung ketika merantau atau mencari kerja di Jakarta. 

    “Dulu waktu gua pertama kali ngelamar kerja di Jakarta, gua pernah ditolak bukan karena skill dan kemampuan gua, tapi karena KTP gua Lampung,” kata Ega Faizal di konten medsosnya yang viral. 

    Menurutnya, stereotip itu cenderung rasis dan diskriminatif. Dan, disadari atau tidak, stigma ini masih kerap terjadi,”anak daerah juga punya mimpi. Anak Lampung juga punya keahlian. Jangan lihat KTP-nya (Lampung) aja, tapi liat juga keahliannya,” tutur Ega. 

    Hal ini pulalah yang menginspirasinya untuk kemudian menggagas komunitas Teman Baru yang berpusat di Jakarta. Fokusnya adalah merangkul para perantau di Jakarta, dan tak harus berasal dari Lampung saja, agar tidak merasa sendiri apalagi kesepian. 

    Kini, jejaring itu sudah memiliki lebih dari 23 ribu anggota. Hal ini membuktikan, bahwa kebanyakan para perantau di Jakarta memang butuh ‘teman’. 

    Komunitas yang berdiri setahun lalu ini juga terus berdedikasi untuk hadir sebagai teman untuk menghadapi tantangan di perantauan. 

    Ia mengakui, ada begitu banyak perantau asal Lampung yang terserak di Jakarta dan sekitarnya, ada yang berhasil, ada pula yang sekedar bertahan hidup, meski tak sedikit pula yang akhirnya  memilih jalan pintas. 


  • pak ogah

    Sejumlah ruas jalan di Bandarlampung ‘dikuasai’ oleh Pak Ogah, banyak yang jengah dengan ulah mereka, bahkan ada yang pernah diintimidasi. Arus perputaran uang di jasa Pak Ogah ini tembus hingga ratusan ribu tiap harinya. Polisi diam saja? 

    (Lontar.co): Dewi, guru salah satu sekolah swasta di Bandarlampung pernah punya pengalaman menakutkan dengan Pak Ogah yang ada di ruas Jalan Teuku Umar, tak jauh dari Pasar Koga. 

    Tiga bulan lalu, dia baru saja pulang lembur dari sekolahnya di daerah Tanjungkarang. Waktu sudah hampir tengah malam, ia membawa mobilnya dengan pelan menuju ke arah Rajabasa. 

    “Waktu itu, anak saya titip nasi uduk yang ada di Way Halim, kalau saya putar di bawah flyover MBK jelas jauh, jadi saya putar balik di depan Pasar Koga, rencana mau lewat Jalan Pahlawan,” cerita Dewi. 

    Saat tiba di depan Pasar Koga, ia bermaksud putar balik di U Turn yang tak jauh dari RS Advent,”mungkin mereka (Pak Ogah) itu melihat saya sendirian di dalam mobil, kemudian ada satu orang yang langsung berdiri di tengah putaran balik. Saya tak tahu, maksudnya mau apa, tapi saya sempat ngasih kode pake tangan, maksudnya saya nggak usah dibantu puter balik, karena waktu itu jalan juga sudah sepi,” ujarnya lagi. 

    Tiba-tiba karena Dewi tak memberi uang jasa kepada mereka, salah seorang diantaranya memukul mobilnya dengan keras. 

    “Waktu itu saya kaget dan langsung berhenti di tengah-tengah putaran balik itu, saya buka kaca mobil dan menanyakan kenapa mereka mukul mobil saya, tapi mereka malah balik membentak saya”. 

    Salah seorang diantaranya bahkan berusaha menghampiri Dewi dan bermaksud membuka paksa pintu mobil, tapi tak berhasil karena terkunci otomatis,”padahal waktu itu masih ramai orang yang lewat, tapi tak ada yang membantu saya sama sekali”. 

     

    Tujuh kaleng kecil lem aibon itu tersimpan rapi di dalam plastik hitam yang diselipkan di batang-batang tanaman yang tumbuh merimbun di median Jalan Teuku Umar. Tak jauh didekatnya, plastik-plastik bekas yang masih terdapat sisa lem Aibon terserak begitu saja di median jalan. 

    Di dekatnya, tiga pemuda tanggung, berkulit legam terlihat sibuk ‘mengatur’ jalan di ruas putar balik. 

    Mereka menandai tiap kendaraan yang hendak putar balik, cukup dari lampu sein yang hidup, setelahnya mereka sigap menutup arus dari arah berlawanan. 

    Seorang pedagang gorengan yang berjualan tak jauh dari pak ogah-pak ogah itu menyebut, kebiasaan buruk pemuda-pemuda itu yang kerap ‘ngelem’,”biasanya ngelem dulu itu, baru kerja,” ujar pedagang itu. 

    Pedagang  itu juga kadang dibuat kesal oleh ulah mereka yang kerap mabuk-mabukan, apalagi saat malam hari,”kalau sudah pada mabuk, suka rusuh, makan gorengan nggak bayar”. 

    Pedagang itu pernah pula melihat kelompok pemuda itu menghitung uang yang mereka peroleh,”kadang sampai Rp300 ribu. Saya tahu karena mereka sering tukar uang dua ribuannya ke saya,” akunya lagi. 

    Arus perputaran uang di ‘bisnis’ pak ogah ini memang lumayan deras. Rata-rata penghasilan mereka hingga ratusan ribu perhari  tiap kelompoknya,  apalagi di jam-jam sibuk. 

    Di satu U Turn, umumnya dibagi dalam dua kelompok pemuda, tiap kelompok maksimal tiga orang. Kelompok pak ogah ini membagi waktu dalam dua shift, pagi hingga siang dan sore sampai malam. 

    Tim Lontar pernah mengamati aktivitas para penguasa jalanan ini bekerja di ruas U Turn Jalan Teuku Umar dan Jalan Pangeran Antasari, dalam durasi pengamatan yang sama, yakni; 30 menit, di jam kepadatan yang sama pula; siang dan sore. Dan, metode pengamatan dilakukan selama dua hari, tapi tak secara berurutan. 

    Pengambilan sampel memang sengaja dilakukan di kedua ruas jalan ini, karena volume kendaraan khususnya roda empat terbilang padat dibanding ruas jalan lain, yang titik ruas baliknya dikuasai oleh pak ogah. 

    Hasilnya, di ruas putar balik Jalan Teuku Umar yang ramai pada sore hari, rata-rata dalam 30 menit ada sebanyak 40 unit kendaraan (khusus roda empat), yang putar balik. Dari 40 mobil yang putar balik itu, 32 diantarnya memberikan uang jasa ke pak ogah, besarnya variatif, tapi umumnya Rp2 ribu per kendaraan. 

    Sedangkan pada siang hari, jumlah kendaraan yang putar balik, intensitasnya lebih rendah, tak sampai 15 unit kendaraan. Dari 15 unit yang kendaraan yang putar balik selama 30 menit pengamatan, ada 10 pengemudi yang memberi uang ke pak ogah. 

    Sementara, di Jalan Pangeran Antarasi, selama dua hari pengamatan dengan durasi waktu 30 menit di sore hari, rerata ada sebanyak 25 mobil yang putar balik. Dari 25 mobil itu, 12 mobil memberi uang jasa ke pak ogah. 

    Selanjutnya, pada siang hari, volume kendaraan yang putar balik jauh lebih sedikit dibanding sore hari. Dalam kurun waktu 30 menit, ada 16 mobil yang putar balik. Dari 16 mobil, 10 memberikan uang ke pak ogah. 

    Meski tak bisa dijadikan acuan, namun dari pengamatan itu, bisa dibayangkan berapa penghasilan pak ogah dalam sehari, hanya dengan bekerja dalam hitungan kurang dari 6 jam per kelompoknya. 

    Ada kabar pula, basahnya ‘lahan’ U Turn ini menjadi rebutan oleh sejumlah kelompok, bahkan pernah terjadi keributan antarkelompok untuk menguasai ruas putar balik khususnya di Jalan Teuku Umar dan Jalan Z.A Pagar Alam. 

    Semula, ruas putar balik di jaga oleh kelompok ‘anak punk’. Awalnya, mereka hanya menjaga ruas putar balik di Jalan Soekarno-Hatta (By Pass) saja, tapi kemudian melebar hingga ke jalan protokol, termasuk di Jalan Teuku Umar dan Jalan Z.A Pagar Alam dan Jalan Pangeran Antasari. 

    Karena menggiurkan, sekelompok orang kemudian mengambilalih lokasi dari anak-anak punk ini, yang memicu keributan.  

    Udin, petugas parkir di salah satu gerai waralaba di Jalan Pangeran Antasari yang berhadapan langsung dengan ruas putar balik yang terbilang ramai, mengaku pernah melihat tawuran sekelompok pemuda,”bawa pedang segala,” ujarnya. 

    Yang ia dengar, tawuran dipicu karena perebutan ruas putar balik,”saya lihat ada yang luka tapi langsung dibawa temannya entah kemana”. 

    Beberapa hari kemudian, petugas parkir itu melihat pak ogah-pak ogah yang ada di ruas putar balik sudah berganti wajah. 

    “Memang puteran (U Turn) itu paling ramai dibanding yang lain, jadi wajar kalau jadi rebutan,” timpalnya lagi. 

    Ia pernah menegur pak ogah-pak ogah yang wajahnya terlihat asing baginya,”kalau muterin balik itu semaunya aja, akhirnya jadi macet panjang. Sempat saya tegur, kalau muterin itu liat-liat kondisi dulu nggak asal-asalan,” akunya. 

    Ketidakpahaman tentang cara mengatur arus lalu lintas memang jadi masalah serius yang dipicu oleh keberadaan pak ogah ini. 

    Bahkan ada  kecenderungan, mereka sengaja menciptakan kemacetan di tiap ruas putar balik agar pemilik kendaraan mau membayar jasa mereka. 

    Udin pun membenarkan hal itu, menurutnya, kemacetan memang sengaja dibuat oleh pak ogah-pak ogah ini agar kendaraan yang hendak putar balik kesulitan,”kalau sudah macet kan mau nggak mau harus ngikutin aturannya mereka”. 

    Dampaknya, di jam-jam sibuk yang padat kendaraan, seperti siang dan sore hari, ruas-ruas jalan yang dikuasai oleh pak ogah ini menjadi sumber kemacetan utama. 

    Pemandangan kemacetan panjang menjadi lazim dilihat di keempat jalanan itu. Faktornya, pak ogah-pak ogah itu semaunya saja mengatur lalu lintas sehingga memicu kemacetan leher botol (bottleneck). 

    Ruas jalan tersumbat, kendaraan kian menumpuk di satu titik dalam waktu yang lama. 

    Ulah pak ogah penguasa jalan ini juga kerap membuat kesal pengemudi, pernah pula menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas. 

    Di Jalan Soekarno-Hatta beberapa hari lalu terjadi kecelakaan beruntun, pasalnya pak ogah-pak ogah semaunya saja menghentikan kendaraan dari arah berlawanan, padahal kebanyakan kendaraan yang melintas di jalan ini berkecepatan tinggi, akibatnya saat Pak Ogah menghentikan laju mereka, kecelakaan tak terhindarkan.  

    Pernah Ditangkap tapi Tak Kapok 

    Sebenarnya, polisi pernah menangkapi para penguasa jalanan ini, namun mereka tak kapok, beberapa ada yang kucing-kucingan dengan aparat. 

    Pertengahan Mei 2025 lalu, belasan pak ogah ditangkap saat Operasi Pekat Krakatau oleh Polresta Bandarlampung. 

    Mereka ditangkap karena selain membuat kemacetan, juga kerap membuat resah pengendara. 

    Ada 14 orang yang ditangkap. Tapi, setelah ditangkap, kebanyakan dari mereka hanya di data, setelah dilepas, mereka berulah kembali. 

    Polisi bahkan sudah memasang barrier-barrier di salah satu ruas U Turn yang dikuasai oleh pak ogah, tapi oleh mereka, pembatas jalan itu dibuka kembali. 

    Pengamat perkotaan  Tubagus Haryo Karbyanto menyebut perlunya aturan yang tegas dari aparat kepolisian terhadap keberadaan pak ogah-pak ogah ini yang dinilai sudah sangat meresahkan. 

    “Jangan sampai aparat kepolisian tak berdaya menghadapi pak ogah-pak ogah ini,” ujarnya. 

    Apalagi, keberadaan pak ogah-pak ogah ini punya kecenderungan negatif ketimbang manfaat positifnya. 

    “Aktivitas pak ogah ini kian mengarah menjadi profesi yang melembaga. Oleh karena itu, polisi harus hadir memberikan rasa aman dan nyaman di jalanan,” katanya lagi. 

    Belajar dari Bu Ogah Maimunah 

    pak ogah
    Maimunah

    Tapi, tak semua Pak Ogah menguasai, di ruas putar balik yang juga persimpangan antara Jalan Teuku Umar dan Jalan Sam Ratulangi, ada pula Maimunah, ‘Bu Ogah’ yang justru mengundang iba. 

    Menjadi Bu Ogah, bukan pilihan buatnya, apalagi penyakit asam urat membuat kedua kakinya harus berjalan tertatih. 

    Ia tak berusaha memonopoli arus putar balik di ruas itu, sebaliknya ia justru menunggu kesadaran pemilik kendaraan dari arah Tanjungkarang untuk berhenti sejenak, memberi kesempatan pengendara lain putar balik. 

    Sebenarnya, tak banyak kendaraan roda empat yang putar balik di sisi Markas Korem itu, kebanyakan malah sepeda motor, mungkin karena itu pula, ruas putar balik ini tak dilirik oleh pak ogah-pak ogah lain.  

    Meski berperawakan kecil dan gempal namun tak lantas membuat Maimunah tergagap menjadi bu ogah. Ia juga menggenggam kain kecil yang diikat di kayu kecil sebagai alatnya untuk meminta jalan kepada pengendara. 

    Penghasilannya tak tentu. Kadang hanya membawa pulang Rp20 ribu, paling banyak bisa sampai Rp30 ribu. 

    Ia pula tak pernah mematok jasa yang ia lakukan,”yang penting ikhlas. Dikasih 500 juga nggak apa-apa,” tutur Maimunah. 

    Ia bekerja mulai dari siang hari hingga sebelum Isya, waktu ini sengaja ia batasi, karena tempat tinggalnya lumayan jauh di Natar,”kalau sampai malam, nanti nggak dapat angkot pulang”. 

    Maimunah adalah pengecualian. Ia jelas berbeda dengan kelompok-kelompok pak ogah yang kini menguasai ruas-ruas jalan yang ramai di Bandarlampung. 



  • Angkatan kerja di Indonesia kini, cenderung menuju ke pengangguran struktural. Perubahan teknologi, perubahan industri dan globalisasi yang diselimuti lesunya perekonomian adalah indikatornya. Akibatnya, jumlah kaum rebahan makin menumpuk dan terus mencari apologi. 

    (Lontar.co): Usia Rani sudah di ujung muda, 25 tahun. Hanya sisa dua atau tiga tahun lagi, ia bakal terganjal batas maksimal syarat jamak kebanyakan perusahaan untuk calon pelamar kerja. 

    Bekal S2 kependidikan yang baru berapa bulan ia sandang juga tak membantu banyak.  

    Ada puluhan sekolah swasta yang sudah ia lamar, tapi masih nihil. Latar orang tuanya yang abdi negara juga tak membantu. Koneksi orang dalam juga sama saja. Semua sedang lesu. 

    Sementara untuk melamar menjadi sales, rasanya seperti sia-sia. Kuliah hanya selisih satu tingkat mendekati doktoral tapi kerja jadi sales itu, terasa seperti anomali. 

    Endingnya antiklimaks. Ia memilih menikah, menjadi ibu rumah tangga. Gelar kesarjanaannya yang tinggi selesai saat itu juga. 

    “Sambilannya jualan online. Jualan baju sama jualan ikan nila ranau, kebetulan di rumah punya kolam penampungan ikan,” kata Rani yang kini tengah mengandung anak pertama. 

    Rani menjadi salah satu bagian dari sebanyak 5 juta orang lebih angkatan kerja di Lampung yang dilanda ketidakpastian akan masa depan lapangan pekerjaan. 

    Survei Angkatan Kerja Lampung pada Februari 2025 kemarin, menyebut jumlah angkatan kerja tahun 2025 bertambah sebanyak 41.830 orang selama periode Februari 2024 ke Februari 2025, dengan total jumlah angkatan kerja di Lampung sebanyak 5.085.000 orang. 

    Sedangkan jumlah pengangguran di Lampung per Agustus 2024 juga bertambah hingga total menjadi 209,16 ribu orang, atau bertambah sebanyak 1,92 ribu orang dibandingkan Agustus 2023. 

    Itu semua data dari BPS Lampung. Bisa jadi, angkanya lebih dari itu, apalagi di daerah-daerah pelosok pedesaan, yang terdampak secara langsung terhadap minimnya lapangan kerja. 

    Angkatan kerja di desa tak bisa menikmati akses lapangan kerja secara langsung, berbeda dengan di kota. Jika memaksa bersaing mencari kerja, mereka bakal berhadapan dengan kelompok angkatan kerja dengan tingkat pendidikan minimal lulusan SMA, S1 bahkan S2, seperti Rani. 

    Sementara, umumnya tingkat kelulusan angkatan kerja di desa rata-rata adalah SMP, sangat jarang SMA. 

    Pada akhirnya, mereka—angkatan kerja dari desa ini, tersisih dari pekerjaan-pekerjaan formal, dan lebih banyak di informal. Sektor ini, cenderung tak memiliki jaminan kerja, jaminan sosial dengan upah yang jauh dari memadai. 

    Data ini makin diperkuat dengan hasil statistik angkatan kerja dari BPS tahun 2024 yang menyebut status pekerjaan utama penduduk di Lampung didominasi oleh pekerjaan di sektor informal yang jumlah pekerjanya ada sebanyak 3,31 juta orang atau 69,14 persen, sedangkan pekerja formal sebanyak 1,47 juta orang atau 30,86 persen dari total jumlah penduduk Lampung yang telah bekerja. 

    Sedangkan jenis pekerjaan informal yang paling banyak di Lampung adalah buruh, pekerja harian dan sedikit karyawan. Dengan dominasi latar belakang pendidikan, yakni tamatan sekolah dasar, sebanyak 35,53 persen, 

    Yang menarik, adanya jumlah pekerja sektor informal di Lampung yang memiliki latar belakang pendidikan diploma; S1, S2 hingga S3 yang jumlahnya mencapai 9,33 persen. 

    Dari angka lulusan diploma hingga strata yang ‘terpaksa’ bekerja di sektor-sektor informal ini, menjadi indikator serius bahwa lapangan pekerjaan kini memang amat sulit. 

    Para sarjana ini pada akhirnya juga, harus bersaing dengan lulusan-lulusan sekolah menengah atas untuk bisa bekerja meski hanya di sektor informal.  

    Mereka bersaing dalam banyak hal; pengalaman hingga usia. Belum lagi, adanya kecenderungan faktor ‘orang dalam’ yang acap kali menjadi paling dominan dalam hal kesempatan kerja. 

    Kondisi makin kompleks mana kala bicara soal keahlian.  

    Saat ini, kebanyakan lulusan sarjana yang masuk dalam angkatan kerja adalah sarjana-sarjana yang memiliki gelar kesarjanaan berbasis keilmuan atau yang fokus pada pengembangan pengetahuan dan teori, seperti; sarjana ekonomi dan sarjana hukum, adalah gelar-gelar kesarjanaan yang faktanya ‘tak laku’ dipakai untuk dunia kerja saat ini.  

    Dunia kerja saat ini lebih condong merekrut calon pekerja yang memiliki gelar kesarjanaan berbasis keahlian atau sarjana terapan, terlepas dari faktor orang dalam. 

    Ketimpangan antara jumlah angkatan kerja dengan ketersediaan lapangan kerja ini pula, masih harus bertumpuk dengan angka pengangguran yang terus membengkak, apalagi di tahun 2025 ini. 

    Seiring melesunya perekonomian, badai PHK juga terjadi dimana-mana, meski angka jumlah PHK tahun 2025 belum bisa digambarkan secara utuh.  

    Selain lemahnya daya beli, program efisiensi yang didengungkan pemerintah juga menimbulkan efek pemutusan hubungan kerja. 

    Data Kementerian Ketenagakerjaan sejak Januari hingga Mei 2025, tercatat angka pekerja yang terkena PHK di seluruh Indonesia sebanyak 26.455 kasus. 

    Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemnaker Indah Anggoro Putri menyebut adanya kecenderungan peningkatan kasus PHK dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. 

    Namun, angka PHK massal yang dilaporkan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) jauh lebih mencengangkan lagi dan berbeda jauh dengan data kasus PHK dari Kementerian Ketenagakerjaan. 

    Apindo melaporkan dalam rentang waktu 1 Januari hingga 10 Maret 2025, tercatat sebanyak 73.992 kasus PHK massal. Angka ini merujuk pada jumlah kepesertaan di BPJS Ketenagakerjaan pada periode itu. 

    Sementara di Lampung, kasus PHK juga terjadi dibeberapa daerah yang menjadi sentra-sentra kawasan industri.  

    Merujuk Satudata Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang 2024, jumlah pekerja yang terkena PHK di Lampung mencapai 143 orang.  

    Angka ini belum ditambah dengan sebanyak 233 Petugas Pintu Air (PPA) yang terpaksa diberhentikan karena alasan efisiensi dari pemerintah pusat.  

    Apalagi, data-data kasus PHK di Lampung ini masih data tahun sebelumnya, sedangkan tahun 2025 belum bisa diakumulasikan, padahal terhitung sejak Januari-Mei 2025, ada begitu banyak kasus PHK yang terjadi seiring makin lesunya perekonomian. 

    Sektor-sektor ritel yang menjadi penyerap tenaga kerja terbesar kedua setelah industri, yang paling merasakan imbasnya, banyak raksasa-raksasa ritel yang akhirnya menutup gerainya. 

    Transmart misalnya, sejak tahun 2024 lalu sudah ‘mati suri’. Komplek pusat perbelanjaan yang ada di Jalan Sultan Agung, Way Halim itu kini terlihat sepi. 

    Di supermarketnya, jumlah pengunjung bisa dihitung dengan jari, demikian pula di gerai-gerai pakaiannya, tak terlihat satu pun pembeli. Sedangkan gerai-gerai kuliner yang dulu ramai, kini sepi, beberapa gerai bahkan sudah tutup sejak beberapa bulan lalu. 

    Sepinya pembeli di Transmart ini juga secara tidak langsung berimbas pada pengurangan jumlah pekerja di mall ini. 

    Tahun 2025 memang layaknya kiamat buat para pencari kerja.  

    Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani menyebut adanya ketidakseimbangan antara pasar kerja dengan jumlah angkatan kerja yang terus bertambah tiap tahunnya. 

    Rata-rata ada 2 juta hingga 3 juta angkatan kerja baru yang terus menambah jumlah angkatan kerja tahun-tahun sebelumnya hingga angka angkatan kerja terus bertambah, yang kini sudah menembus angka 149 juta angkatan kerja. 

    “Ketimpangan terlihat, karena daya serap lapangan kerja kurang dari 1 persen dari jumlah angkatan kerja, disisi lain jumlah angkatan kerja tiap tahun terus bertambah,” kata Shinta. 

    Pakar ekonomi makro dan mikro dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS),  Agung Riyardi menyebut ada banyak faktor yang memicu terjadinya gelombang PHK massal di tahun 2025. 

    Di faktor internal, misalnya; kerugian perusahaan, efisiensi operasional hingga keuangan yang pailit menjadi penyebab utama. 

    Sedangkan, faktor eksternalnya adalah; perlambatan ekonomi nasional, dampak perang dagang secara global, hingga kesalahan kebijakan adalah faktor-faktor penyumbang yang paling besar penyebab terjadinya PHK. 

    Agung Riyardi melihat bahwa pemerintah Indonesia belum mampu membangun lingkungan bisnis yang solid dan prediktif, sehingga pihak swasta mencari caranya sendiri untuk bertahan, salah satunya adalah melakukan PHK massal. 

    Di saat badai PHK menghantam, pemerintah juga terkesan bungkam, padahal idealnya negara memberi solusi, selain dengan menjaga ekosistem ketenagakerjaan serta iklim usaha yang sehat, serta memberangus beragam pungutan liar, agar swasta mau berinvestasi dengan aman dan nyaman. 

    Menggunungnya angka angkatan kerja yang berbaur dengan pengangguran serta mereka yang terdampak oleh PHK massal ini juga masih dihantui oleh ancaman kemajuan teknologi yang kian beringas menghantam dunia kerja,  

    Pekerjaan-pekerjaan yang dulu masih dilakukan oleh manusia mulai mengalami otomatisasi. 

    Jenis-jenis pekerjaan yang dulu menjadi incaran banyak orang, seperti; staf administrasi, teller bank, kasir, customer service, pekerja manufaktur hingga desainer grafis ikut terdampak secara langsung. 

    Sementara jenis pekerjaan lainnya hanya tinggal menunggu waktunya saja. 

    Beragam kronik yang kemudian menggumpal itu, kini menjadi apologi buat kaum rebahan, sembari menyongsong pengangguran struktural yang sudah di ujung mata. 

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     


  • bahlil

    Menkeu merilis aturan perjalanan dinas ASN dalam Permenkeu Nomor 32 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2026. Disana disebutkan, biaya perjalanan dinas dalam negeri untuk pejabat negara, wamen dan pejabat eselon 1 maksimal Rp9,3 juta per malam. Selain itu, biaya makan dan kendaraan dinas para pelayan rakyat ini juga melonjak. Lantas, dimana efisiensi itu? 

    (Lontar.co): Ketua Bawaslu Bandarlampung periode sebelumnya, Candrawansah langsung mengultimatum Panwascam Tanjungkarang Pusat dan Kedaton untuk segera mengumpulkan data terkait Mendag Zulkifli Hasan yang diduga kampanye meski kapasitas kunjungannya  ke Lampung saat itu adalah sebagai pejabat negara. 

    “Saya minta teman-teman di Panwaslu Tanjungkarang Pusat dan Kedaton segera kumpulkan data, keterangan dan bukti-bukti,” kata Candrawansah di whatsapp grup internal Bawaslu Bandarlampung, kala itu (7/1/2023). 

    Kurang dari sejam, data hingga bukti lengkap terkumpul. Indikasi Zulhas melanggar kampanye menguat. Saat berkunjung ke Lampung, kapasitasnya adalah pejabat negara (Menteri Perdagangan), namun ia turut pula mempromosikan anaknya, Futri Zulya Savitri yang maju DPR RI dari Dapil Lampung. 

    “Waktu itu, kita punya bukti foto pembagian minyak goreng dan rekaman dari pihak terkait. Memang ada indikasi pelanggaran pemilu,” kata Candrawansah. 

    Namun, Bawaslu Bandarlampung kesulitan memeriksa Ketum PAN itu, karena Zulhas ‘keburu’ pulang ke Jakarta. Kasusnya menguap. 

    Zulhas ibarat sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Kunjungannya sebagai menteri gratis karena dibiayai negara, ia juga bisa sekaligus mempromosikan anaknya yang belakangan lolos ke Senayan. 

    Pengamat politik Ujang Komarudin menilai dalam kasus Zulhas ini ada unsur konflik kepentingan. 

    “Kunjungannya dalam kapasitas sebagai menteri, dan melekat, Menteri itu bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara bukan keluarga”. 

    Kini, para pembantu presiden yang jumlahnya hingga 109 orang itu juga makin ‘istimewa’, karena Menteri Keuangan Sri Mulyani baru saja menaikkan anggaran sewa hotel, mobil dinas dan biaya makan para pejabat negara, wamen dan eselon 1 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2026 

    Dalam beleid yang telah diundangkan pada 20 Mei 2025, Sri Mulyani menetapkan biaya penginapan perjalanan dinas di dalam negeri di rentang Rp2,14-9,3 juta per malam untuk pejabat negara, wakil menteri dan pejabat eselon I. 

    Rentang maksimal tarif hotel untuk pejabat negara, wakil menteri dan pejabat eselon I ini mengalami kenaikan dari yang ditetapkan dalam PMK Nomor 39 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2025 senilai Rp8,72 juta per malam. Sementara batas bawah tarif hotel untuk perjalanan dinas dalam negeri tak berubah dari beleid sebelumnya. 

    Batas atas sewa hotel untuk pejabat-oejabat negara itu bahkan mencapai 3 kali lipat lebih jika dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) Lampung 2025 yang hanya Rp2,8 jutaan. 

    Kenaikan uang sewa hotel ini juga semakin menambah pundi-pundi pendapatan dan fasilitas ‘resmi’ para pejabat negara itu, selain gaji dan tunjangan buat mereka. 

    Seperti diketahui, gaji dan tunjangan menteri diatur melalui Peraturan Pemerintah No.75 tahun 2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara serta Uang Kehormatan Anggota Lembaga Tertinggi Negara. 

    Aturan ini juga masih dilapisi dengan Keputusan Presiden RI Nomor 68 tahun 2001. 

    Dalam dua aturan ini, gaji pokok menteri sebesar Rp5.040.000 per bulan, sedangkan tunjangan Rp13.608.000 per bulan, atau total gaji menteri Rp18.648.000 per bulan. 

    Sedangkan gaji wamen, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.176/MK. 02/2015 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Wakil Menteri. 

    Merujuk aturan ini, wakil menteri berhak diberikan 85% dari tunjangan jabatan menteri. 

    Jika tunjangan menteri Rp13.608.000, maka jumlah hak uang tunjangan yang diterima wakil menteri Rp11.566.800 per bulan. 

    Menteri dan wakilnya juga berhak atas fasilitas kendaraan dinas, rumah jabatan, dan asuransi kesehatan, yang semuanya ikut naik. 

    Ternyata aksi foya-foya tak hanya pada sewa hotel saja, Sri Mulyani juga memanjakan pejabat-pejabat yang setingkat eselon 1 ini dengan menaikkan pula biaya pengadaan mobil dinasnya, menjadi Rp931, 64 juta per unit per menteri. 

    Angka pengadaan mobil dinas bakal melambung, jika menteri-menteri ini memilih mobil dinas listrik, maka biayanya naik menjadi sebesar Rp 1 miliar per unit.  

    Selanjutnya, jika wakil menteri tak punya rumah jabatan, maka ia berhak memperoleh Rp35.000.000 per bulan untuk tunjangan perumahan. 

    Tapi selain gaji, tunjangan dan segala tetek bengek fasilitasnya, menteri dan wamen juga diberikan dana operasional yang nilainya hingga ratusan juta. 

    Berdasarkan pagu, anggaran dana operasional menteri tiap bulannya bervariasi, rentang angkanya mulai dari Rp100 juta – Rp150 juta. 

    Tak hanya tunjangan sewa hotel dan pengadaan randis yang naik, Sri Mulyani juga ‘memanjakan’ para pejabat negara dengan menaikkan biaya konsumsi rapat sebesar Rp171 ribu per orang untuk sekali rapat. 

    Jumlah tersebut terdiri dari biaya makan untuk sekali rakor, senilai Rp118 ribu per orang, dan biaya kudapan atau snack Rp53 ribu per orang. 

    Kebijakan Sri Mulyani ini jelas menimbulkan pro kontra, karena kenaikan uang makan rapat pejabat negara itu dianggap tak memiliki urgensi sama sekali. Apalagi, jika dibandingkan dengan biaya Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk tiap siswa yang hanya Rp15 ribu per orang. 

    Selain itu, biaya konsumsi rapat pejabat negara ini juga berlipat-lipat melebihi pengeluaran per kapita untuk makanan sebagian besar masyarakat Indonesia yang tercatat hanya sebesar Rp751.789 per bulan, dengan asumsi rata-rata pengeluaran untuk makanan adalah sebesar Rp25 ribu per hari. 

    Apalagi, banyak pos-pos anggaran seperti untuk perbaikan jalan yang dipangkas karena alasan efisiensi. 

    Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani misalnya, dalam RDP dengan Komisi II DPR RI akhir April lalu mengeluhkan keterbatasan anggaran menghambat upaya Pemprov Lampung untuk melakukan perbaikan infrastruktur, utamanya jalan. 

    Jalan rusak di Lampung, menurutnya, sudah terjadi selama bertahun-tahun, sementara upaya perbaikannya tidak sebanding dengan tingkat kerusakan jalan yang terus terjadi di Lampung. 

    Postur anggaran pembangunan yang sudah minim akibat efisiensi itu, masih juga harus dibagi dua dengan anggaran belanja pegawai yang angkanya menguras hampir 80 persen APBD daerah. 

    Contohnya, total belanja Provinsi Lampung sesuai alokasi adalah Rp7,5 triliun, tapi yang bisa digunakan untuk belanja modal termasuk perbaikan jalan hanya Rp1,2 triliun, angka itu untuk memperbaiki sejumlah ruas jalan di Lampung, yang rata-rata dibutuhkan minimal Rp70 juta untuk perbaikan jalan per satu kilometernya. Sementara, ada sekitar 63 persen lebih jalan rusak di Lampung, dari total panjang jalan di Lampung seluas 19.463,63 kilometer. 

    Ketimpangan anggaran daerah untuk memperbaiki infrastruktur dengan besarnya tunjangan pejabat negeri itu, masih belum seberapa jika ditambah dengan kondisi perekonomian yang terus melesu. 

    Banyak perusahaan yang gulung tikar, UMKM yang lesu hingga berimbas ke PHK massal yang tak sebanding dengan jumlah lapangan kerja, berdampak pula pada lesunya perekonomian yang merata di seluruh Indonesia. 

    Akibatnya, deflasi terjadi. Jumlah uang yang beredar menurun secara drastis. Yang miskin tambah terpuruk, yang kaya memilih menumpuk uangnya. 

    Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Media Wahyudi Askar secara tegas menyebut efisiensi anggaran yang didengungkan pemerintah hanya sekedar lips service. 

    “Efisiensi itu kan menyasar anggaran-anggaran keuangan pemerintah yang kurang produktif, dan bukan juga penghembatan di hilir atau di level staf sementara pejabat tingginya bermewah-mewahan dengan beragam fasilitas dan tunjangan,” kata Wahyudi. 

    Ia juga menilai pos-pos anggaran untuk sewa hotel, pengadaan randis hingga biaya makan menteri ini sudah selayaknya masuk dalam kategori prioritas efisiensi bukannya malah dinaikkan. 

    Sudah diselimuti dengan segala kemewahan, ada pula menteri yang menyelewengkan dana operasional menteri yang nilainya ratusan juta perbulan. Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik adalah contohnya. 

    Jero dipidana karena terbukti melakukan tiga tindak pidana korupsi. Pertama, Jero dinilai terbukti menyelewengkan dana operasional menteri (DOM) untuk kepentingan pribadi dan keluarganya sejumlah Rp8,408 miliar saat menjabat Menteri Budaya dan Pariwisata (Menbudpar). 

    Tak hanya rentan diselewengkan dan dikorup. Menteri yang sudah dimanja dengan gaji dan tunjangan yang berlipat-lipat hingga dana operasional menteri yang nilainya ratusan juta per bulan, malah terkadang bekerja asal-asalan. 

    Nama-nama menteri di kabinet Prabowo, seperti Menteri Budi Arie, Maruarar Sirait hingga Bahlil adalah tiga orang menteri yang kerjanya dianggap ‘main-main’ padahal gajinya ‘tak main-main’. 

    Terbaru, Menteri ESDM Bahlil memicu kontroversi dengan dibukanya tambang nikel di Kepulauan Raja Ampat. Ia berlindung dibalik penerbitan IUP yang dibuat jauh sebelum ia menjabat, padahal kementeriannya punya kuasa untuk menghentikan izinnya, tapi tak dilakukan. 

    Menteri yang punya banyak kontroversi ini memang kerap kali bikin banyak kebijakan aneh yang menyulitkan rakyat. Sebut saja penghapusan pengecer gas elpiji 3 kilogram, jual beli izin tambang hingga kontroversi pribadinya soal status doktoralnya di UI. 

    Tak ubahnya Bahlil, Budi Arie juga kerap bikin kontroversi, meski sudah tersandung kasus peretasan dan judi online saat ia menjabat Menkominfo, orang ini tetap jadi menteri lagi, meski tanpa prestasi. 

    Jika semua menteri seperti Bahlil pun Budi Arie ini terus dimanjakan dan dilayani dengan fasilitas serba mewah, maka berat rasanya membayar pajak untuk menggaji mereka-mereka yang kerjanya sebenarnya tak ada kerjaan itu. 

     


  • pratama wijaya kusuma

    Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unila, Pratama Wijaya Kusuma (19) meninggal dunia usai mengikuti Diksar Mahepel FEB Unila di Gunung Betung, Pesawaran. Banyak fakta terungkap, hingga adanya ancaman pembunuhan.  

    (Lontar.co): Hari Raya Idul Adha kali ini, hati dan rumah Winarni Wani terasa sepi. Sebagian hidupnya seperti lepas begitu saja.  

    Tak ada lagi uluran tangan dengan senyum yang tulus dari Udo Pratama Wijaya Kusuma, anaknya, yang akan selalu  menjura dan bersimpuh kepadanya tiap kali selesai shalat. 

    Ia kerap melamun, kadang tanpa sadar ia sering memanggil-manggil nama anaknya dengan lirih. 

    Biasanya, Udo—panggilan khas untuk anak laki-laki, tiap kali pulang kuliah selalu bercengkerama dengannya, sekedar bercerita aktivitasnya di kampus atau mencandai dirinya. 

    “Shalatnya itu masyaallah rajin sekali, nggak pernah terlewat. Kemarin waktu bulan puasa, walaupun sedang sakit, ia tetap memaksa puasa,” kata Winarni Wani dengan suara tertahan. 

    Sejak kepergian Udo, wajah Winarni kini lebih banyak muram. Matanya selalu sembab. Sesekali ia masih terus menangis.”Dia anak saya satu-satunya”. 

    Pratama Wijaya Kusuma tewas diduga akibat kekerasan fisik yang ia alami ketika Diksar Mahasiswa Ekonomi Pecinta Lingkungan (Mahepel) di Gunung Betung pada 10-14 November 2024 lalu. 

    Pratama meninggal lima bulan setelahnya. Setelah sempat dirawat dan di operasi untuk yang pertama kalinya pascapenyiksaan di diksar. Dokter menyebut adanya penggumpalan darah di kepala almarhum. 

    Saat mulai merasakan sakit, Winarni memaksa membawa Pratama ke klinik, namun saat hendak dibawa ke rumah sakit, Pratama menolak, ia ketakutan dan khawatir akan adanya ancaman pembunuhan kepadanya jika peristiwa kekerasan selama diksar terungkap. 

    “Nanti ketahuan mama. Kita pulang aja mama, kalau mama sayang udo, mama jangan cerita-cerita. Nyawa aku lagi diancam. Aku lagi diincar mau dibunuh. Mama jangan cerita-cerita, rumah kita jauh mama,” kata Pratama kepada Winarni yang menolak saat hendak dibawa ke rumah sakit. 

    Saat itu, Winarni merasa heran, karena anaknya itu justru tak merasa khawatir dengan sakit parah yang sedang ia alami, tapi malah takut dengan adanya ancaman. 

    “Dada dan perutnya ditendang. Ia juga diinjak-injak, bahkan kukunya sampai terlepas. Anak saya juga dipaksa minum spirtus”. 

    Winarni Wani juga tegas membantah jika anaknya meninggal karena memiliki riwayat sakit tumor otak yang dideritanya, seperti yang disampaikan Ketua Umum Mahepel Unila, Alif Muhammad melalui kuasa hukumnya, Candra yang menyebut kematian Pratama karena tumor otak. 

    “Itu anak saya. Saya tahu anak saya! Dari kecil, udo nggak punya riwayat sakit berat, paling cuma panas, batuk dan pilek saja. Tidak ada penyakit aneh-aneh, bahkan belum pernah masuk ke rumah sakit,” tegas Winarni. 

    Sebelumnya, kuasa hukum Mahepel, menyebut pelaksanaan diksar dilakukan selama tiga hari, mulai dari 14-17 November 2024, dan Pratama meninggal 28 April 2025. 

    “Almarhum wafat karena tumor otak, bukan karena diklat. Setelah kegiatan diksar saja, almarhum masih aktif ke sekretariat dan terlihat di kampus sampai Februari 2025,” bantah Candra. 

    Aksi kekerasan selama diksar juga diakui oleh Arnando Al Faaris, salah satu peserta Diksar Mahepel yang juga sahabat Pratama. 

    Faaris menyebut, saat diksar, semua peserta (6 orang) tidak diperkenankan membawa alat komunikasi hingga dipaksa melakukan perjalanan berat. Ketika tanggal 11 November 2024, keenam peserta diksar diminta berjalan selama 15 jam. 

    Bahkan saat Pratama kelelahan dan minta waktu istirahat, tapi ditolak oleh para senior. Tak hanya itu saja, Faaris juga menyebut sejumlah hukuman fisik, jika dianggap tak memenuhi target perjalanan. 

    “Almarhum Pratama yang sering dihukum, karena fisiknya memang lemah. Kakinya juga luka, punggungnya merah, tapi bukannya dikasihani malah disebut pura-pura,” kata Faaris. 

    Saat itu, Faaris sempat pula melaporkan aksi kekerasan oleh kakak tingkatnya di Mahepel tujuannya untuk mendapat keadilan, tapi sebaliknya, Faaris justru mendapat tekanan. 

    Pascaperistiwa kekerasan di diksar itu hingga tak mendapat keadilan, Faaris langsung mundur sebagai mahasiswa Unila dan tengah mencari alternatif kampus lain untuk bisa melanjutkan kuliah. 

    Keterlibatan senior dalam kekerasan saat Diksar Mahepel juga diakui Wirna berdasarkan pengakuan almarhum anaknya. 

    Saat mendengar pengakuan dari anaknya, Wirna sempat meminta anaknya untuk melawan tindakan kekerasan dari senior-seniornya itu,”tapi, kata anak saya jumlah seniornya sangat banyak, bahkan ada yang tua, yang usianya sekitar 40-an tahun juga ikut di diksar itu,” terang Winarni. 

    Seolah seperti sudah mendapat firasat, Winarni sempat melarang anaknya ikut diksar, tapi almarhum tetap berkeras ingin ikut bahkan sempat kesal dengan larangan ibunya,”dia ngambek sama saya. Dia bilang, dia sudah besar jangan dikekang terus, akhirnya terpaksa saya kasih izin”. 

    Berdasarkan penelusuran Lontar.co, di Desa Talangmulya, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran, yang disebut menjadi tempat aksi kekerasan selama Diksar Mahepel berlangsung, menunjukkan jika kawasan yang berada di kaki Gunung Betung dari sisi barat itu merupakan daerah agrowisata. 

    Desa itu memang kerap dikunjungi wisatawan termasuk mahasiswa, beberapa warga yang ditemui mengaku tiap akhir pekan memang ramai pengunjung yang datang ke desa itu. 

    Selain udaranya yang sejuk dan asri, di desa itu juga terdapat air terjun yang menjadi tujuan utama wisatawan. 

    Sejumlah warga yang ditemui mengaku sempat melihat serombongan orang yang datang ke Desa Talangmulya, pada tanggal 10 November 2024. 

    “Sempat lihat ada rombongan orang, kalau dilihat sih memang masih muda-muda umurnya, tapi ada juga yang sudah berumur, tapi kita memang kurang memperhatikan, apalagi kalau Sabtu dan Minggu itu pasti ramai disini,” ujar salah seorang warga setempat. 

    Ketika ditanya terkait adanya peristiwa kekerasan yang dialami peserta diksar, pada periode tanggal 10-14 November 2024, beberapa warga di desa ini juga tidak mengetahui secara pasti,“kalau itu (peristiwa kekerasan) kita kurang tahu. Kita nggak bilang ada atau tidak (kekerasan), karena itu kan urusan pengunjung masing-masing”. 

    Kuasa hukum keluarga Pratama dan lima mahasiswa lainnya, Icen Amaterly memastikan adanya tindakan kekerasan yang melebihi batas dalam pelaksanaan Diksar Mahepel itu. 

    Icen menyebut sudah memiliki sejumlah bukti mulai dari foto korban pascaoperasi, dan foto korban saat mengikuti diksar hingga foto sepulang dari diksar. 

    Unila Lamban 

    Di saat riuh kasus dugaan kekerasan yang dialami oleh almarhum Pratama bersama lima mahasiswa lainnya terjadi, Unila terkesan lamban menangani. 

    Padahal, pihak keluarga sudah melaporkan kasus ini ke pihak Dekanat FEB Unila, termasuk melampirkan sejumlah bukti yang mengarah pada indikasi kekerasan saat diksar dilakukan, mulai dari; rekam medis, pernyataan keluarga hingga bukti percakapan digital para korban. 

    Anehnya, pihak dekanat tak segera mengambil langkah tegas.  

    Lambannya Unila merespon kasus ini yang kemudian memicu ratusan mahasiswa FEB Unila menggelar aksi di gedung Rektorat Unila (28/5/2025). 

    Ratusan mahasiswa itu bahkan menyindir pihak rektorat dengan sejumlah poster, seperti; ‘“Katanya zona akademik tapi tempat aman untuk kekerasan”. 

    Koordinator aksi,  M. Zidan Azzakri menyatakan kekecewaan mereka terhadap dekanat dalam menindaklanjuti aksi kekerasan senior sekaligus aksi solidaritas terhadap almarhum Pratama. 

    “Kampus harus segera mengambil tindakan tegas!”. 

    Setelah ramai dan terus mendapat tekanan, Unila baru merespon, mulai dari membekukan Mahepel hingga melakukan investigasi terhadap indikasi kekerasan yang dialami peserta diksar. 

    Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Unila, Prof. Sunyono mengatakan Unila telah membentuk satgas untuk mencegah terjadinya kekerasan di kegiatan mahasiswa. 

    Lambannya sikap Unila dalam mengambil langkah terhadap aksi kekerasan ini sempat mendapat cibiran dari sejumlah mahasiswa di media sosial. 

    “Sampai ada korban yang meninggal dulu baru kerja. Padahal, seharusnya itu melakukan antisipasi agar tidak terjadi kasus seperti ini. Ini masalah klasik, soal senior dan junior, bohong kalau rektorat nggak tahu”. 

    Mahasiswa lainnya bahkan menyindir Rektorat Unila yang lagi kelimpungan dilanda kasus perjokian dan plagiasi sejumlah guru besar,”harap maklum, lagi pusing mikirin kasus joki”. 

     

    Winarni Wani berusaha tegar. Hari-harinya kini adalah tentang pencarian keadilan untuk anaknya.”Mama sudah ikhlas Udo. Tenang kamu disana ya Nak”. 

    Selamat Jalan Udo Pratama… 



  • Data BPS tahun 2024, menempatkan Lampung sebagai daerah dengan jumlah perokok terbanyak di Indonesia. Segmennya beragam, mulai dari yang tua hingga anak-anak. Parahnya, penyumbang usia terbesar perokok terbanyak di Lampung adalah usia remaja, 15 tahun ke atas. 

    (Lontar.co): Asap rokok pekat memenuhi warung berukuran 2×3 meter itu, sesekali tawa lepas enam orang anak berseragam SMP itu terdengar, bahkan hingga ke jalan.  

    Empat dari enam siswa yang ada di warung itu, terlihat santai menghisap rokok, tak ada gurat ketakutan di wajah mereka, padahal pintu gerbang sekolah tempat mereka belajar, hanya berjarak kurang dari 10 meter, satpam sekolah juga sering terlihat mondar-mandir di tepian jalan, tapi mereka tak peduli. 

    Di tempat lain, di sebuah mall yang bersisian langsung dengan Lapangan Saburai, tiga remaja berseragam sekolah menengah atas, juga santai bersenda gurau sambil asyik menikmati rokok, seorang diantaranya bahkan remaja perempuan yang selalu celingukan melihat ke sekelilingnya, tiap kali akan menghisap vape, sejenis rokok elektrik. 

    Di Lampung, amat lazim melihat remaja-remaja usia sekolah yang dengan santainya menghisap rokok di tempat-tempat umum. 

    Masyarakat cenderung menormalisasi perilaku mereka, tanpa berusaha untuk mengingatkan apalagi menegurnya. 

    Itu belum termasuk di daerah-daerah, di Kabupaten Lampung Tengah misalnya, pemandangan anak yang masih berusia di bawah umur juga sudah terbiasa menghisap rokok, meski masih secara sembunyi-sembunyi, namun untuk menemukan anak usia dini merokok di tempat-tempat umum, ternyata bukan perkara yang sulit. 

    Fakta lain menyebutkan, maraknya peredaran rokok ilegal atau non cukai di Lampung yang merambah hingga wilayah pedesaan dengan harga yang terjangkau membuat kalangan remaja bisa dengan mudah mendapatkan rokok. 

    Harga rokok-rokok ilegal itu bahkan dijual setara dengan uang jajan anak sekolah, rerata sebungkus rokok ilegal dijual paling murah Rp10 ribu, paling mahal hanya kurang dari Rp20 ribu. 

    Rokok-rokok ilegal asal Pulau Jawa yang ‘diselundupkan’ melalui berbagai modus itu menjadi salah satu penyumbang tingginya jumlah perokok di Lampung. 

    Rokok non cukai dijual bebas mulai dari warung kecil hingga toko-toko distributor rokok, tanpa ada pengawasan yang serius dari aparat terkait, 

    Rokok-rokok ilegal ini pula setidaknya masuk melalui dua pintu utama, yakni Pelabuhan Bakauheni dan Pelabuhan Panjang, yang kemudian disebar ke seluruh penjuru wilayah Lampung melalui akses Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS). 

    Metode distribusi dari pabrik ke warung hingga toko dilakukan melalui rantai yang panjang dan rumit.  

    Setiap hari, ratusan ribu slop rokok di kirim dari Pulau Jawa dengan berbagai modus, mulai dari dikamuflasekan dengan buah-buahan, barang klontong 

    Rokok-rokok ilegal sejenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang diselundupkan itu, diangkut dengan kendaraan truk untuk dikirimkan ke tiap distributor. 

    Dari distributor, rokok-rokok yang tak dilengkapi dengan cukai itu kemudian dikirim dengan mobil-mobil sejenis blindvan hingga kurir-kurir sepeda motor ke warung hingga toko di seluruh pelosok. 

    Pertengahan tahun lalu, Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean (TMP) B Bandarlampung saja memusnahkan setidaknya 40 juta batang rokok ilegal yang nilainya ditaksir mencapai Rp48,5 miliar. 

    Tapi, meski upaya pemberantasan terhadap peredaran rokok ilegal masih terus dilakukan, namun para pedagangnya masih dengan leluasa berjualan, terlebih di daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh aparat. 

    Hal ini menjadi sangat relevan jika merujuk pada data BPS yang menyebut Lampung sebagai daerah dengan jumlah perokok aktif terbanyak di Indonesia. 

    Data BPS menyebut sebanyak 33,84 persen penduduk usia 15 tahun ke atas di Lampung menjadi perokok aktif. 

    BPS menyebut, daerah dengan persentase perokok tertinggi di dominasi oleh daerah-daerah pedesaan. Minimnya akses informasi, tekanan sosial hingga faktor ekonomi menjadi pemicunya. 

    Di Lampung, dari total 33,84 persen perokok aktifnya, disumbang oleh daerah-daerah yang masih masuk dalam kategori pelosok, seperti; Lampung Barat dan Pesisir Barat, Way Kanan, Lampung Tengah dan Pesawaran. 

    Kelima daerah ini menjadi penyumbang tertinggi jumlah perokok aktif di Lampung. Di urutan pertama adalah Kabupaten Lampung Barat, sebanyak 30,89 persen penduduk dari total 319 ribu jiwa adalah perokok aktif. 

    Kemudian, di urutan kedua ada Kabupaten Pesisir Barat yang menyumbang sebanyak 29,71 persen perokok aktif dari sebanyak 156 ribu penduduk disana. 

    Selanjutnya, Way Kanan menjadi penyumbang ketiga dengan persentase 25,76 dari total 493 ribu penduduk Way Kanan. 

    Kemudian di posisi keempat dan kelima ada Kabupaten Pesawaran (25,75 persen) dan Lampung Tengah dengan jumlah perokok aktif mencapai 25,66 persen. 

    Tingginya jumlah perokok di Lampung ini bahkan mengalahkan Jawa Barat yang persentase perokok aktifnya mencapai 32,98 persen atau diurutan kedua, dan Bengkulu diurutan ketiga sebanyak 32,96 persen. 

    Stopping Tobacco Organization and Products (STOP) salah satu organisasi global yang concern terhadap fungsi pengawasan industri rokok menyebut industri rokok berupaya menggaet remaja sebagai salah satu target pasar potensialnya. 

    Banyak modus industri rokok demi meluaskan pasar ke segmen milenial hingga anak-anak. 

    Terlebih, banyak industri-industri rokok konvensional yang terdampak akibat maraknya peredaran rokok ilegal yang memengaruhi omzet mereka secara langsung yang menurun drastis. 

    Untuk mengantisipasi anjloknya omzet yang besar itu, banyak industri-industri rokok raksasa yang kemudian membuat berbagai ‘inovasi’ yang tak melulu bergantung pada rokok-rokok sejenis filter dan kretek yang pasarnya terus tergerus oleh rokok-rokok ilegal. 

    Industri rokok raksasa kemudian ‘mengalihkannya’ dengan produk rokok inovasi, seperti rokok elektrik, vape maupun pod. Mereka memanfaatkan media-media sosial yang dianggap efektif untuk menarik minat generasi muda. 

    Setidaknya ada tiga praktik yang dilakukan industri rokok dalam menjerat generasi muda di Indonesia, yakni; merancang produk yang disenangi oleh anak muda; memengaruhi opini publik dengan pesan dan figur yang menyesatkan; dan mencampuri kebijakan yang dapat menurunkan konsumsi rokok dan nikotin di kalangan anak muda. 

    Di modus pertama, merancang produk yang disenangi oleh anak muda, rakrasa industri rokok nampaknya sukses, selain membuat produk seperti vape dan pod dengan menjual nikotin dan TAR cair atau yang dikenal dengan istilah eliquid, mereka juga menciptakan produk-produk turunan seperti permen. 

    Umumnya, produk-produk berbasis nikotin ini dikemas dengan rasa dan aroma manis yang tak hanya disukai generasi muda tapi juga anak-anak yang secara perlahan menimbulkan efek kecanduan, sama halnya seperti rokok pada umumnya. 

    Terlepas dari berbagai ‘siasat’ jahat industri rokok itu, faktanya, rokok menjadi salah satu ancaman serius dari aktivitas perusakan lingkungan yang bahkan tidak disadari oleh pemerintah apalagi para perokoknya. 

    Dalam berbagai temuan yang dikompilasi menunjukkan, selain plastik, sebanyak 4,5 triliun puntung rokok dibuang begitu saja di seluruh dunia tiap tahunnya. 

    Puntung rokok ini bahkan menjadi sampah yang paling banyak di muka serta sampah yang paling sering dibuang ke pantai dan mencemari hingga merusak kehidupan dan biota laut. 

    Selain puntung rokok, limbah-limbah dari rokok elektronik, seperti catridge juga makin memperburuk keadaan, karena semakin menambah banyak limbah-limbah logam dan baterai. 

    Akibat dari limbah-limbah rokok maupun produk turunannya yang dibuang sembarangan ke tanah membuat terjadinya akumulasi bahan kimia beracun sehingga terjadi degradasi tanah. 

     


  • pasir gintung

    Kurang dari setahun pascadiresmikan oleh Jokowi, Pasar Pasir Gintung bukannya semakin ramai tapi justru kian sepi. Ekonomi yang lesu jadi kambing hitamnya, padahal perencanaan pembangunan yang kurang memperhatikan banyak aspek membuat puluhan miliar dana pembangunan pasar, jadi terasa mubazir. 

    (Lontar.co): Sejak subuh tadi, Lastri lebih banyak melamun seperti biasa di lapak sayurannya. Untuk mengusir jenuh, sesekali ia menyambangi lapak lain, sekedar mengobrol, terkadang ia bahkan sampai tertidur. 

    Aktivitas seperti ini sudah ia lakukan sejak berbulan-bulan lalu, terhitung sejak ia pindah ke Pasar Pasir Gintung, yang belum lama diresmikan oleh Jokowi tahun 2024 lalu. 

    Sejak pindah ke pasar ini, dagangannya lebih banyak ia bawa pulang ke rumah karena tak laku, ada juga yang terpaksa ia konsumsi sendiri,”kalau nggak gitu, dagangan pada layu, ruginya dobel-dobel jadinya,” ujarnya. 

    Ia tak mengira, nasibnya bakal seapes ini setelah pindah ke Pasar Modern Pasir Gintung,”nggak penting modern pasarnya, sik penting kuwi enek sing tuku. Ini jangankan ada yang beli, laler wae wegah melebu rene,” sungutnya. 

    Ia bahkan membandingkan masa ketika ia masih berjualan di tepian Jalan Imam Bonjol yang menurutnya jauh lebih laris daripada di Pasar Modern Pasir Gintung. 

    “Masih mending dulu, sebelum dagang disini, saya jualan di pinggir jalan sana, sehari bisa bawa pulang Rp300 ribuan, itu sudah termasuk sepi. Lha disini, bukannya tambah rame, malah nggak ada yang beli,” keluhnya. 

    Memang ia hanya dibebankan uang salar dan kebersihan, tapi yang membuatnya tertarik pindah ke Pasar Modern Pasir Gintung ini adalah, janji pemerintah bahwa seluruh pedagang akan direlokasi ke pasar itu, tapi kenyataannya, malah seperti ini. 

    “Sebenarnya saya sudah pingin pindah dari kemarin-kemarin, tapi mau gimana lagi, mau balik ke pinggir jalan, sudah susah cari tempatnya, tapi kalau terus dagang disini malah nggak jelas kayak gini”. 

    Selain Lastri, Sodikin pedagang lainnya bahkan sudah ancang-ancang mau pindah dari pasar itu ke lapak yang sudah ia sewa di tepian Jalan Pisang yang ada di sisi kiri Pasar Pasir Gintung. 

    “Kita dagang ini mau cari untung, bukannya mau rugi. Kalau sepi terus seperti ini, ngapain maksa tetap jualan disini,” katanya kesal. 

    Sebagian besar pedagang yang sudah terlanjur pindah ke Pasar Modern Pasir Gintung juga mengeluhkan hal yang sama. 

    Menurut mereka, modal yang sudah terlalu besar mereka keluarkan setiap harinya tak sebanding dengan penghasilan yang mereka peroleh. 

    “Masak sehari yang beli cuma satu dua orang, ini pasar apa kuburan?,” tutur pedagang lainnya. 

    Bahkan, hari raya Idul Fitri beberapa bulan lalu yang diharapkan bisa membantu menambal kerugian para pedagang, hasilnya juga tak memadai. 

    Pedagang-pedagang ikan yang semula direlokasi ke pasar ini pun ramai-ramai pindah ke lapak semula di sekitar Jalan Pisang. 

    Demikian pula kebanyakan pedagang sayuran dan buah-buahan, yang sempat beberapa bulan menjajal peruntungan di Pasar Modern Pasir Gintung,”sebulan coba dagang disana, terasa benar sepinya, langsung pindah lagi kesini,” kata Siti yang kini kembali berjualan di tepian Jalan Imam Bonjol. 

    “Bayar salar Rp20 ribu sehari, yang beli cuma satu orang itu juga cuma beli ala kadarnya, bukannya untung malah nombok”. 

    Pasar Modern Pasir Gintung dibangun di atas lahan 2.201 meter dengan total luas bangunan mencapai 3.366 meter. 

    Terdapat sebanyak 349 unit kios yang terdiri dari 275 los kering, 55 los basah dan 19 kios kecil. 

    Pasar yang proses pembangunannya memakan waktu selama tujuh bulan, terhitung mulai dari Desember 2023 hingga Juli 2024 itu, menghabiskan anggaran hingga Rp38 miliar lebih, yang pendanaannya bersumber dari APBN. 

    “Ini bukan uang yang kecil,” kata Jokowi saat meresmikan Pasar Modern Pasir Gintung. 

    Sebelumnya, dalam proses relokasi yang berlangsung September 2023 lalu, sebanyak 350 pedagang tak memberi reaksi apapun, karena Pemkot Bandarlampung seolah membuai mereka dengan rencana-rencana yang dianggap bisa membuat pedagang lebih sejahtera. 

    “Apalagi waktu itu katanya pasar ini mau diresmiin Pak Jokowi langsung, terus semua pedagang wajib pindah ke sini, jadi pedagang pada yakin kalau pasar yang bakal dibangun bakal banyak pembelinya, tapi kenyataannya malah seperti ini,” kata Lastri lagi. 

    Kini, sebagian besar pedagang yang sempat direlokasi ke Pasar Smep kemudian pascarevitalisasi dipindahkan ke Pasar Modern Pasir Gintung, justru kembali lagi berjualan di bahu Jalan Imam Bonjol dan Jalan Pisang. 

    pasir gintung
    Sebagian besar pedagang yang sempat berjualan di Pasar Modern Pasir Gintung kembali berjualan di bahu jalan. Foto: Meza Swastika

    Posko pemantauan yang dijanjikan akan dibuat untuk mengantisipasi agar pedagang tak kembali berjualan di bahu jalan pun tak ada sama sekali. 

    Alhasil, ketimpangan pun terjadi. Pedagang yang masih bertahan di Pasar Modern Pasir Gintung tak pernah merasakan kehadiran pembeli, sementara pedagang yang kembali berjualan di bahu jalan lebih diminati oleh pembeli. 

    Di pagi hari, ruas Jalan Imam Bonjol yang dipenuhi oleh pedagang di sisi kanan dan kiri jalan juga menjadi salah satu penyebab kemacetan panjang yang selalu terjadi. 

    Alasan pemerintah yang menyebut situasi perekonomian yang tengah lesu, jelas ditampik oleh Lastri. 

    “Sekarang kalau katanya ekonomi lagi lesu, lah terus itu orang-orang yang datang tiap pagi di pinggir jalan itu mau ngapain? Nongkrong?, kan nggak. Mereka itu pembeli yang memang setiap hari belanja di sana. Jadi, kalau alasan Pasar Modern Pasir Gintung ini sepi karena ekonomi lagi lesu itu nggak masuk akal banget. Sekarang gini lho mas, yang dijual di Pasar Gintung ini kan kebutuhan pokok, lah masak orang nggak ada yang makan, kalaupun ekonomi lagi lesu, yang namanya manusia ya tetep butuh makan tho!”. 

    Pendapat Lastri memang tak sepenuhnya salah, di tengah perekonomian yang tengah mengalami perlambatan seperti saat ini, daya beli memang cenderung menurun. Namun, urusan pangan mutlak menjadi kebutuhan utama, terlepas dari ekonomi yang sedang lesu. 

    Jika merujuk pada data BPS Lampung, terjadi pertumbuhan inflasi di Provinsi Lampung hingga 2,2 persen pada Mei 2025. 

    Naiknya inflasi ini berdasarkan indeks harga konsumen di bulan yang sama pada tahun 2025 dan indeks harga konsumen tahun 2024. 

    Namun, menurut BPS, jika dibandingkan pada bulan April 2025, inflasi di bulan Mei jauh lebih rendah. 

    Kelompok makanan dan minuman menyumbang inflasi tertinggi bulan Mei 2025. Selanjutnya, beras dan emas juga ikut menyumbang inflasi hingga 0,33 persen. 

    Sedangkan jenis komoditas penyumbang deflasi di Lampung, masih di dominasi oleh kelompok sayuran (bawang merah dan tomat) serta telur dan daging ayam. 

    Namun jika diakumulasi secara keseluruhan, Lampung mengalami deflasi sebesar 0,58 persen di Mei 2025 ini. 

    Deflasi yang terjadi di Lampung juga turut andil menyumbang angka deflasi nasional pada bulan Mei 2025 yang mencapai 0,37 persen. 

    Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam keterangan persnya membantah jika deflasi yang terjadi saat ini menjadi pemicu melemahnya daya beli. 

    Sri Mulyani beralasan, deflasi terjadi karena pemerintah mengatur distribusi harga komoditas dan jasa  agar lebih stabil termasuk diskon layanan transportasi,”jadi bukan karena daya beli menurun,” kata Sri Mulyani di Istana Kepresidenan (2/6/2025). 

    Intervensi pemerintah dalam mengatur harga komoditas juga bakal memicu deflasi, apalagi sejumlah harga bahan pokok cenderung fluktuatif. 

    Secara karakter, terjadinya deflasi dan inflasi terhadap sejumlah bahan pokok di Lampung memiliki kesamaan secara indeks nasional. 

    Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini bahkan menyebut inflasi Mei 2025 punya kecenderungan lebih dalam dibanding bulan yang sama tahun 2024. 

    Faktanya, selain ekonomi yang lesu, yang disebut memicu rendahnya daya beli masyarakat hingga berimbas ke sepinya pembeli di Pasar Modern Pasir Gintung, ada hal lain yang selama ini luput menjadi kajian Pemkot Bandarlampung. 

    Dalam hal perencanaan revitalisasi pasar, pemerintah kota cenderung mubazir, lihat saja Pasar Bambu Kuning dan Pasar SMEP. Dua pasar ini sudah direvitalisasi semodern mungkin namun tetap saja tak diminati pedagang, pembeli pun enggan berbelanja disana. 

    Pedagang hanya mampu bertahan hitungan bulan pascarevitalisasi, selebihnya, mereka kembali ke ‘habitat’ semula, berjualan di bahu-bahu jalan. 

    Dan, Pemkot Bandarlampung terus mengulang kesalahan yang sama. Ada kesan, proses revitalisasi pasar dilakukan semaunya saja, dan satu hal yang unik adalah, proses revitalisasi justru dilakukan mendekati tahun-tahun politik, seperti pilkada dan pemilu. 

    Tak hanya itu, Pemkot Bandarlampung juga dianggap gagal membangun citranya sebagai regulator yang idealnya mengawasi proses terhadap apa yang sudah mereka bangun. 

    Dalam kasus Pasar Modern Pasir Gintung yang sepi ini, sebelumnya pemkot melalui Wakil Walikota Bandarlampung, Dedi Amrullah berjanji akan membangun posko pengawasan untuk mengantisipasi pedagang yang kembali berjualan di bahu jalan, kenyataannya posko itu tidak ada sekali, upaya penertiban terhadap pedagang yang bandel pun nihil. Akibatnya, pedagang kembali leluasa berjualan di bahu-bahu jalan. 

    Revitalisasi pasar pada prinsipnya tak melulu tentang membangun gedung baru dan kemudian diberi embel-embel modern, tapi juga harus mampu melibatkan kebutuhan pedagang hingga mampu menarik minat pembeli untuk datang berbelanja di pasar itu. 

    Metode revitalisasi pasar harus diubah mulai dari sekarang, pendekatan holistik hingga kebijakan yang berbasis kebutuhan yang muncul dari pedagang dan pembeli harus mulai jadi pertimbangan utama. Hal ini agar revitalisasi pasar dilakukan berdasarkan kebutuhan instrumen pasar, yakni; pedagang dan pembeli, dan bukan justru dijadikan sebagai prasasti oleh pemimpinnya. 

     


  • intoleransi

    Setara Institute kembali merilis daftar 10 kota paling intoleran di Indonesia, salah satunya ada Bandarlampung diurutan ke-6. Setidaknya ada tiga kasus paling menonjol, selain tak berpihaknya kebijakan pemerintah kota terhadap warga. 

    (Lontar.co): Hari itu, Minggu (19/2/2023) pukul 9.30, sinar mentari pagi sedang terang-terangnya, beberapa jemaat Gereja Kristen Kemah Daud yang masih di teras, bergegas masuk untuk mengikuti ibadah raya, seperti biasa. 

    Saat jemaat tengah khidmat mengikuti prosesi, tiba-tiba dari arah luar jalan, terdengar suara gaduh sejumlah orang yang melompat pagar dan merangsek masuk ke dalam gereja. 

    Seketika suasana menjadi riuh, sekelompok orang yang merangsek masuk berusaha membubarkan jemaat. Suara teriakan dan kepanikan terdengar, sebagian jemaat yang kebanyakan perempuan, berlari keluar gedung. 

    Sihombing salah satu jemaat kala itu sempat berusaha menenangkan sekelompok orang itu, tapi tak berhasil,”mereka terus masuk,” ujarnya. 

    Peristiwa ini sempat menjadi sorotan nasional, apalagi menjelang tahun-tahun politik. Banyak yang mengecam. Pemerintah daerah dianggap gagal membina kerukunan umat beragama, apalagi pelakunya justru aparat pemerintah. 

    Kenangan buruk pembubaran ibadah jemaat GKKD itu memang masih membekas dan menyisakan trauma, tapi mereka berusaha melupakannya,”kita jadikan pelajaran dan pengalaman saja, toh sekarang sudah damai, kita bisa beribadah seperti biasa,” ujar salah seorang jemaat. 

     

    Hanya selisih dua minggu, sebelum peristiwa pelarangan ibadah GKKD di Rajabasa, jemaat Gereja Protestan Injili Nusantara (GPIN) Filadelfia di Tanjungsenang juga mengalami hal serupa, Minggu (5/2/2023). 

    Tapi, pelarangan ibadah ini nyaris tenggelam apalagi setelahnya kasus yang dialami jemaat GKKD di Rajabasa spektrumnya jauh lebih luas. 

    Pimpinan GPIN Filadelfia Tanjungsenang, Pdt Mardi menyebut setidaknya sudah tiga kali terjadi pelarangan ibadah sepanjang tahun 2020 hingga 2023. 

    Alasannya, tempat pastori itu belum memiliki izin dan persetujuan warga sebagai tempat ibadah.  Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri menjadi dalih warga melarang jemaat GPIN menggelar ibadah. 

    Dalam aturan PBM disebut, pembangunan rumah ibadah harus mendapat persetujuan paling sedikit 60 orang dan telah mendapat rekomendasi secara tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). 

    Saat itu, ada 20 orang warga yang mendatangi jemaat yang hendak beribadah. Pdt Mardi terpaksa menghentikan ibadah raya dan membuat pernyataan penghentian ibadah. 

     

    Setahun sebelumnya, selepas subuh 7 Juni 2022, polisi menangkap pimpinan Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Baraja di kantor pusat Khilafatul Muslimin, Jalan WR Supratman, Bumiwaras. 

    Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BPNT) menyebut Khilafatul Muslimin adalah kelompok radikal yang berdiri sejak 1997 yang cenderung mengarah pada tindakan-tindakan intoleransi. 

    Sedangkan pemimpinnya, Abdul Qadir Baraja adalah mantan napi terorisme yang juga pernah terafiliasi dengan Negara Islam Indonesia (NII). 

    Baraja pernah ditahan pada 1979 karena terhubung dengan kelompok Warman yang diklasifikasikan sebagai gerakan pengacau keamanan (GPK). 

    Kemudian, tahun 1985, Baraja kembali ditahan karena terkait kasus bom Borobudur dan Jawa Timur. 

    Organisasi Khilafatul Muslimin dianggap radikal karena ideologi khilafah yang bertentangan dengan Pancasila. 

     

    Dua kasus intoleran dan satu sebaran bibit radikal di Bandarlampung itu, bisa jadi menjadi dasar Setara Institute menempatkan kota ini diurutan ke-6 kota paling intoleran di Indonesia. 

    Sejak tahun 2023, Kota Bandarlampung ‘konsisten’ masuk dalam daftar kota paling intoleran di Indonesia versi Setara Institute. 

    Tahun 2023, Bandarlampung berada di peringkat ke-9, sebagai kota paling intoleran, dengan skor toleransi 4,45. 

    Kemudian, tahun 2024, peringkatnya naik di urutan ke-6, meski secara skor mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, 4,35. 

    Setara menggunakan setidaknya 8 variabel yang dijadikan indikator indeks kota toleran, yang meliputi; Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), kebijakan pemerintah kota, peristiwa intoleransi, dinamika masyarakat sipil, pernyataan publik pemerintah kota, tindakan nyata pemerintah kota, heterogenitas agama, dan inklusi sosial keagamaan. 

    Setara juga mengkompilasi data dari BPS, Komnas Perempuan, data Setara Institute, dan merujuk pada sejumlah media yang dianggap kredibel. 

    Selain itu, teknik pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner self-assessment kepada seluruh pemerintah kota yang melibatkan sebanyak 94 kabupaten/kota sebagai obyek kajiannya. 

    Visi-visi toleransi melalui kebijakan dalam pembangunan juga menjadi bahan telaah Setara, termasuk kinerja pemerintahnya yang dianggap tak kunjung memberi inovasi sebagai upaya toleransi. 

    Meski, ruang komunikasi antaragama sudah terbangun dengan baik di Kota Bandarlampung, namun acap kali kebijakan pemerintah kota kerap tak sinkron. 

    Yang terbaru adalah pembangunan Tugu Pagoda di Telukbetung yang mendapat reaksi dari masyarakat kota, namun ditanggapi dingin oleh Pemkot Bandarlampung hingga berujung pada upaya gugatan citizen law suit. 

    Gugatan ini mempersoalkan pembangunan Tugu Pagoda yang dibuat di atas fasilitas umum, yang dinilai melanggar hukum sesuai aturan bahwa tidak ada satupun pihak atau golongan yang berhak membangun di atas fasilitas umum yang menjadi akses semua orang. 

    “Indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusianya kuat sekali,” kata kuasa hukum warga, Gunawan Pharikesit. 

    Warga juga menuntut agar tugu itu diganti menjadi Tugu Krakatau, sebagai simbol sejarah letusan Gunung Krakatau yang gelombang tsunaminya bahkan menenggelamkan sebagian besar wilayah Telukbetung. 

    Warga melalui Aliansi Masyarakat Peduli Bandar Lampung (AMPBL) sudah berusaha berkoordinasi dengan Pemkot Bandarlampung tapi hasilnya nihil,”jalan terakhirnya adalah mencari keadilan di citizen law suit ini,” kata Gunawan lagi. 

    Seorang warga keturunan yang tinggal dan memiliki toko tak jauh dari lokasi pembangunan Tugu Pagoda juga mendukung upaya gugatan citizen law suit itu, menurutnya amat riskan membangun sesuatu apalagi tugu berukuran besar di persimpangan jalan yang amat padat. 

    “Itu lokasi yang padat lalu lintasnya, karena jadi persimpangan antara Jalan Ikan Hiu dan Ikan Bawal. Bahwa Telukbetung identik dengan kawasan pecinan itu betul, tapi tak juga harus membangun tugu pagoda,” katanya. 

    Apalagi, banyak simbol-simbol penanda kampung pecinan yang sudah ada di Telukbetung sejak lama, seperti Vihara Thay Hin Bio.”Justru kalau ada tugu itu, ikon pecinan yang selama ini melekat di Vihara Thay Hin Bio jadi bias”. 

    Idealnya, kebijakan pembangunan pemerintah memang berdasarkan kebutuhan warga kotanya, bukan ego sentris pemimpinnya. 

    Apalagi, kebanyakan masyarakat yang tinggal di kampung pecinan Telukbetung lebih menginginkan suasana yang tentram, damai dan tak gaduh,”kita yang hidupnya dari usaha tentu butuh suasana yang damai”. 

    Tapi, tak ada sanggahan apalagi evaluasi apapun dari Pemkot Bandarlampung ditengah sorotan intoleransi itu.  

    Maka, akan sangat mungkin Bandarlampung akan kembali ada di peringkat teratas daftar kota paling intoleran di Indonesia tahun 2025.