Tag: driver ojol


  • Driver ojek online (Ojol) di Bandar Lampung berada dalam situasi yang sulit. Mereka tak bisa memilih. Harga kebutuhan hidup yang terus naik, hingga aturan aplikator yang merugikan membuat mereka harus menerima konsekuensinya. Keruwetan kompleksitas itu, masih pula berbaur dengan permasalahan di jalanan, mulai dari orderan yang sulit hingga seringnya mendapat orderan fiktif. 

    Bandar Lampung (Lontar.co)–Sudah hampir sejam lebih, Maryono bersama driver ojol lainnya masih duduk terpaku di bawah flyover Jalan Pangeran Antasari, Bandar Lampung, sesekali ia mengamati layar ponselnya yang retak disana-sini, tapi orderan tetap nihil. 

    Padahal, hari sudah mulai beranjak siang. Tapi sejak pagi, ia baru dapat satu orderan, itu pun tarifnya kecil. 

    Perutnya perih menahan lapar, karena sejak semalam ia terpaksa mengalah dengan istri dan kedua anaknya. 

    Indikator bahan bakar di sepeda motornya pun sudah mulai berkedip, sementara uang yang ia peroleh bahkan tak cukup untuk sekeda membeli makan untuk dirinya. 

    Ia tak tahu lagi harus bagaimana. 

    “Sudah sebulan lebih seperti ini, kalau nggak ngebid gimana mau dapat uang. Sudah dipaksain ngalong tetap aja anyep,” keluhnya. 

    Ia bahkan mengesampingkan resiko keselamatan dirinya dengan tetap memaksakan diri mencari orderan bahkan hingga dini hari. 

    “Lebih baik ngadepin begal daripada liat anak istri nggak makan,” katanya tak peduli. 

    Minimnya orderan ini, memang berbanding lurus dengan berbagai kebutuhan keluarga yang harus ia penuhi, apalagi kedua anaknya masih kecil. 

    “Kemarin angsuran motor sudah nunggak sebulan. Gambaran uang untuk bayar kontrakan rumah juga belum ada,” imbuhnya. 

    Belum lagi, setiap hari ia juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan rumahnya,”sekarang, apa-apa pada naik, nggak sesuai dengan hasil dari ojol. Perabotan rumah sudah banyak yang dijual untuk nutupin kebutuhan”. 

    Ia mengaku rata-rata sehari, saat ini hanya bisa membawa uang tak lebih dari Rp80 ribu, itupun sudah termasuk untuk membeli bahan bakar,”kadang bisa dua kali ngisi pertalite, karena keliling nyeser cari orderan”. 

    Penghasilan yang ia peroleh itu juga tak sebanding dengan potongan biaya aplikasi hingga 20 persen tiap kali memperoleh orderan,”potongannya aja sudah besar banget, jadi walaupun orderan banyak, tetap aja harus top up saldo,” ujarnya lagi. 

    Sama halnya dengan Maryono, Fadli driver ojol lainnya juga, meski memiliki dua akun aplikasi ojek online tak lantas membuat penghasilannya melimpah. 

    Akun Gojek dan  Grab miliknya, tak mampu mendongkrak pendapatannya sama sekali. 

    “Kalau Grab sekarang di Lampung sudah sulit dapat orderan, kecuali ada promo. Sedangkan Gojek, sekarang mitranya dipaksa untuk ikut skema slot dan aceng. Sistem slot dan aceng ini jelas merugikan kami, karena tarif sudah ditetapkan Rp5 ribu-7 ribu perorderan, tanpa mempertimbangkan jarak pengantaran dan waktu menjalani orderannya,” kata Fadli.  

    Karenanya, Fadli dan sejumlah driver ojol lainnya menolak untuk ikut skema slot dan aceng yang mereka anggap merugikan mitra itu. 

    “Meski ikut di skema slot dan aceng, kenyataannya tak membuat mitra bisa dapat penghasilan yang besar, karena potongan aplikasi dan bahan bakar yang harus kami beli juga lebih besar, karenanya kami memilih tetap menjadi mitra reguler meskipun harus sepi orderan seperti sekarang ini,” jelasnya. 

    Aplikator, lanjutnya, sudah bersikap tidak fair terhadap mitra. Mitra hanya dijadikan sapi perahan dengan berbagai aturan yang rumit hingga potongan biaya aplikasi yang besar. 

    “Motor punya kami. Kami juga yang membeli bahan bakar dan biaya servis, sedangkan aplikator semaunya saja menerapkan aturan yang merugikan kami”. 

    Setali tiga uang dengan driver ojol aplikasi Maxim, meski kerap dianggap menjadi biang kerok dari tarif murah angkutan online saat ini, namun tak lantas membuat driver Maxim panen orderan. 

    Kenyataannya, banyak juga driver Maxim yang juga mengeluhkan minimnya orderan karena sejumlah faktor. 

    Rusli, salah seorang driver Maxim menyebut skema pembagian order di Maxim saat ini sudah berubah.  

    Aplikator menerapkan mekanisme driver terdekat, bukan lagi memberlakukan pembagian order berdasarkan rating driver. 

    Akibatnya, banyak driver prioritas yang memiliki rating bagus harus bersaing dengan mitra baru maupun mitra lain yang ratingnya rendah. 

    “Sekarang ini harus rebutan orderan, banyak juga driver yang akhirnya memilih ngetem di permukiman untuk mencari orderan,” tuturnya. 

    Tak hanya itu saja, saat ini tarif Maxim Car juga relatif murah, dengan biaya perjalanan mulai dari Rp12 ribu, akibatnya banyak calon penumpang yang lebih memilih Maxim Car daripada Maxim Bike. 

    “Kita dipaksa bersaing dengan mitra roda empat, kalau sudah begini, penumpang jelas memilih mobil daripada sepeda motor,” keluhnya. 

    Kompleksitas permasalahan para mitra di lapangan itu, kian lengkap dengan masih maraknya orderan fiktif yang merugikan mereka. 

    Soal orderan fiktif ini, mitra Gojek dan Grab jauh lebih beruntung, karena kerugian mereka bisa diganti oleh aplikator, sedangkan Maxim tidak. 

    Banyak mitra Maxim yang sudah merasakan pahitnya mendapat orderan fiktif. 

    “Saya pernah dapat orderan fiktif, lebih dari Rp100 ribu, padahal itu uang hasil pendapatan saya hari itu, sudah ngadu ke Maxim tapi nggak ada tanggapan, akhirnya cuma ngelus dada,” kenang Rusli. 

    Tanggal 20 Mei kemarin, driver ojol dari hampir seluruh aplikasi melakukan aksi offbid massal, termasuk di Lampung. Mereka menuntut agar aplikasi menurunkan potongan komisi dari 20 persen menjadi 10 persen. 

    Ketua Asosiasi Driver Online (ADO) Lampung, Syufriadi menyebut perlu adanya penetapan tarif bersih yang diterima oleh driver ojol. Hal ini karena banyaknya layanan di aplikasi transportasi online yang menerapkan promo tapi membebankan mitra. 

    “Mitra dipaksa kerja keras dengan pendapatan yang minim, sementara aplikator tetap memperoleh keuntungan dari potongan komisi yang besar,” kata Syufriadi. 

    Pendapatan Driver Ojol yang Terus Menurun 

    Berdasarkan hasil survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menyebut pendapatan driver ojol terus menurun dari tahun ke tahun, terhitung sejak tahun 2018 lalu. 

    Tahun 2018-2019 lalu atau sebelum pandemi, rata-rata pendapatan harian driver ojol adalah Rp304 ribu/hari. 

    Kemudian, saat pandemi berlangsung (2020-2021), pendapatan driver ojol turun drastis menjadi hanya Rp100 ribu/hari. 

    Pascapandemi (2022-2023) pendapatan driver ojol sempat naik meski tak signifikan, menjadi hanya Rp174 ribu/hari. 

    Kerja Puluhan Jam Sehari 

    Yang lebih memprihatinkan lagi, untuk meraih pendapatan yang kecil itu, IDEAS menyebut, para driver ojol harus bekerja setidaknya 11 jam dalam sehari, dengan rerata pesanan yang mereka layani sebanyak 10 orderan perhari.