Lampung pernah memiliki sejarah kelam perihal keracunan di program makan gratis dari pemerintah, sejak era Presiden Soeharto melalui PMT-AS hingga MBG. Di PMT-AS bahkan ada dua murid SD yang menjadi korban jiwa.
(Lontar.co): Seketika Basri langsung meloncat dari dipannya saat mendengar suara motor berhenti di depan rumahnya. Ia hapal betul suara motor dinas Honda Win milik RSUD Ryacudu itu.
Ia segera menyambar baju dari lemari, dan bergegas ke ruang tamu, ada rekannya yang sudah menunggu, dan memintanya segera ke rumah sakit, darurat!
Sopir ambulans RSUD Ryacudu itu memang amat bisa diandalkan untuk berbagai situasi. Kala itu, di tahun 1997, masih belum banyak sopir ambulans seperti dirinya, jumlah unit kendaraan ambulans juga masih terbatas.
“Saya diminta segera bawa ambulans ke Ogan Lima (Abung Barat),” tutur Basri mengenang.
Di atas motor menuju rumah sakit, ia baru diberitahu, ada 198 anak keracunan makanan, dua diantaranya kritis–belakangan dua korban kritis ini dinyatakan meninggal dunia, yang harus segera dirujuk ke rumah sakit.
Hampir tak berjeda, ketika musibah itu terjadi, setidaknya, ia harus tiga kali pulang pergi, mengantar dan menjemput murid-murid salah satu sekolah dasar negeri di Desa Sabuk Indah, Abung Barat, yang keracunan seusai menyantap bubur kacang hijau di program Pemberian Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah (PMT-AS).
“Ada yang dibawa dengan mobil pribadi, saya lupa jumlahnya, tapi banyak sekali,” kenang Basri.
Keterbatasan alat medis dan tenaga kesehatan pada masa itu, memang memaksa Puskesmas Abung Barat pada akhirnya harus merujuk ratusan siswa ke rumah sakit daerah, penanganan yang dilakukan oleh puskesmas kala itu memang benar-benar amat terbatas pada situasi kedaruratan yang serba minim.
Basri menyebut suasana kala itu terasa begitu genting. Sepanjang karirnya bertugas sebagai sopir ambulans di RSUD Ryacudu, momen ini adalah situasi yang paling menegangkan.
Horor itu bermula, ketika sekitar pukul 9.00 pagi, tanggal 11 April 1997, murid-murid SDN Sabuk Indah mendapat jatah program Pemberian Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah (PMT-AS), tak ada menu apalagi nasi, karena waktu itu, yang diberikan hanya bubur kacang hijau.
Belum lama setelah menyantap bubur kacang hijau, sejumlah murid mulai bereaksi. Mereka mulai merasakan pusing, muntah-muntah hingga buang air besar yang intens.
Sampai sore hari, jumlah murid yang keracunan terus bertambah, dari belasan, jadi puluhan, hingga akhirnya total ada 198 murid mengalami keracunan.
Pasca perawatan, beberapa diperbolehkan pulang, sementara puluhan lainnya dirawat di rumah sakit, dan dua murid diantaranya dinyatakan meninggal dunia.
Kasus ini menjadi perhatian nasional, bahkan Presiden Soeharto sampai memberi atensi secara khusus, seusai mendapat laporan dari Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memet dan Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas, Ginandjar Kartasasmita, di kantor kepresidenan Bina Graha, Presiden Soeharto secara khusus mengeluarkan himbauan dan keprihatinan, ia juga meminta agar masyarakat berhati-hati saat menyiapkan makanan tambahan di program PMT-AS.
Supraptini dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, dalam jurnal kesehatan yang ia buat tahun 2002, berjudul ‘Kejadian Keracunan Makanan dan Penyebabnya di Indonesia Tahun 1995 – 2000 (Case of Food Poisoning and their cause in Indonesia 1995 – 2000) secara rinci menyebut berdasarkan hasil pemeriksaan sisa makanan bubur kacang hijau, diidentifikasi penyebabnya adalah bakteri E.coli pathogen dan Staphylococcus.
Kedua bakteri itu, diketahui tumbuh dan berkembang biak secara masif dalam bubur kacang hijau tersebut. Makin lama makanan tersimpan dalam suhu ruang, maka makin banyak toksin yang dihasilkan.
Hasil penelitian Supraptini ini juga dikuatkan dengan hasil penyelidikan pemerintah melalui aparat kepolisian yang menyebut, bubur kacang hijau yang menjadi penyebab keracunan itu sudah dibuat sejak hari Kamis tanggal 10 April 1997 sekitar pukul 15.00 sore, dan baru dibagikan kepada murid keesokan harinya, ada jeda waktu hingga 19 jam lebih, sebelum dibagikan kepada murid.
Dalam penelitiannya, Supraptini menyebut toksin dari Staphylococcus memiliki karakteristik tahan terhadap suhu yang panas sampai air untuk memasak benar-benar mendidih yang kemudian disimpan dalam suhu ruang dengan durasi penyimpanan yang amat panjang, hingga 19 jam!.
Padahal, berdasarkan karakteristiknya, bakteri Staphylococcus memiliki tingkat toksifikasi yang tinggi yang dalam kondisi serius seperti keracunan darah (sepsis), pneumonia, dan endokarditis (infeksi katup jantung) bisa menyebabkan kematian.
Meski dalam jurnal kesehatan itu, Supraptini tak spesifik menyebut varian atau jenis (strain) bakteri Staphylococcus yang ditemukan di dalam bubur kacang hijau itu, namun makanan yang terkontaminasi bakteri jenis ini bisa dipastikan berpotensi memicu keracunan makanan.
Demikian pula dengan bakteri E. coli patogen, strain Escherichia coli tertentu yang berbahaya dan dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Strain patogen ini memiliki faktor virulensi khusus, seperti kemampuan memproduksi toksin (racun) yang menyebabkan gejala seperti diare, sakit perut, mual, demam, dan dalam kasus parah berpotensi memicu kerusakan ginjal.
Saat musibah keracunan itu terjadi, pemerintah memang langsung bertindak dengan cepat, toko-toko penyedia bahan bubur kacang hijau bahkan harus ditutup untuk sementara waktu.
Tak hanya itu saja, ibu-ibu yang terlibat langsung proses pembuatan bubur kacang hijau yang menjadi penyebab keracunan juga turut diamankan.
Sebenarnya, kasus keracunan di Lampung bukan satu-satunya peristiwa, saat program PMT-AS digelar, sejumlah daerah di Indonesia juga mengalami kasus keracunan dengan jenis makanan yang sama, yakni; bubur kacang hijau, namun kasus keracunan yang sampai merenggut korban jiwa hanya terjadi di Lampung.
Meski keracunan menimbulkan gejolak dimana-mana, namun pemerintah melalui Menteri Perencanaan Pembangunan, Ginandjar Kartasasmita menegaskan program PMT-AS tetap dilanjutkan, apalagi kala itu hegemoni orde baru sangat mendominasi semua lini, termasuk media massa yang bisa dikendalikan oleh pemerintah sehingga informasi keracunan ini tak terlalu menyebar luas.
Kasus keracunan PMT-AS di Lampung Utara juga mulai jadi bahan evaluasi serius pemerintahan Soeharto.
Sebagai program lintas sektoral yang melibatkan berbagai kementerian itu, PMT-AS memang dirancang untuk proyeksi jangka panjang.
PMT-AS mulai dilakukan uji coba pada tahun 1990, program ini menjadi terobosan penting Presiden Soeharto untuk mengatasi masalah pangan dan gizi pada paruh kedua tahun 1990.
Sama seperti MBG, program ini juga menelan anggaran yang sangat besar kala itu, sedikitnya Rp62,8 miliar uang APBN dialokasikan untuk program ini, demi mencapai target penerima manfaat PMT-AS.
Sasaran program meliputi sebanyak 4,2 juta anak Indonesia dari 27.773 Sekolah Dasar (SD).
Meski pada akhirnya, di tahun 1998, krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia membuat program ini harus dihentikan untuk efisiensi dan hampir sejalan dengan tumbangnya Soeharto, penguasa rezim orde baru.
Hampir tiga dasawarsa kemudian, kasus keracunan pada program makanan gratis dari pemerintah kembali terulang di Lampung. Di Indonesia, kasus keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi yang tertinggi.
Data Satgas MBG, sampai dengan September 2025, terjadi sebanyak 572 kasus keracunan yang dialami siswa, rinciannya; Tanggamus: 14 siswa, Lampung Timur: 27 siswa, Bandar Lampung: 503 siswa, Lampung Utara: 16 siswa, dan Metro: 12 siswa.
Sedangkan data versi LBH Bandar Lampung, jumlah kasus keracunan MBG di Lampung jauh lebih banyak dibanding data Satgas MBG, ada sebanyak 689 kasus keracunan siswa di program MBG di Lampung, rinciannya; Bandar Lampung: 503 kasus, Lampung Timur: 82 kasus, Lampung Utara: 67 kasus, Tanggamus: 18 kasus, Metro: 12 kasus dan Tulang Bawang Barat: 7 kasus.
Dari kasus-kasus keracunan itu, Kota Bandar Lampung menjadi daerah dengan jumlah kasus keracunan terbanyak, salah satu kasusnya yang terjadi di wilayah Sukabumi, berdasarkan hasil identifikasi Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung mengarah pada indikasi makanan yang diberikan kepada siswa mengandung bakteri E. coli patogen, sama seperti yang diidentifikasi di kasus keracunan PMT-AS yang terjadi di Desa Sabuk Indah, Lampung Utara.







