Tingginya permintaan harian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis, memicu naiknya harga bahan pokok di sejumlah pasar. Masyarakat dan pedagang tradisional mengeluh.
(Lontar.co): Meski sudah menunggu sejak pagi, Erni hanya mampu membeli sekilo telur dan 5 kilogram beras di pasar murah yang digelar di Kantor Kecamatan Bumi Waras itu.
Banyak bahan pokok yang sudah habis diserbu pembeli di pasar murah, sejak pagi hari.
“Di sini harga telurnya murah, cuma Rp22 ribu sekilo, kalau di pasar sudah Rp28 ribu sekilo, tapi nggak bisa dapat banyak karena belinya rebutan,” kata warga Kelurahan Sukaraja ini.
Sejak harga sejumlah bahan pokok melambung di pasar, Erni memang sudah amat jarang ke pasar,”beli beras juga cuma seliter dua liter di warung, karena harganya mahal”.
Di sejumlah pasar di Bandarlampung, fluktuasi harga bahan pokok cenderung mengarah pada tren harga yang terus menaik.
Harga beras, telur dan minyak goreng misalnya, tiga komoditas bahan pangan utama ini menjadi barang konsumsi yang harganya selalu saja terkerek naik, sementara stoknya sedikit.
Eko, pedagang sembako di Pasar Gintung pun mengakui hal itu, menurutnya fluktuasi harga memang kerap kali terjadi, terhitung sejak program Makan Bergizi Gratis (MBG) dimulai.
Bukan cuma harga yang dikeluhkan pembeli, untuk pedagang kecil seperti dirinya, ketersediaan stok juga kerap kali tak pasti.
“Suplainya banyak lari ke dapur MBG semua, kita yang jual eceran cuma kebagian dikit, kadang ada, kadang nggak,” akunya.
Di saat stok terus menipis, harga bahan-bahan pangan itu makin merangkak naik, padahal daya beli juga belum membaik.
Harga telur misalnya, yang beberapa hari sebelumnya masih dijual Rp27 ribu per kilo, kini sudah naik hingga Rp29 ribu per kilo, harga ini berlaku setidaknya di tiga pasar yang ada di Kota Bandarlampung; Pasar Gintung, Pasar Tamin dan Pasar Tugu.
Kepada wartawan beberapa waktu lalu, Kepala Dinas Perdagangan Kota Bandarlampung, Erwin juga menyebut naiknya harga telur, salah satunya dipicu oleh tingginya permintaan telur untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Banyak menu di MBG yang pakai telur, kemungkinan ini bisa jadi faktor naiknya harga telur,” kata Erwin.
Kenyataannya, banyak pedagang besar yang biasanya menyuplai untuk pedagang-pedagang tradisional, yang kemudian justru mengalihkan pasokannya untuk dapur-dapur MBG di Bandarlampung.
Kondisi ini membuat roda perekonomian kurang bergerak di kalangan masyarakat kelas bawah, yang kemudian memicu terjadinya inflasi bahan pangan, seperti daging ikan, ayam ras, dan telur ayam.
Data Badan Pangan Nasional per 2 Oktober 2025, selama periode 1 Juni sampai 2 Oktober 2025, rata-rata harga daging ikan kembung naik 3,2 persen. Begitu juga harga daging ayam ras dan telur ayam, masing-masing naik 9,3 persen dan 2,9 persen.
Tingginya permintaan ini yang kemudian direspon oleh pedagang retail dengan menaikan harga komoditas bahan pangan di tengah stok bahan pangan yang mereka terima dari pemasok cenderung berkurang.
Kondisi ini juga diakui oleh sejumlah produsen telur yang ada di Lampung Tengah, yang kini justru memasok hingga lebih dari 1 ton per hari ke sejumlah dapur MBG yang ada di Lampung Tengah hingga Bandarlampung, sementara di tingkat pedagang retail pasokannya justru berkurang drastis.
Suhadi pedagang di Pasar Tugu pun mengakui itu, menurutnya, pola rantai pasok sejumlah komoditas bahan pangan berubah sejak program MBG dimulai.
Stok dagangan bahan pokok pedagang tradisional seringkali kosong, sehingga memicu fluktuasi harga,”kalau harganya sudah naik, akhirnya nggak ada yang beli, pasar makin tambah sepi, kita juga yang rugi,” keluhnya.
Monopoli suplai bahan pangan ke dapur-dapur MBG ini juga yang menjadi pemicu rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga bahan pokok yang tinggi.
Pemerintah bukannya tak sadar akan hal ini, kenaikan harga bahan pokok akibat suplai yang lebih banyak dialihkan ke dapur-dapur MBG, rentan memicu terjadinya inflasi.
Sejak beberapa bulan lalu, program-program pasar murah pun digelar di sejumlah kabupaten, seperti; Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Timur, Lampung Tengah dan Lampung Utara.
Belakangan, meski agak terlambat, Pemkot Bandarlampung juga menggelar pasar murah di 129 kelurahan sampai dengan bulan November mendatang.
Kepala Dinas Perdagangan Kota Bandarlampung Erwin mengakui, pasar murah ini menjadi upaya pemkot untuk mencegah inflasi yang melambung tinggi.
Hasilnya memang efektif menekan harga sejumlah komoditas pangan, tapi kondisi ini justru berbalik menyerang ke pedagang tradisional di sejumlah pasar, yang terus dijepit oleh pasar murah dan pedagang besar yang justru mengalihkan komoditas bahan pangannya ke dapur-dapur MBG.
“Sejak MBG ini, kita yang jualan jadi serba salah, jual murah rugi, jual mahal nggak ada yang beli, stok barang juga nggak ada,” keluh Suhadi.
Diakui atau tidak, program pasar murah berkontribusi besar terhadap laju inflasi di Lampung yang hanya 0,16 persen pada September 2025, meskipun kestabilan harga komoditas bahan pokok, terjadi justru karena efek adanya pasar murah di sejumlah daerah.
Tapi, stabilnya harga komoditas ini rentan berubah seiring dengan rantai pasok bahan pangan yang lebih banyak dialihkan ke dapur-dapur MBG, sementara permintaan masyarakat cenderung tak pernah berkurang, dan program pasar murah pula tak selamanya ada.
Karenanya, tren ini sebenarnya sudah diamati oleh pemerintah pusat, Sekjen Kemendagri Tomsi Tohir ketika memimpin rapat koordinasi pengendalian inflasi daerah secara daring pada awal Oktober 2025 lalu meminta semua daerah untuk menganalisis tren harga selama tiga tahun terakhir.
Ia juga mengisyaratkan jika program pasar murah sebenarnya bukanlah solusi, jika pemerintah di daerah melakukan analisis harga komoditas secara komprehensif dan menyiapkan langkah antisipatif,”dengan analisis, jika ada harga komoditas berpotensi naik, bisa melakukan langkah antisipatif, ini baru namanya bekerja sesuai perencanaan, bukan sekedar pemadam kebakaran,” tegas Tomsi.
Rentannya harga pangan akibat lonjakan permintaan bahan pokok oleh dapur MBG sebenarnya sudah diprediksi sejak lama oleh Aliansi Ekonom Indonesia (AEI).
Anggota AEI sekaligus Ekonom Universitas Indonesia Vid Adrison menyebut program MBG sangat rentan memberikan pengaruh terhadap pasar, karena produk pangan yang tersisa di pasar jadi lebih sedikit. Konsekuensinya, harga pangan yang makin mahal, yang dirasakan langsung oleh seluruh lapisan masyarakat, utamanya kelompok masyarakat miskin yang paling merasakan dampaknya.
“Bagi orang yang miskin, ketika harga makanan naik, itu akan punya dampak yang sangat-sangat besar bagi biaya kehidupan mereka, sehingga bisa saja pemerintah harus mengeluarkan uang yang lebih besar untuk memberikan bantuan,” kata Vid Adrison seperti dikutip dari Kontan.
Demikian halnya, klaim pemerintah yang menyebut MBG bisa mengangkat perekonomian lokal juga tak terbukti, tapi malah memicu kekosongan suplai di tingkat retail khususnya pedagang tradisional.
Dalam laporan resmi Center of Economic and Law Studies (Celios) awal Oktober 2025 lalu juga menyebutkan terjadinya persaingan antara dapur MBG dengan pedagang pasar tradisional yang kian meruncing karena saling berebut suplai bahan pangan.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira menyebut persaingan ini bisa memicu inflasi dan menggerus daya beli masyarakat.
Karenanya, Celios juga mendesak Kemenko Pangan segera bicara dengan Badan Gizi Nasional untuk menghentikan persaingan suplai pangan antara dapur MBG dan pedagang tradisional.
“Mandat menjaga ketahanan pangan dengan cara yang salah, justru memicu inflasi yang merugikan semua pihak,” kata Bhima.
Sejauh ini, dampak yang sudah muncul dari tersentralisasinya MBG, menurut Bhima adalah, banyak penjual ayam potong di pasar tradisional kehilangan pelanggan.
Sebagian besar konsumsi ayam dari sekolah-sekolah yang dulu membeli secara lokal saat ini ditangani langsung oleh dapur MBG.
Permintaan dari masyarakat umum juga berkurang karena harga di tingkat pedagang retail yang cenderung naik karena stok yang minim.
Sementara, pedagang di pasar kehilangan pembeli tetap dan omzet menurun drastis.
Situasi ini, jika dibiarkan terus menerus, akan memunculkan efek rambatan yang luas di masyarakat.
“Jika dibiarkan, kondisi ini bukan hanya menimbulkan inflasi pangan, tetapi juga memperdalam ketimpangan antara pemain besar dan kecil. MBG bukan menyerap tenaga kerja, justru mengurangi kesempatan UMKM berkembang. Kami tidak melihat kontribusi MBG terhadap penciptaan lapangan kerja, karena UMKM dalam hal ini pedagang tradisional, justru dirugikan,” terang Bhima.