Namanya juga UMKM…

About Author
0 Comments

Ada sekitar setengah juta UMKM di Lampung, yang seratus ribuan diantaranya berada di Kota Bandarlampung. Tapi, keberpihakan terhadap mereka masih amat minim, utamanya usaha mikro bidang kuliner. Nasibnya seperti penganan yang mereka jual; susah laku, susah pula berkembang.

(Lontar.co): Bulan depan, Suci berencana tak memperpanjang lagi usaha warung makannya, di Jalan Bumi Manti, Kampung Baru, Kedaton atau yang lebih dikenal dengan Kampung Mahasiswa. Ia tak punya modal, untuk memperpanjang sewa yang terus naik tiap tahun, walaupun ia sendiri tak tahu, usaha apa yang bakal ia jalani setelah tak berjualan lagi.

Ia bukan tak pernah berikhtiar, sudah berulang kali mengajukan pinjaman ke berbagai bank, tapi permohonannya tak pernah disetujui, alasannya, ia tak punya agunan.

Padahal, ia membutuhkan modal yang tidak terlalu besar untuk tetap terus bertahan menjalankan usahanya di tengah situasi ekonomi yang semakin sulit seperti sekarang.

“Sudah ngajuin berapa kali, tapi nggak disetujui, karena nggak punya jaminan,” keluhnya.

Ia sempat terpikir untuk mengajukan pinjaman ke PNM Mekaar dan pinjaman online, tapi setelah tahu bunganya luar biasa besar, rencananya itu akhirnya ia buang jauh.

Dengan tetap memaksa menjalankan usaha warung makan dari rumahnya, dan hanya melayani pesanan online, kondisinya juga tetap sama saja, apalagi, selama ini kebanyakan pembelinya adalah mahasiswa yang tinggal tak jauh dari warung makannya.

Menurutnya, usaha warung makan yang ia jalani saat ini, kondisinya memang sudah jauh berbeda jika dibanding beberapa tahun lalu. Hasil yang ia peroleh, jauh dari memadai, meski sekedar untuk bertahan.

Walaupun sudah menyesuaikan harga jual di tiap menu warung makannya, tetap saja, pembeli tak ada. Selain persaingan, minimnya menu karena keterbatasan modal memang menjadi penyebab utamanya.

BACA JUGA  Bersama BRI, Kopi Intan Sukses Naik Kelas

Dengungan pemerintah soal keberpihakan terhadap pelaku UMKM, tak pernah dirasakan oleh Suci, sejak pertama kali ia menjalankan usaha. 

Modal pertama kali saat membuka usaha, justru ia peroleh dari pinjaman saudaranya, setelah berjalan, berkali-kali mengajukan pinjaman ke bank, selalu saja terkendala jaminan.

“Katanya KUR nggak ada jaminan, buktinya empat kali ngajuin di tolak terus”.

Karenanya, ia menilai apa yang selama ini disampaikan oleh pemerintah sangat berbeda dengan keadaan yang terjadi lapangan.

Sebagai pengusaha kecil yang bergerak di usaha kuliner, Suci dan kebanyakan pengusaha mikro lainnya tak pernah merasakan kehadiran pemerintah dalam banyak hal.

Di Bandarlampung ada sebanyak 118 ribu lebih pelaku UMKM, dari sebanyak 492 ribu UMKM yang ada di Lampung. Kebanyakan usaha yang dijalankan adalah kuliner. 

Dari jumlah UMKM yang ada di Lampung itu, baru sebanyak 70 persen pelaku UMKM yang sudah terakomodir oleh sektor perbankan, sisanya justru menjalankan usaha dengan banyak keterbatasan.

Data BPS Agustus 2024 menyebutkan, dari hampir setengah juta pelaku UMKM yang ada di Lampung itu pula, diketahui 99, 05  persen adalah pelaku usaha mikro, yang skala usahanya lebih kepada upaya untuk bertahan hidup dengan mengandalkan satu-satunya sumber penghasilan dari usaha yang dijalankan itu saja.

Di saat para pelaku usaha mikro itu terus berjuang menghadapi pasar yang amat kompetitif, mereka juga harus dihadapkan pula dengan kenyataan ketidakberpihakan sektor perbankan.

Salah satu masalah utamanya adalah ketiadaan jaminan usaha yang membuat sektor perbankan ragu menyalurkan pinjaman, meski nilai yang diajukan amat jauh dari resiko kredit macetnya (non performing loan).

BACA JUGA  Kisah Nasabah Restrukturisasi eks Jiwasraya: IFG Life, Bikin Hidup Saya Lebih Tenang

Ketiadaan akses dari sektor perbankan makin kompleks saat pemerintah justru tak benar-benar memberi perhatian kepada pelaku usaha kecil ini, meski kerap kali dianggap sebagai tulang punggung ekonomi nasional.

Kelangsungan usaha para pelaku UMKM ini juga makin lengkap ketika dihadapkan dengan situasi ekonomi yang terus melemah seperti sekarang. Belanja modal selalu lebih besar dari keuntungan yang diperoleh, padahal usaha yang mereka jalankan hanya sekedar untuk bertahan hidup.

Ketua DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Lampung, Heri Andrian menyebut ada begitu banyak masalah yang mendera UMKM saat ini, di saat keterbatasan akses permodalan yang sulit, para pelaku UMKM juga memiliki manajemen keuangan yang kurang baik, sehingga berdampak pada usaha yang sulit untuk berkembang.

“Kesulitan pembiayaan dari perbankan itu, salah satunya karena selama ini laporan keuangan UMKM juga kurang baik,” ujar Heri.

Kondisi ini juga berdampak secara langsung terhadap pertumbuhan kredit perbankan di segmen usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang terus melambat. 

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pada Juli 2025 kredit UMKM sebesar Rp1.496,93 triliun, yang hanya tumbuh 1,82 persen secara tahunan (year on year).

Angka tersebut melambat jika dibandingkan pertumbuhan pada Juni 2025 yang sebesar 2,18 persen year on year (yoy).

Berdasarkan porsinya, penyaluran kredit UMKM pada Juli 2025 setara dengan 18,61 persen dari total penyaluran kredit perbankan.

Melambatnya pertumbuhan kredit di sektor UMKM akibat proses yang berbelit yang harus dihadapi para pelaku UMKM juga tak diiringi dengan upaya pemerintah dalam memberikan subsidi bahan pangan khususnya kepada UMKM yang bergerak di bidang kuliner.

BACA JUGA  Omon-omon Penanganan Sampah Plastik di Lampung

Apalagi, ada hampir 5 juta UMKM yang bergerak di bidang kuliner, dari total 65 juta unit UMKM di berbagai bidang di Indonesia, yang selama ini kurang diperhatikan jika dibandingkan UMKM di bidang lainnya.

Pelaku usaha mikro di bidang kuliner ini pula yang terdampak secara serius ketika terjadi pelemahan daya beli dan mahalnya harga kebutuhan pokok.

Kondisi ini yang amat berpengaruh terhadap kelangsungan pelaku usaha mikro khususnya di bidang kuliner yang merasakan dampak pelemahan ekonomi secara langsung tanpa ada jaminan keberpihakan akses permodalan dari sektor perbankan.

Bahkan, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) memprediksi situasi ekonomi seperti saat ini, akan berpengaruh secara signifikan terhadap kelangsungan UMKM di Indonesia yang bisa membuat 30 persen UMKM di Indonesia terancam gulung tikar.

Padahal, jika mau berkaca, selama ini, meski tanpa ada intervensi secara langsung dari pemerintah terhadap kelangsungan hidup UMKM, para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah ini telah memberikan kontribusi yang amat besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hingga 61 persen yang kontribusi nilainya setara dengan Rp9.580 triliun, serta menyerap lebih dari 97 persen total tenaga kerja di Indonesia. 

Hadi Kuncoro, Founder Power Commerce Asia juga menyoroti minimnya peran pemerintah terhadap UMKM dan enterpreneur.

“Mau yang corporate, UMKM atau enterpreneur memangnya pernah dibantu sama pemerintah? Pernahkah dengar, enterpreneur, UMKM dapat tax holiday dari pemerintah? Pernah nggak, orang-orang yang punya production center dilindungi dari premanisme dan sejenisnya?, atau pernahkah pemerintah membantu pengurusan izin dengan cepat? urusan pajak aja jadi ruwet,” kata Hadi Kuncoro dalam sebuah podcastnya dengan Big Thinkers, beberapa waktu lalu.

Further reading