pengrajin gerabah

Sutrisno, Kyai Song dan Gerabah yang Nyaris Punah oleh Pikiran 

pengrajin gerabah
Pengrajin geraba di Desa Negararatu, Natar. Foto: Meza Swastika

Sutrisno, Kyai Song dan Gerabah yang Nyaris Punah oleh Pikiran 

Riwayat gerabah dimulai ketika manusia menggunakan akalnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan semi primer. Saat manusia harus minum dan makan. Mereka juga butuh medium, untuk makan dan minum itu, melalui proses mencipta dan merasa dan visualitas kebutuhan akan benda fungsional yang kuat dan praktis, hingga akhirnya gerabah ada. Tapi, perubahan pikiran manusia pulalah yang pada akhirnya membuat gerabah nyaris punah. 

(Lontar.co): Tembang Jawa yang mengalun pelan dari speaker bluetooth itu seperti tengah berusaha mengimbangi gerak kaki kiri Sutrisno yang cenderung ritmis.  

Sementara pelarik—alat pemutar untuk membentuk tanah liat, terus bergerak perlahan, sesuai dengan gesek  kaki Sutrisno yang melengkung mengikuti alur bulat pelarik. 

Tangannya yang penuh dengan gurat bercampur dengan tanah-tanah liat lembut yang sudah mengering, dengan lentur menghaluskan tiap permukaan gerabah mentah yang masih berlubang dan tak rata. 

Di hadapan Sutrisno, Umyati istrinya juga terus menempelkan tanah-tanah liat ke tiap sisi cetakan celengan. 

pengrajin gerabah
Pengrajin gerabah di Desa Negararatu, Natar. Foto: Meza Swastika

Tak setiap hari memang. Tapi, semua dilakoni pasangan suami istri itu dengan tekun, meski mereka sendiri tak tahu sampai kapan gerabah ini bisa menghidupinya.  

Di sisi mereka, ada dua gerabah berukuran besar yang masih terlihat sedikit basah, dan bakal dipajang bersama ratusan gerabah lain di teras rumahnya yang sudah berdebu karena tak kunjung laku. 

“Sejak pertama kali merantau ke Lampung tahun 80-an, saya sudah buat gerabah. Ini keahlian turun temurun dari buyut saya di Jawa, diwariskan ke kakek, bapak dan saya,” kata Sutrisno sembari tangannya terus membentuk tiap bagian gerabah. 

Selama empat generasi itu, gerabah adalah warisan tradisi keahlian yang menghidupi keluarga Sutrisno 

Sutrisno adalah generasi terakhir, karena anak-anak dan cucunya tak satupun tertarik meneruskan usaha ini seiring makin sepinya permintaan, sehingga praktis ia menjadi generasi terakhir pengrajin gerabah yang masih bertahan di Lampung. 

Pun di lingkungannya, ia adalah satu dari empat pengrajin yang masih berdenyut. Dari empat yang tersisa, hanya dua pengrajin saja yang masih tetap berproduksi, sedangkan dua lainnya hanya menghabiskan sisa gerabah yang ada. 

Padahal, awalnya ada sekitar 15 lebih pengrajin yang menjalankan usaha secara bersama di Desa Negararatu, Natar, Lampung Selatan, yang secara tak langsung membentuk cluster dan kemudian dikenal luas sebagai kampung gerabah. 

“Gerabah itu seperti tubuh bumi. Meski cuma alat, tapi punya filosofi tiga unsur sekaligus didalamnya; tanah, air, api dan harapan, ini yang diyakini sama kakek saya dulu”. 

Sutrisno sempat tak yakin, perkembangan peradaban akan membuat gerabah tenggelam, karena menurutnya, gerabah berkembang seiring dengan pikiran manusia itu sendiri. 

Gerabah ada, sejalan dengan peradaban manusia. Gerabah adalah simbol pikiran manusia yang semi primer bersama sandang dan papan, setelah kebutuhan pangan bisa dipenuhi. 

BACA JUGA  Pedagang Buku Ramayana, Mereka yang Tertatih Melawan Zaman 

Sutrisno, salah satu generasi asal Desa Kasongan, Yogyakarta, adalah yang percaya bahwa gerabah adalah simbol kemajuan peradaban manusia prasejarah yang eksistensinya terus mengiringi kemampuan berpikir manusia sampai saat ini. 

“Coba dilihat, dari masa prasejarah sampai sekarang, gerabah tak pernah berubah bentuk. Ia juga konsisten dengan fungsinya,” kata Sutrisno. 

Gerabah adalah salah satu hasil kebudayaan penting bagi manusia, yang mencirikan kemajuan berpikir, yang selalu bersinggungan dengan tiap aspek kehidupan dan gerabah berfungsi sebagai mediumnya. 

Dalam tulisan arkeolog Djulianto Susantio, gerabah muncul bahkan sejak masa manusia mulai mengumpulkan makanan dan hidup secara nomaden. 

“Saat itu manusia kemudian berpikir, bahwa mereka membutuhkan wadah yang praktis untuk membawa berbagai kebutuhan. Pilihannya adalah gerabah, karena ringan dan kuat, jauh lebih kuat dari kulit binatang, kayu atau bambu, meski secara bentuk belum secara tegas,” tulis Djulianto. 

Nilai tambah lainnya dari gerabah adalah, bahan bakunya mudah di dapat, tepat di bawah kaki manusia. 

Soal proses penemuan gerabah, Djulianto Susantio tak bisa mengurainya secara pasti.”Amat mungkin saat itu proses pembuatan gerabah belum menggunakan api, dan bisa jadi disubstitusi oleh panas matahari. Tapi, indikasi paling kuat adalah kemunculan gerabah adalah efek dari domestikasi api”.  

Sehingga, teori gerabah pertama kali ada sejak masa neolitik bisa diterima dengan nalar, karena ketika itu domestikasi api dimulai di awal masa neolitik. 

“Pada perkembangannya gerabah bisa diterima sebagai temuan kebudayaan karena punya arti penting untuk manusia, dan kemudian diterima oleh tiap zaman sampai saat ini, meski sudah ditemukan wadah pengganti gerabah, tapi tingkat efektivitasnya belum sebaik gerabah,” jelasnya lagi. 

Gerabah juga menjadi unsur dominan penanda peralihan manusia, dari yang semula nomaden menjadi menetap, karena sudah memiliki wadah,”yang pada gilirannya, banyak benda-benda artefak yang ketika ditemukan tersimpan rapih dalam gerabah, maka amat lazim ketika menemukan benda-benda artefak yang didominasi gerabah seperti cawan, periuk, pedupaan, tempayan hingga kendi”. 

Secara fungsi, gerabah bergeser dalam fungsi yang banyak dan beragam, tapi secara bentuk, gerabah selalu konsisten. Konsistensi bentuk gerabah di tiap masa adalah pada kehalusan tekstur dan bentuk. 

Bayangkan, saat gerabah-gerabah pada era praaksara berhasil di eksplorasi oleh arkeolog, namun pada saat yang sama pula, di tempat lain, gerabah sejenis juga sedang diproduksi oleh para pengrajin. Ini menunjukkan jika gerabah hidup sejalan dengan perubahan zaman itu sendiri. 

“Secara bentuk ia tetap, tapi secara fungsi ia bertransformasi,” papar Djulianto. 

Berkembang di era selanjutnya, khususnya di Indonesia, gerabah juga pernah menjadi medium pergerakan yang paling dianggap masuk akal oleh para pejuang. 

BACA JUGA  Malangnya Nasib Driver Ojol, Dicekik Kebutuhan, Terbelit Aturan hingga Orderan yang Sulit  

Sutrisno mengingat kisah heroisme melalui folklor tentang bagaimana siasat Kyai Song untuk menghentikan upaya Belanda yang menarik paksa beras-beras hasil panen rakyat kala itu, dengan mengganti profesi untuk tak lagi menjadi petani. 

Kisah Kyai Song ini menjadi strategi gerakan perlawanan non fisik kepada Belanda, yang mengajak warga Desa Kasongan kala itu menjadi pekundi atau pembuat kendi. 

Ini pulalah yang menjadi cikal bakal kampung kelahiran Sutrisno, Desa Kasongan, yang kemudian mendunia sebagai sentra kerajinan gerabah. 

Dengan strategi ini, praktis lahan yang semula persawahan menjadi tak subur karena tanahnya diambil untuk bahan membuat gerabah. 

“Kalau waktu itu Mbah Yai Song tak pakai siasat itu, mungkin sekarang Kasongan ndak jadi kampung gerabah,” kata Sutrisno. 

Cerita Sutrisno ini sejalan dengan buku Historisitas Desa Gerabah Kasongan yang menceritakan kekejaman Belanda terhadap warga Kasongan, yang pada akhirnya membuat mereka tak memiliki lahan pertanian di tempat mereka dilahirkan. 

Tapi, rakyat juga berhasil mengalahkan hegemoni Belanda, dengan menutup suplai pangan para penjajah hingga harus mencari ke wilayah lain. 

Saat pemerintah Belanda mulai menyadari dan marah atas siasat perjuangan nonfisik dari rakyat Kasongan itu, muncul pula ide dari Mbah Jembuk atau Soikromo yang kemudian men-diversifikasi fungsi gerabah menjadi sebuah kerajinan bernuansa seni. 

Tahun 1935 menjadi penanda bahwa gerabah tak hanya bicara tentang fungsi, tapi juga memiliki nilai estetis yang tinggi, sehingga kemudian muncul hasil-hasil kerajinan dari gerabah, seperti loro blonyo, dan berbagai rupa lain yang disukai oleh pemerintah Belanda, saat itu warga Kasongan setidaknya dua kali terselamatkan. 

Sejak itu, dari Kasongan, para pekundi generasi kedua kemudian menyebar keberbagai wilayah di Indonesia, termasuk ke Lampung, ada yang secara mandiri, tapi ada juga yang melalui program transmigrasi. 

Di Lampung, rintisan pekundi bisa terlihat tak hanya di Desa Negararatu, Natar, tapi juga di wilayah Pringsewu.  

Umumnya, para penerus pekundi ini tinggal di daerah-daerah yang memiliki tanah liat berkualitas tinggi. Di Pringsewu, mereka tinggal di wilayah Podomoro, sedang di Natar, kualitas tanah liat terbaik, salah satunya ada di Desa Negararatu. 

Sutrisno mengingat, tahun 90-an adalah puncak kejayaan para pengrajin gerabah di Natar.  

Dalam seminggu, ia bisa membakar hingga 1.000 lebih gerabah berbagai jenis; kendi, tungku, vas bunga hingga guci.  

Saat itu, Sutrisno bersama tiga warga lainnya yang masih berdarah Kasongan, menjadi perintis-perintis awal pembuat gerabah, sampai kemudian berkembang, lewat proses generasi atau warga sekitar yang ikut belajar menjadi pengrajin. 

Sutrisno saja setidaknya pernah memiliki empat pekerja, yang kemudian membuka usaha gerabah sendiri yang masih satu desa dengannya. 

Ribuan gerabah itu laku keras, tak hanya di Lampung tapi diminati oleh banyak daerah lain. Jakarta, Palembang hingga Padang adalah pasar-pasar potensial para pengrajin gerabah asal Lampung, yang didukung secara geografis, karena lebih dekat dibanding Desa Kasongan, Yogyakarta. 

BACA JUGA  ‘Jangankan Pembeli, Laler aja Nggak Mau Masuk ke Sini’ 

Praktis, keberadaan pengrajin gerabah di Desa Negararatu ini membuat kehidupan perekonomian disana tumbuh optimal. Geliat transaksi terjadi, lalu lalang kendaraan berbak terbuka pengangkut gerabah terus berlangsung setiap hari. 

Dulu, asap yang mengepul dari rumah-rumah para pekundi setiap hari adalah tanda kemapanan. 

Namun seiring waktu, minat dan kebutuhan gerabah kian susut. Omzet yang semula tinggi, terus turun. Banyak pula gerabah-gerabah yang dititip di toko-toko souvenir tak laku. 

Seingat Sutrisno, di tahun 2014, satu persatu pengrajin mulai menghentikan usaha mereka, sampai puncaknya ketika Covid melanda, permintaan bahkan nyaris tak ada sama sekali. 

“Ada satu dua yang beli, jelas nggak sebanding dengan biaya produksinya”. 

Ia yang semula mempekerjakan 6 orang, terpaksa harus dirampingkan hingga tersisa satu orang, itupun hanya diupah harian. 

Saat permintaan kian sepi, harga tanah liat juga semakin mahal, ia bahkan harus bersaing dengan tobong-tobong bata, karena sebagian besar bahan baku banyak tersedot untuk membuat bata merah. 

Di sisi lain, pikiran manusia kini yang cenderung serba praktis, lebih mengedepankan fungsi dan dimensi,”lihat saja, dulu rumah yang ada gucinya bisa disebut mewah, sekarang orang tak lagi melihat itu, tapi kebutuhan akan fungsinya, kalau bisa digunakan untuk apa saja, itu yang dibeli,” keluhnya. 

Belum lagi, produk-produk Cina yang membanjiri pasar membuat gerabah kian tersisih. Gerabah kalah. Kalah harga, kalah rupa dan kalah fungsi. 

Halaman belakang rumah Sutrisno kini tak seriuh dulu. Tak ada lagi asap tobong yang intens. 

Ia juga sempat mengajari beberapa mahasiswa dari Jakarta dan Bandung yang tertarik dengan kekriyaan, ia yang lugu pada bentuk cenderung terpaku pada bentuk yang sesuai pakem. 

Banyak karya-karya tembikar buatan para ‘alumni’ disini yang cenderung multidimensional dan tak melulu bicara fungsi, tapi untuk dinikmati sebagai karya seni. 

“Kalau kemudian ada gerabah-gerabah dengan bentuk yang berbeda, itu karya seni. Termasuk dari anak-anak yang sempat belajar dengan saya dulu, sekarang mereka malah membuat gerabah dengan bentuk yang aneh-aneh, itu seni katanya,” cerita Sutrisno. 

Tapi pikiran Sutrisno jelas berbeda dengan mereka yang pernah belajar membuat gerabah dengannya yang melihat gerabah sebagai seni kriya yang melampaui zaman, sementara Sutrisno membuat gerabah untuk bertahan hidup. 

Pada akhirnya gerabah yang sukses melawan waktu dan konsisten ada di setiap peradaban, harus tergerus oleh peradaban itu sendiri. Seperti filosofi asal gerabah yang persis dengan manusia, dari tanah kembali ke tanah. 

Further reading

  • Bimo dan Laptop yang Tak Pernah Mati

    Di kampung kecil yang dilalui truk pasir dan angin gosip, Bimo menjalani hari-harinya. Pemuda yang demen mengkuncir rambut gondrongnya ini adalah benih sarjana ekonomi yang jatuh ke tanah menganggur. Dua tahun sudah, sejak toga melekat di kepalanya, aktivitas rutinnya hanya berkutat seputar mengaduk kopi, menggulung rokok, dan mengetik takdir yang belum jelas arahnya. Namun Bimo […]
  • bambu kuning

    Bambu Kuning; Tumbuh, Berkembang Besar kemudian Layu 

    Pasar Bambu Kuning kini tak ubahnya kuburan, sepi. Pembeli bisa dihitung dengan jari dan pedagang yang mulai pergi meninggalkan simbol pasar yang pernah amat berjaya selama 13 dasawarsa lalu.  (Lontar.co): Jalan tanah itu membentang panjang seperti tak berujung. Batang-batang bambu yang rimbun tumbuh melengkung teduh menaungi jalan dan semua entitas yang ada di bawahnya.  Sementara […]
  • manusia gerobak

    Realita Manusia Gerobak di Bandarlampung, Obral Iba Demi Gaya  

    Disadari atau tidak, kian hari jumlah manusia gerobak di Bandarlampung makin ramai. Ini bukan kebetulan, bisnis eksploitasi ‘iba’ ala manusia gerobak ini, sebenarnya bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi lebih ke gaya hidup. Pemkot Bandarlampung tak punya solusi akhir untuk penanganannya.  (Lontar.co): Di balik gerobak kayu, di salah satu sudut parkiran Puskesmas Rawat Inap Way […]