Tak semua korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kamboja seberuntung Agus, banyak dari mereka terpaksa harus pulang dalam keadaan cacat hingga tak bernyawa. Bahkan, meski sudah tak bernyawa pun, keluarga korban TPPO masih diperas dan dimintai uang tebusan hingga ratusan juta oleh agen perekrut , sementara sindikat jaringannya terus mencari mangsa, menyasar orang-orang yang terbuai dengan iming-iming gaji tinggi.
(Lontar.co): Air mata Janah (72) selalu mengalir tiap kali diminta menceritakan nasib tragis yang dialami anaknya, Ahmad Jayani yang tewas di Kamboja pada akhir 2024 lalu.
“Sakit bener hidup anak saya itu. Kerja banting tulang cuma untuk keluarga, tau-tau sudah mati,” kata Janah terbata-bata.
Sesekali mata Janah menerawang. Ia seperti masih merasa berat melepas kepergian anak kesayangannya itu.
Jilbab yang ia kenakan juga sebagian sudah basah untuk menyeka air matanya yang selalu mengalir.
Ahmad Jayani (36) warga Desa Tamanagung, Kalianda, Lamsel tewas tepat setahun lalu di Kamboja.
Berangkat ke Kamboja agar bisa bertahan hidup dan mencari penghidupan yang lebih baik, kenyataan yang dialami oleh Ahmad Jayani justru berakhir pada kematian, ia juga tak mendapat gaji.
Sebelumnya, tulang punggung keluarga itu, kerja banting tulang. Apa saja ia kerjakan, mulai dari menjadi sales, kuli hingga kurir paket pernah ia jalani.
Terakhir ia bekerja sebagai tukang ojek pangkalan. Dari sini pula ia mengenal Hani, yang disebut Janah berasal dari Lampung Timur.
Belakangan Hani mengaku sebagai agen tenaga kerja, dan menawarkan Ahmad Jayani untuk bekerja di Kamboja.
Semula Jayani tak tertarik, tapi karena terus dibujuk oleh Hani, dan diiming-iming gaji yang tinggi, Jayani mulai terpengaruh.
Saat itu, Jayani meminta ijin kepada Janah, ibunya untuk berangkat ke Kamboja,”bilangnya sama saya waktu itu, cuma mau kerja 6 bulan aja di Kamboja, cari modal buat usaha disini,” cerita Janah.
Meski berat, Janah tetap mengijinkan putranya itu berangkat bersama Hani. Firasatnya tak mengatakan apa-apa.”Pikir saya juga, cuma 6 bulan, kan nggak lama”.
Janah tak paham jenis kerjaan yang ditawarkan Hani kepada Jayani,”katanya kerjanya disuruh ngawasin situs judi online. Saya nggak ngerti yang gitu-gitu,” kata Janah lagi.
Selama di Kamboja pula, Jayani masih aktif berkomunikasi dengan Janah, dari komunikasi itu pula terungkap pekerjaan Jayani disana menjadi pelaku penipuan online (scammer).
Hampir lima bulan bekerja disana, Janah juga mengetahui jika putra sulungnya itu tak digaji, Jayani juga kerap meminta uang kepada adiknya untuk biaya makan selama di Kamboja.
Sejak itu, Janah mulai khawatir dengan nasib Jayani, apalagi Jayani juga mengaku sedang sakit.
“Dia nggak mau cerita sakit apa, tapi sering minta transferin uang untuk beli makan. Dari situ, saya sudah gelisah,” tutur Janah.
Tak berselang lama, Ahmad Jayani dikabarkan meninggal, seorang teman Jayani yang juga berada di Kamboja menyebut Jayani meninggal karena jatuh di kamar mandi.
Sementara, pihak rumah sakit di Kamboja memiliki alasan lain penyebab Jayani meninggal karena sakit komplikasi jantung dan paru-paru.
Padahal, sepengetahuan Janah, Jayani tak merokok, tak pula meminum kopi,”saya ini emaknya, jadi tahu anak saya seperti apa. Kalau dibilang sakit jantung dan paru-paru itu kok ya aneh,” ujar Janah.
Jayani juga disebut sempat mengalami koma selama sehari sebelum akhirnya dinyatakan meninggal.
Saat tengah dilanda kesedihan, lagi-lagi Janah harus mendapat kabar yang memilukan, jasad anaknya tak bisa dipulangkan ke Kalianda jika pihak keluarga tak menyiapkan uang Rp124 juta.
“Lah dari mana kami duit sebanyak itu, untuk makan aja susah. Sudahlah anak meninggal, masih juga dimintain uang sampe ratusan juta begitu,” kenang Janah.
Karena tak punya uang, pihak keluarga akhirnya hanya bisa pasrah, meski tetap berharap jasad Jayani tetap bisa dikebumikan di Kalianda.
Karena tak ada kejelasan pula, jasad Jayani sempat tertahan di Kamboja selama lebih dari tiga minggu sebelum akhirnya dimakamkan di Kamboja meski tanpa kehadiran Janah dan keluarga lainnya.
..
Ada pula Fahri, yang juga korban TPPO di Kamboja. Meski berhasil pulang kembali ke tanah air dalam keadaan selamat tahun 2022 lalu, ia sempat mengalami penyiksaan di Kamboja.
Menurutnya, model penyiksaan yang paling ringan saat berada di kamp penampungan adalah tak diberi makan selama tiga hari, sedangkan yang lebih parah adalah disetrum.
Fahri warga Lamtim yang berangkat karena diiming-imingi bekerja sebagai marketing bergaji $1.500 per bulan ini pernah dipukuli oleh empat orang sekaligus, karena ia berusaha berontak dan hendak kabur.
“Waktu itu saya loncat dari lantai dua, tapi waktu manjat tembok pagar ketahuan penjaganya, dari situ saya dipukuli,” terang Fahri.
Setelah babak belur, ia kemudian di sekap di kamar sempit namun tetap disuruh bekerja di depan komputer, sejak pukul 8.00 pagi sampai malam hari.
Sama seperti pekerja-pekerja lainnya yang mendapat siksaan, tak ada satupun yang berani membantu Fahri.
Awalnya, Fahri yang masih berusia 19 tahun ketika berangkat, tergiur oleh bujukan agen tenaga kerja, ia makin yakin mana kala agen tenaga kerja itu dikenalkan langsung oleh pamannya.
Ia dijanjikan bakal bekerja sebagai tenaga marketing di perusahaan investasi dengan gaji hingga $1.500 tiap bulan.
Waktu itu, Fahri berangkat bersama 12 orang lainnya, tapi tidak melalui Batam, melainkan Bali menuju ke Vietnam dengan pesawat kemudian dilanjut menuju Sihanoukville dengan mobil.
Saat tiba di Bali, semua identitas diambil oleh pihak agen, mereka juga terus didampingi, di bagian pemeriksaan status Fahri sebagai turis, sesuai visa yang ia buat.
Hari pertama tiba, ia dan 12 orang lainnya langsung disuruh bekerja mencari mangsa melalui media sosial.
Selama tiga bulan bekerja, jangankan dapat bayaran $1.500 per bulan, ia bahkan tak digaji dan hanya diberi makan.
Ia bahkan sudah disiksa sejak bulan pertama bekerja karena tak berhasil mencapai target, hukumannya tak diberi makan.
Ia juga melihat tiga pekerja yang berangkat bersama dengannya, di sekap karena melawan.
Sejak itu, ia mulai mencari cara untuk melarikan diri meski akhirnya gagal dan mendapat siksaan.
Ia dan 12 orang lainnya berhasil bebas, setelah petugas dari KBRI menyelamatkan mereka dan ditempatkan di tempat penampungan sementara sebelum dipulangkan ke Indonesia.
“Saya masih belum ikhlas sampai sekarang,” ujar Fahri kesal.
Menurutnya, amat wajar jika banyak pekerja yang meninggal di Kamboja, karena selain mengalami penyiksaan, kehidupan mereka juga mengkhawatirkan.
Ia bahkan pernah melihat seorang pekerja asal Vietnam yang meninggal beberapa hari setelah mengalami penyiksaan, tapi keesokan harinya jasad pekerja itu sudah tidak ada lagi.
Biasanya, para pekerja yang meninggal karena di siksa akan dikebumikan sendiri oleh sindikat itu, sedangkan yang meninggal karena sakit, akan dibawa ke rumah sakit.
“Nanti, mereka akan menghubungi pihak keluarga untuk minta tebusan biar bisa dipulangkan ke kampungnya. Tapi, kalau nggak dapat tebusan, biasanya ada pihak rumah sakit yang menghubungi kedutaan,” paparnya.
Duta Besar RI untuk Kamboja, Santo Darmosusanto bahkan menjelaskan sepanjang 2024, ada sebanyak 92 kasus WNI yang meninggal di Kamboja.
Angka ini, lanjutnya, meningkat hingga 24 persen dibanding tahun 2023. Tingginya angka kematian WNI yang bekerja di Kamboja ini juga beragam, tapi di riwayat hanya disebutkan sakit, meski agak janggal.
Pengakuan Fahri, juga diamini oleh Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding yang menyebut beragam model penyiksaan yang dilakukan oleh sindikat penipuan online dan judi online kepada pekerja migran asal Indonesia.
“Ada beragam (penyiksaannya), ada yang disetrum, tidur di lantai, bekerja hampir 24 jam dan tidak diberi makan,” kata Abdul Kadir Karding kepada wartawan, April 2025 lalu.