eva dwiana

Eva Tak Punya Legitimasi yang Kuat, Ia Hanya Didukung oleh Kurang dari 30 Persen Warga Bandarlampung

0 Comments

Eva Tak Punya Legitimasi yang Kuat, Ia Hanya Didukung oleh Kurang dari 30 Persen Warga Bandarlampung

About Author
0 Comments

Sebagai walikota, Eva sebenarnya tak punya akar legitimasi yang kuat untuk memimpin kota. Kondisi ini, berkorelasi dengan kebijakannya yang cenderung ngawur dan egosentris.

(Lontar.co): Sejak pagi, backhoe itu terus mengeruk aspal yang digali di pelataran gedung Kejati Lampung. Sementara, sejumlah pekerja konstruksinya terlihat mondar-mandir mengangkut material dengan angkong.

Meski masih relatif pagi, aktivitas konstruksi di sana, setiap harinya memang selalu padat.

Aktivitas itu diketahui sudah berlangsung sejak tiga bulan lalu, sejumlah pekerja konstruksi di sana mengaku sudah mulai bekerja sejak Agustus 2025 lalu.

Kenyataannya, pembangunan kantor Kejati Lampung yang berasal dari dana hibah Pemkot Bandarlampung itu baru diungkap pada September lalu.

Menurut Kadis Pekerjaan Umum Kota Bandarlampung Dedi Sutioso, rencananya pembangunan gedung Kejati ini dilakukan dalam dua tahap.

Tahap pertama, yang sedang dikerjakan oleh sejumlah pekerja ini, adalah pembangunan struktur dasar bangunan, yang rencananya akan dibuat untuk beberapa lantai.

Proses pekerjaan konstruksi tahap pertama ini sudah dimulai sejak Agustus lalu, dan diperkirakan selesai sampai dengan akhir tahun ini, nilainya Rp15 miliar.

“(Pembangunan) tahap keduanya dilanjut tahun depan, anggaran tahap keduanya Rp45 miliar, jadi total (anggarannya) Rp60 miliar,” kata Dedi kepada wartawan akhir September 2025 lalu.

Sikap Pemkot Bandarlampung, utamanya Walikota Eva Dwiana yang ‘bermurah hati’ memodali seluruh pembangunan gedung Kejati Lampung ini, spontan memicu reaksi banyak orang.

Keputusan mengalokasikan anggaran Pemkot Bandarlampung ke pembangunan gedung Kejati Lampung itu, dianggap tak mewakili keadaan Kota Bandarlampung saat ini.

Kontroversi ini, kian menambah deret kebijakan Walikota Eva Dwiana yang cenderung ngawur dan tak pro rakyat.

Disadari atau tidak, Walikota Eva Dwiana memang sedang tak merepresentasikan sebagai pemimpin masyarakat Kota Bandarlampung.

Ia hanya dipilih oleh kurang dari 30 persen total pemilih di Kota Bandarlampung, sehingga kebijakannya soal pembangunan kota terkesan tanpa perencanaan, spontan dan tak terarah, padahal ada banyak permasalahan kota yang perlu cepat dibenahi, banjir dan jalan rusak adalah sebagian kecil permasalahan yang menyandera masyarakat Kota Bandarlampung.

BACA JUGA  Purwopedia, Tempat Dimana Semuanya Bermula

Merujuk data KPU Kota Bandarlampung pada Pilkada Kota Bandarlampung tahun 2024 lalu, pasangan Eva Dwiana – Deddy Amrullah hanya dipilih oleh 264.740 pemilih, dari total mata pilih tahun 2024 yang sebanyak 786.182 pemilih.

Saat pilkada lalu, tingkat kehadiran pemilih hanya 409.093 atau hanya 52 persen dari total pemilih yang ada di Kota Bandarlampung.

Dari jumlah kehadiran pemilih ke TPS ini, sebanyak 91.740 atau 25.73 persen pemilih yang datang, menyalurkan pilihannya ke pasangan Reihana – Aryodhia Febriansya SZP.

Yang menarik, dari total tingkat kehadiran pemilih dan menyalurkan hak pilihnya di bilik suara, terdapat sebanyak 52.613 atau 12, 9 persen pemilih yang mencoblos, namun suaranya dinyatakan tidak sah (invalid votes). Mereka datang ke TPS tapi tak mencoblos pasangan calon, baik Eva maupun Reihana.

Keadaan ini menempatkan Kota Bandarlampung sebagai salah satu daerah dengan tingkat partisipasi pemilih terendah pada pilkada serentak 2024.

Bawaslu Bandarlampung berdalih faktor penyebab rendahnya tingkat partisipasi pemilih, bukan karena pemilik muak dengan pasangan calon yang ada, tapi karena proses penyusunan daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilih tambahan (DPTb) di Kota Bandarlampung yang mengalami dinamika yang kompleks.

Bawaslu juga menyoroti distribusi surat pemberitahuan memilih (formulir C) tidak maksimal, hanya 83,62 persen dari total pemilih DPT Pilkada Bandarlampung 2024.

Tapi, temuan Bawaslu itu dibantah Ketua KPU Kota Bandarlampung Arie Oktara yang menyebut pemilih yang tidak menerima surat pemberitahuan memilih, diberi kemudahan untuk menyalurkan hak pilihnya cukup dengan menggunakan KTP elektronik untuk memberikan suara, asalkan mereka terdaftar dalam DPT.

“Kami bisa pastikan distribusi surat pemberitahuan memilih ke masyarakat lancar dari percetakan hingga ke pemilih sampai H-3 pemungutan suara. Kalau data kami surat pemberitahuan pemilih terdistribusi sebanyak 86 persen,” kata Arie Oktara.

BACA JUGA  Cerita Derita Ahli Gizi di MBG

Menurutnya, surat pemberitahuan memilih berfungsi sebagai alat untuk menginformasikan pemilih mengenai lokasi tempat pemungutan suara (TPS) dan waktu pemungutan suara.

“Tapi hak warga negara untuk memilih tidak tergantung pada penerimaan surat tersebut. Bila pun masyarakat tidak menerima surat tersebut mereka tetap bisa memilih sepanjang terdaftar di DPT, jadi memilih atau tidak warga itu hak mereka,” kata dia.

Keengganan masyarakat Kota Bandarlampung untuk menyalurkan hak pilihnya di Pilkada Kota Bandarlampung, kenyataannya bukan karena masalah teknis penyelenggaraan, faktor keterwakilan sosok calon yang tidak sesuai harapan pemilih, justru menjadi penentu rendahnya partisipasi pemilih.

Kecenderungan rendahnya partisipasi pemilih di Pilkada Kota Bandarlampung ini juga terlihat pada Pilkada Kota Bandarlampung tahun 2020 lalu, yang partisipasinya hanya 69 persen atau sekitar 447.759 pemilih dari total daftar pemilih tetap sebanyak 647.278 pemilih.

Pilkada menjadi sumber legitimasi pemimpin. Tapi, ketika tak ada pilihan yang terbaik dari yang baik atau bahkan yang buruk dari yang terburuk, dari calon yang ada, maka tidak hadir ke bilik suara bagi pemilih, adalah pilihan.

David Beetham dalam bukunya, The Legitimation of Power (1991) menyebutkan, kehadiran pemilih saat pemungutan suara adalah ukuran legitimasi paling absah. Semakin tinggi tingkat kehadiran semakin legitimate sebuah pemerintahan.

Sebaliknya, semakin rendah kehadiran pemilih, semakin mengancam pemerintahan di masa mendatang.

Legitimasi bergantung pada ekspresi masyarakat yang dibuktikan melalui pilihan di bilik suara dengan memberikan bukti persetujuan atas pilihan yang ada.

Memilih adalah kekuatan simbolis atau deklaratif secara publik, karena hal itu merupakan pengakuan tegas dari masyarakat yang dapat digunakan oleh pihak yang berkuasa sebagai konfirmasi atas legitimasi.

Jika ekspresi persetujuan publik berkontribusi pada legitimasi pihak yang berkuasa, maka pilihan tidak hadir ke pemungutan suara adalah penarikan atau penolakan yang mengurangi legitimasi tersebut. Semakin besar jumlah yang tidak hadir, semakin besar pula pengikisan legitimasi. Maka, ketidakhadiran pemilih ke pemungutan suara adalah wujud delegitimasi.

BACA JUGA  Skor Literasi Bandar Lampung Jauh di Bawah Metro, Eka dan Eva Harus Mulai Sadar

Pemilih pada akhirnya menarik diri untuk tidak terlibat dalam pemungutan suara karena keinginan untuk mendapatkan kebijakan yang baik dan menghindari kebijakan yang buruk tidak didapatkan dari pilihan kandidat yang tersedia.

Partisipasi yang rendah adalah ekspresi sesungguhnya dari penolakan pemilih terhadap calon pemimpin daerah dan menjadi indikator legitimasi yang rendah.

Ketidakpercayaan pemilih terhadap pemimpin Kota Bandarlampung kenyataannya makin terbukti, meski baru satu tahun Eva Dwiana menjabat di periode kedua kepemimpinannya, Eva justru banyak menimbulkan kontroversi yang bukannya di evaluasi tapi justru dianggap angin lalu olehnya.

Jembatan Siger Milenial, Tugu Pagoda ditambah pembangunan gedung Kejati Lampung adalah deret kontroversi pengelolaan anggaran yang ngawur.

Padahal, mulai tahun 2024 lalu, Pemkot Bandarlampung ini punya kewajiban mencicil hutang Rp5 miliar tiap bulan kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), BUMN di bawah naungan Kementerian Keuangan, diketahui total utang Pemkot Bandarlampung ke SMI keseluruhannya Rp135 miliar yang mulai jatuh tempo sejak tahun 2024 lalu.

Selain itu, pemkot juga diketahui masih memiliki tunggakan utang kesehatan Program Pelayanan Kesehatan Masyarakat (P2KM) di dua rumah sakit yakni; RSUD Dadi Tjokrodipo dan RSUD Abdoel Moeloek yang total utangnya sebesar Rp20 miliar.

Kemudian, utang belanja ke pemerintah pusat sebesar Rp 285, 3 miliar. Angka ini, belum ditambah dengan utang tahun 2023 lalu yang tunggakannya masih tersisa sebesar Rp110,8 miliar yang wajib dibayar Pemkot Bandarlampung ke pemerintah pusat.

Selain utang yang menumpuk, Pemkot Bandarlampung juga diketahui mengalami defisit yang cukup besar, merujuk Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Perwakilan Lampung Nomor: 28B/LHP/XVIII.BLP/05/2025, tanggal 23 Mei 2025 menyebutkan defisit riil Pemkot Bandarlampung pada tahun 2024 adalah sebesar Rp267 miliar lebih.

Dalam laporan itu, BPK RI menyebut selama tiga tahun anggaran berturut-turut, pemkot selalu saja mengalami kekurangan dana untuk membiayai belanja daerah.

Further reading