Tag: bandarlampung


  • Petugas pemadam kebakaran (Damkar) menjinakkan kobaran api, itu biasa. Meski, tak jarang nyawa taruhannya, lah memang sudah risiko tugas. Yang keren itu ketika mereka “mau-maunya” ngurusin sarang tawon di rumah warga. Sempet-sempetnya bantu lepasin cincin emak-emak yang saking kenceng meluk jari manis akhirnya tak bisa dicopot. Lho, sejak kapan petugas Damkar jadi semacam rescue palugada (apa lu mau, gue ada)?

    (Lontar.co): Ternyata markas Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Bandarlampung yang berada di Jl. Kapten Tendean, Tanjungkarang Pusat, punya dua bidang tugas utama. Pertama Bidang Pemadaman Kebakaran berikutnya Bidang Penyelamatan. Nah, urusan tawon dan melepas cincin itu menjadi tupoksi bidang yang disebut belakangan.

    “Siapa bilang kami tak takut tawon. Tetap ada rasa takut itu. Kami kan bukan Superman,” seloroh Komandan Pleton (Danton) Ifan Afandi kepada Lontar.co, saat menceritakan pengalaman mereka menangani sarang tawon yang kerap dikeluhkan warga, Kamis (10/7/2025).

    Apalagi, imbuh dia, kalau tawon yang ditangani berjenis Ndas atau biasa disebut tawon Vespa Affilis. Ini tergolong tawon ganas. Sekali kena sengat dipastikan bakal demam. “Rekan-rekan di sini banyak juga yang pernah nyicipin kena sengat. Tapi mau gimana lagi. Bagi kami ngurusuin yang kayak begitu sudah jadi makanan sehari-hari,” terangnya.

    Unit mobil pemadam kebakaran siap sedia merespon panggilan darurat. (Foto: Lontar.co)

    Berbekal teori dan pengalaman di lapangan, sambungnya, petugas akhirnya menemukan teknik efektif untuk menanggulangi sarang tawon yang biasa muncul di pohon atau rumah kosong yang berada di permukiman warga.

    “Kejadian baru-baru ini, misalnya, kami tangani sarang tawon di rumah warga di Sukarame. Jenisnya tawon Vespa Affilis,” kata Ifan. Karena titik lokasinya di atas dan agak sulit dijangkau, kisahnya, akhirnya diputuskan memusnahkan sarang tawon dengan teknik brangas.

    Secara umum teknik ini berupa penyemprotan cairan pembasmi serangga yang dicampur air dan deterjen ke sarang tawon. Kemudian dilanjutkan dengan pembakaran atau pengemasan sarang tawon. Tujuannya untuk membunuh tawon dan meminimalkan risiko sengatan bagi petugas dan warga sekitar.

    “Kalau letak sarangnya mudah dijangkau, biasanya kami menutup pintu atau lubang yang dipakai tawon untuk masuk dan ke luar sarang. Lubang itu disumpal pakai kapas yang sudah direndam bensin. Setelah itu baru dibakar dengan alat khusus yang mengeluarkan api dalam tekanan besar,” urai Ifan.

    Ditambahkan Krisna Laksamana, selaku Kabid Penyelamatan, tugas mereka tak berhenti sebatas mengurusi sarang tawon. Bahkan, petugas kerapkali turun tangan merespon permintaan warga untuk bantu mengeluarkan kunci yang tertinggal di bawah jok motor.

    “Ya tetap harus kita respon. Biasanya anak kost yang sering bermasalah dengan kunci,” ucap Krisna seraya tersenyum. Dalam kasus serupa ini, terang dia, penanganannya dicoba membuka jok motor dengan alat yang mereka punya.

    Kalau masih tidak berhasil, atas izin pemilik kendaraan, biasanya akan diambil langkah terakhir lewat membuka paksa. “Untung, umumnya bisa diatasi tanpa buka paksa,” kata Krisna yang mendampingi Sekretaris Damkar, Ahmad Husni.

    Lebih lanjut Ahmad Husni menerangkan, di Bidang Pemadaman, pihaknya diperkuat oleh 30 personil serta 22 unit mobil Damkar. Setiap unit berisikan 4 sampai 6 personil yang dilengkapi alat pelindung diri atau APD.

    Setiap unit Damkar diperkuat 4 sampai 6 personil lengkap APD. (Foto: Lontar.co)

    “Mengingat Bandarlampung terus berkembang, sekarang malah sudah layak disebut kota besar, kami berharap bisa didukung APD yang lebih memadai. Karena sangat penting untuk mendukung tugas, sekaligus menjamin keselamatan petugas di lapangan yang berpotensi risiko tinggi,” harap Husni.

    Sebuah permintaan tak berlebihan kiranya, mengingat petugas Damkar yang punya selogan “Pantang Pulang Sebelum Padam” ini, memang harus bisa dijamin keselamatannya agar benar-benar bisa pulang ke rumah dalam keadaan sehat wal’afiat. (*)



  • Perempuan paruh baya itu menitikkan air mata di dekat jendela kerjanya di lantai 6 Balai Kota. Cukup lama ia terpaku di sana. Sesunggukan, mungkin menangggung setiap jerit dan duka warganya yang lagi-lagi dihantui banjir bandang.  

    (Lontar.co): Asisten pribadi, yang juga sudah dua periode menemani perempuan paruh baya itu menjadi Walikota, tak bisa menyembunyikan kecemasan terhadap sosok Agung yang ia temani selama ini.

    Juni yang mestinya kemarau bertingkah. Hujan deras kembali datang begitu saja. Perempuan paruh baya yang sudah dua periode menjabat sebagai walikota itu menjauh dari jendela. Suara-suara ketakutan warganya menggema dalam kepalanya, juga suara bandang,  rumah-rumah yang roboh, yang terendam air, atau terseret banjir tampak nyata di benaknya.

    Beberapa warga dikabarkan terpisah dari keluarganya, ada yang luka, ada yang sampai kehilangan nyawa. Semua itu tampak begitu nyata. Keringat dingin keluar dari pori-pori Walikota, rasa sakit, tangis, dan kehilangan setiap warga juga terasa olehnya.  

    Ia sudah tidak kuat lagi, ia harus keluar dari Balai Kota, ia ingin turut menghadapi bandang bersama warganya. Namun nubuat mencegah langkahnya. Sang Pencipta sedang membersihkan dan menguji iman warga, begitulah suara yang saban malam membisikinya.

    Ya, bahtera Nuh menggenangi sejumlah wilayah Bandarlampung pada musim hujan. Lihatlah air setinggi tiga meter itu, menerjang rumah, menjebol tanggul, jembatan putus, jalanan menjadi sungai kecoklatan, udara disesaki jeritan pilu, ketakutan menyebar kemana-mana, kecemasan, kehilangan, dan segala yang mesti ditanggalkan timbul tenggelam dalam gemuruh bandang, menguji iman, menguji kepatuhan pada Sang Pencipta.

    “Sampai kapan Bahtera Nuh membasuh kota ini, sampai kapan aku hanya boleh jadi saksi dan diam di ruang lantai 6 Balai Kota, tanpa bisa melakukan apa pun, keluh Walikota di kursi kerjanya”.

    “Oh, betapa berat jalan menuju Bandarlampung yang kelak dipenuhi keberkahan, yang kelak berlimpah kebahagiaan ini,” Imbuhnya.  

    Ia telah mendapat petunjuk. Bisikan-bisikan gaib yang meramal masa depan kota, juga lika-liku jalan untuk memwujudkannya.

    Tapi Walikota tampak goyah. Ia nyaris tak sanggup lagi bertahan di situasi semacam ini.

    Siapa yang peduli dengan masa depan, faktanya hari ini ribuan warganya menderita, ribuan jeritan menggema di mana-mana.  

    Walikota tampak gundah. Kenyataan versus ramalan masa depan telah membuatnya linglung sekarang. Ia kembali melihat niat hati murni, ingin mengangkat derajat kotanya.

    Ia telah sungguh-sungguh mengkaji bisikan-bisikan itu, petunjuk itu, ramalan tentang masa depan kota yang memilki visi transendental itu. Ini memang sulit dijelaskan, dan tak banyak yang dapat menerima sumber kebenaran dalam paradigma tertentu yang memang cenderung melalui pendekatan strukturalis transendental.

    Penasehat spiritual Walikota panjang lebar menjelaskan bahwa pendekatan strukturalis transendental dapat dimaknai sebagai pengakuan adanya ide yang murni, yang bersumber dari luar diri manusia, suatu konstruk tentang struktur nilai yang berdiri sendiri dan bersifat transendetal.

    Tujuannya humanisasi, emansipasi, liberasi atau pembebasan, dan transendensi. Humanisasi artinya “memanusiakan manusia”, “menghilangkan kebendaan” ketergantungan,  kekerasan, dan kebencian manusia.

    Bahwa memang warga Bandarlampung harus melalui serangkaian cobaan. Dan visi Waikota kelak akan diterima sebagai implementasi amar ma’ruf, sementara liberasi adalah implementasi dari nahy munkar, sedangkan transendensi adalah implementasi dari tu’minuna billah.

    Dengan demikian misi Walikota adalah memperbaiki tatanan kehidupan dengan cara memanusiakan manusia, mengalamkan alam, serta menuhankan Tuhan.

    Dengan demikian, tugas Walikota adalah meletakkan dasar kehidupan sesuai dengan proporsinya. Menuhankan manusia adalah sebuah kekeliruan, demikian juga memanusiakan Tuhan adalah naif dan dzalim.  

    Dan kereta gantung, program terbaru dari Walikota, adalah sebentuk simbol, metafor, perlambang mikraj atau laku spiritual, sebuah perjalanan menuju derajat yang lebih tinggi, yang telah melepaskan dari sifat kebendaan (material) atau hukum sosial yang bersifat horizontal.  

    Perbedaan penglihatan atara warga dengan Walikota ini memang ada titik temu.

    Warga akhirnya berjuang masing-masing supaya selamat. Beberapa mengungsi ke rumah kerabat. Namun, ada juga tetap bertahan di rumahnya meski kondisi rumah rusak dan berlumpur.  

    Cobaan selalu di luar prediksi. Selain hujan deras, pada waktu yang sama, air laut juga sedang pasang. Sehingga, air hujan tertahan di wilayah kota.

    Tapi berita media yang juga belum paham dengan “penglihatan” Walikota, yang kerap terlalu dangkal memahami kebijakan pemerintah kota kerap menyuarakan sebaliknya. Bahwa banjir yang terus terulang memperlihatkan ketiadaan mitigasi, penanggulangan, serta buruknya kondisi dan tata kelola lingkungan. Fenomena ini bentuk abainya pemerintah terhadap nyawa warga.

    Menanggapi itu Walikota tidak menyalahkan media atau opini masyarakat. Ia tahu, “penglihatan” ini memang hanya datang padanya. (*)

    (Alexander Gebe: Seniman & Penulis)


  • Mendung lagi, hujan lagi. Di balkon, halaman, trotoar, di depan toko yang sudah tutup, di ruang tamu, dan di mana-mana, banyak warga memandang langit Tanjungkarang dengan perasaan campur aduk. Tapi, belum lagi mereka menceracaukan kebingungan, air berwarna coklat berebut turun ke jalan. Warga yang terkejut hanya bisa melongo, lalu tanpa sadar memukuli kepala mereka sendiri hingga berdarah.

    Mereka, sekelompok air itu, memang bandel. Malas kali lewat sistem drainese yang sudah sangat BAIK disiapkan pemerintah kota atau provinsi. Serombongan air yang kerap bertingkah tengil itu mengundang rombongan lain untuk bergabung, sambil cekikikan memenuhi jalanan, menyelinap ke rapatnya kendaraaan, dan memberi tambahan masalah bagi pegawai honorer bergaji kurang dari UMR agar selalu berada pada situasi bahwa hidupnya adalah nasib buruk.

    Seperti pada satu momen, terlihat sekelompok air dilindas ban mobil, mereka kompak melompat dan mengguyur wajah pengendara motor yang kebetulan tanpa jas hujan, sumpah serapah keluar dari mulut pengendara motor, penumpangnya ikut basah dan ikut memproduksi rasa marah, pengendaraan lain mengelus dada, sesuatu yang sudah dianggap lazim sesungguhnya, mereka harus menerima, suka atau tidak suka demikianlah adanya, dan caci maki berenang di jalanan yang telah berubah menjadi sungai.

    Ada kata-kata bagus dari Ben Okri pada novelnya yang berjudul The Famished Road, bahwa jalanan itu telah berubah menjadi sungai, sungai yang lapar, yang akan menelan apa saja.

    Warga di Tanjungkarang yang sudah kenyang pengalaman tak gentar begitu saja. Meski kerap rumah mereka terendam air cokelat dari jalanan, beberapa keluarga harus diungsikan, atau harus kehilangan sanak saudaranya, mereka tetap harus bertahan dan melanjutkan hidup mereka sebagai warga yang gigih, yang saban waktu menghadapi ujian.

    Sejalan dengan sikap heroik warganya, walikota ngotot akan membuat kereta gantung. Semacam perlawanan terhadap luapan air cokelat yang kerap menguasai jalanan, semacam ketegasan pemerintah kota pada warganya agar tetap bisa survive di ketinggian.

    Walikota juga menyukai motif polkadot di jalan-jalan, yang dipikirnya sebagai jebakan bagi sekawanan air dan sekaligus merawat rasa waspada bagi pejalan. Eling lanwaspodo adalah sebuah prinsip yang berarti “ingat dan waspada”. Ini adalah ajaran untuk selalu sadar dan berhati-hati dalam menjalani hidup, serta selalu mengingat tujuan hidup yang sejati.

    Lebih lanjut, di hadapan satuan kerja pemkot pada apel rutin setiap Senin pagi, walikota menjelaskan Eling (Ingat) artinya mengingat asal usul, tujuan hidup, dan hubungan dengan Tuhan. Ini berarti selalu sadar akan kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan tidak terlena dengan kenikmatan duniawi.

    Sedangkan Waspodo (Waspada) bisa diartikan berhati-hati dalam setiap tindakan dan keputusan, serta menyadari potensi bahaya dan godaan yang mungkin muncul. Ini mencakup kewaspadaan terhadap diri sendiri, lingkungan, dan pengaruh buruk dari luar.

    Prinsip ini mengingatkan untuk tidak terlena dalam kebahagiaan atau kesedihan, serta selalu berpegang pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.

    Ratusan satker yang mengikuti apel rutin setiap Senin pagi manggut-manggut. Ini wajib, jika sampai tertangkap kamera tidak manggut-manggut, bisa bahaya, bisa kena mutasi atau bahkan lebih buruk, di-non job-kan.

    Daulat Tuanku adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi, dan semua mengamini. Prinsip yang memang sudah ada dalam DNA warganya jauh sebelum kemerdekaan, sebelum menjadi NKRI, mungkin sejak zaman Majapahit atau Mataram, atau lebih kuno dari itu. Feodalisme dan fanatisme yang digemakan dan diproduksi terus menerus hingga era globalisasi.

    Alamaknya, warga Tanjungkarang gemar memilih penguasa feodal, yang seringkali menggunakan fanatisme untuk mempertahankan kekuasaan mereka, dengan mempromosikan ideologi atau kepercayaan yang menguntungkan mereka.

    Situasi yang menciptakan Vassal Mentality, sikap tunduk dan patuh yang berlebihan pada atasan atau tokoh tertentu, yang dapat dilihat dalam budaya kerja atau organisasi tertentu.

    Sehingga tak ada yang protes, permasalahan buruknya sistem drainese di Tanjungkarang, dan malah, di mana-mana, sejumlah dinding jalan terpampang sepanduk bertuliskan, D-Rain-Asek. (*)

    (Alexander Gebe: Penulis/Seniman Teater)

  • bambu kuning

    Pasar Bambu Kuning kini tak ubahnya kuburan, sepi. Pembeli bisa dihitung dengan jari dan pedagang yang mulai pergi meninggalkan simbol pasar yang pernah amat berjaya selama 13 dasawarsa lalu. 

    (Lontar.co): Jalan tanah itu membentang panjang seperti tak berujung. Batang-batang bambu yang rimbun tumbuh melengkung teduh menaungi jalan dan semua entitas yang ada di bawahnya. 

    Sementara di kanan kiri straat, gubuk-gubuk bambu tak bersekat yang lebih mirip bale, berderet memanjang saling berhadapan satu sama lain. 

    Baju-baju yang digantung seadanya, dan beberapa orang yang tengah beraktivitas, menandakan tempat itu menggeliat khas suasana pasar tempo lalu. 

    Foto bertarikh 1894 itu dilengkapi pula dengan sebaris kalimat penegas; “Passar en bamboelaan te Tandjong-karang. 1894. Lampung, Indonesia. (Pasar dan sebuah jalan bambu di Tanjung Karang. 1894. Lampung, Indonesia)”. Foto ini adalah koleksi milik Museum Volkenkunde Belanda yang direproduksi ulang oleh situs Geheuhen Delpher Netherlands. 

    Geheuhen Delpher Netherlands atau Memory of Netherlands adalah situs rujukan untuk mengakses arsip Belanda yang sudah melalui proses digitalisasi dan sudah terafiliasi dengan Delpher–semacam peramban untuk menelusuri arsip-arsip sejarah berbahasa Belanda yang dikelola oleh Koninklijke Bibliotheek atau perpustakaan resmi milik Kerajaan Belanda. 

    Foto yang kemudian ramai setelah diunggah oleh Komunitas Tempo Doeloe itu disebut sebagai cikal bakal Pasar Bambu Kuning yang sempat diabadikan pada masa kolonial Belanda. 

    Kala itu, merujuk pada sejarah yang masih menukil dari Geheuhen Delpher, pasar ini adalah tempat yang hidup, semasa pagi hingga petang. Aroma pakaian baru menguar menusuk hidung buat siapapun yang melintas. 

    Orang-orang lalu lalang, delman hilir mudik. Yang kaya, bertransaksi langsung dengan uang Gulden, sedangkan banyak yang lainnya memilih membawa hasil bumi kemudian ditukar dengan baju-baju yang dijual di pasar ini. 

    Bisa jadi, penamaan Bambu Kuning pada pasar ini bermula dari rumpun-rumpun bambu yang tumbuh subur di sekitar pasar, sebagaimana umumnya penamaan daerah atau tempat yang merujuk pada jenis flora yang tumbuh subur dan meng-habitasi daerah itu. 

    Pendapat ini pula dikuatkan melalui sejumlah buku-buku riwayat, yang tak spesifik mengulas secara khusus tentang pasar ini, nama Pasar Bambu Kuning disebut, tapi tak diulas dengan detil. 

    Keberadaan Pasar Bambu Kuning makin ramai, mana kala 11 tahun kemudian atau tahun 1905, pemerintah Belanda membangun tempat penampungan air raksasa untuk memasok kebutuhan air warga Tanjungkarang kala itu, Gedong Air, begitu warga menyebut. 

    Gedong Air dibangun hanya berjarak sepelemparan batu dari Pasar Bambu Kuning, secara tak langsung, aktivitas warga di pasar ini makin ramai. 

    Padahal, waktu itu, Pasar Bambu Kuning usianya paling muda dibanding Pasar Bawah dan Pasar Cimeng, tapi karena menjadi sumbu perlintasan dari berbagai arah, Bambu Kuning adalah primadona. Posisinya yang strategis menjadi tempat transit bagi banyak orang.  

    Dulu, kebiasaan penduduk pribumi Tanjungkarang yang bertani, adalah menjual hasil-hasil buminya di Pasar Bawah dan Pasar Cimeng, uang hasil jualannya kemudian dipakai untuk mencari sandang di Bambu Kuning. Tapi, ada pula penduduk yang langsung menukar hasil buminya ke Bambu Kuning. 

    Kebiasaan barter ini juga yang kemudian menumbuhkan pasar baru di Bambu Kuning yang tak hanya melulu berjualan kebutuhan sekunder, tapi juga kebutuhan pangan, yang bisa jadi pula mengarah pada terbentuknya Pasar SMEP saat ini. 

    Bambu Kuning makin terglorifikasi mana kala Belanda menggagas program transmigrasi pertama kali di daerah Kawedanan Gedongtataan, sebagai percobaan kolonisasi pertama yang dibalut politik balas budi Belanda setelah mendapat tekanan dari banyak pihak. 

    Upaya kolonisasi yang dilakukan Belanda, yang terpusat di Gedongtataan itu, membuat para transmigran, secara tak langsung, melihat Bambu Kuning sebagai pusat perdagangan yang ramai, apalagi selepas turun dari Stasiun Tanjoengkarang, setelah melalui perjalanan laut, ribuan transmigran ini terlebih dahulu transit di area sekitar Bambu Kuning, sebelum akhirnya menuju  Gedongtataan. 

    pasar bambu kuning
    Keadaan Pasar Bambu Kuning diperkiraan tahun 1970-an. Foto: ist

    Rahmadsyah, kini 70 tahun dan tinggal di Jalan Tamin, mengingat usia kecilnya yang banyak dihabiskan di pasar itu,”dulu bawa uang lima rupiah ke Bambu Kuning sudah gagah betul,” ujar pensiunan ASN ini. 

    Ia tahu persis ketika Pasar Bambu Kuning mulai di revitalisasi, dari gubuk-gubuk papan kemudian dibangun menjadi pasar permanen sekitar tahun 1974. 

    “Dulu waktu masih dibangun, kami suka ambilin paku-pakunya yang panjang, terus dibawa ke stasiun, sebelum kereta lewat, pakunya kita pasang di rel biar digiling ban kereta, setelah pakunya pipih, kita jadikan pisau,” kenangnya. 

    Saat renovasi pertama, jumlah pedagang di Pasar Bambu Kuning tercatat sebanyak 257 pedagang, dan 150 pedagang kaki lima (PKL). 

    Seiring waktu jumlah pedagang terus bertambah, PKL pun meluap hingga ke jalan. Bambu Kuning sesak oleh pedagang. Pedagang di Pasar Bawah dan beberapa pasar kecil di Tanjungkarang pun, ramai-ramai eksodus ke Bambu Kuning. 

    Benih-benih ‘preman pasar’ juga mulai tumbuh disini. Bambu Kuning adalah lahan seksi khususnya buat kelompok-kelompok dari Kaliawi dan Gunungsari, ada gesekan-gesekan kecil, tapi tak terlalu terlihat, mereka ‘keder’ pula, karena di dekat Bambu Kuning ada markas Polisi Militer. TNI masih amat mendominasi waktu itu. 

    Sampai kemudian ada pembagian wilayah melalui kesepakatan tak tertulis. Kaliawi pegang Bambu Kuning, Gunungsari pegang Stasiun Tanjungkarang. 

    Dalam penguasaannya, sempat pula ada kelompok-kelompok sempalan lain yang juga ingin menguasai Bambu Kuning, tapi ketegangannya tak terlalu muncul ke permukaan. Apalagi, ‘petrus-petrus’ juga mengintai. Hegemoni orde baru kala itu memang amat kuat. 

    Terlepas dari kelompok-kelompok sempalan itu, seiring makin tumbuhnya pedagang dan pembeli di Bambu Kuning, upaya revitalisasi tahap kedua dilakukan tahun 1986. 

    Saat itu, banyak pedagang apalagi PKL yang tak terakomodir di Pasar Bambu Kuning, padahal Bambu Kuning adalah magnet utama bagi banyak orang untuk datang ke Tanjungkarang. 

    Ada 97 pedagang dan ratusan PKL yang semula sudah terdata sebagai pedagang resmi Bambu Kuning, malah tak mendapat tempat. 

    Riak-riak antarsesama pedagang, pedagang dan pemerintah makin sering terjadi, hingga akhirnya tuntutan pedagang dipenuhi, tapi tak semua, hanya 46 dari 90-an pedagang yang bisa berjualan di Bambu Kuning, sementara ratusan PKL dilarang total. 

    Larangan ini membuat PKL harus kucing-kucingan dengan pemerintah. Lapak-lapak yang mereka sewa dari oknum dan pengelola pasar harus siap kapan saja dibongkar Pol-PP. 

    Arah kebijakan kala itu memang amat tergantung dari sentimen pemimpinnya, yang punya kecenderungan tunduk pada perintah dari atas, apalagi waktu itu era Orde Baru masih mencengkeram hingga level desa. 

    Makin lengkap ketika Walikota Bandarlampung saat itu, Nurdin Muhayat dikenal sebagai ‘wagiman’, walikota gila taman. Nurdin yang cenderung estetis, mengubah banyak wajah Bandarlampung dengan taman-taman. Ia pula tak ingin melihat kesemrawutan kota, termasuk PKL-PKL di Bambu Kuning. 

    Ketika resesi yang berujung pada tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998, praktis terjadi kekacauan dimana-mana. Bambu Kuning pun terdampak. Banyak pekerja yang terkena PHK kemudian beralih menjadi PKL di Bambu Kuning. Bambu Kuning pun makin padat. 

    Dua ruas jalan utama yang membelah Bambu Kuning, yakni; Jalan Batu Sangkar dan Bukittinggi, sesak dengan lapak-lapak pedagang PKL. 

    Suasananya makin tak teratur. Sampah dimana-mana, belum lagi aksi kejahatan kerap mengancam pengunjung pasar. Banyak laporan pencopetan hingga penodongan disini. 

    Bambu Kuning menjadi identitas pembentuk utama Kota Bandarlampung. Semua yang datang ke kota tujuannya mayoritas adalah Bambu Kuning.  

    Kesan kumuh juga mulai nampak. Bambu Kuning juga mulai riuh dengan konotasi negatif. Bangunan di atas lantai 1, yang difungsikan sebagai gedung bioskop, arena biliar kental dengan keributan dan beragam aksi kejahatan. 

    Saat kepemimpinan beralih ke Eddy Sutrisno, penataan kembali dilakukan.  

    Jalan Batu Sangkar dan Bukittinggi harus bersih dari PKL. Mereka direlokasi ke lantai II dan III Bambu Kuning. Tapi, pemindahan ini ditolak pedagang, karena selain sepi, biaya sewanya terbilang mahal. 

    Di sisi lain, pedagang juga khawatir akan kualitas konstruksi khususnya lantai III Bambu Kuning yang amat riskan. Apalagi jika ditempati oleh ratusan pedagang, belum ditambah pengunjung. 

    Bambu Kuning memang bak perempuan cantik yang memikat siapa saja.  

    Arus perputaran uang sejak tahun 1986 hingga 2010 tembus hingga miliaran rupiah perharinya. 

    Pembeli yang dijangkau bukan cuma di Lampung, tapi merambah hingga Palembang, Bengkulu hingga Jambi. 

    Sebelum sektor pariwisata mendominasi, Bambu Kuning adalah destinasi penting bagi siapapun yang berkunjung ke Bandarlampung. 

    Barang yang dijual pun tak hanya melulu berasal dari Pasar Tanah Abang tapi bahkan hingga Arab Saudi. 

    Sebagai surga barang murah, Pasar Bambu Kuning juga identik dengan barang kualitas KW hingga pemalsuan produk, semuanya bertumpuk menjadi satu. 

    Dari celana hingga kemeja bermerek hingga aspal ada disini. Tas-tas berlabel LV hingga Hermes bersanding dengan produk-produk asal Cibaduyut. 

    Setiap hari, ribuan pengunjung memadati pasar ini. Lorong-lorong pasar sesak dengan orang yang berlalu-lalang, berdesak-desakan dengan dagangan yang dipajang hingga mempersempit gerakan. 

    Adu kuat tawar menawar juga lazim terdengar. Sepotong celana yang semula ditawarkan seharga ratusan ribu rupiah, bisa dilepas seharga puluhan ribu,”kalau masih masuk (untungnya), walau sedikit kita lepas, yang penting barang muter,” ujar Uni Yanti salah satu pedagang di Bambu Kuning. 

    Uni Yanti yang sudah sepuluh tahun lebih berjualan di Pasar Bambu Kuning mengenang masa itu sebagai era kejayaan para pedagang. 

    Tak ada satupun toko di Bambu Kuning yang tak menghasilkan uang. 

    “Sesepi-sepinya jualan, itu kita masih bawa pulang uang satu jutaan lebih,” katanya lagi. 

    Setiap hari pula, ratusan bal produk garmen datang dari berbagai penjuru ke Bambu Kuning.  

    “Dulu kita itu nggak sempat makan siang sambil santai-santai gitu. Makan siang itu sambil ngelayanin pembeli”. 

    Sama halnya dengan Uni Yanti, Sahrin salah satu pedagang yang terbilang senior di Bambu Kuning mengenang keriuhan pasar ini dengan cerita-cerita kemewahan para pedagangnya. 

    “Semua pedagang disini punya paling sedikit dua toko, pekerjanya bisa sampai 8 orang, itu kita juga masih keteteran ngelayanin pembeli. Sewanya nggak setahun dua tahun tapi minimal 5 tahun dibayar langsung,” tutur Sahrin. 

    Ia bahkan menyebut ada salah seorang pedagang asal Bambu Kuning berdarah minang yang sukses membangun pusat perbelanjaan sendiri, bahkan hingga di dua tempat sekaligus, meski kemudian harus surut. 

    “Uang di Bambu Kuning ini nggak main-main, banyak cerita pedagangnya yang sukses”. 

    Sekarang, 13 dasawarsa sejak cikal bakal Pasar Bambu Kuning ada, di bawah teduhnya rumpun bambu, pasar itu kini lengang. 

    Banyak toko yang tutup, jumlahnya bahkan hampir mendekati angka 80 persen. Sementara sisanya, masih mencoba bertahan meski tak terlalu berharap bisa seramai seperti dulu lagi. 

    “Yang penting ada yang laku aja satu atau dua potong sudah alhamdulillah, karena sayang uang sewanya,” terang Uni Yanti lagi. 

    Ia mengakui kebanyakan toko yang tutup memang sudah habis masa sewanya, sedangkan toko-toko yang sudah berstatus hak milik juga terpaksa tutup karena biaya operasional yang besar sementara pembeli tak ada. 

     

    Uni Yanti melangkah pelan menyusuri lorong-lorong Pasar Bambu Kuning yang sepi. Sesekali ia menyapa pedagang yang masih tersisa. 

    Bekal makanan yang ia bawa juga tak terlalu banyak,”ini cuma buka sebentar, kalau sampai jam 12 sepi, mau pulang aja,” katanya. 

    pasar bambu kuning
    Kondisi Pasar Bambu Kuning saat ini. Foto: Meza Swastika

    Ia masih berjualan di Pasar Bambu Kuning bukan karena berharap dagangannya laku, tapi karena terpaksa daripada masa sewa tokonya habis percuma. 

    “Dagangannya sudah susah laku. Kebanyakan saya jualin online, tapi untungnya tipis banget”. 

    Ia kini mulai mencoba beradaptasi dengan pasar-pasar online seperti Shopee dan Tiktok Shop, meski sempat terkejut ketika pertama kali melihat persaingan ‘banting-bantingan harga’ antarsesama pedagang untuk satu produk yang sama. 

    Yang masih agak lumayan Ko Awi, pedagang emas di lantai 1 Pasar Bambu Kuning ini masih bisa menikmati hasil berniaganya,”ya tapi kalau mau dibandingin sama dulu, jelas jauh lah. Dulu mah sehari bisa 10 kilo emas saya jual”. 

    Menurutnya, saat ini kebanyakan pembelinya saat ini adalah pelanggan loyalnya sejak lama. 

    Ko Awi mengaku rindu momen-momen Pasar Bambu Kuning seperti dulu, bukan hanya soal omzet, tapi juga keriuhan dan kehangatan antarsesama pedagang yang harmonis. 

    Bambu Kuning kini memang sudah menjelang layu. 

    Bambu Kuning sejatinya adalah identitas sesungguhnya yang membentuk Kota Bandarlampung kini. 

    Dibalik murungnya Bambu Kuning saat ini, pernah ada ribuan nyawa yang hidup dan menggantungkan nasibnya disini. 

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     


  • manusia gerobak

    Disadari atau tidak, kian hari jumlah manusia gerobak di Bandarlampung makin ramai. Ini bukan kebetulan, bisnis eksploitasi ‘iba’ ala manusia gerobak ini, sebenarnya bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi lebih ke gaya hidup. Pemkot Bandarlampung tak punya solusi akhir untuk penanganannya. 

    (Lontar.co): Di balik gerobak kayu, di salah satu sudut parkiran Puskesmas Rawat Inap Way Halim yang jembar,  dua perempuan paruh baya itu, terlihat serius menghitung tumpukan uang kertas di pangkuan mereka masing-masing. Jumlahnya lumayan banyak, nominalnya juga tak ada yang kecil.  

    Sesekali mereka terlihat gelagapan menutupi uang-uang itu dengan karung, dan saling tertawa, saat ada yang melintas di dekatnya. 

    Sementara dua anak kecil yang selalu mereka ‘gendong’ di gerobak dibiarkan bermain pasir. 

    Tak berselang lama, salah satu diantaranya menarik smartphone hitam berkamera boba yang disimpan di dalam tas selempang yang diletakkan di bagian depan gerobak.  

    Ia terlihat sedang menghubungi seseorang, mimik wajahnya sesekali serius, tapi sebentar kemudian tertawa. 

    Perempuan 40-an tahun itu juga seperti tak leluasa memainkan ponsel pintarnya, sesekali matanya awas melirik ke segala arah, sejenak kemudian matanya serius memandangi layar ponsel berkelir putih miliknya. 

    Semakin sore, tiga gerobak lain yang penuh dengan tumpukan kardus dan kipas angin rusak, menyusul. Semuanya perempuan, pakaian mereka terlihat lusuh, tapi wajah mereka lebih banyak cerah. 

    Suara percakapan antarmereka juga kerap terdengar riuh. Ada pula yang santai menyantap nasi kotak. 

    Mendekati Maghrib, satu per satu mereka pulang membawa gerobak, sementara tiga lainnya dijemput dengan sepeda motor matic keluaran terbaru. 

    Entah sejak kapan, halaman parkir Puskesmas Rawat Inap Way Halim itu jadi titik kumpul manusia-manusia gerobak ini, namun yang jelas, pemandangan ini selalu rutin terlihat tiap sore hari. 

    Lokasinya yang teduh oleh pepohonan dan berada tepat di belakang  Masjid Al Muhajirin membuat lahan parkir ini diminati. 

    Tapi, pengelola masjid dan puskesmas kerap jengah dengan tingkah mereka,”sering diingatkan, kalau disini bukan tempat untuk ngemis, tapi bukannya pergi malah ngelawan, akhirnya malah tambah banyak yang nongkrong di parkiran puskesmas ini,” ujar salah seorang warga. 

    Kemarin saja, saat bulan Ramadhan, manusia-manusia gerobak ini tumpah di parkiran ini, sejak siang hari hingga mendekati waktu berbuka. Tak ada satupun dari mereka yang puasa. 

    Mereka hanya sekedar duduk dengan wajah memelas, kemudian menunggu jemaah-jemaah masjid selesai shalat. 

    Di hari-hari biasa, rutinitas itu tetap berlangsung tapi tak terlalu intens, kecuali hari Jum’at, biasanya manusia-manusia gerobak ini akan berkumpul di pintu-pintu keluar Masjid Al Muhajirin. 

    Pemandangan yang kurang lebih sama juga terlihat di depan Masjid Ad-Du’a Jalan Sultan Agung yang bahkan sudah ‘hadir’ jauh sebelum shalat Jum’at digelar. 

    Mereka memenuhi trotoar-trotoar di depan masjid, bahkan ada yang masuk hingga ke dalam komplek masjid dengan beragam mimik yang kebanyakan dibuat murung. 

    Sebenarnya, ‘profesi’ utama manusia-manusia gerobak ini bukanlah pengemis, mereka adalah pemulung yang kemudian bersalin rupa setelah melihat peluang lain dari gerobak yang mereka pakai untuk mengangkut barang-barang bekas ini, efektif menarik empati penduduk kota terhadap hal-hal yang cenderung mengundang simpati. 

    Awalnya, ada sebagian dari manusia gerobak ini berulah dengan memanfaatkan situasi saat mencari barang rongsok di lingkungan perumahan. Banyak peralatan rumah yang sebenarnya masih digunakan justru dicuri oleh mereka, saat pemiliknya lengah. 

    Keadaan ini membuat banyak warga kesal dan menutup akses bagi para pengumpul barang bekas ini. Banyak perumahan-perumahan yang memasang larangan ke tukang-tukang rongsok untuk tak masuk ke dalam komplek. 

    Makin sempitnya ruang gerak mereka, membuat pengumpul rongsok ini merangsek ke daerah kota. 

    Pakaian yang lusuh, kerap membawa anak di dalam gerobak saat bekerja inilah atribut-atribut yang  kemudian memantik empati dari kebanyakan orang. 

    Maka kemudian, mereka mengeksploitasi diri melalui singgungan empati berbalut keyakinan-keyakinan yang dominan, seperti Jum’at berkah hingga hari-hari keagamaan yang kental, untuk mendulang pundi-pundi uang yang tak kecil.  

    Kini mereka melegitimasi dan menjadi penghias wajah kota. Di beberapa ruas jalan arteri di Bandarlampung yang tingkat kepadatannya amat tinggi, pemandangan manusia gerobak menjadi amat lazim kini. 

    Lihat saja, di sepanjang Jalan Raden Intan, yang nadi ibukota bisa dirasakan di jalan ini, manusia gerobak bertebaran, duduk santai di trotoar-trotoar, sembari makan, sembari tidur atau sekedar ‘memancing’ iba pengendara dengan anak-anak mereka yang sengaja dibuat kumuh. 

    Di Bundaran Gajah, realitas serupa juga terlihat. Gerobak-gerobak mereka berjejer tak beraturan seperti hendak menahan laju kendaraan yang melintas untuk sekedar ‘menengok’ keadaan mereka. 

    Mereka-mereka ini, para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), setidaknya terlihat di jalan-jalan protokol Kota Bandarlampung yang ramai, seperti; Jalan Raden Intan, Bundaran Gajah, Jalan R.A Kartini,  dan sebagian Jalan Pangeran Antasari. 

    Jumlahnya tak sedikit. Bahkan jika ditotal, ada hingga 30-an orang. Itu belum termasuk dengan anak-anak yang mereka bawa. Kadang, satu gerobak bisa membawa dua orang anak sekaligus. 

    Soal keadaan, mereka sebenarnya bukan orang yang tergolong tak mampu, beberapa diantara mereka bahkan hidup berlebih.  

    Selain beberapa manusia gerobak yang dijumpai di area parkir Puskesmas Rawat Inap Way Halim, Lontar juga pernah mendapati seorang manusia gerobak yang dijemput oleh anaknya dengan sepeda motor. Ia dibonceng sembari kedua tangannya menarik gerobak di belakang. 

    Karena merasa dibuntuti, perempuan tua dan anak perempuannya ini sempat berusaha kabur dengan masuk ke salah satu gang di Jalan Sultan Agung, Way Halim. 

    Tapi kemudian, diketahui tempat tinggal mereka terbilang mewah untuk ukuran manusia gerobak.  

    Rumah luas berwarna kuning emas dengan bangunan permanen di sudut gang, tak jauh dari rumah pribadi mantan Gubernur Lampung Arinal Djunaidi. 

    Ada pula dua unit motor yang masih relatif baru dan satu sepeda anak-anak, rumah ini bahkan jauh dari kesan sederhana. 

    Manusia gerobak, menurut psikolog Ceria Hermina adalah cermin kelompok masyarakat yang punya kecenderungan melihat hidup secara instan sehingga membuat mereka tak produktif apalagi kreatif. 

    “Mental manusia gerobak itu semuanya instan, mencari uang dengan cara mudah melalui rasa iba,” jelasnya. 

    Sebagai regulator, Ceria melihat pentingnya peran pemerintah yang tak hanya sekedar menertibkan manusia-manusia gerobak ini saja,tapi juga memberi solusi jangka panjang untuk manusia-manusia gerobak ini agar lebih produktif. 

    Masalahnya, Pemkot Bandarlampung memang tak punya solusi akhir untuk menangani penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), kecuali hanya sekedar proses penertiban yang terbatas pada pendataan, satu dua bulan kemudian manusia-manusia gerobak ini kembali mengais iba. 

    Akhirnya, upaya-upaya penertiban manusia gerobak, gepeng, manusia silver dan sejenisnya hanya menjadi rutinitas kerja yang terus berulang setiap kalinya. 

    Sebagai ibukota, Bandarlampung sudah selayaknya memiliki panti sosial yang khusus, bukan hanya untuk membina mereka, tapi juga sebagai efek kejut agar manusia-manusia gerobak ini tak berulah kembali. 

    Sebab, selama ini, panti yang digunakan adalah milik provinsi, sehingga otomatis, baik Dinas Sosial maupun pemkot terkesan melepas proses pembinaan ke panti yang secara struktural tak hanya sekedar menangani penyandang masalah kesejahteraan sosial asal Bandarlampung saja. 

    Faktanya, upaya pembiaran yang dilakukan Pemkot Bandarlampung terhadap anak-anak yang dibiarkan ikut orang tuanya mengemis atau bahkan ikut menjadi pengemis sebagai tindakan yang tak ideal apalagi untuk kota yang meng-klaim sebagai kota layak anak. 

     

     

      

     

     



  • Please jangan apriori dulu deh, kalau membahas kereta gantung yang diusulkan Bunda Eva. Sebutannya saja sudah Bunda. Layaknya orang tua sudah barang tentu bakal memberi yang terbaik buat anak-anaknya, ya kita-kita ini sebagai warga Bandarlampung.

    (Lontar.co): Lagi pula, Walikota Eva Dwiana yang senang disapa Bunda itu, sejak awal sudah gembar-gembor kalau gagasan brilian dia tidak bakal minta saweran sepeser pun dari APBD. Malah, kalau kereta gantung sampai terwujud, justru mendatangkan rezeki buat warga kota. Tuh, kurang tulus dan cemerlang apalagi buah pikir Beliau.

    Makanya, kalau sedang mencerna gagasan terbaru Bunda Eva, tanggalkan dulu kekhawatiran akan bencana banjir yang nggak bosan-bosan menyambangi banyak rumah warga kota.

    Buang juga jauh-jauh harapan Bandarlampung punya manajemen bencana yang mampu memitigasi dampak banjir secara efektif, bukan sekadar bertindak layaknya pemadam kebakaran yang datang cuma untuk membekap jilatan api, tanpa mampu memastikan kebakaran tak bakal lagi mampir.

    Satu lagi, jangan pernah mencampur baurkan rencana pembangunan kereta gantung dengan truk sampah yang kondisinya ngenes dan bikin kita miris saat lihat truk-truk itu berseliweran di jalan-jalan.

    Berhenti dulu, membandingkan yang tidak apple to apple itu. Beri kesempatan kepada Bunda Eva untuk mewujudkan impian-impiannya terlebih dahulu. Anggap saja itu sebagai dia yang sedang mengapresiasi dirinya yang kemarin habis berjibaku di kancah pemilukada. Dan akhirnya menang lagi, tak terkalahkan. So, wajar dong sejenak menghibur diri. Iya, nggak sih?!

    Kalau mau komparasi apple to apple mari kita selami alam pikir Bunda Eva. Asal tahu saja, Bunda Eva itu agaknya sangat terinspirasi dengan kereta gantung di Kota Thaif, Arab Saudi, dan yang ada di Negeri Singa, Singapura. Itu mungkin berkat dia sering bertandang ke kedua negara tersebut. Saking terpukau lantas terbersit ide untuk membuat kereta gantung di Bandarlampung.

    Nah, itulah pentingnya melanglang buana, biar cakrawala wawasan ikut terbuka lebar. Makanya jangan melulu nuntut Bunda Eva untuk sering bolak-baik ke TPA Bakung yang pernah digeruduk Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, yang berbuntut penyegelan.

    Atau cerewet meminta Bunda Eva untuk rajin meninjau daerah-daerah rawan banjir. Kasihan kan harus keliling ke banyak tempat. Karena memang lokasi kebanjiran ada di mana-mana, nyaris merayap ke sekujur kota.

    Begitu juga jangan terlalu mendesakkan saran agar pemkot memprioritaskan penggantian truk sampah dengan yang lebih layak. Lebih manusiawi. Jangan banyak minta, deh. Kasih dulu kesempatan buat Bunda Eva berkutat dengan gagasan-gagasan spektakulernya.

    Eit…jangan keburu nyinyir lagi kalau ada diksi spektakuler. Karena dalam satu wawancara, secara eksplisit Bunda Eva menyatakan, kalau kereta gantung sudah terwujud dipastikan menjadi wahana wisata spektakuler dan pertama yang ada di Indonesia.

    Jadi biarlah kasih waktu ke Beliau untuk membuktikan obsesinya. Sabarlah. Masih ada banyak stok sabar, kan? Bagus. Karena memang tidak tersedia opsi lain selain sabar dan sering-sering mengelus dada. Sudah terbiasa lah kita untuk itu. Aman.

    Oh iya, memang semenakjubkan apa kereta gantung yang ada di Kota Thaif, Arab Saudi dan Singapura? Banyak referensi menyebutkan, kereta gantung di Thaif dikenal dengan sebutan Taif Telefric. Kereta ini menghubungkan gunung Al Hada dengan resort al-Kar di bagian bawahnya, dengan jarak perjalanan sekitar 4,2 km dan waktu tempuh 15-20 menit.

    Dari lokasi yang berjarak sekitar 90 km dari Makkah dan 200 km dari Jeddah ini, pengunjung dapat menikmati udara sejuk pegunungan dan pemandangan kota Thaif.

    Sedangkan kereta gantung yang berada di Singapura menyediakan jalur udara dari Gunung Faber ke pulau resor Sentosa. Dari ketinggian penumpang kereta gantung bisa menikmati pemandangan panorama pusat distrik bisnis di negara tetangga kita itu.

    Makin jelas kan kenapa Bunda Eva sampai menyebut gagasannya sebagai hal spektakuler. Karena pembandingnya Arab Saudi dan Singapura yang notabene dua negara makmur.

    Kalau pun warga Kota Bandarlampung belum bisa mencicipi kesejahteraan seperti pada kedua negara tersebut, setidaknya kita punya kemiripan simbolis. Diawali dari simbol kereta gantung dulu. Siapa tahu nanti nasib warga yang serba tanggung ini, baru terlihat jelas secara terang benderang oleh Bunda Eva saat dia menyaksikannya dari kereta gantung. Good luck, Bun.(*)


  • pak ogah

    Sejumlah ruas jalan di Bandarlampung ‘dikuasai’ oleh Pak Ogah, banyak yang jengah dengan ulah mereka, bahkan ada yang pernah diintimidasi. Arus perputaran uang di jasa Pak Ogah ini tembus hingga ratusan ribu tiap harinya. Polisi diam saja? 

    (Lontar.co): Dewi, guru salah satu sekolah swasta di Bandarlampung pernah punya pengalaman menakutkan dengan Pak Ogah yang ada di ruas Jalan Teuku Umar, tak jauh dari Pasar Koga. 

    Tiga bulan lalu, dia baru saja pulang lembur dari sekolahnya di daerah Tanjungkarang. Waktu sudah hampir tengah malam, ia membawa mobilnya dengan pelan menuju ke arah Rajabasa. 

    “Waktu itu, anak saya titip nasi uduk yang ada di Way Halim, kalau saya putar di bawah flyover MBK jelas jauh, jadi saya putar balik di depan Pasar Koga, rencana mau lewat Jalan Pahlawan,” cerita Dewi. 

    Saat tiba di depan Pasar Koga, ia bermaksud putar balik di U Turn yang tak jauh dari RS Advent,”mungkin mereka (Pak Ogah) itu melihat saya sendirian di dalam mobil, kemudian ada satu orang yang langsung berdiri di tengah putaran balik. Saya tak tahu, maksudnya mau apa, tapi saya sempat ngasih kode pake tangan, maksudnya saya nggak usah dibantu puter balik, karena waktu itu jalan juga sudah sepi,” ujarnya lagi. 

    Tiba-tiba karena Dewi tak memberi uang jasa kepada mereka, salah seorang diantaranya memukul mobilnya dengan keras. 

    “Waktu itu saya kaget dan langsung berhenti di tengah-tengah putaran balik itu, saya buka kaca mobil dan menanyakan kenapa mereka mukul mobil saya, tapi mereka malah balik membentak saya”. 

    Salah seorang diantaranya bahkan berusaha menghampiri Dewi dan bermaksud membuka paksa pintu mobil, tapi tak berhasil karena terkunci otomatis,”padahal waktu itu masih ramai orang yang lewat, tapi tak ada yang membantu saya sama sekali”. 

     

    Tujuh kaleng kecil lem aibon itu tersimpan rapi di dalam plastik hitam yang diselipkan di batang-batang tanaman yang tumbuh merimbun di median Jalan Teuku Umar. Tak jauh didekatnya, plastik-plastik bekas yang masih terdapat sisa lem Aibon terserak begitu saja di median jalan. 

    Di dekatnya, tiga pemuda tanggung, berkulit legam terlihat sibuk ‘mengatur’ jalan di ruas putar balik. 

    Mereka menandai tiap kendaraan yang hendak putar balik, cukup dari lampu sein yang hidup, setelahnya mereka sigap menutup arus dari arah berlawanan. 

    Seorang pedagang gorengan yang berjualan tak jauh dari pak ogah-pak ogah itu menyebut, kebiasaan buruk pemuda-pemuda itu yang kerap ‘ngelem’,”biasanya ngelem dulu itu, baru kerja,” ujar pedagang itu. 

    Pedagang  itu juga kadang dibuat kesal oleh ulah mereka yang kerap mabuk-mabukan, apalagi saat malam hari,”kalau sudah pada mabuk, suka rusuh, makan gorengan nggak bayar”. 

    Pedagang itu pernah pula melihat kelompok pemuda itu menghitung uang yang mereka peroleh,”kadang sampai Rp300 ribu. Saya tahu karena mereka sering tukar uang dua ribuannya ke saya,” akunya lagi. 

    Arus perputaran uang di ‘bisnis’ pak ogah ini memang lumayan deras. Rata-rata penghasilan mereka hingga ratusan ribu perhari  tiap kelompoknya,  apalagi di jam-jam sibuk. 

    Di satu U Turn, umumnya dibagi dalam dua kelompok pemuda, tiap kelompok maksimal tiga orang. Kelompok pak ogah ini membagi waktu dalam dua shift, pagi hingga siang dan sore sampai malam. 

    Tim Lontar pernah mengamati aktivitas para penguasa jalanan ini bekerja di ruas U Turn Jalan Teuku Umar dan Jalan Pangeran Antasari, dalam durasi pengamatan yang sama, yakni; 30 menit, di jam kepadatan yang sama pula; siang dan sore. Dan, metode pengamatan dilakukan selama dua hari, tapi tak secara berurutan. 

    Pengambilan sampel memang sengaja dilakukan di kedua ruas jalan ini, karena volume kendaraan khususnya roda empat terbilang padat dibanding ruas jalan lain, yang titik ruas baliknya dikuasai oleh pak ogah. 

    Hasilnya, di ruas putar balik Jalan Teuku Umar yang ramai pada sore hari, rata-rata dalam 30 menit ada sebanyak 40 unit kendaraan (khusus roda empat), yang putar balik. Dari 40 mobil yang putar balik itu, 32 diantarnya memberikan uang jasa ke pak ogah, besarnya variatif, tapi umumnya Rp2 ribu per kendaraan. 

    Sedangkan pada siang hari, jumlah kendaraan yang putar balik, intensitasnya lebih rendah, tak sampai 15 unit kendaraan. Dari 15 unit yang kendaraan yang putar balik selama 30 menit pengamatan, ada 10 pengemudi yang memberi uang ke pak ogah. 

    Sementara, di Jalan Pangeran Antarasi, selama dua hari pengamatan dengan durasi waktu 30 menit di sore hari, rerata ada sebanyak 25 mobil yang putar balik. Dari 25 mobil itu, 12 mobil memberi uang jasa ke pak ogah. 

    Selanjutnya, pada siang hari, volume kendaraan yang putar balik jauh lebih sedikit dibanding sore hari. Dalam kurun waktu 30 menit, ada 16 mobil yang putar balik. Dari 16 mobil, 10 memberikan uang ke pak ogah. 

    Meski tak bisa dijadikan acuan, namun dari pengamatan itu, bisa dibayangkan berapa penghasilan pak ogah dalam sehari, hanya dengan bekerja dalam hitungan kurang dari 6 jam per kelompoknya. 

    Ada kabar pula, basahnya ‘lahan’ U Turn ini menjadi rebutan oleh sejumlah kelompok, bahkan pernah terjadi keributan antarkelompok untuk menguasai ruas putar balik khususnya di Jalan Teuku Umar dan Jalan Z.A Pagar Alam. 

    Semula, ruas putar balik di jaga oleh kelompok ‘anak punk’. Awalnya, mereka hanya menjaga ruas putar balik di Jalan Soekarno-Hatta (By Pass) saja, tapi kemudian melebar hingga ke jalan protokol, termasuk di Jalan Teuku Umar dan Jalan Z.A Pagar Alam dan Jalan Pangeran Antasari. 

    Karena menggiurkan, sekelompok orang kemudian mengambilalih lokasi dari anak-anak punk ini, yang memicu keributan.  

    Udin, petugas parkir di salah satu gerai waralaba di Jalan Pangeran Antasari yang berhadapan langsung dengan ruas putar balik yang terbilang ramai, mengaku pernah melihat tawuran sekelompok pemuda,”bawa pedang segala,” ujarnya. 

    Yang ia dengar, tawuran dipicu karena perebutan ruas putar balik,”saya lihat ada yang luka tapi langsung dibawa temannya entah kemana”. 

    Beberapa hari kemudian, petugas parkir itu melihat pak ogah-pak ogah yang ada di ruas putar balik sudah berganti wajah. 

    “Memang puteran (U Turn) itu paling ramai dibanding yang lain, jadi wajar kalau jadi rebutan,” timpalnya lagi. 

    Ia pernah menegur pak ogah-pak ogah yang wajahnya terlihat asing baginya,”kalau muterin balik itu semaunya aja, akhirnya jadi macet panjang. Sempat saya tegur, kalau muterin itu liat-liat kondisi dulu nggak asal-asalan,” akunya. 

    Ketidakpahaman tentang cara mengatur arus lalu lintas memang jadi masalah serius yang dipicu oleh keberadaan pak ogah ini. 

    Bahkan ada  kecenderungan, mereka sengaja menciptakan kemacetan di tiap ruas putar balik agar pemilik kendaraan mau membayar jasa mereka. 

    Udin pun membenarkan hal itu, menurutnya, kemacetan memang sengaja dibuat oleh pak ogah-pak ogah ini agar kendaraan yang hendak putar balik kesulitan,”kalau sudah macet kan mau nggak mau harus ngikutin aturannya mereka”. 

    Dampaknya, di jam-jam sibuk yang padat kendaraan, seperti siang dan sore hari, ruas-ruas jalan yang dikuasai oleh pak ogah ini menjadi sumber kemacetan utama. 

    Pemandangan kemacetan panjang menjadi lazim dilihat di keempat jalanan itu. Faktornya, pak ogah-pak ogah itu semaunya saja mengatur lalu lintas sehingga memicu kemacetan leher botol (bottleneck). 

    Ruas jalan tersumbat, kendaraan kian menumpuk di satu titik dalam waktu yang lama. 

    Ulah pak ogah penguasa jalan ini juga kerap membuat kesal pengemudi, pernah pula menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas. 

    Di Jalan Soekarno-Hatta beberapa hari lalu terjadi kecelakaan beruntun, pasalnya pak ogah-pak ogah semaunya saja menghentikan kendaraan dari arah berlawanan, padahal kebanyakan kendaraan yang melintas di jalan ini berkecepatan tinggi, akibatnya saat Pak Ogah menghentikan laju mereka, kecelakaan tak terhindarkan.  

    Pernah Ditangkap tapi Tak Kapok 

    Sebenarnya, polisi pernah menangkapi para penguasa jalanan ini, namun mereka tak kapok, beberapa ada yang kucing-kucingan dengan aparat. 

    Pertengahan Mei 2025 lalu, belasan pak ogah ditangkap saat Operasi Pekat Krakatau oleh Polresta Bandarlampung. 

    Mereka ditangkap karena selain membuat kemacetan, juga kerap membuat resah pengendara. 

    Ada 14 orang yang ditangkap. Tapi, setelah ditangkap, kebanyakan dari mereka hanya di data, setelah dilepas, mereka berulah kembali. 

    Polisi bahkan sudah memasang barrier-barrier di salah satu ruas U Turn yang dikuasai oleh pak ogah, tapi oleh mereka, pembatas jalan itu dibuka kembali. 

    Pengamat perkotaan  Tubagus Haryo Karbyanto menyebut perlunya aturan yang tegas dari aparat kepolisian terhadap keberadaan pak ogah-pak ogah ini yang dinilai sudah sangat meresahkan. 

    “Jangan sampai aparat kepolisian tak berdaya menghadapi pak ogah-pak ogah ini,” ujarnya. 

    Apalagi, keberadaan pak ogah-pak ogah ini punya kecenderungan negatif ketimbang manfaat positifnya. 

    “Aktivitas pak ogah ini kian mengarah menjadi profesi yang melembaga. Oleh karena itu, polisi harus hadir memberikan rasa aman dan nyaman di jalanan,” katanya lagi. 

    Belajar dari Bu Ogah Maimunah 

    pak ogah
    Maimunah

    Tapi, tak semua Pak Ogah menguasai, di ruas putar balik yang juga persimpangan antara Jalan Teuku Umar dan Jalan Sam Ratulangi, ada pula Maimunah, ‘Bu Ogah’ yang justru mengundang iba. 

    Menjadi Bu Ogah, bukan pilihan buatnya, apalagi penyakit asam urat membuat kedua kakinya harus berjalan tertatih. 

    Ia tak berusaha memonopoli arus putar balik di ruas itu, sebaliknya ia justru menunggu kesadaran pemilik kendaraan dari arah Tanjungkarang untuk berhenti sejenak, memberi kesempatan pengendara lain putar balik. 

    Sebenarnya, tak banyak kendaraan roda empat yang putar balik di sisi Markas Korem itu, kebanyakan malah sepeda motor, mungkin karena itu pula, ruas putar balik ini tak dilirik oleh pak ogah-pak ogah lain.  

    Meski berperawakan kecil dan gempal namun tak lantas membuat Maimunah tergagap menjadi bu ogah. Ia juga menggenggam kain kecil yang diikat di kayu kecil sebagai alatnya untuk meminta jalan kepada pengendara. 

    Penghasilannya tak tentu. Kadang hanya membawa pulang Rp20 ribu, paling banyak bisa sampai Rp30 ribu. 

    Ia pula tak pernah mematok jasa yang ia lakukan,”yang penting ikhlas. Dikasih 500 juga nggak apa-apa,” tutur Maimunah. 

    Ia bekerja mulai dari siang hari hingga sebelum Isya, waktu ini sengaja ia batasi, karena tempat tinggalnya lumayan jauh di Natar,”kalau sampai malam, nanti nggak dapat angkot pulang”. 

    Maimunah adalah pengecualian. Ia jelas berbeda dengan kelompok-kelompok pak ogah yang kini menguasai ruas-ruas jalan yang ramai di Bandarlampung. 


  • intoleransi

    Setara Institute kembali merilis daftar 10 kota paling intoleran di Indonesia, salah satunya ada Bandarlampung diurutan ke-6. Setidaknya ada tiga kasus paling menonjol, selain tak berpihaknya kebijakan pemerintah kota terhadap warga. 

    (Lontar.co): Hari itu, Minggu (19/2/2023) pukul 9.30, sinar mentari pagi sedang terang-terangnya, beberapa jemaat Gereja Kristen Kemah Daud yang masih di teras, bergegas masuk untuk mengikuti ibadah raya, seperti biasa. 

    Saat jemaat tengah khidmat mengikuti prosesi, tiba-tiba dari arah luar jalan, terdengar suara gaduh sejumlah orang yang melompat pagar dan merangsek masuk ke dalam gereja. 

    Seketika suasana menjadi riuh, sekelompok orang yang merangsek masuk berusaha membubarkan jemaat. Suara teriakan dan kepanikan terdengar, sebagian jemaat yang kebanyakan perempuan, berlari keluar gedung. 

    Sihombing salah satu jemaat kala itu sempat berusaha menenangkan sekelompok orang itu, tapi tak berhasil,”mereka terus masuk,” ujarnya. 

    Peristiwa ini sempat menjadi sorotan nasional, apalagi menjelang tahun-tahun politik. Banyak yang mengecam. Pemerintah daerah dianggap gagal membina kerukunan umat beragama, apalagi pelakunya justru aparat pemerintah. 

    Kenangan buruk pembubaran ibadah jemaat GKKD itu memang masih membekas dan menyisakan trauma, tapi mereka berusaha melupakannya,”kita jadikan pelajaran dan pengalaman saja, toh sekarang sudah damai, kita bisa beribadah seperti biasa,” ujar salah seorang jemaat. 

     

    Hanya selisih dua minggu, sebelum peristiwa pelarangan ibadah GKKD di Rajabasa, jemaat Gereja Protestan Injili Nusantara (GPIN) Filadelfia di Tanjungsenang juga mengalami hal serupa, Minggu (5/2/2023). 

    Tapi, pelarangan ibadah ini nyaris tenggelam apalagi setelahnya kasus yang dialami jemaat GKKD di Rajabasa spektrumnya jauh lebih luas. 

    Pimpinan GPIN Filadelfia Tanjungsenang, Pdt Mardi menyebut setidaknya sudah tiga kali terjadi pelarangan ibadah sepanjang tahun 2020 hingga 2023. 

    Alasannya, tempat pastori itu belum memiliki izin dan persetujuan warga sebagai tempat ibadah.  Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri menjadi dalih warga melarang jemaat GPIN menggelar ibadah. 

    Dalam aturan PBM disebut, pembangunan rumah ibadah harus mendapat persetujuan paling sedikit 60 orang dan telah mendapat rekomendasi secara tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). 

    Saat itu, ada 20 orang warga yang mendatangi jemaat yang hendak beribadah. Pdt Mardi terpaksa menghentikan ibadah raya dan membuat pernyataan penghentian ibadah. 

     

    Setahun sebelumnya, selepas subuh 7 Juni 2022, polisi menangkap pimpinan Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Baraja di kantor pusat Khilafatul Muslimin, Jalan WR Supratman, Bumiwaras. 

    Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BPNT) menyebut Khilafatul Muslimin adalah kelompok radikal yang berdiri sejak 1997 yang cenderung mengarah pada tindakan-tindakan intoleransi. 

    Sedangkan pemimpinnya, Abdul Qadir Baraja adalah mantan napi terorisme yang juga pernah terafiliasi dengan Negara Islam Indonesia (NII). 

    Baraja pernah ditahan pada 1979 karena terhubung dengan kelompok Warman yang diklasifikasikan sebagai gerakan pengacau keamanan (GPK). 

    Kemudian, tahun 1985, Baraja kembali ditahan karena terkait kasus bom Borobudur dan Jawa Timur. 

    Organisasi Khilafatul Muslimin dianggap radikal karena ideologi khilafah yang bertentangan dengan Pancasila. 

     

    Dua kasus intoleran dan satu sebaran bibit radikal di Bandarlampung itu, bisa jadi menjadi dasar Setara Institute menempatkan kota ini diurutan ke-6 kota paling intoleran di Indonesia. 

    Sejak tahun 2023, Kota Bandarlampung ‘konsisten’ masuk dalam daftar kota paling intoleran di Indonesia versi Setara Institute. 

    Tahun 2023, Bandarlampung berada di peringkat ke-9, sebagai kota paling intoleran, dengan skor toleransi 4,45. 

    Kemudian, tahun 2024, peringkatnya naik di urutan ke-6, meski secara skor mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, 4,35. 

    Setara menggunakan setidaknya 8 variabel yang dijadikan indikator indeks kota toleran, yang meliputi; Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), kebijakan pemerintah kota, peristiwa intoleransi, dinamika masyarakat sipil, pernyataan publik pemerintah kota, tindakan nyata pemerintah kota, heterogenitas agama, dan inklusi sosial keagamaan. 

    Setara juga mengkompilasi data dari BPS, Komnas Perempuan, data Setara Institute, dan merujuk pada sejumlah media yang dianggap kredibel. 

    Selain itu, teknik pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner self-assessment kepada seluruh pemerintah kota yang melibatkan sebanyak 94 kabupaten/kota sebagai obyek kajiannya. 

    Visi-visi toleransi melalui kebijakan dalam pembangunan juga menjadi bahan telaah Setara, termasuk kinerja pemerintahnya yang dianggap tak kunjung memberi inovasi sebagai upaya toleransi. 

    Meski, ruang komunikasi antaragama sudah terbangun dengan baik di Kota Bandarlampung, namun acap kali kebijakan pemerintah kota kerap tak sinkron. 

    Yang terbaru adalah pembangunan Tugu Pagoda di Telukbetung yang mendapat reaksi dari masyarakat kota, namun ditanggapi dingin oleh Pemkot Bandarlampung hingga berujung pada upaya gugatan citizen law suit. 

    Gugatan ini mempersoalkan pembangunan Tugu Pagoda yang dibuat di atas fasilitas umum, yang dinilai melanggar hukum sesuai aturan bahwa tidak ada satupun pihak atau golongan yang berhak membangun di atas fasilitas umum yang menjadi akses semua orang. 

    “Indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusianya kuat sekali,” kata kuasa hukum warga, Gunawan Pharikesit. 

    Warga juga menuntut agar tugu itu diganti menjadi Tugu Krakatau, sebagai simbol sejarah letusan Gunung Krakatau yang gelombang tsunaminya bahkan menenggelamkan sebagian besar wilayah Telukbetung. 

    Warga melalui Aliansi Masyarakat Peduli Bandar Lampung (AMPBL) sudah berusaha berkoordinasi dengan Pemkot Bandarlampung tapi hasilnya nihil,”jalan terakhirnya adalah mencari keadilan di citizen law suit ini,” kata Gunawan lagi. 

    Seorang warga keturunan yang tinggal dan memiliki toko tak jauh dari lokasi pembangunan Tugu Pagoda juga mendukung upaya gugatan citizen law suit itu, menurutnya amat riskan membangun sesuatu apalagi tugu berukuran besar di persimpangan jalan yang amat padat. 

    “Itu lokasi yang padat lalu lintasnya, karena jadi persimpangan antara Jalan Ikan Hiu dan Ikan Bawal. Bahwa Telukbetung identik dengan kawasan pecinan itu betul, tapi tak juga harus membangun tugu pagoda,” katanya. 

    Apalagi, banyak simbol-simbol penanda kampung pecinan yang sudah ada di Telukbetung sejak lama, seperti Vihara Thay Hin Bio.”Justru kalau ada tugu itu, ikon pecinan yang selama ini melekat di Vihara Thay Hin Bio jadi bias”. 

    Idealnya, kebijakan pembangunan pemerintah memang berdasarkan kebutuhan warga kotanya, bukan ego sentris pemimpinnya. 

    Apalagi, kebanyakan masyarakat yang tinggal di kampung pecinan Telukbetung lebih menginginkan suasana yang tentram, damai dan tak gaduh,”kita yang hidupnya dari usaha tentu butuh suasana yang damai”. 

    Tapi, tak ada sanggahan apalagi evaluasi apapun dari Pemkot Bandarlampung ditengah sorotan intoleransi itu.  

    Maka, akan sangat mungkin Bandarlampung akan kembali ada di peringkat teratas daftar kota paling intoleran di Indonesia tahun 2025. 



  • Ngenes rasanya saat tahu Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Bandarlampung, Randy Aditia Gumay Gumanti, memberi apresiasi atas terobosan Walikota Eva Dwiana yang ngebet bakal membuat kereta gantung. Ngenes lantaran PSI mengklaim sebagai partainya anak muda. Mungkin anak muda yang kurang jauh mainnya?

    (Lontar.co): Entah apa yang bakal diucapkan Tan Malaka kalau masa mudanya hidup di zaman ini. Terus harus mendapati statemen Randy dkk. Mungkin dia bakal terbahak atau malah mencak-mencak. Bisa jadi juga langsung nepok jidat. Jidatnya anak-anak muda yang katanya hidup di era reformasi tapi jalan pikirannya mundur ke orde baru.

    Bisa pula Tan Malaka berpendapat ini contoh dari anak muda Indonesia yang tak pernah mengalami proses “terbentur…terbentur..terbentur..terbentuk!” Sebuah fase yang menyiratkan laku hidup penuh pergumulan. Tahu rasanya menderita, berdiri, tersaruk, gontai, rubuh lalu tegak lagi. Sehingga pada akhirnya terbangun paradigma pikiran merdeka, bukan menghamba.

    Ah, kalau terbentur saja tak pernah, apalagi terbentuk. Jadi wajar kalau pikirannya menggantung persis kereta gantung. Tambah yakin orang-orang macam begini tidak paham makna tersirat dari ucapan Tan Malaka lainnya, seperti “Tuan rumah takkan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya.”

    Tapi sebenarnya PSI ini filosofis, lho. Tengok saja logo partainya yang menghadirkan mawar putih. Bukan, bukan sekuntum mawar merah seperti lirik lagu atau cover buku. Bukan pula semacam kuntum mawar pada sampul kaset band Guns n’ Roses.

    Ini mawar yang terdiri dari lima kelopak luar yang melambangkan Pancasila, dan tiga kelopak dalam menunjukkan Trisakti. Tuh, kurang filosofis apa coba.

    Mau ditambahin makna folosofi lain? ternyata gambaran mawar putih itu terinspirasi dari ucapan Soekarno. Proklamator ini pernah bilang, “Bunga mawar tidak mempropagandakan harum semerbaknya. Dengan sendirinya harum semerbaknya itu tersebar di sekelilingnya.” Hmmm…kalau PSI-nya apa benaran wangi?

    Balik ke perkara dukungan terhadap wacana pengadaan kereta gantung yang sedang digadang-gadang Bunda Eva. Sebelumnya Eva pernah bilang kepingin banget membuat jalur kereta gantung. Nanti lintasannya dibuat sepanjang 3,5 sampai 4 kilometer.

    Dimulai dari rumah dinas wali kota hingga ke bibir pantai sejauh satu kilometer. Lalu dilanjutkan ke pulau dengan jarak sekitar 2,5 kilometer. Hanya saja, nama pulau yang dimaksud masih dirahasiakan. Konon, biaya pembuatannya yang sampai Rp 2,5 triliun bakal ditanggung bareng investor dari Negeri Tirai Bambu.

    Rencana itu yang kemudian disanjung setinggi langit oleh Randy. Malah, pada sebuah pemberitaan dia menyebutnya sebagai lompatan besar dalam pelayanan publik. Dia juga bilang pembangunan kereta gantung memiliki dampak langsung pada masyarakat.

    Pelayanan publik dan dampak langsung seperti apa yang dimaksud?

    Seandainya Tan Malaka ada dan mendengar langsung ucapan Randy, hakul yakin dia bakal ngomong, “Kawan, adakah anggota partaimu di Bandarlampung, atau kader atau simpatisan partaimu yang waktu musim hujan kemarin rumahnya kebanjiran?”

    Malaka juga akan berucap, “Kalau dijawab tidak ada, cobalah introspeksi, artinya partaimu tidak mengakar. Sebab hampir separuh Bandarlampung kemarin tergenang banjir. Kalau pun ternyata jawabannya punya kader, anggota dan simpatisan yang juga jadi korban kebanjiran, apakah sudah bertanya langsung pada mereka. Lebih suka buat kereta gantung atau upayakan penanganan ancaman banjir?”

    Yang kedua, demikian Malaka menukas, di mana letak rencana itu layak disebut sebagai lompatan besar dalam pelayanan publik. Kalau pun nantinya benar terwujud, kalangan mana yang bisa mencicipinya. Karena jelas itu bukan penyedia jasa angkut gratisan.

    Sudah barang tentu Malaka juga akan mencela, mengapa masih ada orang yang cepat terpukau dengan hal-hal fantastis. Padahal yang bombastis belum tentu tepat untuk dilakukan sekarang. Apa rasanya para pengguna kereta gantung ketika nanti dari ketinggian melihat hamparan genangan banjir dan warga yang menyelamatkan diri ke atap-atap rumah mereka. Apa tetap jojong selfi dengan latar bawah kumpulan warga bermuka resah.

    Mungkin pula Malaka akan menambahkan, belum kah cukup contoh yang ada sebagai bahan pembelajaran. Bagaimana jembatan penyeberangan orang (JPO) Siger Milenial dibangun mahal, lantas hanya gegap gempita di saat awal. Selanjutnya dia termangu lengang membentang sendiri.

    Kalau pun ada manfaat nyatanya, hanya terjadi saat seorang perempuan yang sedang berada di  JPO lantas tidak sengaja melihat bocah tewas tenggelam di kolam. Selebihnya lintasan itu sunyi senyap.

    Apakah sudah lupa kalau pada salah satu menara Masjid Al Furqon di dalamnya dilengkapi lift dari anggaran besar Pemkot Bandarlampung. Tapi setelah rampung pengerjaannya sampai sekarang belum ada warga yang pernah merasakannya. Belum cukupkah itu semua dijadikan sebagai contoh dari kata mubazir!

    Atau pernahkah lihat bagaimana kondisi miris truk-truk pengangkut sampah yang saban hari keluyuran di sekujur jalanan Bandarlampung. Penampakan mereka “bopeng”. Reot di sana-sini. Kadang jalannya terhuyung-huyung dibebani sampah yang menggunung. Kita yang masih punya kepekaan tak pelak geleng-geleng kepala dibuatnya. Sebab menganggap truk itu sudah uzur atau malah menyebutnya sebagai sesuatu yang atraktif, “sampah” mengangkut sampah.

    Tapi percakapan dengan Tan Malaka tentu saja imajiner. Lagipula sudah barang tentu Tan Malaka tidak sudi hidup di zaman ini. Kalau pun terpaksa hadir bereinkarnasi, mungkin dia bakal harakiri lantaran tak kuasa menanggung rasa kecewa. Kekecewan mendalam atas kebobrokan yang sudah ada sejak dalam pikiran. (Ups! itu kutipan ucapan Pramoedya, ya!)(*)



  • Usai cerita diperlakukan seperti “ratu” oleh sekelompok orang yang mengaku jurnalis -setelah Eka Afriana mengikuti dengar pendapat bersama anggota dewan- kini nama Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung itu menjadi buah bibir kembali. Dia mengaku telah merubah dokumen kependudukannya. Banyak pihak menilai, ini kebohongan terhadap publik secara sadar dan sistemik. Lantas apa kaitan dengan Walikota Eva Dwiana?

    (Lontar.co): Bila memang senang diperlakukan sebagai “ratu” oleh para penghambanya, maka mestinya Eka tidak perlu kaget bila menjadi fokus sorotan, layaknya pemeran utama dalam suatu pementasan, dialah ratu panggungnya.

    Sorotan itu bermula ketika ada pemberitaan yang mensinyalir Eka sudah memalsukan dokumen tahun kelahiran dan ijazah SMA-nya. Berbekal dokumen yang diperbaharuinya itu, Eka bisa lolos memenuhi persyaratan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Kabupaten Way Kanan tahun 2008.

    Pucuk dicinta ulam tiba, nasib sedang berpihak, Eka lolos seleksi dan sejak saat itu menyandang predikat sebagai abdi negara. Sebuah pencapaian membanggakan yang menjadi impian tidak sedikit anggota masyarakat.

    Hari-hari ini, selang 17 tahun kemudian, dokumentasi itu dipersoalkan. Berangkat dari hubungan Eva Dwiana selaku Walikota Bandarlampung dan Eka Afriana. Keduanya dikenal kembaran. Dan keduanya mengamini itu, sebab tidak pernah ada pernyataan dari salah satu atau keduanya yang menyangkal bahwa mereka bukan saudara kembar.

    Kejanggalan akan terlihat bila menelaah tahun kelahiran mereka yang tertera pada dokumen kependudukan masing-masing. Eva disebut lahir pada 25 April 1970. Sedangkan Eka tanggal lahirnya tertera 25 April 1973. Ups! anak kembar kok lahir pada waktu yang berbeda. Bahkan selisih hingga 3 tahun.

    Saat pemberitaan perihal dokumen kependudukan ini mencuat di berbagi portal berita, kemudian berkembang adanya indikasi unsur kebohongan terhadap publik secara sadar dan sistemik, akhirnya muncul tanggapan dari Eka.

    Tak dinyana, Eka justru membenarkan adanya perbedaan pencantuman tahun kelahiran pada dokumen kependudukan miliknya. Perkiraan awal, dia bakal berkelit menyangkal isi pemberitaan. Sebaliknya Eka malah manggut mengamini. Ini jelas menarik. Artinya, data pemberitaan tidak terbantah.

    Tapi yang lebih menarik lagi ketika Eka menguraikan cerita di balik berita. Secara eksplisit dia mengatakan, pengubahan tahun kelahiran dilakukan secara sengaja. Motivasinya karena soal keyakinan.

    Iya, keyakinan. Tepatnya terkait alasan kesehatan dan kepercayaan spiritual. Eka cerita, semasa kecil dia kerap sakit-sakitan. Malah sering pula kesurupan. Bahkan mirip indigo, bisa melihat makhluk gaib. Orang tuanya berupaya menangani. Baik secara medis maupun nonmedis. Misalnya, konsultasi dengan kiai.

    Sampai kemudian semua mengerucut pada satu keyakinan, bahwa harus ada yang “diubah” dari Eka. Pilihan jatuh untuk mengubah tahun kelahiran. Semenjak itu, masih menurut pengakuan Eka, data kependudukan dirinya mencantumkan tanggal kelahiran 25 April 1973. Usia yang lebih muda 3 tahun dari fakta sebenarnya. Melalui narasi yang dibangunnya, seakan Eka minta dimaklumi mengapa dia sampai merubah data dokumen kependudukannya.

    Tapi entah mengapa masih ada yang terasa ganjil dari cerita tersebut. Sebab, perubahan tahun kelahiran baru dilakukan ketika Eka sudah berusia 30 tahun. Artinya, sepanjang waktu sebelumnya, tidak pernah ada niatan untuk merubahnya.

    Atau mungkin kesadaran baru muncul atas saran guru spiritualnya. Mungkin saja itu masuk akal untuk logika Eka. Tapi publik juga berhak bila memiliki pandangan berbeda.

    Agaknya ada banyak “kebetulan” dalam perjalanan hidup Eka. Setelah kebetulan merubah data kelahiran saat usianya 30 tahun, kebetulan juga perubahan ini berdekatan waktunya dengan pendaftaran CPNS tadi.

    Bayangkan, seandainya Eka tidak merubah dokumen, dia tentu tidak bisa menjadi ASN. Dan pasti kita tidak pernah mengenalnya sebagai Eka Afriana Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung. Jelas ini sebuah rangkaian kebetulan yang menguntungkan buat Eka.

    Kalau tindakan Eka kemudian dianggap telah melakukan kebohongan kepada publik, bahkan banyak pihak bilang sangat lekat dengan aroma tindak pidana, hal menarik lainnya adalah bagaimana sikap Walikota Bandarlampung Eva Dwiana.

    Ini menjadi penting mengingat persoalan yang sedang disorot publik terkait integritas anak buahnya, Eka Afriana, selaku kepala Dinas Pendidikan. Sebab, kalau memang benar analisa berbagai pihak akan adanya dalil pidana yang sudah dilanggar, maka sebagai kepala pemerintahan Eva sangat perlu menunjukkan sikap.

    Jangan sampai muncul persepsi di publik, tidak adanya sikap jelas dari Eva lantaran kuatnya unsur nepotisme.

    Selain itu agak sulit diterima akal kalau Eva tidak mengetahui “hal besar” (merubah tahun kelahiran) yang dilakukan kembarannya. Kalau diasumsikan Eva sudah tahu dan tetap mendapuk kembarannya sebagai kepala dinas, maka menjadi jelas posisinya bahwa Eva menganggap tindakan Eka tidak melanggar apa pun, apalagi hukum.

    Itu mungkin yang menyebabkan belum pernah ada statemen konkrit dari walikota berkenaan dengan perubahan dokumen kependudukan Kadis Pendidikan Kota Bandarlampung yang disoal banyak pihak.

    Hanya saja karena Eka Afriana sudah mengakui telah merubah dokumen kependudukan yang tentunya berimplikasi terhadap legitimasi statusnya sebagai ASN, mestinya Pemkot Bandarlampung baik lewat Eva selaku walikota atau pihak BKD (Badan Kepegawaian Daerah) memberikan pernyataan. Apakah ada dampak hukum atau tidak dari tindakan Kadisdik Kota Bandarlampung tersebut?

    Ini menyangkut integritas, tidak hanya bagi Eka Afriana, melainkan juga integritas Pemkot Bandarlampung. Jadi tidak bisa dibiarkan dengan memakai jurus diam seribu bahasa sambil menunggu “gugatan” publik reda dengan sendirinya.

    Tapi dari persoalan ini publik juga bisa menilai apakah pemimpin daerahnya peka dengan suara warganya atau lebih condong pada kepentingan keluarganya. (*)