Tag: eva dwiana


  • Ngenes rasanya saat tahu Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Bandarlampung, Randy Aditia Gumay Gumanti, memberi apresiasi atas terobosan Walikota Eva Dwiana yang ngebet bakal membuat kereta gantung. Ngenes lantaran PSI mengklaim sebagai partainya anak muda. Mungkin anak muda yang kurang jauh mainnya?

    (Lontar.co): Entah apa yang bakal diucapkan Tan Malaka kalau masa mudanya hidup di zaman ini. Terus harus mendapati statemen Randy dkk. Mungkin dia bakal terbahak atau malah mencak-mencak. Bisa jadi juga langsung nepok jidat. Jidatnya anak-anak muda yang katanya hidup di era reformasi tapi jalan pikirannya mundur ke orde baru.

    Bisa pula Tan Malaka berpendapat ini contoh dari anak muda Indonesia yang tak pernah mengalami proses “terbentur…terbentur..terbentur..terbentuk!” Sebuah fase yang menyiratkan laku hidup penuh pergumulan. Tahu rasanya menderita, berdiri, tersaruk, gontai, rubuh lalu tegak lagi. Sehingga pada akhirnya terbangun paradigma pikiran merdeka, bukan menghamba.

    Ah, kalau terbentur saja tak pernah, apalagi terbentuk. Jadi wajar kalau pikirannya menggantung persis kereta gantung. Tambah yakin orang-orang macam begini tidak paham makna tersirat dari ucapan Tan Malaka lainnya, seperti “Tuan rumah takkan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya.”

    Tapi sebenarnya PSI ini filosofis, lho. Tengok saja logo partainya yang menghadirkan mawar putih. Bukan, bukan sekuntum mawar merah seperti lirik lagu atau cover buku. Bukan pula semacam kuntum mawar pada sampul kaset band Guns n’ Roses.

    Ini mawar yang terdiri dari lima kelopak luar yang melambangkan Pancasila, dan tiga kelopak dalam menunjukkan Trisakti. Tuh, kurang filosofis apa coba.

    Mau ditambahin makna folosofi lain? ternyata gambaran mawar putih itu terinspirasi dari ucapan Soekarno. Proklamator ini pernah bilang, “Bunga mawar tidak mempropagandakan harum semerbaknya. Dengan sendirinya harum semerbaknya itu tersebar di sekelilingnya.” Hmmm…kalau PSI-nya apa benaran wangi?

    Balik ke perkara dukungan terhadap wacana pengadaan kereta gantung yang sedang digadang-gadang Bunda Eva. Sebelumnya Eva pernah bilang kepingin banget membuat jalur kereta gantung. Nanti lintasannya dibuat sepanjang 3,5 sampai 4 kilometer.

    Dimulai dari rumah dinas wali kota hingga ke bibir pantai sejauh satu kilometer. Lalu dilanjutkan ke pulau dengan jarak sekitar 2,5 kilometer. Hanya saja, nama pulau yang dimaksud masih dirahasiakan. Konon, biaya pembuatannya yang sampai Rp 2,5 triliun bakal ditanggung bareng investor dari Negeri Tirai Bambu.

    Rencana itu yang kemudian disanjung setinggi langit oleh Randy. Malah, pada sebuah pemberitaan dia menyebutnya sebagai lompatan besar dalam pelayanan publik. Dia juga bilang pembangunan kereta gantung memiliki dampak langsung pada masyarakat.

    Pelayanan publik dan dampak langsung seperti apa yang dimaksud?

    Seandainya Tan Malaka ada dan mendengar langsung ucapan Randy, hakul yakin dia bakal ngomong, “Kawan, adakah anggota partaimu di Bandarlampung, atau kader atau simpatisan partaimu yang waktu musim hujan kemarin rumahnya kebanjiran?”

    Malaka juga akan berucap, “Kalau dijawab tidak ada, cobalah introspeksi, artinya partaimu tidak mengakar. Sebab hampir separuh Bandarlampung kemarin tergenang banjir. Kalau pun ternyata jawabannya punya kader, anggota dan simpatisan yang juga jadi korban kebanjiran, apakah sudah bertanya langsung pada mereka. Lebih suka buat kereta gantung atau upayakan penanganan ancaman banjir?”

    Yang kedua, demikian Malaka menukas, di mana letak rencana itu layak disebut sebagai lompatan besar dalam pelayanan publik. Kalau pun nantinya benar terwujud, kalangan mana yang bisa mencicipinya. Karena jelas itu bukan penyedia jasa angkut gratisan.

    Sudah barang tentu Malaka juga akan mencela, mengapa masih ada orang yang cepat terpukau dengan hal-hal fantastis. Padahal yang bombastis belum tentu tepat untuk dilakukan sekarang. Apa rasanya para pengguna kereta gantung ketika nanti dari ketinggian melihat hamparan genangan banjir dan warga yang menyelamatkan diri ke atap-atap rumah mereka. Apa tetap jojong selfi dengan latar bawah kumpulan warga bermuka resah.

    Mungkin pula Malaka akan menambahkan, belum kah cukup contoh yang ada sebagai bahan pembelajaran. Bagaimana jembatan penyeberangan orang (JPO) Siger Milenial dibangun mahal, lantas hanya gegap gempita di saat awal. Selanjutnya dia termangu lengang membentang sendiri.

    Kalau pun ada manfaat nyatanya, hanya terjadi saat seorang perempuan yang sedang berada di  JPO lantas tidak sengaja melihat bocah tewas tenggelam di kolam. Selebihnya lintasan itu sunyi senyap.

    Apakah sudah lupa kalau pada salah satu menara Masjid Al Furqon di dalamnya dilengkapi lift dari anggaran besar Pemkot Bandarlampung. Tapi setelah rampung pengerjaannya sampai sekarang belum ada warga yang pernah merasakannya. Belum cukupkah itu semua dijadikan sebagai contoh dari kata mubazir!

    Atau pernahkah lihat bagaimana kondisi miris truk-truk pengangkut sampah yang saban hari keluyuran di sekujur jalanan Bandarlampung. Penampakan mereka “bopeng”. Reot di sana-sini. Kadang jalannya terhuyung-huyung dibebani sampah yang menggunung. Kita yang masih punya kepekaan tak pelak geleng-geleng kepala dibuatnya. Sebab menganggap truk itu sudah uzur atau malah menyebutnya sebagai sesuatu yang atraktif, “sampah” mengangkut sampah.

    Tapi percakapan dengan Tan Malaka tentu saja imajiner. Lagipula sudah barang tentu Tan Malaka tidak sudi hidup di zaman ini. Kalau pun terpaksa hadir bereinkarnasi, mungkin dia bakal harakiri lantaran tak kuasa menanggung rasa kecewa. Kekecewan mendalam atas kebobrokan yang sudah ada sejak dalam pikiran. (Ups! itu kutipan ucapan Pramoedya, ya!)(*)



  • Usai cerita diperlakukan seperti “ratu” oleh sekelompok orang yang mengaku jurnalis -setelah Eka Afriana mengikuti dengar pendapat bersama anggota dewan- kini nama Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung itu menjadi buah bibir kembali. Dia mengaku telah merubah dokumen kependudukannya. Banyak pihak menilai, ini kebohongan terhadap publik secara sadar dan sistemik. Lantas apa kaitan dengan Walikota Eva Dwiana?

    (Lontar.co): Bila memang senang diperlakukan sebagai “ratu” oleh para penghambanya, maka mestinya Eka tidak perlu kaget bila menjadi fokus sorotan, layaknya pemeran utama dalam suatu pementasan, dialah ratu panggungnya.

    Sorotan itu bermula ketika ada pemberitaan yang mensinyalir Eka sudah memalsukan dokumen tahun kelahiran dan ijazah SMA-nya. Berbekal dokumen yang diperbaharuinya itu, Eka bisa lolos memenuhi persyaratan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Kabupaten Way Kanan tahun 2008.

    Pucuk dicinta ulam tiba, nasib sedang berpihak, Eka lolos seleksi dan sejak saat itu menyandang predikat sebagai abdi negara. Sebuah pencapaian membanggakan yang menjadi impian tidak sedikit anggota masyarakat.

    Hari-hari ini, selang 17 tahun kemudian, dokumentasi itu dipersoalkan. Berangkat dari hubungan Eva Dwiana selaku Walikota Bandarlampung dan Eka Afriana. Keduanya dikenal kembaran. Dan keduanya mengamini itu, sebab tidak pernah ada pernyataan dari salah satu atau keduanya yang menyangkal bahwa mereka bukan saudara kembar.

    Kejanggalan akan terlihat bila menelaah tahun kelahiran mereka yang tertera pada dokumen kependudukan masing-masing. Eva disebut lahir pada 25 April 1970. Sedangkan Eka tanggal lahirnya tertera 25 April 1973. Ups! anak kembar kok lahir pada waktu yang berbeda. Bahkan selisih hingga 3 tahun.

    Saat pemberitaan perihal dokumen kependudukan ini mencuat di berbagi portal berita, kemudian berkembang adanya indikasi unsur kebohongan terhadap publik secara sadar dan sistemik, akhirnya muncul tanggapan dari Eka.

    Tak dinyana, Eka justru membenarkan adanya perbedaan pencantuman tahun kelahiran pada dokumen kependudukan miliknya. Perkiraan awal, dia bakal berkelit menyangkal isi pemberitaan. Sebaliknya Eka malah manggut mengamini. Ini jelas menarik. Artinya, data pemberitaan tidak terbantah.

    Tapi yang lebih menarik lagi ketika Eka menguraikan cerita di balik berita. Secara eksplisit dia mengatakan, pengubahan tahun kelahiran dilakukan secara sengaja. Motivasinya karena soal keyakinan.

    Iya, keyakinan. Tepatnya terkait alasan kesehatan dan kepercayaan spiritual. Eka cerita, semasa kecil dia kerap sakit-sakitan. Malah sering pula kesurupan. Bahkan mirip indigo, bisa melihat makhluk gaib. Orang tuanya berupaya menangani. Baik secara medis maupun nonmedis. Misalnya, konsultasi dengan kiai.

    Sampai kemudian semua mengerucut pada satu keyakinan, bahwa harus ada yang “diubah” dari Eka. Pilihan jatuh untuk mengubah tahun kelahiran. Semenjak itu, masih menurut pengakuan Eka, data kependudukan dirinya mencantumkan tanggal kelahiran 25 April 1973. Usia yang lebih muda 3 tahun dari fakta sebenarnya. Melalui narasi yang dibangunnya, seakan Eka minta dimaklumi mengapa dia sampai merubah data dokumen kependudukannya.

    Tapi entah mengapa masih ada yang terasa ganjil dari cerita tersebut. Sebab, perubahan tahun kelahiran baru dilakukan ketika Eka sudah berusia 30 tahun. Artinya, sepanjang waktu sebelumnya, tidak pernah ada niatan untuk merubahnya.

    Atau mungkin kesadaran baru muncul atas saran guru spiritualnya. Mungkin saja itu masuk akal untuk logika Eka. Tapi publik juga berhak bila memiliki pandangan berbeda.

    Agaknya ada banyak “kebetulan” dalam perjalanan hidup Eka. Setelah kebetulan merubah data kelahiran saat usianya 30 tahun, kebetulan juga perubahan ini berdekatan waktunya dengan pendaftaran CPNS tadi.

    Bayangkan, seandainya Eka tidak merubah dokumen, dia tentu tidak bisa menjadi ASN. Dan pasti kita tidak pernah mengenalnya sebagai Eka Afriana Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung. Jelas ini sebuah rangkaian kebetulan yang menguntungkan buat Eka.

    Kalau tindakan Eka kemudian dianggap telah melakukan kebohongan kepada publik, bahkan banyak pihak bilang sangat lekat dengan aroma tindak pidana, hal menarik lainnya adalah bagaimana sikap Walikota Bandarlampung Eva Dwiana.

    Ini menjadi penting mengingat persoalan yang sedang disorot publik terkait integritas anak buahnya, Eka Afriana, selaku kepala Dinas Pendidikan. Sebab, kalau memang benar analisa berbagai pihak akan adanya dalil pidana yang sudah dilanggar, maka sebagai kepala pemerintahan Eva sangat perlu menunjukkan sikap.

    Jangan sampai muncul persepsi di publik, tidak adanya sikap jelas dari Eva lantaran kuatnya unsur nepotisme.

    Selain itu agak sulit diterima akal kalau Eva tidak mengetahui “hal besar” (merubah tahun kelahiran) yang dilakukan kembarannya. Kalau diasumsikan Eva sudah tahu dan tetap mendapuk kembarannya sebagai kepala dinas, maka menjadi jelas posisinya bahwa Eva menganggap tindakan Eka tidak melanggar apa pun, apalagi hukum.

    Itu mungkin yang menyebabkan belum pernah ada statemen konkrit dari walikota berkenaan dengan perubahan dokumen kependudukan Kadis Pendidikan Kota Bandarlampung yang disoal banyak pihak.

    Hanya saja karena Eka Afriana sudah mengakui telah merubah dokumen kependudukan yang tentunya berimplikasi terhadap legitimasi statusnya sebagai ASN, mestinya Pemkot Bandarlampung baik lewat Eva selaku walikota atau pihak BKD (Badan Kepegawaian Daerah) memberikan pernyataan. Apakah ada dampak hukum atau tidak dari tindakan Kadisdik Kota Bandarlampung tersebut?

    Ini menyangkut integritas, tidak hanya bagi Eka Afriana, melainkan juga integritas Pemkot Bandarlampung. Jadi tidak bisa dibiarkan dengan memakai jurus diam seribu bahasa sambil menunggu “gugatan” publik reda dengan sendirinya.

    Tapi dari persoalan ini publik juga bisa menilai apakah pemimpin daerahnya peka dengan suara warganya atau lebih condong pada kepentingan keluarganya. (*)


  • jpo siger milenial

    Bayang-bayang resesi tak lantas membuat Pemkot Bandar Lampung kendor. Sebaliknya, mereka kerja keras menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sayangnya, pungutan pajak yang masif ini berbanding terbalik dengan sejumlah pembangunannya yang dianggap nirmanfaat. 

    Bandar Lampung (Lontar.co)–Mata Sumarni menatap lekat-lekat tiap angka yang muncul di layar monitor mesin kasir resto tempatnya bekerja. 

    Ia ingin memastikan satu persatu angka yang tertera di mesin kasir itu, tak ada yang salah ketika di input. Ini dilakukannya agar tak ada selisih dalam perhitungan pajak, yang sudah terintegrasi dengan mesin tapping box milik Pemkot Bandar Lampung. 

    “Selisih atau beda satu angka saja, bisa berubah pajak yang harus kita bayar,” ujarnya sembari terus menatap layar monitor. 

    Setiap hari pula, Sumarni wajib merekap data penjualan untuk dicocokkan kembali dengan pajak yang harus dibayar oleh restonya.  

    “Tiap closing, data rekap penjualan hari itu harus dihitung ulang, dan benar-benar dipastikan tidak salah, karena resikonya bisa dipotong gaji kalau ada selisih,” tuturnya. 

    Sejak beberapa tahun yang lalu, Pemkot Bandar Lampung memang membagikan alat tapping box kepada para wajib pajak, termasuk cafe maupun restoran seperti tempat Sumarni bekerja. 

    “Alat tapping ini kita dapat gratis dari pemerintah, dan sudah sinkron dengan mesin kasir, jadi memang harus benar-benar teliti agar tak salah input,” ujar Sumarni. 

    Pemkot Bandar Lampung memang tengah gencar menyasar wajib pajak untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD), bukan cuma resto dan cafe, obyek wisata yang ada di Kota Bandar Lampung pun semua dipajaki. 

    Walikota Bandar Lampung, Eva Dwiana dalam sebuah kesempatan pekan lalu, bahkan tengah memesan 1.000 alat tapping box untuk dipasang di lokasi-lokasi usaha yang ada di Bandar Lampung, tujuannya untuk meraup sebanyak-banyaknya PAD dari sektor pajak. 

    Ia juga mengimbau kepada pengusaha untuk tidak menonaktifkan alat rekam transaksi tiap wajib pajak daerah tersebut,”kalau ada yang mematikan alat tapping itu, kami akan ambil tindakan,” tegas Eva. 

    Wajar Eva gencar menyasar PAD ke berbagai sektor usaha, karena tahun ini pemkot menargetkan PAD hingga Rp1.083 triliun dari berbagai komponen, seperti; pajak daerah, retribusi, termasuk para pengusaha resto, cafe dan jasa wisata di Bandar Lampung. 

    Target pendapatan daerah ini naik signifikan jika dibandingkan tahun sebelumnya, yang ditarget Rp800 miliar dari sektor retribusi daerah, pajak daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah serta pendapatan asli daerah lain. 

    Tahun 2024 lalu, Pemkot Bandar Lampung berhasil mengumpulkan pajak daerah hingga Rp520 miliar, sedangkan retribusi daerah terkumpul sebanyak Rp47 miliar. 

    Dan, tahun ini, agar target bisa tembus Rp1.083 triliun, Pemkot Bandar Lampung memang kerja keras mengutip pajak daerah dari sektor usaha. 

    Karena, tak mungkin jika hanya mengandalkan kontribusi pendapatan pajak dari kendaraan bermotor melalui program pemutihan, jelas jauh dari cukup,  

    Pemkot Bandar Lampung hanya menargetkan kontribusi di angka 30 persen atau sekitar Rp150 miliar pendapatan dari pajak kendaraan bermotor, dari total target PAD 2025 sebesar Rp1.083 triliun. Sedangkan, 70 persen sisanya, atau sekitar Rp900-an miliar ditambal dari pajak daerah. 

    Dengan tingginya target pajak daerah di sektor usaha ini, mau tak mau pemkot memang harus putar otak agar target tercapai. Salah satunya adalah menambah tapping box hingga 1.000 unit yang harus sudah terealisasi Juni bulan depan. 

    Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Bandar Lampung, Desti Mega Putri bahkan menyebut penerapan tapping box adalah hal yang wajib bagi wajib pajak daerah. 

    “Ini (bersifat) wajib dan memaksa. Tidak ada kata tak bayar pajak,” tegas Desti. 

    Daya Beli Melemah 

    Padahal, banyak pengusaha di sektor resto maupun cafe saat ini yang mengeluhkan lemahnya daya beli, tak sedikit pula yang pada akhirnya gulung tikar. 

    Sahri (42) misalnya, cafe yang ia rintis di kawasan Jalan Z.A Pagar Alam pada akhirnya harus tutup selamanya.  

    Ia hanya bisa bertahan tak lebih dari dua tahun.”Tahun pertama masih lumayan, masuk tahun ke dua, mulai turun omzet, tambal sana sini. Akhirnya, daripada nombok terpaksa tutup, di over alih juga tidak ada yang mau,” ujarnya. 

    Beberapa pengusaha resto maupun cafe lainnya yang masih bertahan juga, mulai khawatir tak sanggup meneruskan bisnisnya. 

    “Padahal, kita sudah rombak konsep cafenya, menu juga sudah di update, sering pula bikin even termasuk promo, tapi omzet tak juga naik,” terang Rio, pengelola salah satu cafe di Pahoman. 

    Melemahnya daya beli masyarakat ini juga diakui oleh Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri yang menyebut saat ini Indonesia berada dibawah bayang-bayang resesi seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah. 

    Indikatornya terlihat pada triwulan I tahun 2025, ekonomi nasional hanya tumbuh 4,87 persen. Angka ini bahkan terendah sejak pandemi atau triwulan III tahun 2021. 

    Momen Ramadan dan hari raya Idul Fitri yang diharapkan  bisa mendorong pertumbuhan ekonomi nasional justru sebaliknya. 

    Tren ini, menurutnya, makin menguatkan potensi resesi ekonomi. Ia bahkan tak yakin, beberapa bulan ke depan keadaan bisa berubah, meski perlahan sekalipun. 

    Nirmanfaat 

    Di saat daya beli yang melemah yang berpotensi menjadi penyebab resesi, dan sikap ekspansif Pemkot Bandar Lampung terhadap pendapatan asli daerah itu, masyarakat kota harus menerima kenyataan terhadap sejumlah pembangunan di Kota Bandar Lampung yang minim manfaat. 

    Pembangunan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Siger Milenial dan Tugu Pagoda di China Town adalah dua dari sedikit pembangunan kota yang dianggap nirmanfaat. 

    JPO Siger Milenial yang diresmikan pertengahan Februari 2025 lalu, menghabiskan biaya Rp20 miliar lebih. 

    Saat dibangun, JPO ini juga menimbulkan pro dan kontra, karena dianggap tak peka terhadap musibah banjir yang terus mendera warga ibukota. 

    Selain itu, tingkat urgensi dari pembangunan JPO Siger Milenial ini pun nyaris nihil, tapi Walikota Eva tetap jalan terus. 

    “Harapan kita, JPO Siger Milenial ini bisa meningkatkan jumlah jemaah di Masjid Al Furqon agar makin banyak isinya, sekaligus bisa melihat pemandangan,” kata Eva saat meresmikan JPO Siger Milenial (14/2/2025) lalu. 

    Tim lontar.co pernah secara khusus mencoba mengamati seberapa tinggi intensitas penggunaan JPO Siger Milenial oleh masyarakat, maupun ASN yang ada di Pemkot Bandar Lampung, baik dari arah perkantoran Pemkot Bandar Lampung menuju masjid maupun sebaliknya. 

    Hasilnya tak signifikan, jumlah jemaah Masjid Al Furqon yang memanfaatkan JPO Siger Milenial bisa dihitung dengan jari, khususnya pada saat Shalat Dzuhur dan Ashar. Jemaah masjid justru di dominasi oleh pengguna kendaraan roda dua maupun empat. Lonjakan pengguna JPO Siger Milenial hanya terjadi ketika hari Jum’at saja, itu pun saat Shalat Jum’at, saat Ashar kembali minim.

    Malam harinya pun demikian, meski di dominasi oleh muda-mudi yang lalu lalang di JPO Siger Milenial, namun jumlahnya tak terlalu ramai. Meski demikian, belum adanya uji konstruksi terhadap daya tampung dan daya topang JPO Siger Milenial ini juga, idealnya JPO tak disesaki pengguna di saat yang bersamaan, untuk mempertimbangkan faktor keselamatan dan keamanan penggunanya.

    Di saat, masyarakat Kota Bandar Lampung sudah mengikhlaskan keberadaan JPO Siger Milenial, pemkot lagi-lagi bikin kontroversi dengan membangun Tugu Pagoda China Town di Telukbetung Selatan. 

    Biaya pembangunan tugu setinggi 9 meter ini menelan anggaran hingga Rp3 miliar dari total anggaran Rp25 miliar untuk pembangunan kawasan Chinatown 

    Tak ayal, warga pun bereaksi. Aliansi Masyarakat Peduli Bandar Lampung (AMPBL) tegas menolak pembangunan Tugu Pagoda itu,  

    Mereka mendesak agar tugu itu diubah menjadi Tugu Krakatau yang lebih punya nilai sejarah. 

    Pembangunan tugu yang dianggap sebagai sebuah kelalaian Pemkot Bandar Lampung terhadap warganya ini, bahkan digugat ke pengadilan melalui proses Citizen Lawsuit. 

    Di sisi lain masalah jalan rusak hingga banjir masih juga menjadi ancaman serius masyarakat Kota Bandar Lampung. 

    Jalan rusak masih banyak dijumpai di sejumlah ruas jalan Bandar Lampung, Bopeng-bopeng jalan rusak paling banyak terlihat di ruas Jalan Pangeran Tirtayasa (Sukabumi), Jalan Ratu Di Balau (Tanjungsenang), termasuk di wilayah-wilayah yang masuk dalam area pusat kota. 

    Tak hanya jalan rusak, banjir juga masih menjadi ancaman serius bagi warga Rajabasa, Sukarame, Way Halim, Sukabumi hingga Panjang. 

    Masih terang di ingatan, musibah banjir yang harus menelan korban jiwa dan kerugian materiil tiap kali musim penghujan datang, tapi penanganan dari pemerintah kota terbilang lambat.