Berdiri sejak 1682, kota yang terkenal dengan julukan “Tapis Berseri” ini, sekarang menjadi sentra penggerak ekonomi, jasa, dan sosial politik di Provinsi Lampung.
Pada peringatan HUT Kota Bandarlampung ke-343, Wali Kota Eva Dwiana mengajak masyarakat untuk mawas diri mengenai kontribusi yang telah diberikan kepada kota. Sayang sekali, dia tidak mengajak warganya untuk sungguh-sungguh instropeksi Bandarlampung sebagai Kota Tapis Berseri.
(Lontar.co): Pada perayaan itu, wali kota juga menyebutkan lima tantangan besar yang dihadapi Kota Bandarlampung, yaitu: Pertumbuhan ekonomi, peningkatan investasi, dan penciptaan lapangan kerja. Lalu tata kelola pemerataan dan pembangunan.
Kemudian peningkatan sumber daya manusia yang kompeten. Lantas peningkatan sinergi antara pemerintah daerah dan pusat. Terakhir, perkembangan teknologi, terutama dalam menangkal informasi negatif atau hoaks.
Tapi cukup disayangkan, Eva Dwiana luput untuk satu hal. Dia tidak menyinggung tentang jargon Tapis Berseri. Mungkin saking familiarnya slogan ini.
Andai dia mengaitkan kerusakan lingkungan yang telah membuat Bandarlampung semakin jauh dari dari frasa kota tapis berseri, misalnya. Tapi itu tidak dilakukan. Sehingga tidak heran bila tumpukan sampah menjadi pemandangan biasa bagi nelayan di pesisir Kota Bandarlampung.
Padahal saban hari, mereka harus memilah ikan di antara sampah plastik dan air sungai yang warnanya sudah serupa oli bekas. Kondisi perairan yang semakin kotor ini juga mengancam mata pencarian nelayan. Dimana hasil tangkapan menurun, sedangkan kebutuhan hidup semakin tinggi.
Penumpukan sampah hanyalah satu dari berbagai problem lingkungan di Bandarlampung. Persoalan krusial lainnya adalah pendangkalan sungai, pengerukan bukit, hingga minimnya ruang terbuka hijau.
Sementara, selama ini, kita terus mencoba mempercayai kota ini sebagai Kota Tapis Berseri. Slogan yang mencerminkan visi untuk menjadi kota yang tertib, aman, patuh, iman, sejahtera, bersih, sehat, rapi, dan indah.
Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, saat ini, ada 23 sungai di Bandarlampung yang kualitas airnya sangat buruk. Selain mengalami pendangkalan dan penyempitan, sungai juga masih menjadi tempat pembuangan limbah.
Sebagian besar perbukitan di Kota Bandarlampung juga rusak akibat aktivitas pertambangan ilegal, pemukiman, pariwisata, dan lain sebagainya. Dari 33 bukit, sebanyak 20 bukit dalam kondisi hancur. Sementara, kapasitas ruang terbuka hijau baru terpenuhi 11,08 persen. Kondisi itu jauh dari ideal yang semestinya minimal 20 persen.
Kerusakan lingkungan yang kian parah membuat Kota Bandarlampung menjadi langganan banjir saat musim hujan. Saat kemarau, sejumlah daerah juga dilanda kekeringan.
Selain persoalan penumpukan sampah di pesisir, pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Bakung juga masih menggunakan sistem pembuangan terbuka. Sampah yang masuk ke TPA disebut sudah melebihi kapasitas. Setiap hari, volume sampah mencapai 800-1.000 ton, lebih besar dari kapasitas TPA yang idealnya menampung 230 ton sampah per hari.
Kabarnya, berbagai persoalan lingkungan itu membuat Kota Bandarlampung mendapat predikat kota besar terkotor dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2019. Selama 11 tahun terakhir, Bandarlampung juga tidak pernah meraih penghargaan Adipura.
Lemahnya regulasi pemerintah membuat aktivitas pertambangan ilegal kian masif. Pembangunan permukiman dan tempat usaha juga kerap mengabaikan daya dukung lingkungan. Sejumlah hotel, misalnya, dibangun di kawasan perbukitan hingga daerah aliran sungai.
Selain perbaikan lingkungan, Bandarlampung juga membutuhkan sistem transportasi perkotaan seiring bertambahnya jumlah penduduk. Pengembangan bus rapid transit, kereta api perkotaan, angkutan air, hingga jalur sepeda dan pejalan kaki perlu dipikirkan.
Minim Dukungan dan Ruang Publik
Dengan luas wilayah daratnya yang mencapai 169,21 kilometer persegi, kota ini dapat dikatakan sebagai kota yang padat penduduk. Kepadatan jumlah penduduk ini harusnya juga diimbangi dengan fasilitas ruang publik yang memadai. Ruang publik ini sangat berperan sebagai pusat interaksi, komunikasi masyarakat baik formal maupun non formal.
Ruang publik atau ruang terbuka dapat diartikan sebagai ruang yang ada dalam kondisi terbuka, bisa dikatakan sebagai taman atau lapangan tempat orang berkumpul untuk berinteraksi.
Ada beberapa ruang terbuka di Kota Bandarlampung seperti Taman Danau Unila, ITERA, Taman Dwipangga, Lapangan PKOR Way Halim, Lapangan Saburai, Taman Masjid Al Furqon, dan lain sebagainya.
Namun jumlah ruang terbuka tersebut belum sebanding dengan padatnya jumlah penduduk. Jika hari libur, tempat-tempat tersebut tak jarang ramai oleh pengunjung. Hal inilah yang terkadang membuat rasa tidak nyaman pada pengunjung di tengah minimnya fasilitas yang ada.
Semua kota besar, termasuk Bandarlampung, harus memiliki klasifikasi lahan.
Menurut Arthur B Gallion dan Simon Eisner (the Urban Pattern, City Planning and Design, 1986), klasifikasi lahan sebuah kota besar antara lain tersedianya ruang terbuka, lahan pertanian, perumahan, perdagangan, dan industri.
Ketersediaan dan kualitas ruang-ruang tersebut mempengaruhi kenyamanan, relaksasi, penggunaan secara pasif, penggunaan secara aktif, dan keanekaragaman fitur.
Pemerintah kota Bandarlampung juga masih minim perhatian terhadap perkembabangan seni dan budaya. Hal tersebut tampak pada rendahnya dukungan anggaran, kurangnya perhatian terhadap pelestarian seni tradisional, serta fokus pemerintah daerah yang lebih ke arah kegiatan seremonial ketimbang substansi pelestarian budaya.
Meskipun ada beberapa upaya dari pemkot untuk peduli, hal ini belum sepenuhnya merata, dan seringkali kurang didukung oleh program berkelanjutan yang mendalam. Dewan Kesenian Bandarlampung yang mati suri, adalah bukti lainnya bahwa pemerintah kota belum serius menangani bidang seni dan budaya.
Berdasar pada sejumlah fakta tersebut, pemkot dan masyarakat Bandarlampung sudah selayaknya melakukan introspeksi. Sebab sudah menjadi sulit saat ini untuk membayangkan Bandarlampung sungguh-sungguh berseri, sembari menyandarkan punggung ke gunung, menatap hamparan pantai yang indah dan permai. (*)
