Acting Residen Lampung Mr Gele Harun gagal ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Semula, ia berada di urutan ke empat di nominasi itu, tapi tetiba muncul nama Soeharto.
(Lontar.co): Rabu, 5 November 2025, Menteri Kebudayaan yang juga Ketua Dewan Gelar, Fadli Zon, dengan tergopoh-gopoh menuju Istana Presiden untuk bertemu dengan Prabowo.
Ia membawa 40 daftar nama yang layak untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional, tak lama setelah bertemu dengan presiden itu, yang belakangan, kemudian Fadli Zon memberi pernyataan kontroversial kepada wartawan, tentang ketiadaan bukti Soeharto pernah terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Padahal, deret indikasi pelanggaran HAM semasa orde baru berkuasa, tak kurang-kurang jumlahnya, di Lampung ada kasus Talangsari. Selama 32 tahun pula, Indonesia di bawah rezim Soeharto, merawat subur KKN.
Sementara di Lampung, sejak diusulkan sebagai penerima gelar pahlawan nasional, keluarga besar Mr. Gele Harun, mendapat kabar yang membuat mereka sedih.
Seolah terkait dengan pernyataan Fadli Zon yang tetiba menyinggung nama Soeharto, nama Mr. Gele Harun yang semula berada di urutan ke empat sebagai calon penerima gelar pahlawan nasional, tapi kemudian melorot di urutan ke 29.
“Kami kecil hati, karena ada informasi, awalnya datuk kami, Gele Harun di urutan empat, tapi kemudian turun di urutan ke 29,” kata Machleni Aryani Harun seperti dikutip dari tribunlampung.
Entah pula, Gubernur Lampung sebenarnya sudah mengetahui, ditundanya penetapan pahlawan nasional untuk Mr. Gele Harun pada peringatan hari pahlawan tahun ini, karena sebelumnya, Dinas Sosial Lampung sempat menginformasikan kepada keluarga besar Mr Gele Harun bahwa Gubernur Mirza ingin bertemu, tapi kemudian ditunda, alasannya karena gubernur sedang ada agenda di luar kota.
Sejarawan Lampung, Arman AZ menyebut kurangnya pengawalan politik dari pemerintah provinsi membuat tokoh sekelas Mr Gele Harun tak pernah berhasil ditetapkan sebagai pahlawan nasional meski sudah berjuang sejak tahun 2018 lalu.
“Jejak sejarahnya lengkap. Kiprah dan hubungannya dengan Presiden Soekarno juga ada,” kata Arman AZ di diskusi publik yang digagas Teknokra Unila bertajuk “Merebut Narasi Kepahlawanan: Antara Fakta, Ingatan, dan Disinformasi” di Rumah Kawan 2, Kedaton, Rabu, 12/11/2025 lalu.
…
Bayi lucu berusia delapan bulan itu tergolek lemah di hadapan kedua orang tuanya, di persembunyian mereka, di tengah rimbunnya hutan Bukit Barisan di daerah Way Tenong, Lampung Barat.
Tapi, meski sedang sakit keras, dari bibir mungil bayi itu, seperti terus berusaha mengguratkan senyum yang menguatkan ayah dan ibunya, dalam suasana penuh ketegangan.
Di hadapan pembaringan tempat Harinawati putrinya terkulai, Gele Harun, sang ayah, berusaha tegar melihat putri kecilnya yang biasa ia panggil Butet, tak berdaya melawan sakit. Hatinya hancur. Ia tak mampu mengobati putrinya itu, bahkan untuk sekedar memberi obat yang layak untuk putrinya yang kemudian meninggal itu.
Kala itu, di pertengahan tahun 1949, sebagai pelaksana tugas Residen Lampung, Gele Harun terpaksa membawa istri dan anaknya ikut berjuang, dengan bergerilya menghindari invasi Belanda yang terus mencarinya. Gele Harun masuk dalam daftar pencarian Belanda paling atas. Istri dan anak-anak Gele bahkan ikut aktif mengatur distribusi makanan yang terus diblokade oleh Belanda.
Tapi, Gele Harun tak pernah gentar. Ia tipikal pejuang sipil yang nyalinya tak bisa diukur sekalipun dengan bedil maupun meriam milik Belanda.
Nyali perlawanannya terhadap Belanda bahkan makin menyala manakala putrinya meninggal dalam perjuangannya.
Pada masa pendudukan Belanda di Lampung, Gele Harun adalah nama yang selalu menjadi ganjalan serius buat penjajah. Ia dianggap duri yang menghambat Belanda untuk leluasa menguasai Lampung.
Dalam peperangan frontal, Gele juga amat ditakuti oleh kompeni. Si Brewok–begitu ia disapa oleh sesama pejuang, adalah sipil yang mapan dalam strategi bergerilya.
Ciri khasnya; kepala plontos dengan cambang bawuk yang tebal, dan sepotong handuk yang selalu saja melingkar di lehernya.
Padahal, jika merujuk latar belakangnya, Gele Harun adalah seorang intelektual tulen. Ia adalah lulusan sekolah hakim tinggi di Leiden, Belanda, dengan gelar mester in de rechten (MR) atau sarjana hukum.
Semasa kuliah itu, Gele melihat kesenjangan terhadap gaya hidup orang-orang Belanda yang hedon di negerinya, setelah menjajah dan menguras kekayaan di Indonesia. Sejak itu, ia merasa jijik dengan penjajah.
Lahir di Sibolga, Sumatera Utara, tanggal 6 Desember 1910, Gele Harun bermarga Nasution. Ia putra dari Harun Al Rasyid Nasution, seorang dokter yang bertugas di Lampung. Sebagai pemuda berdarah batak, Gele justru Lampung tulen.
Selepas lulus dari Leiden Belanda, Gele kemudian kembali ke Indonesia tahun 1938. Setahun kemudian, ia membuka kantor advokat, sekaligus menjadi advokat pertama di Lampung.
Semasa menjalani profesinya itu, hasrat Gele Harun untuk berjuang jauh lebih besar daripada menjaga karier advokatnya, padahal kala itu, sebagai advokat, nama Gele Harun sudah memiliki nilai yang tinggi, tapi ia justru memilih untuk mengangkat senjata, berjuang bersama rakyat.
Perjuangannya benar-benar mulai ia intensifkan sejak tahun 1945, ia memimpin Angkatan Pemuda Indonesia (API). Selama dua tahun ia mengangkat senjata, sebelum akhirnya ditugaskan menjadi hakim di Mahkamah Militer, Palembang, tahun 1947 dengan pangkat letkol (tituler).
Tapi ia tak betah dengan jabatan itu. Di Palembang pun, ia tetap mengangkat senjata bersama API di Palembang, padahal ia adalah Ketua Mahkamah Tentara Sumatera Selatan.
Perlawanan yang dikobarkan Gele di Palembang dilakukan setelah ia tahu, Palembang sudah dijadikan sebagai negara boneka Belanda, yang belakangan karena perlawanan yang dikobarkan salah satunya oleh Gele pula yang membuat Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. H.J. van Mook marah dan kemudian mengusir semua tentara Indonesia dari Palembang.
Dengan kereta api, Gele Harun dan keluarganya kembali ke Lampung. Di sini, ia kembali ke API untuk berjuang.
Dalam tahun-tahun agresi militer Belanda ke II, perjuangan Gele Harun bersama API memang menyulitkan Belanda.
Bahkan, ketika awal 1949, saat berkompi-kompi tentara Belanda mendarat di Pelabuhan Panjang, Gele Harun menjadi incaran pertama Belanda. Saat turun dari kapal pengangkut, seorang komandan Belanda, langsung menghampiri warga, ia menanyakan dimana rumah Gele Harun.
Informasi itu sampai ke Gele. Sadar menjadi buruan utama, ia segera mengungsi ke Pringsewu, membawa keluarga dan stafnya.
Totalitas Gele Harun terhadap perjuangan memang tak diragukan. Di medan perang, Gele adalah penyusun strategi perang gerilya paling mumpuni. Di pemerintahan, ia juga konseptor paling bisa diandalkan, hampir jarang tokoh-tokoh pejuang bahkan di tingkat nasional sekalipun yang memiliki beragam keahlian seperti Gele. Sehingga wajar jika kemudian namanya menjadi buruan paling dicari oleh Belanda.
Semasa pemerintahan militer Jepang, Gele juga pernah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Tanjungkarang sampai tahun 1947.
Kemudian, setelah penyerahan kedaulatan tahun 1949, karier Gele Harun di politik terbilang mulus, selepas menjadi residen, ia mendapat mandat sebagai anggota Dewan Konstituante di Jakarta, kemudian menjadi anggota DPR-GR hingga MPRS. Pada masa-masa ini, kedekatannya dengan Soekarno disebut cukup intens.
Tahun 1968, Gele mengakhiri masa tugasnya di Jakarta. Ia kembali lagi ke Lampung, tanah yang selamanya tak pernah bisa ia lupakan, menjalani profesi lamanya sebagai advokat sampai wafat pada 4 April 1973.





