Bagan (kapal nelayan) bersandar di tepian kali Kampung Cungkeng, Selasa (27/5/2025), Foto: Lontar.co.

Berlayar di Daratan, Kehidupan Baru Nelayan Kampung Cungkeng

About Author
0 Comments

Pagi masih basah oleh embun ketika langit mulai memerah di ufuk Teluk, Bandarlampung. Di masa lalu, saat matahari belum tinggi, suara mesin perahu dan teriakan nelayan menjadi alarm alami di Kampung Cungkeng, Teluk Betung Timur, Bandarlampung. Laut adalah panggilan, rumah, sekaligus ladang penghidupan.

(Lontar.co): Namun kini, suara itu perlahan menghilang. Banyak jaring tergantung, banyak pula perahu diam bersandar tanpa pernah lagi mengarungi ombak.

Di sebuah rumah sederhana yang menghadap ke laut, Umar (32) duduk di beranda sambil menggenggam secangkir kopi. Dulu dia adalah nelayan tangguh, akrab dengan cuaca buruk, dan hafal pola arus laut seperti garis tangannya sendiri. Namun dua tahun terakhir, jaringnya tak lagi basah. Dia kini menjadi sales, berkeliling dari satu toko ke toko lain, menjajakan barang elektronik.

“Bukan saya tak cinta laut, tapi laut sekarang tak lagi memberi seperti dulu,” tuturnya pelan. Ada getar dalam suaranya, antara rindu dan kecewa.

BACA JUGA  Tak Ada Gele Harun ‘daripada’ Soeharto

Apa yang dialami Umar bukan cerita tunggal. Di Kampung Cungkeng, cerita serupa terulang di banyak rumah. Mereka yang dulu menggantungkan hidup dari tangkapan ikan, kini beralih menjadi kurir paket, pedagang sembako, ojek online, hingga karyawan toko. Laut yang dulu penuh janji, kini seperti tak lagi menjanjikan apa-apa.

“Kadang sebulan melaut, pulang uangnya cuma cukup buat bayar minyak dan makan. Belum lagi kalau cuaca jelek, bawaannya rugi terus,” kata Ari (35), mantan nelayan yang kini berjualan sembako di pusat kota Bandarlampung, Selasa (27/5/2025).

Tak sedikit nelayan yang menjual aset-aset lautnya, seperti bagan dan perahu, untuk dijadikan modal usaha darat. Menurut mereka, berdagang kini terasa lebih menjanjikan dibanding menantang ombak dengan hasil yang tak pasti.

Perubahan itu bukan tanpa sebab. Kenaikan harga bahan bakar minyak membuat biaya melaut melonjak, sementara pencemaran laut, terutama oleh sampah plastik, telah merusak ekosistem. Ikan semakin sulit ditemukan dan jaring yang dijatuhkan lebih sering menangkap sampah daripada ikan.

BACA JUGA  Riwayat Keracunan di Lampung, dari PMT-AS sampai MBG

Di tengah semua itu, kelompok nelayan tua menjadi yang paling terdampak. Mereka kesulitan menyesuaikan diri dengan pekerjaan darat. Ada yang mencoba, ada pula yang menyerah.

“Saya dari kecil hidup di laut. Kalau disuruh kerja di darat, kadang bingung harus mulai dari mana,” ujar Galang (60), yang kini hanya sesekali melaut karena alasan kesehatan dan kondisi ekonomi.

Perubahan ini tak hanya menyentuh soal ekonomi, tapi juga menyentuh batin dan identitas. Menjadi nelayan bukan sekadar pekerjaan, tapi warisan, harga diri, bahkan bagian dari budaya warga Kampung Cungkeng. Tapi saat hidup terus menuntut adaptasi, banyak yang mulai rela melepas identitas itu demi keberlangsungan hidup.

BACA JUGA  Dari Petengoran untuk Masa Depan

Perempuan pesisir pun berperan penting dalam perubahan ini. Mereka membuka usaha kecil-kecilan, hingga membantu anak-anaknya mengejar pekerjaan di kota. Ati (51), misalnya, kini menggantungkan harapan pada warung kecil yang dia kelola dari modal anaknya yang bekerja sebagai karyawan toko.

“Saya malah senang kalau anak saya kerja di darat. Capek hati kalau tiap hari nunggu kabar dari laut,” katanya, sambil menata dagangan di etalase.

Pergeseran ini menjadi gambaran nyata bahwa bertahan hidup bukan selalu tentang bertahan di tempat yang sama. Tapi tentang keberanian berpindah arah, ketika ombak kehidupan datang dari sisi yang tak terduga.

Meski tak semua perahu kini turun ke laut, semangat para nelayan Kampung Cungkeng tak pernah benar-benar surut. Beberapa dari mereka tetap berlayar, meski jalurnya kini di daratan. (*)

Further reading

  • Betapa Mahal Alam Membalas

    Meski air sudah surut. Tetapi, duka cita warga dan keluarga korban banjir di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, belum pulih benar. Pemulihan pascabencana (disaster recovery) itu yang amat berat! (Lontar.co): Trauma oleh bencana, tak mudah menghapusnya. Seorang kenalan yang langsung terlibat dalam bencana tsunami di Aceh 26 Desember 2024, “luka”-nya sampai kini belum pulih. Seluruh […]
  • Ijazah, Hanya Satu Kata, Tunjukkan!

    Di Kantin Nusantara TIM Jakarta, suatu hari di bulan September 2025, obrolan dari seni, sastra, dan akhirnya sampai ke soal ijazah. Masalahnya yang menyita publik Indonesia berbulan-bulan, namun belum ada celah untuk mendapatkan cahaya! (Lontar.co): Kawan, yang juga sastrawan dan akademisi di suatu perguruan tinggi swasta di Jakarta itu, sampai pada statemen bahwa ijazah Joko […]
  • In Memoriam Tjahjono Widarmanto:  Membaca Tanda ‘Senja Cokelat Tua’  

    Tiba-tiba saya teringat puisi Tjahjono Widarmanto — kembaran Tjahjono Widijanto, keduanya sastrawan, dimuat KBANews, tatkala saya baca kabar lelayu yang dibagikan Tengsoe Tjahjono di FB-nya, Kamis 27 November 2025 pagi. Nama yang disebut terakhir juga sastrawan. Ketiganya adalah akademisi.  (Lontar.co): Puisi itu berjudul “Angin, Malam, dan Catatan Beku”. Ini puisi lengkap Tjahjono Widarmanto (selanjutnya saya sebut […]