way haru
Warga menandu Peratin Bandardalam, Rudi Meilano dari kawasan Way Haru menuju ke Puskesmas Bengkunat. Foto: Ist

Waktu yang Seketika Terhenti di Way Haru

Di Way Haru, orang-orang yang ada disana tak pernah dianggap ada selama ratusan tahun.

(Lontar.co): Hari masih pagi benar, serombongan orang, hampir selusin jumlahnya, bergerak dari Pekon Bandardalam dengan wajah yang semuanya murung, mereka dilingkupi kecemasan yang amat.

Dua diantara mereka, berjalan paling depan, yang lain mengiringi, dari kedua sisi dan belakang, langkah mereka pelan sekali. Ada tandu bambu yang harus mereka gotong, isinya Peratin Bandardalam yang tengah sakit parah.

Tandu bambu itu ditutupi kain-kain sinjang untuk menaungi Rudi Meilano yang ada di dalamnya.

Mereka bergerak perlahan, tiap beberapa ratus meter, warga harus bergantian memanggul tandu.

Selain berat, medan yang harus ditempuh luar biasa sulit, langkah tak pernah bisa leluasa, karena kubangan jalan dalam-dalam.

Melintasi jalan berkubang, menyusuri tebing-tebing pantai berombak ganas Samudera Hindia hingga menyeberangi sungai berarus deras, tanpa jembatan, tanpa rakit, mencari pijakan di dasar-dasar sungai yang berlumpur, dengan langkah yang terus melawan derasnya arus.

Perjalanan sejauh 12 kilometer menuju Puskesmas Bengkunat itu harus ditempuh selama 4 jam lebih.

Sesekali mereka harus berhenti, mengusir dahaga sekaligus mengamati kondisi Rudi Meilano yang terus merintih kesakitan.

Perjalanan ini amat beresiko dan membahayakan, karena mereka juga harus bersiap menghadapi gelombang pasang air laut yang tak tentu waktu.

Mereka juga harus menyeberangi sungai sepanjang lebih dari 8 meter dengan arus yang deras sekaligus dalam. Itu belum termasuk ancaman hewan buas ketika mereka melintasi punggung-punggung Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Setidaknya ada tujuh muara sungai yang harus mereka lintasi dengan beragam resiko.

Dari tujuh muara sungai itu, lima diantaranya tak memiliki jembatan, sehingga mereka harus melintasi aliran sungai secara langsung.

Dalam kondisi ini, mereka juga harus jeli memperhitungkan pasang surut air sungai, terlebih ketika di musim penghujan, selain arus menjadi amat deras, badan sungai juga tak bisa diseberangi karena terlalu dalam dan amat beresiko.

BACA JUGA  ‘Jangankan Pembeli, Laler aja Nggak Mau Masuk ke Sini’ 

Tantangan bahaya lain, bukan cuma berasal dari lima muara sungai besar itu saja, warga juga harus melintasi tebing batu tinggi membentuk jurang yang menjorok langsung ke laut yang ombaknya sewaktu-waktu bisa menghantam mereka, hanya demi untuk bisa menembus ke jalan raya lintas barat, Lampung-Bengkulu.

Semua memang harus dilakukan saat itu juga, karena peratin (kepala desa) sedang sakit keras sejak beberapa hari terakhir, dan butuh pertolongan medis segera.

Sejatinya, buat warga empat pekon, Bandardalam, Way Tiyas, Siringgading dan Way Haru, pemandangan ini adalah lazim bagi mereka, akses infrastruktur yang sulit memaksa mereka untuk melakukan ikhtiar segala macam cara untuk menyelamatkan keluarga mereka, meski harus ditempuh dengan berjalan kaki selama berjam-jam lamanya dengan jarak puluhan kilo jauhnya.

Sebelumnya, ada Amsiyah (32) warga Way Tiyas yang terpaksa digotong dengan sarung menuju Puskesmas Bengkunat selama 7 jam jalan kaki (3/12/2024) lalu.

Ritme langkah harus pula disesuaikan dengan kondisi Amsiyah, yang sedang dalam kondisi gawat pasca melahirkan dan harus segera dibawa ke Puskesmas Bengkunat.

Amsiyah dibawa dengan tandu sederhana yang dibuat dari bambu yang diselipkan di kain sarung.

Suasananya benar-benar genting. Warga harus berkejaran dengan waktu, tapi disisi lain mereka harus pula menjaga langkah agar pendarahan Amsiyah tak terus keluar, karena guncangan saat berada di dalam tandu.

Proses evakuasi dengan tandu dilakukan pukul 9.30, tapi baru sampai di puskesmas pukul 15.00, medan dan kondisi Amsiyah yang lemah menjadi hambatannya, sehingga perjalanan harus ditempuh selama 7 jam.

Perjuangan itu berhasil menyelamatkan nyawa Amsiyah meskipun pada akhirnya ibu muda itu harus dirujuk ke rumah sakit yang ada di Pringsewu, karena keterbatasan alat medis.

Ada 9 ribu lebih warga yang mendiami empat pekon itu, yang kebanyakan penduduknya adalah masyarakat yang berasal dari keturunan adat Marga Belimbing.

Selama lebih dari dua abad, penduduk dari keempat pekon itu hidup dalam bayang-bayang keterisoliran. Sejak akses jalan menuju ke wilayah itu lumpuh total, warga Way Haru seperti penduduk asing.

BACA JUGA  Pedagang Buku Ramayana, Mereka yang Tertatih Melawan Zaman 

Jalan tanah yang masih ada sudah benar-benar hancur total, tak bisa dilewati bahkan dengan motor sekalipun, dan itu sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu.

Peratin Pekon Way Haru, Dian Setiawan menyebut selama lebih dari 200 tahun, warga yang tinggal di Way Haru hidup dalam masa-masa yang sulit. Ruang gerak mereka terbatasi oleh akses jalan yang tak layak.

Masyarakat adat Marga Belimbing diketahui mulai bermigrasi ke wilayah Way Haru sejak tahun 1918, selama ratusan tahun berikutnya hingga saat ini, mereka tak pernah sekalipun menikmati kehidupan yang layak, atau sedikit saja perhatian dari pemerintah, sementara tiap kali momentum kontestasi pemilu dan pilkada, empat pekon ini paling rajin disambangi dengan janji.

Padahal pula, di wilayah Way Haru yang meliputi empat pekon yang berada dalam wilayah administratif Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat ini, hasil bumi tumbuh subur dengan kualitas terbaik, tapi karena akses transportasi membuat harga komoditas seperti kelapa dan pisang dihargai dengan amat murah sebagai konsekuensi dari ketiadaan sarana.

“Kita mau antar ke Pasar Way Heni aja, biayanya sudah tinggi, tapi kalau kita jual lebih tinggi dari harga pasar, jelas nggak laku, jadi petani sudah pasti rugi,” kata Dian Setiawan dikutip dari Sipdeskel Pekon Way Haru.

Secara geografis letak empat pekon termasuk Way Haru itu berada diantara himpitan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Samudera Hindia.

Sebagai taman nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan aturan baku dalam hal menjaga kealamian kawasan hutan termasuk wilayah enclave yang meliputi empat pekon tersebut agar terbebas dari segala macam proses perambahan termasuk pembangunan yang implementasi pengawasannya dilakukan oleh Balai Besar TNBBS.

Meskipun fakta menunjukkan kelompok bisnis Artha Graha juga memiliki hak kelola terhadap sebagai wilayah TNBBS yang beririsan dengan empat pekon tersebut.

BACA JUGA  Harimau Sumatera TNBBS Berang, Korban Kelima Diserang

Diketahui, Artha Graha melalui anak usahanya PT Adhiniaga Kreasinusa kini mengelola Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) yang juga menjadi lokasi pelepasliaran Harimau Sumatera asal Aceh pada tahun 2008 lalu.

Sementara Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kabupaten Pesisir Barat mengaku masih terus berupaya melobi ke Kementerian Kehutanan untuk melobi agar akses jalan menuju ke Way Haru bisa ditingkatkan.

Sebelumnya, Kemenhut juga sudah meminta kepada Pemkab Pesisir Barat untuk menyusun perjanjian kerja sama (PKS) dengan Kemenhut agar akses jalan bisa segera dibangun.

Alasan Kemenhut yang berdalih menjaga vegetasi hutan kawasan di TNBBS, sebenarnya agak kurang masuk akal, sebab sampai saat ini aksi perambahan di hutan kawasan itu masih marak terjadi.

Tak hanya itu saja, upaya alih fungsi hutan untuk perkebunan kopi juga marak dilakukan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, sehingga amat wajar jika sebenarnya warga di kawasan Way Haru berharap perbaikan jalan agar mereka tak lagi terisolir selama puluhan tahun.

Melalui penelusuran Lontar, 20 persen lebih areal di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang luas keseluruhannya mencapai 355.511 hektar, sudah gundul akibat perambahan.

Indikatornya dilihat dari kian kompleks dan meluasnya konflik hewan dan manusiia. Kasus demi kasus serangan harimau kepada manusia makin sering terjadi, sebagai dampak dari kian menipisnya sumber pangan di habitatnya, sehingga amat mengada-ada jika TNBBS masih berdalih pemurnian hutan sebagai alasan tak diberikannya akses perbaikan jalan terhadap warga yang tinggal di kawasan Way Haru, apalagi secara historis, bisa dirunut Marga Belimbing sudah tinggal dan beranak pinak disana sejak ratusan tahun lalu.

Makin lucu pula alasan itu, jika melihat luasnya areal TNBBS yang sudah porak poranda oleh ulah perambah.

“Jangan saat pemilu dan pilkada saja kami dibutuhkan, disambangi, diberi janji-janji palsu tapi kenyataannya sampai saat ini, tak semeter pun jalan dibangun disini!,” kata Muhtadi.

Further reading

  • rampai

    Pada Rampai (Seharusnya) Kita Berjaya

    Sambal Lampung itu otentik, justru karena rampainya. (Lontar.co): Suatu ketika, dalam kontestasi memasak, Chef Renatta pernah mengomentari sambal buatan salah satu peserta yang menurutnya tak punya sensasi apa-apa kecuali pedas,”akan lebih berkarakter jika diberi tomat ceri,” kata Chef Renatta. Tomat ceri yang dimaksud Chef Renatta merujuk pada entitas buah rampai yang amat melimpah di Lampung. […]
  • Gitar yang Belum Punya Nama

    Dino, mahasiswa semester tiga di sebuah kampus negeri, duduk termenung di sudut warung kopi. Kopi hitamnya sudah dingin, tapi uap resah dari dalam dirinya masih hangat. Di antara denting sendok pengaduk dan suara motor lewat, dia mendengar getar suara hati, “Kapan aku bisa punya gitar sendiri?” Dino bisa bermain gitar, tapi tidak memiliki gitar. Sejak […]
  • Bahasa Lampung, di Tepi Jurang Terancam Punah?

    “Apa benar bahasa Lampung terancam punah, Mbak?” tanya seorang teman. Kami sedang duduk di salah satu sudut gedung Nuwo Baca Zainal Abidin Pagaralam, Bandar Lampung. Menikmati empuknya kursi berwarna cokelat, sesekali menjawab beberapa sapa petugas yang lewat. Suasana siang yang nyaman walau di luar terlihat matahari cukup menyengat. (Lontar.co): Saya menganggukkan kepala dengan pilu. Berdasarkan […]