Tag: TNBBS


  • Deforestasi pada kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Kabupaten Lampung Barat (Lambar) berlangsung masif. Anehnya, pemerintah seakan melakukan pembiaran untuk tidak menyebut turut mengambil keuntungan melalui pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terhadap perambah.

    Bandarlampung (Lontar.co): Penarikan PBB pada para perambah jelas menimbulkan ambiguitas. Sebab bagi perambah hal ini dianggap sebagai legitimasi atau keabsahan atas keberadaan mereka di hutan konservasi.

    “Hutan konservasi sejatinya harus steril dari perambahan. Sama sekali tidak dibenarkan. Apa pun alasannya,” jelas Andre Jatmiko, Kepala Bidang (Kabid) 2 TNBBS yang membawahi pembinaan 3 kawasan hutan konservasi mencakup Lampung Barat, Pesisir Barat dan Bengkulu, saat dihubungi Lontar.co, Senin (22/4/20025).

    Menurut Andre, pihaknya kerapkali berkoordinasi dengan pemerintah setempat terkait keberadaan hutan konservasi. Termasuk mentransformasi informasi peta hutan konservasi. “Pasti, kami selalu berkoordinasi. Peta hutan konservasi pasti kami berikan pada pemerintah setempat. Ini jelas penting. Agar mereka bisa turut mengawasi batasan-batasan wilayah yang dilarang melangsungkan aktivitas di luar kegiatan pelestarian,” ungkap Andre.

    Untuk Lampung Barat, sambungnya, juga sudah sejak lama pihaknya memberikan peta kawasan hutan  tersebut. “Silakan ditanyakan ke Bappeda Lambar. Mereka sudah menerimanya. Sudah lama sekali itu kita serahkan petanya. Bahkan kami beberapa kali ikut hadir pada saat rapat pembahasan Rencana Kerja Pemerintah Daerah atau RKPD. Sebab peta hutan konservasi itu wajib menjadi pertimbangan agar kegiatan pembangunan daerah tidak masuk ke dalam kawasan,” urai Andre.

    Mengenai adanya aktivitas Pemkab Lambar, melalui Bapenda (Badan Pendapatan Daerah), menerbitkan tagihan PBB terhadap perambah yang melakukan aktivitas berkebun kopi dan mendirikan bangunan di areal hutan konservasi, Andre menyatakan sudah pernah mengoordinasikan hal tersebut.

    Menurutnya, TNBBS pernah bersurat ke Pemkab Lambar terkait penarikan pajak itu. “Sudah pernah kami ingatkan. Sebagai responnya aktivitas penarikan PBB di areal hutan konservasi pernah berhenti pada 2019. Tapi informasi yang kami himpun di lapangan ternyata penarikan pajak itu berlangsung lagi sekarang. Kenapa bisa begitu? pihak pemerintah setempat yang harus menjelaskan. Tapi yang jelas, kami sudah berulangkali mengingatkannya,” kata Andre.

    Sementara terkait aktivitas perambahan di TNBBS yang berada di wilayah Lambar dimana hutan konservasi diubah menjadi kebun kopi, Andre menyebut tindakan demikian jelas melanggar aturan. Sayangnya, kegiatan tersebut masih terus berlangsung.

    “Tapi di tahun 2024 kemarin, melalui gambaran hasil potret citra satelit, terlihat tidak ada lagi aktivitas perambahan yang baru. Semoga itu bukan karena lagi sering muncul harimau menyerang warga. Mudah-mudahkan bukan karena itu, ya,” harap Andre.

    Dia menambahkan untuk mengantisipasi aktivitas perambahan yang menimbulkan kerusakan signifikan terhadap hutan konservasi, pihaknya bersama Dandim Lambar yang tergabung dalam Satgas Pelestarian Kawasan Hutan senantiasa aktif melakukan sosialisasi di lapangan.

    Tindakan penarikan pajak terhadap perambah jelas bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Namun sebelumnya saat dikonfirmasi terkait penarikan PBB terhadap para perambah, Bupati Lambar Parosil Mabsus mengaku melakukan penarikan pajak atas dasar data wajib pajak yang diperoleh pihaknya dari Kementerian Keuangan pada 2014 lalu.

    “Sebelumnya pajak kan ditarik langsung oleh pusat. Dalam perjalanannya proses ini lantas dialihkan pada pemerintah daerah. Jadi pegangan kami ya data dari Kemenkeu itu. Kami tidak tahu apakah warga yang kami tarik PBB-nya berada di kawasan hutan konservasi atau tidak,” kata Parosil saat diwawancarai usai mengikuti rapat koordinasi daerah (Rakorda) bersama Gubernur Lampung di Gedung Pusiban, Rabu (16/4/2025).

    Parosil juga menyebutkan, kendati pernah berkoordinasi dengan TNBBS namun Pemkab Lambar belum pernah membahas secara khusus tentang batasan hutan konservasi yang berada di wilayah yang dipimpinnya. Saat ditanya apakah dirinya pernah berinisiatif untuk meminta peta batasan hutan konservasi yang berada di Lambar, Parosil menukas, “Coba ditanyakan ke mereka (TNBBS) aja, ya,” ucapnya. (*)



  • Alih fungsi sebagian Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) menjadi kebun kopi kembali hangat disoroti. Bupati Lampung Barat Parosil Mabsus dan anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Mukhlis Basri, sontak angkat bicara.

    Lampung Barat (Lontar.co): BEBERAPA lembaga peduli lingkungan seperti lembaga masyarakat independen GERMASI dan Lembaga Konservasi 21, juga praktisi hukum Hengki Irawan, lantang mendukung penertiban alih fungsi lahan yang marak di Lampung Barat.

    Mereka menyebut lahan konservasi sudah menjadi kebun-kebun kopi yang membikin terganggu upaya pelestarian hutan dan telah menjadi perhatian dunia internasional.

    Dalam waktu nyaris bersamaan muncul pula keresahan di kalangan warga yang secara sadar mengakui telah menggarap lahan TNBBS. Setidaknya itu terlihat pada masyarakat di Kecamatan Suoh dan Bandar Negeri Suoh (BNS) Lampung Barat. Mereka mendengar kabar akan ada upaya paksa dari aparat untuk mengeluarkan warga dari area kawasan.

    Seperti dikutip dari Netizenku.com, menanggapi dinamika tersebut Bupati Parosil meminta agar warga tetap tenang dan tidak melakukan tindakan reaktif secara sepihak.

    “Sampai saat ini saya pastikan tidak ada program seperti itu. Setidaknya, pihak TNBBS belum menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Pemkab Lampung Barat bahwa masyarakat yang berkebun di lahan TNBBS akan diturunkan. Saya juga sudah tanyakan secara lisan. Tidak benar kabar itu. Jadi masyarakat saya yang ada di Suoh dan BNS untuk tetap tenang,” katanya, Minggu (9/3/2025).

    Namun, sanggahan yang disampaikan orang nomor satu di Lampung Barat ini, terkesan ambigu. Sebab, selanjutnya dia juga menyampaikan adanya kemungkinan lain.

    “Tapi, kalau ke depannya program itu ternyata ada, saya meminta agar pelaksanaannya dilakukan secara humanis. Sekaligus ada alternatif solutif bagi warga yang terkena penertiban. Misalnya, mereka kemudian akan ditempatkan di mana,” ucap Parosil.

    Menurutnya, relokasi itu penting diupayakan untuk kelangsungan hidup warga terdampk penertiban. “Jangan pula karena terkatung-katung, akhirnya malah meningkatkan angka tindak kriminal di Lampung Barat,” ungkapnya.

    Tanggapan nyaris senada disampaikan anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Mukhlis Basri, yang tiada lain mantan Bupati Lambar dua periode. Bahkan, Kakak kandung Bupati Parosil ini, menyampaikan pandangan yang lebih keras. Dia menyebut, kalau ada aparat yang meminta warga segera mengosongkan TNBBS, itu sama saja sebagai tindakan arogan.

    Politisi senior dari partai banteng bermoncong putih ini, lantas membandingkan dengan praktik transmigrasi lokal yang pernah berlangsung di Lampung sekitar 1994 lalu. Ketika itu, cerita Mukhlis, ribuan warga dari wilayah Lampung Selatan direlokasi ke Lampung Barat dan Lampung Utara.

    “Faktanya program tersebut gagal, karena tidak ada kehidupan pada lokasi yang disiapkan pemerintah. Padahal warga sudah meninggalkan lahan produktif yang mereka garap sebelumnya,” jelasnya.

    Demikian pula, sambung Mukhlis, kalau memang bakal ada penertiban warga yang menggarap lahan TNBBS. Harus ada pertimbangan matang dan bijaksana.

    “Bertemu dulu semua unsur. Baik dari unsur pemerintah, TNI, Polri, pihak TNBBS, serta Kementerian Kehutanan. Biar ketemu titik terangnya. Sehingga hal-hal sensitif, seperti penertiban kawasan hutan yang berpotensi menimbulkan konflik sosial, tidak disampaikan secara liar,” tutup Mukhlis.(*)



  • Hutan tak boleh semena-mena dirudapaksa untuk aktivitas ekonomi. Presiden Prabowo Subianto menaruh perhatian untuk menertibkan pelanggaran yang terlanjur merebak.

    Bandarlampung (Lontar.co.id): AKADEMISI dan praktisi hukum, Hengki Irawan, mengingatkan pemerintah dan wakil rakyat di Lampung Barat untuk tidak melanggengkan pengrusakan hutan. Terlebih sudah terbit Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 dan akan adanya regulasi menyangkut perdagangan karbon dari sektor kehutanan.

    Dikatakannya, kini sudah terbit Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. “Harus dicermati Perpres yang sudah diberlakukan sejak 21 Januari 2025 ini. Semua warga negara Indonesia, terlebih pemerintahan daerah, harus tunduk patuh melaksanakannya. Jangan sebaliknya, karena ada motivasi lain, lantas coba-coba menafsirkan Perpres itu sekehendak hati,” kata Hengki kepada Lontar.co, Sabtu (15/2/2025).

    Terkait hal ini dia memberi catatan terhadap kondisi Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang keadaannya sudah memprihatinkan. “Data dan fakta sudah sangat gamblang menunjukkan banyaknya alih fungsi lahan menjadi kebun kopi. Mestinya, Pemkab dan DPRD setempat sigap melindungi hutan, bukan malah sebaliknya. Jangan sampai nanti mereka berhadapan dengan regulasi Perpres Nomor 5 tahun 2025. Saya yakin Presiden Prabowo tidak main-main akan hal ini,” urainya.

    Hengki menjelaskan, Perpres tersebut secara saklek mewanti-wanti pihak manapun yang coba-coba mengutak-atik kawasan hutan atau setidaknya memuluskan atau malah membiarkan aktivitas serupa itu berlangsung di dalam kawasan. “Bunyinya jelas kok, di dalamnya membahas tentang penertiban kawasan hutan. Tujuannya juga jelas untuk mengatasi masalah tata kelola hutan yang belum optimal dan aktivitas ilegal yang merugikan negara,” paparnya.

    Lebih lanjut dirinya menjabarkan, bentuk keseriusan pemerintah di era Presiden Prabowo terhadap pelestarian hutan, makin kentara dengan adanya rencana meresmikan perdagangan karbon dari sektor kehutanan.

    “Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni sudah menyampaikan itu ke publik. Jadi jangan pernah menganggap remeh perihal pengrusakan kawasan hutan seperti di Lampung Barat, misalnya,” kata Hengki.

    Untuk diketahui Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengungkapkan, pemerintah akan segera meresmikan perdagangan karbon dari sektor kehutanan sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim dan percepatan ekonomi hijau.

    Seperti dikutip dari Antara, program tersebut membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, serta memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan pelaku usaha.

    “Kebijakan ini sejalan dengan visi Astacita Presiden Prabowo dalam mewujudkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan,” kata Raja Antoni, Kamis (13/3/2025).

    Pada tahap awal, jelas Menhut, perdagangan karbon ini mencakup skema pengelolaan hutan oleh swasta (Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan/PBPH) dan Perhutanan Sosial dengan potensi serapan karbon yang berbeda.

    PBPH memiliki potensi serapan 20-58 ton CO2/ha dengan harga USD 5-10/ton CO2, sementara Perhutanan Sosial dapat menyerap hingga 100 ton CO2/ha dengan harga mencapai 30 euro/ton CO2.

    Pada 2025, potensi perdagangan karbon sektor ini diperkirakan mencapai 26,5 juta ton CO2, dengan nilai transaksi berkisar Rp1,6 triliun-Rp3,2 triliun per tahun.

    Jika dioptimalkan hingga 2034, lanjut Menhut, maka potensi perdagangan karbon dari sektor kehutanan dapat mencapai Rp97,9 triliun-Rp258,7 triliun per tahun, dengan kontribusi pajak sekitar Rp23 triliun-Rp60 triliun, serta PNBP Rp9,7 triliun-Rp25,8 triliun per tahun.

    Selain itu, program ini diharapkan dapat menciptakan 170 ribu lapangan kerja di berbagai lokasi proyek karbon. Menhut menegaskan, perdagangan karbon tidak hanya berfokus pada pengurangan emisi, tetapi juga berperan dalam percepatan reforestasi melalui konservasi dan strategi Afforestation, Reforestation and Revegetation (ARR).

    “Lewat berbagai langkah ini, Kementerian Kehutanan optimistis perdagangan karbon sektor kehutanan akan menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi hijau, ketahanan pangan dan energi, serta penguatan komitmen Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim,” kata Raja Antoni.(*)



  • Beredar video seorang anggota DPRD Lampung Barat dalam acara Musrenbang Kecamatan Suoh yang ditafsirkan melegalkan aktivitas perambahan di Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

    Bandarlampung (Lontar.co): SELAIN itu ramai juga diperbincangkan bahwa Bupati Lampung Barat, Parosil Mabsus, disebut-sebut turut menyiratkan hal senada. Tak pelak, kedua pernyataan orang-orang penting ini menarik perhatian banyak pihak. Termasuk akademisi dan praktisi hukum, Hengki Irawan.

    Dikatakannya, bila benar motivasi para pembesar di Lampung Barat itu, menyiratkan pelegalan perambahan kawasan TNBBS, maka ditengarai kuat berpotensi melanggar hukum. Bila demikian, lanjut Hengki, maka dipandang perlu pihak Kejaksaan Tinggi Lampung untuk menyikapinya.

    “Pernyataan yang membela dan melegalkan perambahan hutan di kawasan konservasi jelas bertentangan dengan undang-undang. Kejaksaan harus segera melakukan penyelidikan atas dugaan keterlibatan mereka dalam praktik ilegal ini,” ungkap Hengki, melalui siaran pers yang diterima Lontar.co, Sabtu (15/3/2025).

    Adapun ketentuan aturan perundang-undangan yang dimaksudnya ialah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang dijelaskan pada:

    Pasal 67 huruf b yang berbunyi; kepala daerah wajib menaati seluruh peraturan perundang-undangan dan jika seorang Kepala Daerah melanggar hukum, maka dapat diberhentikan sesuai Pasal 78 huruf d.

    Kemudian, masih menurut Hengki, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang dijelaskan pada Pasal 105 huruf c, d dan g yang berbunyai sebagai berikut :

    c; melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf

    Lantas pada huruf d; ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d;

    Kemudian terakhir huruf g; dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas, sehingga terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf g.

    Jika terbukti melanggar, maka dapat dipidana dengan hukuman penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

    Hengki kembali menegaskan, dugaan keterlibatan pejabat dalam praktik ilegal ini tidak boleh dibiarkan, Kejaksaan Tinggi Lampung diharapkan segera mengambil langkah hukum guna memastikan bahwa aturan yang berlaku ditegakkan dan menindak siapapun, termasuk para pejabat sekalipun, bila terbukti menyalahgunakan kewenangan.

    “Kejaksaan Tinggi Lampung harus segera bertindak tegas, memanggil dan memeriksa semua pihak terkait, tanpa tebang pilih,” kata Hengki yang mengaku bersama NGO di Lampung Barat dalam waktu dekat akan menggelar dukungan agar pihak Kejati Lampung mengambil langkah terkait hal ini. (*)



  • Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) kembali menjadi sorotan. Terlebih ketika kebun kopi terus merangsek ke areal hutan. Pemerhati lingkungan menganggap ada pembiaran pengrusakan lingkungan. Nasib areal kawasan di ujung tanduk.

    Lampung Barat (Lontar.co): PENDIRI masyarakat independen GERMASI, Ridwan Maulana, menyodorkan data. Menurutnya dari total 57.530 hektare Kawasan Hutan TNBBS yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Lampung Barat, sedikitnya sekitar 21.925 hektare telah dibuka (open area) dan secara dominan berubah menjadi perkebunan kopi robusta.

    Perkebunan itu dikuasai warga? Ridwan menukas tidak seutuhnya demikian. Dia mensinyalir justru sebagian besar lahan kebun kopi di kawasan hutan tersebut dikuasai oleh pihak tertentu yang menggunakan nama masyarakat sebagai tameng.

    “Logika tersebut sangat mudah dicerna. Apakah mungkin warga biasa memiliki kemampuan membuka lahan kawasan seluas itu. Kami menengarai ada kejanggalan yang mengindikasikan campur tangan cukung di situ,” ungkap Ridwan kepada Lontar.co, Sabtu (15/3/2025).

    Dengan kata lain, sambungnya, pihaknya mengendus ada aroma peran oknum orang besar dan berpengaruh yang ikut bermain di balik alih fungsi hutan tersebut.

    Penilaian serupa juga diutarakan Edy Karizal, aktivis pemerhati lingkungan dari Lembaga Konservasi 21. Dia mengamini ada jejak pemain yang mengambil keuntungan besar dengan memanfaatkan situasi. “Kerusakan yang sudah masif ini menguntungkan perusahaan kopi. Modusnya, mereka tanpa harus memiliki lahan perkebunan dan tanpa butuh tenaga kerja. Hanya cukup mensuport petani kopi dari sisi budidaya dan pemasaran.

    Lantas kopi hasil dari kebun di kawasan konservasi itu mereka tampung. Mereka tampak menjadi pahlawan bagi warga pengelola kebun kopi. Situasi ini juga menjadi magnet tersendiri bagi warga lain untuk ikut-ikutan membuka lahan hutan untuk berkebun kopi,” urai Edy.

    Ironisnya lagi, masih menurut Edy, pemerintah daerah dalam hal ini Pemkab Lampung Barat, seakan tutup mata untuk tidak menyebut turut membiarkan proses alih fungsi lahan terjadi. Indikasi ini sangat kentara manakala menjelang musim pemilukada dan pemilihan legislatif.

    “Banyak oknum yang seakan turut menunjukkan keberpihakan kepada warga untuk penguasaan hutan, kendati praktik demikian jelas mengangkangi peraturan yang sah di negeri ini. Bagi oknum-oknum itu yang penting mereka bisa mendulang suara dukungan besar dari konstituen,” tukasnya.

    Di sisi lain, Edy menambahkan, melentingnya harga komoditi kopi robusta yang kebunnya banyak berada di kawasan hutan, semakin melanggengkan praktik pengrusakan kawasan.

    “Mungkin para oknum yang mendukung praktik serupa itu beralibi bahwa mereka juga berupaya memanusiakan manusia. Dalihnya mereka telah memberi penghidupan bagi warga yang berkebun kopi, meski itu di kawasan hutan,” katanya

    Padahal, sambung dia, pengrusakan hutan merupakan kejahatan besar karena tak ubahnya menyimpan “bom waktu” yang suatu saat bisa menimbulkan ledakan yang dampaknya bisa merugikan banyak pihak.

    “Hutan itu merupakan sumber plasma nutfah, sumber oksigen, dan penyerap karbon dioksida yang sangat besar. Hutan juga sumber mata air. Tidak hanya bagi Lampung Barat, melainkan juga buat wilayah kabupaten sekitar. Dengan mempertimbangkan kemungkinan ancaman di kemudian hari, tidak berlebihan kalau kita menganggap pengrusakan hutan saat ini sebagai tindakan biadab dan sangat tidak manusiawi. Lantaran sudah mengancam sumber kehidupan makhluk hidup dan juga manusia,” papar Edy.

    Beranjak dari uraian tersebut, Edy menyinggung Pemkab Lampung Barat mesti
    bertanggung jawab atas kerusakan ini. “Ada indikasi jelas telah melakukan pembiaran berlangsungnya pengrusakan Kawasan Hutan TNBBS,” pungkas dia.

    Oleh karenanya, dia berpendapat, tidak berlebihan kalau pemerintah pusat, TNI, Balai Besar TNBBS, dan aparat penegak hukum (APH) khususnya Kejaksaan Agung RI untuk turun tangan terkait keterlibatan oknum orang besar yang diduga menguasai lahan secara ilegal. (*)