Tawarkan Obat Melek Literasi untuk Way Kanan, Eko Kerap “Telan Pil Pahit”

0 Comments
Eko Prasetyo bersama murid-murid sekolah dasar di Way Kanan. (Foto: dok pribadi)

Tawarkan Obat Melek Literasi untuk Way Kanan, Eko Kerap “Telan Pil Pahit”

0 Comments

“Orang bilang apa pun, saya tetap jalanin semua ini,” ucap Eko Prasetyo. Dia nyaris tak peduli dengan hal buruk yang mungkin saja menimpa dirinya. Tidak sedikit pula orang “besar” yang menawarkan bantuan menggiurkan kepadanya. Asalkan dia bersedia untuk diam.

(Lontar.co): Eko masih sangat ingat pengalamannya di tahun 2017. Ketika itu baru lepas subuhan. Ia kembali mengecek perbekalan yang bakal dibawanya. Sebuah kardus besar sudah terbungkus rapi. Tergolek di dekat motor tunggangannya. “Ini motor bantuan Perpusnas buat relawan pustaka,” terang lelaki 36 tahun itu.

Seperangkat boks, sebelumnya terpasang di sisi kanan-kiri bagian belakang motor, sudah dilepas semenjak kemarin sore. Boks itu biasanya berisi buku-buku bacaan. Koleksi perpustakaan keliling yang kerap diusungnya.

Dengan modal itu Eko menyambangi sekolah-sekolah di Way Kanan. Pada halaman sekolah ia kemudian menggelar buku-buku yang dibawa untuk dibaca gratis oleh siswa. Kelar satu misi, ia beranjak ke sekolah lain. Tak sedikit pula kampung-kampung di pelosok desa disambanginya.

Rutinitas menggelar buku-buku untuk dibaca gratis terus berulang. Kalaupun ada yang berubah, dipastikan lokasinya yang berbeda. Namun spirit yang dibawa selalu sama. Memberi kesempatan anak-anak pedesaan memperoleh akses bahan bacaan.

Begitu juga dengan misi yang sebentar lagi dia Jalani. Saat jarum jam bergeser dari pukul 6 pagi, Dedi yang bakal menemani perjalanannya, muncul di pintu. Wajahnya terlihat segar. Rambutnya tersisir rapih masih basah oleh air mandi. Seulas senyum mengembang di wajahnya. Seakan cerminan semangat mengawali hari.

Usai meneguk teh hangat, keduanya bersiap menjalani misi. Eko mengendarai motor membonceng Dedi. Di antara mereka kardus buku ditempatkan. “Saya sengaja lepaskan boks dan memilih buku dibungkus kardus. Karena medan perjalanannya agak ekstrim. Berbatu dan menanjak, lalu menurun cukup tajam. Kalau pakai boks pasti sulit jaga kesimbangan,” terang Eko menceritakan pengalamannya kepada Lontar.co, Minggu (27/7/2025).

Sebentar kemudian, gas ditarik. Motor pun meluncur dengan kecepatan terukur, mengingat beban bawaan yang cukup berat. Perlintasan di jalur Trans Sumatera bisa dilewati dengan lancar. Perjuangan sesungguhnya dimulai ketika mereka berbelok menuju Kampung Tanjung Raja Sakti.

Ruas jalan yang terbentang di hadapan kini penuh kombinasi. Semula jalan berbatu, lalu beralih ke jalan tanah datar, kemudian merayap menyusuri jalan berkontur naik turun, mirip melintasi deretan perbukitan.

Hingga perjalanan tiba ke tujuan. Motor memasuki pelataran berumput. Pada salah satu sudutnya berdiri pohon yang cabangnya membentuk naungan. Di sanalah Eko memarkirkan motor.

Di seberang pelataran tampak bangunan berdinding papan dan beratap asbes. Bangunan bersahaja ini adalah Sekolah Dasar (SD) Negeri Filial. Biarpun di pelosok, lokasinya masih dalam lingkup wilayah Blambangan Umpu, ibukota Kabupaten Way Kanan.

Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, Dedi tetap di dekat motor menjaga kardus buku. Sedangkan Eko menemui pihak sekolah. “Saya ketemu salah seorang guru di sana. Ibu Kartini namanya,” kata Eko.

Kondisi jalan yang buruk menjadi tantangan berat untuk dilewati Eko. (Foto: dok pribadi)

Gelar Lapak Perpustakaan

Usai mengantongi izin dari guru Kartini, Eko dan Dedi segera membongkar isi kardus. Selembar spanduk bekas dibalik lalu digelar ke hamparan rumput. Di atasnya dibentangkan seratusan buku yang disusun rapih.

BACA JUGA  “Tersisih”

Kelar menata, Eko dan Dedi duduk beralaskan rumput di sisi dekat hamparan buku. Untuk sesaat keduanya menunggu dalam diam. Sampai satu per satu siswa ke luar dari pintu kelas. Bangunan sederhana itu terbagi menjadi 3 ruang kelas. Masing-masing pemisah kelas hanya ditandai dengan pembatas triplek lapuk yang sudah ringkih.

Kiranya guru Kartini sudah memberitahu murid-muridnya kalau ada lapak perpustakaan keliling di luar. Anak-anak dipersilakan menengoknya dan membaca buku yang disukai secara gratis.

Benar saja. Meski awalnya agak ragu, langkah anak-anak itu terus beriringan mendekati gelaran buku. Eko dan Dedi sabar menunggu. Satu dua siswa mulai berjongkok di dekat susunan buku. Lalu disusul oleh kawan-kawannya. Selang sejenak, tak kurang 40 siswa sudah mengerumuni buku-buku.

Fokus perhatian mereka tidak lepas dari beragam jenis buku anak-anak yang tergolek di hadapan mereka. Sampai-sampai keberadaan Eko dan Dedi pun tidak digubris.

“Saya biarkan mereka menikmati pemandangan yang mungkin baru kali pertama dilihat,” kisah Eko seraya tersenyum.

Benar saja. Selang beberapa saat kemudian, masing-masing anak sudah memilih buku yang menarik perhatiannya. Mereka duduk di rerumputan dan langsung tenggelam dengan petualangan yang ditawarkan buku cerita yang sedang dibaca.

Lembar demi lembar halaman buku dibuka. Beberapa siswa tampak tersenyum saat menyimak isinya. Sesekali mereka saling menyenggol bahu teman di sebelahnya untuk menunjukkan hal menarik di buku. Sesaat kemudian senyum kompak merekah di wajah anak-anak itu.

Eko ikut gembira. Entah mengapa, ia selalu sangat bisa menikmati setiap kali ada anak yang merasa terhibur oleh buku-buku yang dibawanya. Namun, ia selalu melakukan survei kecil-kecilan. Semacam mencari kepastian. Apakah anak-anak yang berada di pelosok kampung atau di perkampungan yang dikepung lahan perkebunan, seperti pelajar di SDN Filial ini, sudah merata dapat membaca.  

“Saya biasanya membuka interaksi dengan anak-anak. Saya tanya sedang membaca buku apa. Lalu saya minta dia ceritakan ulang apa yang baru dibaca. Alhamdulillah, anak-anak itu sudah bisa membaca,” kata Eko.

Lapak pustaka keliling yang dijalani Eko menerbitkan kesenangan bagi banyak anak di pelosok yang terkendala mengakses bahan bacaan. (Foto: dok pribadi)

Sekolah Doyong

Kebersamaan dengan murid SDN Filial berakhir, menyusul besi tua yang digantung dipukul guru Kartini. Itu pertanda jam pelajaran akan dimulai kembali. Anak-anak yang sedang membaca sigap meletakkan bukunya. Lalu terucap kata terima kasih dari mulut-mulut mungil itu, sebelum mereka bergegas berhamburan ke kelasnya masing-masing.

Eko dan Dedi saling melempar senyum tanda puas, misi mereka berhasil. Setelah mengemas koleksi buku ke kotak kardus, Eko mencari kamar kecil. Ia berjalan menyusuri bangunan.

Alangkah terkejutnya ia saat pandangannya tertumbuk pada kayu-kayu balok yang ditegakkan menyangga dinding bangunan sekolah.

Sejenak dia mengamati. Disaat berikutnya baru menyadari. Bangunan yang dibawahnya ada puluhan anak-anak, ternyata dalam keadaan doyong.

Serta merta dia merasa bergidik, membayangkan hal terburuk bisa saja terjadi dengan kondisi bangunan ringkih seperti ini. Perasaan yang baru saja bahagia bersama anak-anak, seketika berganti cemas.

BACA JUGA  Thomas Amirico Beberes Pendidikan di Lampung, Buruk Muka (Tak Ingin) Cermin Dibelah

Sejak saat itu ia selalu kepikiran dengan kondisi SDN Filial. Beberapa bulan berselang dia kembali membuka lapak pustaka keliling di sana. Lagi-lagi perhatiannya tersedot pada kondisi bangunannya.

Eko juga mendapati selain bangunan yang miring, dinding kayu kelas juga sudah rapuh dimakan umur. Suara hatinya meronta. Tidak terima melihat kondisi memprihatinkan penuh risiko yang mengancam keselamatan para pelajar dan pendidik.

“Kegelisahan dan kecemasan itu lalu saya bagikan lewat postingan di akun Facebook. Tak disangka, ada banyak komentar. Rata-rata mereka ikut prihatin seperti yang saya rasakan,” ungkap Eko.

Tak dinyana, gayung bersambut. Ada banyak komentar yang menyatakan siap partisipasi membantu SDN Filial. Ada yang ingin menyumbang semen. Ada pula yang bersedia membantu asbes.

Suara dukungan itu diinventarisir oleh Eko. Ia lalu berkoordinasi dengan guru Kartini. Pihak sekolah setuju dibantu. Bahkan warga setempat, notabene orangtua para siswa, menyatakan siap bergotong-royong.

Setelah melewati penantian panjang, rentang empat tahun, akhirnya bangunan sekolah hasil partisipasi warga berdiri. Memang hanya dua kelas. Bentuknya pun belum standar seperti bangunan sekolah yang dibuat oleh anggaran pemerintah. Tapi, setidaknya, kondisinya jauh lebih layak ketimbang bangunan sekolah awal.

“Saya terharu melihatnya. Material semen dan asbes dari kawan-kawan di Facebook. Kayu dan papan hasil patungan warga setempat. Termasuk pasir yang diangkut warga dari sungai di dekat sekolah. Proses membangunnya pun dikerjakan warga. Mereka bergotong royong setiap akhir pekan,” tutur Eko.

Namun, beberapa waktu kemudian, ada seorang tokoh masyarakat yang meminta Eko untuk tidak mengurusi SDN Filial lagi. Sebab ada rencana SDN Filial, yang baru memiliki bangunan hasil swadaya itu, akan ditutup. Anak-anak di sekolah itu diminta melanjutkan proses belajar ke sekolah induk yang letaknya di luar kampung.

Eko patuh pada saran itu. Ia cuma bisa menghela napas. Dan tidak pernah datang lagi ke SDN Filial. Namun setahun berselang dia melanggar janji pada dirinya sendiri. Didorong rasa penasaran, ia mendatangi sekolah itu kembali.

Kendati sudah tahu ada rencana akan menutup aktivitas belajar di sana, Eko tetap terenyuh saat mendapati bangunan baru yang dibuat hasil sumbangan warga itu terlihat lengang tak terpakai.

“Dari beberapa warga yang saya temui, ternyata ucapan orang yang pernah bilang ke saya itu memang benar terjadi. Murid SDN Filial diarahkan belajar ke sekolah induk,” terang Eko.

Tapi lantaran jaraknya jauh, banyak orangtua yang tidak menyekolahkan anaknya. Kalau pun ada yang masih bersekolah, hanya masuk ketika ada ulangan untuk penilaian rapor. Selebihnya mereka di rumah.

“Itu artinya anak-anak di sana tidak menjalani proses belajar yang layak. Padahal itu merupakan hak dasar mereka,” ucap Eko prihatin.

Kondisi SDN Filial yang perlu disanggah balok agar bangunan tidak semakin doyong. (Foto: dok pribadi)

Dipertemukan Orang-orang Baik

Usai menunaikan tugas sebagai honorer pada Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) di Blambangan Umpu, Eko memanfaatkan sisa waktunya untuk terus bergerak dengan lapak pustaka kelilingnya.

Ia juga aktif membagikan pengalaman berkeliling ke berbagai sudut di Way Kanan ke akun Facebook-nya. Tidak sedikit komentar yang menaruh perhatian. Beberapa di antaranya juga memberi masukkan agar Eko mendatangi tempat-tempat tertentu yang dianggap layak disambangi lapak pustaka kelilingnya.

BACA JUGA  Raaga, Karya Raya dan Merayakan Kreativitas

Hingga sebuah saran muncul di kolom komentar. Pemberi saran menyebutkan ada Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) dengan kondisi memperihatinkan. Lokasinya berada di Talang Kemiling, Kecamataan Kasui.

Eko mendatanginya. Jarak tempuhnya jauh dan medan perjalanannya berat. Tapi rasa lelahnya segera menyingkir ketika melihat antusiasme tinggi murid-murid di sana terhadap buku bacaan yang dibawanya.

Keadaan fisik bangunan di MIN ini setali tiga uang dengan kondisi SDN Filial. Mencemaskan. Eko sempat beberapa kali ke sana. Selain membawa bahan bacaan, ia mengajak murid-murid belajar menulis. Caranya dengan mengajak mereka membuat surat kepada presiden.

Beberapa surat buatan anak-anak lalu ditayangkan ke Facebook. Lagi-lagi berbagai respon bermunculan. Banyak pula yang simpati dan menanyakan alamat sekolah tersebut.

Tak dinyana bantuan mulai berdatangan. Bahkan, pihak Polri turut mengulurkan tangan. “Informasi yang saya dapat, katanya Kapolda Lampung saat itu, ikut kasih bantuan. Selain merehab bangunan kelas, polisi juga beri bingkisan alat sekolah ke murid-murid,” terang Eko tentang pengalamannya pada 2018 silam.

Tumpukan semen partisipasi warga untuk membangun ruang kelas. (Foto: dok pribadi)

Buah Simalakama

Kiranya tidak semua pihak berkenan dengan cara yang ditempuh Eko. Ada saja pihak yang meminta Eko untuk tidak lagi mengabarkan keberadaan sekolah-sekolah dengan kondisi miris di Way Kanan.

Saat ditanya perihal upaya “pembungkaman” itu, Eko hanya tersenyum. “Biarin aja. Mungkin mereka punya pertimbangan lain,” ucapnya kalem.

Tapi menurut rekan-rekan dekat Eko, ada orang-orang tertentu yang merasa keberatan kalau hal-hal kurang mengenakkan di Way Kanan dipublikasikan secara luas. Bahkan tindakan Eko dianggap tidak elok.

“Agak aneh memang. Bukankah melalui aktivitasnya, Eko malah sudah berkontribusi bagi pembangunan pendidikan di Way Kanan. Walau caranya dia mesti mengabarkan ada sekolah yang memprihatinkan dan perlu bantuan. Mestinya orang-orang itu merasa terbantu, Eko sudah menunjukkan hal-hal yang perlu mendapat perhatian bersama,” terang seorang rekan Eko yang meminta identitasnya tidak disebutkan.

Bangunan baru SDN Filial yang tak terpakai akibat kebijakan pemerintah. (Foto: dok pribadi)

Seorang rekan lainnya menambahkan, agaknya informasi yang disampaikan Eko di Facebook justru dianggap sebagai tindakan membuka aib.

“Saya juga bingung. Katanya anggota masyarakat diharapkan partisipasinya untuk ikut memajukan daerah. Tapi ada orang yang mencoba berbuat seperti Eko, malah dipersalahkan,” keluhnya yang juga meminta namanya tak diungkap.

Tapi orang-orang yang mengenal Eko itu merasa bersyukur, ternyata tekanan demikian tidak sampai mengendurkan semangat Eko.

Tak cuma tekanan, imbuh rekan-rekannya, cara lain pun pernah dipakai. Misalkan dengan mengiming-imingi pekerjaan atau modal usaha. Semua silakan dipilih Eko. Dengan satu syarat, asalkan dia tidak usah lagi cawe-cawe sekolah.

“Kami yakin, Eko tidak punya tendensi apa-apa. Dia cuma kepingin semua anak-anak di Way Kanan, termasuk yang berada di pelosok, bisa mengakses bahan bacaan dan peroleh hak dasar pendidikan yang layak. Sebagai masyarakat setempat, kami sangat setuju dengan kegiatannya. Enggak banyak loh, orang kayak dia yang punya kepedulian besar buat daerah,” imbuh narasumber ini.(*)

 

Further reading

  • biogas

    Nyala Api Biogas di Desa Rejobasuki, Dari Kotoran untuk Masa Depan

    Puluhan keluarga di Desa Rejobasuki, Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Lampung Tengah, sukses mengembangkan biogas sebagai pengganti gas elpiji, tak hanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga tapi juga untuk kelangsungan industri UMKM yang lebih hemat dan ramah lingkungan. (Lontar.co): Pagi-pagi sekali, Suhana sudah menyambangi kandang sapi di belakang rumahnya. Tak lama, ia keluar dari kandang membawa […]
  • sawah hilang akibat penduduk yang tak terbilang

    Sawah Hilang Akibat Penduduk yang Tak Terbilang

    Lahan persawahan di Bandarlampung, Lamsel dan sebagian Pesawaran makin tergerus akibat adanya alih fungsi lahan untuk permukiman. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi hingga arus urbanisasi ke kota yang marak, menjadi penyebabnya. (Lontar.co): Dua backhoe itu bekerja terus dari pagi hingga sore, meratakan sehektar lahan di wilayah Tanjungsenang itu, sejak tiga hari lalu. Rencananya, lahan yang […]
  • Nepal Bukan Kita

    Nepal bukan kita. Kita adalah Indonesia; santun dan beradab. Jauh dari pikiran Nazi (Naziisme). Jijik pada keinginan pembantaian! (Lontar.co): Viral, video-video unjuk rasa besar-besaran di Nepal. Demo yang tak lagi mengetengahkan misi perdamaian, menjelma jadi sungai darah, bantai, dan pengrusakan. Yang dihakimi massa adalah keluarga pejabat. Beginikah cara orang Nepal turun ke jalan? Nepal adalah […]