Tag: literasi


  • Agak mengejutkan saat tahu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Lampung berada di urutan paling bawah di Sumatera.

    (Lontar.co): Pada tahun 2024 diketahui Sai Bumi Ruwa Jurai hanya mampu membukukan skor IPM 72,50 saja. Sebagai pembanding Sumatera Barat mencapai skor 76,43. Kemudian Sumatera Utara (75,76), Riau (74,55), Sumatera Selatan (73,84), dan Kepulauan Riau (73,12).

    Posisi IPM Lampung yang paling buncit se-Sumatera ini, menjadi dasar pembahasan pada diskusi yang dihelat Koalisi Relawan Pendidikan atau disingkat KOREAN. Organ ini merupakan bagian dari Gerakan Masyarakat Sipil Sedulur Mirza Nusantara (SMN).

    Secara khusus diskusi yang dilangsungkan di Ruang Abung, Kompleks Gubernuran, Rabu (21/5/25) itu, mengambil perspektif pendidikan dengan tema “Perda Pendidikan: Senjata Rahasia Menuju IPM Lampung ke 3 Besar di Sumatera”.

    Lantas apa urusan antara diskusi pendidikan dengan skor rendah IPM Lampung?

    Ternyata itu semua beranjak dari langkah yang ditempuh Pemprov Lampung, di bawah kepemimpinan Gubernur Rahmat Mirzani Djausal, yang sedang mengambil ancang-ancang untuk menggodok peraturan daerah (perda) pendidikan. Tujuan regulasi itu nantinya diarahkan untuk menjawab tantangan meningkatkan IPM Lampung.

    Kiranya, Gubernur Mirza melihat, biang kerok angka IPM yang kedodoran ini tidak terlepas dari kualitas SDM (sumber daya manusia). Sementara untuk mendongkrak kualitas SDM jawabannya tiada lain adalah perbaikan kualitas sektor pendidikan. Ibarat kata, bila ingin mendirikan bangunan kokoh maka perlu diperkuat fondasinya terlebih dahulu.

    Sudut pandang kepala daerah yang terhitung masih seumur jagung memimpin Lampung ini, mendapat apresiasi dari Ketua Komisi V DPRD Lampung, Yanuar Irawan, sebagai salah satu pembicara dalam diskusi.

    Menurutnya, langkah pemprov terbilang visioner untuk menjadikan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.

    Secara khusus, dia memuji terobosan Gubernur Mirza, dengan pertimbangan, “Gubernur telah berani intersep ke sektor SDM. Ketika umumnya pejabat lebih memilih investasi yang cepat memperlihatkan hasil. Misalnya, di bidang infrastruktur. Itu yang banyak kita lihat sekarang, kan. Sedangkan kalau bicara pembangunan SDM butuh cukup kesabaran. Sebab hasilnya tidak bisa langsung dirasakan dalam setahun atau dua tahun ke depan”.

    Sebagai bentuk apresiasi, dirinya juga berjanji, melalui Komisi V bakal terus mengawal terwujudnya perda pendidikan yang menunjukkan keberpihakan pada peningkatan akses dan mutu pendidikan, serta membuka ruang partisipasi publik serta dunia usaha.

    Sementara pembicara lain, Ari Mayzari, melihat rencana pemprov akan merilis perda pendidikan dari perspektif keterlibatan pelaku dunia usaha di daerah. Menurut Ketua Apindo Lampung ini, sudah saatnya pengusaha berkontribusi aktif dalam memperkuat sistem pendidikan.

    “Caranya sederhana. Diawali dengan niatan kuat. Kalau para pengusaha memiliki komitmen konkrit, kontribusinya dapat melalui skema penyaluran Corporate Social Responsibility (CSR),” ungkap Ari.

    Dia mengusulkan, agar CSR dapat menjadi instrumen nyata dalam mendukung pendidikan, ada baiknya CSR diakomodasi dalam perda. “Ini penting supaya arah dan efektivitas penyaluran CSR lebih terukur,” katanya.

    Satu lagi, imbuh Ari, dia memandang perlu adanya integrasi antara kurikulum pendidikan dengan dunia usaha. Sinkronisasi ini bisa diwujudkan antara kebutuhan dunia industri dan materi pembelajaran. Sehingga dapat menciptakan lulusan yang lebih siap kerja dan relevan dengan tantangan dunia usaha.

    Pada akhirnya, baik Yanuar maupun Ari, memiliki optimisme senada. Menurut mereka, dalam kurun waktu lima tahun ke depan, dan melalui berbagai upaya riil -salah satunya melalui keberadaan perda pendidikan- bukan tidak mungkin skor IPM Lampung bakal melenting hingga menembus 3 besar IPM di Sumatera.

    Kontribusi Literasi

    Bicara IPM akan lebih terang benderang bila menukik hingga bagaimana cara skor IPM ditentukan. Setidaknya penentuan IPM didasarkan pada tiga dimensi dasar yakni umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, serta standar hidup layak.

    Tak berhenti sampai di situ, dimensi-dimensi tersebut kemudian diukur dengan indikator-indikator tertentu. Hasil akumulasinya baru berujung pada penetapan nilai akhir IPM. 

    Sebagai contoh penjabaran umur panjang dan hidup sehat, misalnya, diukur dengan angka harapan hidup saat lahir. Lalu pengetahuan diukur melalui rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah. Terakhir, standar hidup layak yang diukur lewat pengeluaran per kapita yang disesuaikan dengan paritas daya beli. 

    Dimensi dasar pengetahuan, mestinya tidak dilihat dari sudut pandang sempit yang membatasi ruang gerak melulu pada indikator rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah. Tetapi harus memandang dimensi pengetahuan sebagai pintu masuk berdimensi luas untuk mendongkrak IPM Lampung. Dimana pengetahuan dilihat dalam artian sektor pendidikan.

    Tidak sedikit pengamat yang meyakini peningkatan kualitas pendidikan memiliki korelasi positif yang kuat dengan peningkatan IPM.

    Pendidikan berperan sebagai fondasi utama dalam membangun manusia yang lebih berpengetahuan, berketerampilan, dan berkompeten, sehingga mendorong peningkatan IPM di berbagai aspek seperti harapan hidup, pendidikan, dan standar hidup. 

    Budaya literasi yang menjadi bagian akar kuat dari pohon pendidikan tentu memiliki korelasi yang lekat dengan peningkatan IPM. Karena literasi yang kuat akan meningkatkan kemampuan individu dalam memahami dan mengolah informasi, yang pada gilirannya berdampak positif pada pendidikan, kesehatan, dan standar hidup. 

    Bersamaan dengan itu, Gubernur Mirza juga sedang menggalakkan budaya literasi di lingkungan sekolah di Provinsi Lampung. Pada tahap awal, konsentrasi penerapannya akan dipusatkan pada tingkat pendidikan SMA/SMK.

    “Benar, Pak Gub sudah menginstruksikan kepada kami untuk intens menumbuhkan budaya membaca pada tataran pelajar SMA dan SMK,” terang Kadis Pendidikan, Thomas Amirico, kepada Lontar.co, baru-baru ini. (*)



  • Kebanyakan dari kita tentu masih ingat peribahasa lawas yang bilang “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Ungkapan itu kiranya bisa menjelaskan kenapa ketertarikan pelajar di Lampung terhadap literasi masih sangat minim.

    (Lontar.co): Beranjak dari pemahaman itu Pemred Club, himpunan pemimpin redaksi dari beberapa media, mengajukan program literasi digital untuk warga sekolah SMAN/SMKN pada 15 kabupaten/kota di Lampung. Gayung bersambut, Thomas Amirico, nakhoda baru pada Dinas Pendidikan Provinsi Lampung merespon positif.

    “Kita memang butuh keterlibatan banyak pihak untuk menghidupkan literasi di sekolah. Benar, Indek Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Lampung masih rendah. Kita akui itu. Justru dengan menerima fakta ini kita jadi muncul kesadaran untuk membenahinya. Tentu harus ada upaya konkrit untuk mengawali perubahan,” kata Thomas saat menerima perwakilan Pemred Club di kantornya, belum lama ini.

    Tak berhenti sebatas wacana, diskusi ringan itu langsung ditindaklanjuti. Pada Selasa, 27 Mei 2025, program literasi digital di sekolah akan disosialisasikan. Sebagai langkah awal program ditujukan pada SMAN/SMKN yang berada di Kabupaten Tulangbawang Barat dan Lampung Tengah.

    Pada kedua kabupaten ini terdapat 53 SMAN/SMKN yang akan mengirimkan perwakilannya untuk diajak membicarakan formulasi pelatihan yang merujuk pada penumbuhan minat literasi digital. “Kami memandang perlu ngajak ngobrol para kepala sekolah dan guru bahasa Indonesia. Sebab mereka pengambil dan pelaksana kebijakan di tiap sekolah. Kami akan ajak mereka sharing seputar seberapa penting literasi menurut mereka,” terang Herman Batin Mangku, koordinator Pemred Club.

    Kalau, imbuh lelaki yang akrab disapa HBM ini, hasil obrolan itu nantinya memiliki kesepahaman yang sama bahwa literasi penting dikembangkan di lingkungan sekolah, baru dibahas terkait konsep program dan teknis pelaksanaannya.

    Selain selaku pengambil kebijakan dan pelaksana, masih menurut HBM, pelibatan kepala sekolah dan guru Bahasa Indonesia menjadi sasaran utama sosialisasi karena pepatah telah mengingatkan. “Ikan busuk mulai dari kepala. Sebaliknya juga, pemikiran segar untuk membawa perubahan paradigma juga perlu diawali dari kepala, dalam hal ini kepala sekolah,” ucapnya setengah kelakar.

    Pandangan ini kiranya cukup beralasan. Mengingat tidak sedikit regulasi dan kegiatan bernuansa literasi di Provinsi Lampung namun realitasnya masih banyak yang berhenti sebatas wacana. Kalau pun ada kegiatan yang sempat dijalankan, sifatnya masih parsial. Belum menyeluruh apalagi saling bersinergi dan berkesinambungan untuk membuat perubahan secara signifikan.

    Soal regulasi terkait literasi jauh-jauh hari sudah ada payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Lampung Nomor 17 Tahun 2019 tentang Peningkatan Budaya Literasi. Tapi apa iya implementasinya sudah berlangsung? Lalu ada pula satuan tugas Gerakan Literasi Sekolah atau dikenal Satgas GLS. Tentunya tanpa mengecilkan perannya, kiranya gerakan ini bisa lebih dimasifkan lagi untuk mewujudkan perubahan atmosfer literasi di lingkungan sekolah.

    Mengapa perlu penanganan secara menyeluruh dan berkesinambungan? Sebab kondisi di lapangan yang sedang tidak baik-baik saja, kalau kita tidak ingin menyebut kenyataannya cukup memalukan.

    Data Perpustakaan Nasional (Perpusnas) tahun 2023 menunjukkan skor tingkat kegemaran membaca (TGM) di Provinsi Lampung 66,38 poin. Secara nasional skor literasi Lampung disebut berada pada urutan 18 dari 34 provinsi.

    Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional, Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Lampung pada tahun 2024 menunjukkan angka 64,8100. Pencapaian terbesar diperoleh Sulawesi Selatan dengan poin 88,2400. Sebagai pembanding skor dengan provinsi terdekat Lampung ialah Bengkulu dengan skor 65,960, lalu Jambi memperoleh skor 65,430.

    Pada akhirnya perubahan yang diupayakan memang mestinya melalui proses bertahap. Bukan memakai paradigma lama yang kerap terjebak pada seremonial. Bukan pula kegiatan ala-ala yang puas hanya mengedepankan kegiatan simbolis, lantaran enggan menjalani komitmen yang berkesinambungan. Sebab bukankah telah sama-sama diketahui perubahan hakiki tidak pernah dicapai secara instan. (*)