Kebijakan membekukan rekening nganggur (dormant) menimbulkan dampak sistemik. Bukan hanya bergejolak di rakyat, likuiditas perbankan juga ikut terganggu karena rush terjadi dimana-mana.
(Lontar.co): Diana gusar luar biasa. Uang transferan dari suami yang rencananya akan dipakai untuk membayar uang wisuda dua anaknya tak kunjung masuk ke rekeningnya, padahal dalam riwayat mobile banking rekening suaminya, notifikasi transfer sukses.
Setelah ditelusuri hingga ke bank, ternyata rekeningnya dibekukan oleh PPATK. Ia diberi form pengaduan, sebagai ikhtiar agar rekeningnya bisa dibuka kembali, dan uang wisuda bisa dibayar.
Ia merasakan keanehan dalam proses pembekuan rekening miliknya, karena rekeningnya aktif dipakai, untuk transaksi di marketplace hingga pembayaran UKT.
“Akhir Juni masih dipakai untuk transaksi, ada transferan ada juga saya transfer, tapi kok dibekukan,” katanya kesal.
Sekarang, ia hanya menunggu pengajuan pembukaan pemblokiran rekeningnya dengan harap-harap cemas, karena uang itu harus segera disetor untuk biaya wisuda,”kalau sampai nggak dibuka rekeningnya, anak-anak saya nggak bisa wisuda”.
Kacau Dimana-mana
Lain Diana, lain pula dengan Tuti Indrawati, Jum’at 1 Agustus 2025 pagi, rekeningnya ikut pula terdampak, padahal rencananya hari itu ia bermaksud membayar uang untuk Jumat Berkah.
“Selepas subuh, rencananya mau transfer untuk uang nasi bungkus Jumat Berkah, malah nggak bisa”.
Ia bergegas menuju ke bank milik pemerintah tempatnya menabung, setelah di cek, rekeningnya dibekukan,”ini aturannya bagaimana sih, rekening yang jelas-jelas aktif malah dibekukan, kok bikin aturan asal-asalan,” katanya kesal.
Ia sempat pula marah ke bank, tapi tak ada solusi, karena bank tunduk pada perintah PPATK, sama seperti Diana, Tuti hanya diberi form pembukaan rekening yang ditujukan ke PPATK.
Sama halnya dengan Wilhelmus, pemilik jasa otomotif di Bandarlampung ini mengaku dua rekening yang dipakai untuk transaksi usahanya dibekukan sejak minggu lalu.
Ia bereaksi dengan mendatangi dua bank tempatnya menabung, tapi meski sudah marah-marah, ia hanya diberi form pembukaan kembali rekeningnya,”ada uang punya customer saya tertahan puluhan juta di bank, alasan pembekuan juga nggak masuk akal, bener-bener kurang kerjaan!”.
Yang lucu justru Y, pegawai bank pemerintah dengan jabatan yang sudah lumayan tinggi, rekeningnya juga ikut dibekukan oleh PPATK, padahal segala aktivitas transaksi perbankan mulai dari pembayaran gaji hingga biaya harian selalu memakai rekening itu,”rekening saya aja dibekukan, padahal aktif luar biasa,” ujar Y di Whatsapp grup.
Meski bekerja di bank, Y tak tahu alasan penonaktifan rekeningnya,”judol nggak, pinjol apalagi, cuma untuk transaksi biasa, termasuk terima gaji, tapi kena juga,” katanya lagi.
Pekan lalu pula, aktivitas di dua cabang bank pelat merah yang ada di Jalan Kartini, juga ramai luar biasa, banyak pemilik tabungan yang antri menguras isi tabungannya.
Sempat terjadi gejolak, karena bank kehabisan uang tunai, sementara antrian masih lumayan panjang.
Pelayanan bank yang semula memakai nomor antrian pun tak diindahkan lagi, mereka justru saling berebut untuk dilayani.
Satpam bank yang berusaha memberi pemahaman tak berdaya dengan gelombang penarikan uang besar-besaran itu.
Cucuk Cabut Kebijakan
Dari salah seorang rekannya yang bertugas di kantor pusat, Y belakangan tahu, PPATK melakukan pembekuan rekening secara acak.
Padahal, mekanisme pembekuan rekening dormant, jika mengacu pada kebijakan pemerintah, dilakukan kepada rekening-rekening yang tak aktif dalam hal transaksi keluar maupun masuk, tapi kenyataan yang terjadi justru berbeda.
Korbannya bukan cuma masyarakat, tapi juga sektor perbankan, kekhawatiran terjadi rush besar-besaran mulai muncul.
Kondisi ini mulai mengarah seperti ketika krisis moneter tahun 1998 lalu, rush di semua perbankan terjadi, membuat likuiditas bank terganggu luar biasa, hingga akhirnya kolaps.
Kekhawatiran ini amat mungkin terjadi, menyusul kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang membekukan rekening pasif.
Pembekuan disebut untuk melindungi masyarakat dan sistem keuangan, karena banyak rekening dormant yang diketahui disalahgunakan, konsentrasinya pada jual beli rekening yang mengarah pada transaksi judi online.
Motif PPATK ini cenderung tak masuk akal dan mengada-ada, apalagi kabarnya, kebijakan ini dibuat tanpa koordinasi dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebagai dua lembaga yang punya otoritas penuh terhadap sektor perbankan dan keuangan di Indonesia.
Kebijakan PPATK ini juga melenceng dari tugas sesungguhnya lembaga itu, sebagai fungsi intelijen keuangan bukan membekukan rekening.
Alhasil, gejolak terjadi dimana-mana, miliaran uang ditarik secara masif dari bank dalam waktu yang sama, sektor perbankan pun harus kepayahan menyiapkan dana tunai dalam jumlah besar.
Padahal, sektor perbankan bisa hidup dan menjalankan bisnisnya berdasarkan kepercayaan publik, tapi sentimen kebijakan pemerintah yang beririsan dengan perbankan membuat bisnis ini bergejolak luar biasa.
Setelah Beku, Dicairkan Kembali
Setelah terjadi kekacauan luar biasa dan merata di Indonesia, belakangan PPATK membuka kembali pemblokiran kepada sebanyak 28 juta rekening yang diklaim menganggur oleh PPATK.
Alasan pembukaan kembali puluhan juta rekening itu juga terkesan dipaksakan, kata PPATK, rekening yang diblokir itu tak terkait dengan tindak pidana.
Tapi, sampai Sabtu (2/8/2025), baik Diana maupun Tuti Indrawati belum bisa mengakses rekening mereka.
“Sabtu siang saya cek di atm, masih belum bisa, saya telpon call center bank, katanya nunggu sampai lima hari,” ujar Diana.
Sama halnya dengan Wilhelmus, ia masih belum bisa mengakses mobile banking rekeningnya termasuk ketika mendatangi bank, ia hanya diminta bersabar.”Sabar terus!,” ujarnya marah.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai kebijakan pemblokiran rekening oleh PPATK sudah salah sejak awal.
Tapi, Karo Humas PPATK Natsir Kongah kepada wartawan membantah bahwa kerja PPATK tidak teliti dengan memblokir semua rekening tanpa verifikasi dan kajian yang dalam.
Ia menyebut sejak Mei 2025 lalu, PPATK sudah memblokir 31 juta rekening, nilainya mencapai Rp6 triliun.
Dari 31 juta rekening itu, 140 ribu diantaranya dianggap pasif karena tidak melakukan transaksi apapun selama lebih dari sepuluh tahun, nilai total dari rekening itu hingga Rp428 miliar.
“Banyak (masyarakat) yang bersyukur karena sudah dilindungi,” dalih Natsir.
Parahnya, PPATK hanya bersikap menunggu pengajuan klaim pembukaan rekening dari masyarakat baru kemudian melakukan verifikasi status rekening apakah terindikasi judi online atau tidak, jika clear, rekening bisa diaktifkan kembali. Keadaan ini makin menunjukkan bahwa PPATK memang tidak memiliki kemampuan mengidentifikasi secara langsung rekening-rekening yang terindikasi judi online.
Hal ini pula diakui oleh Natsir Kongah, yang menjelaskan proses pembukaan rekening dilakukan berbasis pengajuan formulir dari nasabah ke PPATK melalui bank, selanjutnya PPATK melakukan verifikasi ulang, jika tak terkait tindak pidana, rekening bisa dibuka kembali.
Hal ini yang disebut ekonom Indef, Eko Listiyanto sebagai kelemahan PPATK dalam proses identifikasi rekening.
“PPATK mau nangkap penjahat tapi tidak bisa melakukan seleksi mana yang benar mana yang jahat, akhirnya masyarakat yang tidak tahu menahu terkena imbasnya,” kata Eko kepada wartawan.
Runtuhnya Kepercayaan Publik Terhadap Perbankan
Seperti yang terjadi pada dua cabang bank di Bandarlampung yang terjadi penarikan dana besar-besaran, kebijakan PPATK yang memblokir puluhan juta rekening ini diakui Eko Listiyanto sebagai kebijakan yang membuat masyarakat takut untuk menyimpan uangnya di bank.
Sementara, pertumbuhan sebuah bank amat membutuhkan kepercayaan publik, dalam hal keamanan dan kenyamanan dana mereka. Jika kebijakan ini dibiarkan, Indef khawatir akan mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional, sekarang saja, angka perekonomian nasional hanya stagnan di bawah 5 persen.
Tak hanya itu saja, Indef juga melihat fenomena turunnya pengelolaan dana dari pihak ketiga yang ada di bank. Terhitung Mei 2025 kemarin, dana pihak ketiga yang dihimpun sektor perbankan turun hingga 4 persen dari periode sebelumnya yang hanya 8 persen.
Reputasi keuangan, lanjut Eko Listiyanto amat terganggu dengan kebijakan pemblokiran yang serampangan ini.
Desakan evaluasi kebijakan ini juga disampaikan YLKI, menyusul makin turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan pasca kebijakan dilakukan.
Sekretaris Eksekutif Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Rio Priyambodo menuntut pemerintah segera membenahi permasalahan ini.
Apalagi, YLKI menerima banyak pengaduan dari masyarakat terkait pemblokiran rekening ini, karena dilakukan tak hanya kepada rekening-rekening yang tak aktif dan dicurigai terindikasi judi online, tapi juga rekening milik masyarakat biasa.