rth
Kampung Serampok di Panjang yang dibongkar oleh Pemkot Bandarlampung yang rencananya akan dijadikan RTH. Foto: ist

R.I.P RTH Bandarlampung

0 Comments

Ruang terbuka hijau di Bandarlampung hanya 4,5 persen dari total luas wilayah kota, padahal idealnya 30 persen. Akibatnya, kualitas hidup masyarakat kota terdampak, bencana juga selalu mengintai.

(Lontar.co): Dulu, tiap hari Minggu, Herman warga Perumahan Griya Abdi Negara, Sukabumi punya rutinitas menyehatkan.

Setiap pagi selepas subuh, di akhir pekan itu, ia bersepeda menempuh jarak 10 kilometer pulang pergi menuju ke Stadion Sumpah Pemuda Way Halim.

Tapi itu tiga bulan yang lalu. Sekarang, ia mulai khawatir, truk-truk muatan kerap melintas dengan kecepatan tinggi dan ugal-ugalan, apalagi ketika pagi hari, saat lalu lintas kendaraan masih sepi, ruas Jalan Pangeran Tirtayasa yang lebarnya cuma 6 meter dan berlubang itu, kerap kali jadi arena balap buat sopir-sopir truk besar itu, Herman khawatir setengah mati.

Belum soal debunya yang beterbangan kemana-mana, bukan debu biasa, tapi debu residu batubara yang dibawa truk-truk besar itu, membuat pernapasannya kerap kali sesak.

“Debunya hitam pekat, halus tapi nusuk kalau tak sengaja dihirup,” keluh Herman.

Ia tak berdaya, sampai akhirnya berhenti sama sekali,”sekarang, cuma jalan di dalam komplek aja”.

Sepotong ruang terbuka hijau fasilitas perumahan yang ada di kompleknya juga masih jauh dari memadai, sekedar ada, tapi tak representatif, belum lagi rembesan debu polusi dari pabrik di beberapa titik wilayah Sukabumi hingga polusi asap kendaraan juga membuat taman di perumahannya masih jauh dari harapan.

Tapi, Herman sadar, ia dan kebanyakan warga Kota Bandarlampung tak bisa berharap banyak dari pemerintah.

Bandarlampung Darurat RTH

Dengan total luas wilayah 197,22 kilometer, idealnya Kota Bandarlampung memiliki ruang terbuka hijau paling sedikit 20 persen, tapi jangankan 20 persen, sisa RTH yang semula 11, 08 persen digerus oleh kepentingan menjadi hanya tersisa 4,5 persen saja lagi.

Pemerintah kota berdalih klasifikasi daerah-daerah yang semula masuk dalam kategori wilayah Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bandarlampung beralih status dengan merujuk Perda Kota Bandarlampung Nomor 4 Tahun 2021 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2021-2041.

Tapi, entah disadari atau tidak oleh pemerintah kota maupun DPRD Kota Bandarlampung, perda yang mengalihstatuskan wilayah-wilayah RTH itu justru menjadi rancu sekaligus tumpang tindih dengan terbitnya Perda Kota Bandarlampung Nomor 14 Tahun 2023 Tentang Penyediaan dan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau.

BACA JUGA  Dari Judol sampai Singkong, Berujung Depresi dan Bunuh Diri

Dalam beleid itu disebutkan dua jenis RTH yang wajib ada di Kota Bandarlampung, yang salah satu diantaranya menjadi tanggung jawab pemerintah kota untuk menyediakannya, yakni; RTH Publik dengan luasan minimal 20 persen.

Selanjutnya, RTH Privat menjadi kewenangan pihak ketiga, seperti swasta hingga pengembang perumahan, institusi maupun perorangan dengan luasan minimal 10 persen, dengan total luas keseluruhan dari dua jenis RTH itu adalah 30 persen, sesuai standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Akan halnya, ketentuan mutlak yang diamanatkan Perda Nomor 14 Tahun 2023 kepada Pemkot Bandarlampung itu, meski sudah dua tahun peraturan daerah itu diundangkan, namun alih-alih jumlah luasan RTH bertambah tapi malah menyusut drastis.

Tahun 2021, RTH masih ada 11,08 persen, kemudian terus menyusut hingga tersisa 4,5 persen saja lagi, perambahan hutan kota yang ada di Kelurahan Way Dadi yang ditimbun dengan tanah adalah salah satunya, yang kemudian menjadi pemicu banjir di Kelurahan Way Dadi.

Data versi Walhi Lampung bahkan lebih menyedihkan lagi, total luas ruang terbuka hijau di Bandarlampung bahkan hanya tersisa 2,39 persen saja lagi, total luas RTH itupun sudah meliputi lahan pemakaman.

Walhi Lampung menyebut sejauh ini RTH di Bandarlampung hanya tersisa sekitar 440 hektar saja lagi, angka ini jelas tak mencerminkan kelayakan kualitas hidup masyarakat di Kota Bandarlampung jika dibandingkan dengan total luas ibukota Provinsi Lampung itu.

Idealnya, RTH di Kota Bandarlampung itu minimal memiliki luas 5.513 hektare yang terdiri dari 20 persen RTH Publik dan 10 persen RTH Privat.

Tak Ada Bahasan RTH di RPJPD dan RPJMD

Merujuk Perda Nomor 14 Tahun 2023 yang dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang itu pula, Pemerintah Kota Bandarlampung kemudian tergagap untuk memenuhi ruang terbuka hijau yang kemudian berencana mengalihfungsikan Terminal Rajabasa yang sepi untuk ruang publik.

Demikian pula, upaya pembongkaran puluhan rumah secara swadaya oleh warga yang tinggal di Kampung Batu Serampok, Panjang yang disebut bakal dijadikan sebagai kawasan RTH, kenyataannya fungsi ekologis sebagai daerah tangkapan airnya sudah hilang. kemampuan lahan yang berada di sekitar kawasan Bukit Serampok itu untuk menyerap air sudah tergerus oleh tutupan lahan bekas permukiman, untuk merevitalisasinya kembali butuh waktu hingga bertahun-tahun.

BACA JUGA  Cerita Bingkai pada Visi Andrew Scott

Entah hanya sekedar lips service untuk menyenangkan warga kota dengan wacana Walikota Eva Dwiana yang akan menyulap Terminal Rajabasa sebagai ruang publik alih-alih RTH, kenyataannya dalam rencana pengembangan infrastruktur wilayah Kota Bandarlampung tahun 2025-2045, tak ada satupun poin pembahasan tentang pemenuhan RTH sesuai amanat peraturan daerah dan undang-undang.

Jika merunut musyawarah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Bandarlampung 2025-2045 yang digelar Badan Perencanaan Pembangunan, Riset dan Inovasi Daerah Kota Bandar Lampung, Juni 2025 lalu, RTH tak dibahas sama sekali.

Sebaliknya, rencana pembangunan lebih mengarah pada pengembangan infrastruktur, mulai dari kereta api hingga jalan tol. Lucunya, Terminal Rajabasa yang disebut Eva akan dialihfungsikan sebagai taman publik, justru dalam rapat itu disebut akan dikembangkan sebagai terminal yang terintegrasi dengan terminal-terminal yang berada di bawah kewenangan kota.

Begitu pula pada musyawarah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bandarlampung, bulan Mei 2025 lalu, yang membahas rencana pembangunan lima tahun ke depan, tak disinggung sedikit pun keharusan Pemkot Bandarlampung untuk mengembangkan Ruang Terbuka Hijau.

Padahal, dalam RPJMD itu, ada salah satu misi utama pemkot untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, tapi tak tak dijelaskan secara spesifik bahkan cenderung bias karena ada tambahan tata kelola pemerintahan yang baik setelahnya.

Dalam Perda Kota Nomor 14/2023 Tentang Penyediaan dan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Pasal 10 ayat 6 ditegaskan secara eksplisit bahwa RTH publik penyediaannya menjadi tanggung jawab sepenuhnya Pemerintah Kota Bandarlampung dengan mempertimbangkan sebaran lokasi dan potensi masing-masing kawasan.

Demikian pula, dalam hal pembiayaan pembangunan dan pengembangan RTH, Pemkot Bandarlampung juga diperkenankan menggunakan APBD sebagai sumber pembiayaannya atau bisa juga dengan hasil kerjasama tanggung jawab sosial pihak ketiga, sesuai dengan yang diatur pada Pasal 26 Perda Nomor 14/2023.

Tapi, sudah dua tahun berselang, jangankan perencanaan atau pemetaan wilayah calon ruang terbuka hijau, pembahasaan sedikit pun tentang ruang terbuka hijau tak pernah dilakukan sama sekali oleh Pemkot Bandarlampung.

BACA JUGA  Bandarlampung, Kota Tapis yang Sudah Lama Tak Lagi Berseri

Langganan Banjir

Hilangnya fungsi ekologi, sebagai daerah resapan air yang menjadi konsekuensi dari tergerusnya lahan ruang terbuka hijau di Bandarlampung, adalah bencana ekologis, yang membuat sebagian besar wilayah di Kota Bandarlampung selalu menjadi langganan banjir.

Bencana hidrometeorologi ini, menurut Walhi sebagai ekses dari hilangnya ruang terbuka hijau, sementara kualitas ruang terbuka hijau yang masih tersisa tak pernah sekalipun ditingkatkan oleh Pemkot Bandarlampung.

“Ruang terbuka hijau yang menjadi daerah resapan air, seharusnya bisa ditingkatkan fungsinya,” tutur Direktur Eksekutif Walhi Lampung, Irfan Tri Musri.

Walhi mencatat sejauh ini ada 11 titik wilayah di Kota Bandarlampung yang selalu menjadi langganan banjir.

Hilangnya daerah tangkapan dan resapan air, alih fungsi lahan, semakin melengkapi kondisi buruk drainase hingga pengelolaan sampah,”yang paling parah penyebabnya, tentu saja hilangnya ruang terbuka hijau”.

Karenanya, Walhi Lampung melihat, jika Pemkot Bandarlampung terus menerus mengejar pembangunan infrastruktur tapi mengesampingkan fungsi-fungsi ekologis dalam pembangunan yang tak berwawasan lingkungan, maka bencana hidrometeorologi di Bandarlampung akan terus terjadi bahkan bakal semakin parah baik luasan wilayah maupun dampak yang ditimbulkannya,”maka masyarakat Bandarlampung juga yang akan jadi korbannya,” tutur Irfan.

Kota Bandarlampung Tak Punya Paru-paru

Ibarat manusia, Kota Bandarlampung memang sudah kehilangan paru-parunya. Seperti kata ahli lingkungan dari Unila Dr. Rudi Hartanto yang menyebut ruang terbuka hijau adalah paru-paru kota yang punya peran penting untuk menyerap polusi, sebagai daerah resapan air hingga keseimbangan ekosistem kota.

“Dengan ruang terbuka hijau yang terbatas, kualitas lingkungan, suhu dan udara di Kota Bandarlampung justru amat buruk,” kata Rudi.

Maka, tak heran jika kemudian, suhu di Kota Bandarlampung beberapa tahun terakhir cenderung meningkat drastis, udara makin terasa panas mana kala musim kemarau panjang.

Tahun 2024 lalu bahkan, Climate Central bahkan menempatkan Kota Bandarlampung diurutan ketiga sebagai kota dengan suhu tertinggi se-Asia Tenggara!

Posisinya berada di bawah Makassar, Sumedang dan Davao (Filipina), data Climate Central menyebut suhu tertinggi di Bandarlampung pernah tembus di angka 35 derajat celcius.

Panasnya suhu di Kota Bandarlampung hanya akan berkurang sedikit saja ketika memasuki musim penghujan, sementara kemarau di pertengahan tahun 2025 ini, diperkirakan masih akan berlangsung sampai September.

Further reading

  • 60 Penulis ‘Menelisik Lampung’ Penuh Warna

    Masih sedikitnya ketersediaan buku yang membicarakan ke-Lampung-an, kini terjawab. Dinas Perpustakaan Lampung meluncurkan buku ini, Menelisik Lampung, berisi karya puisi, cerpen, dan esai (opini). Dikemas apik. (Lontar.co): Bangga jadi ulun Lappung (orang Lampung). Lampung, sebagai etnis, sangat kaya seni budaya. Daerah ini saja memiliki dua jurai bagi etnis Lampung, yakni pepadun dan saibatin — pedalaman […]
  • bahan pangan tersandera mbg

    Bahan Pangan yang Tersandera MBG

    Tingginya permintaan harian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis, memicu naiknya harga bahan pokok di sejumlah pasar. Masyarakat dan pedagang tradisional mengeluh. (Lontar.co): Meski sudah menunggu sejak pagi, Erni hanya mampu membeli sekilo telur dan 5 kilogram beras di pasar murah yang digelar di Kantor Kecamatan Bumi Waras itu. Banyak bahan pokok yang […]
  • Duet Kembar Eva Dwiana & Eka Afriana, Mengapa Begini?

    Kurang murah hati apa warga yang telah memilih kembali Eva Dwiana sebagai Walikota Bandarlampung. Kurang legowo apa publik yang tidak menyoal praktik nepotisme dengan mendudukkan kembarannya, Eka Afriana, sebagai kepala Dinas Pendidikan. (Lontar.co): Tapi untuk timbal balik sekadar menjaga perasaan publik pun kok rasanya enggan. Malah melulu retorika yang disodorkan. Apa pernah Walikota Bandarlampung, Eva […]