porter
Supriyadi, porter di Pelabuhan Bakauheni. Foto: Meza Swastika

Porter-porter yang Hidup dari Koper

Porter pelabuhan nyaris tak dianggap ada oleh penumpang dan kebanyakan orang. Mereka hanya terlihat ketika dibutuhkan.

(Lontar.co): Gerbang garbarata pejalan kaki itu, belum tersambung sepenuhnya dengan pintu kapal, tapi lima orang berseragam warepack merah itu sudah meloncat tanpa ragu ke arah kapal. Mereka bergegas berlari, mendekati tiap penumpang untuk menawarkan jasa. Ada harapan di wajah-wajah mereka.

Supriyadi (65) salah satunya, gurat-gurat usia yang tergambar di wajahnya nyaris tak menahan tenaganya untuk terus bekerja.

Ia terus menerobos ke dalam kapal, bertanya dengan nada pelan kepada setiap penumpang yang ia temui, ada yang menjawab, tapi tak sedikit yang acuh.

Suaranya terdengar ramah, ada senyum tipis muncul dari bibirnya yang berkerut.

Tak ada yang menyambut tawarannya, sejurus kemudian ia meniti tiap anak tangga setengah berlari menuju ke ruang penumpang.

Kurang dari lima menit kemudian, Supriyadi sumringah. Di pundaknya, koper hitam besar lebih dari setengah badannya, ia panggul, beratnya mungkin hampir 100 kilo, tapi tak ada gurat lelah, meski tangga yang ia titi turun ke bawah lumayan curam, ia bisa terperosok tertimpa koper besar itu jika tak hati-hati.

Ia juga harus menjaga ritme tiap langkahnya, karena di depan ada penumpang lain, sesekali berhenti untuk mengambil napas, tapi wajahnya tak menyiratkan gurat lelah apalagi kepayahan.

“Alhamdulillah, disyukuri,” ujarnya pendek.

Menjadi porter di Pelabuhan Bakauheni sudah lebih dari 20 tahun dijalani Supriyadi. Dari masih bujangan hingga kini beranak empat, ia hidupi dari porter.

Sekarang, semuanya memang berbeda dibanding pertama kali menjadi porter. Tas, ransel dan koper menurutnya sudah banyak mengalami perubahan, dari yang semula diangkat, digendong hingga menjadi semakin praktis dengan roda yang bahkan bisa berputar 360 derajat mengikuti arah.

“Kalau dulu, koper ya koper aja, nggak ada rodanya, dijinjing, jadi kalau dulu penumpang kapal itu sudah pasti pakai jasa kita,” kenang Supriyadi.

BACA JUGA  Apologi Kaum Rebahan di Lampung Menyongsong Pengangguran Struktural 4.0 

Pada saat itu pula, upah yang mereka dapat jadi amat berpengaruh. Sejak dulu memang, tak pernah ada patokan harga pasti untuk sekali pakai jasa mereka. Memaksa meminta lebih juga bukan opsi yang ideal buat mereka, karena ancamannya bisa diberhentikan jadi porter.

Umumnya, mereka biasa membuka layanan jasanya di harga awal Rp50 ribu sekali angkat sampai kapal, tapi seringnya ditawar hingga setengah harga. Pakem harga itu melepas sepenuhnya seberapa banyak bawaan yang harus mereka angkat, meski kadang luar biasa banyaknya.

Sebelum menjadi porter, Supriyadi adalah pedagang asongan di pelabuhan, tapi karena persaingan yang terlalu keras, ia tersisih, dagangannya kerap tak laku.

Kakek dua cucu ini bukan hanya menghadapi kerasnya persaingan antar sesama pengasong tapi juga dengan pelaku kriminal di Pelabuhan Bakauheni

“Dulu tukang copet nyamarnya kalau nggak jadi pengamen ya asongan, nah kita yang benar-benar jualan asongan sering kena tuduh”.

Ia bahkan mengaku pernah ‘diperbal’ di kantor KPPP Pelabuhan Bakauheni karena dituduh mencuri, atau bahkan nyaris di massa karena disangka pencopet.

“Namanya hidup di pelabuhan ya begitu resikonya, tapi karena kita bener, kita nggak takut sama sekali,” katanya tenang.

Tahun 90-an, menurut Supriyadi, menjadi tahun-tahun dimana hidup di Pelabuhan Bakauheni terasa begitu keras tapi mencari uang juga kala itu cukup mudah.

Ia tak kuat, tantangannya terlalu berat, Supriyadi akhirnya beralih menjadi porter, padahal kebanyakan porter senior yang ia kenal justru tak yakin dengan Supriyadi, karena tubuhnya yang kerempeng.

“Ya kita niatnya cari rejeki yang halal apa aja dijalanin”.

Bekerja sebagai porter, diakui Supriyadi cukup berat, meski penghasilannya besar.

Dulu, jarak antar dermaga dari pintu masuk pelabuhan lumayan jauh, dan harus melalui bentangan koridor-koridor gangway sebagai penghubung antar dermaga yang panjangnya sampai satu kilometer lebih.

BACA JUGA  Jejak Orang Lampung di Sihanoukville: Ditebus atau Tukar Kepala (3)  

“Kalau dapat ke dermaga tiga, itu luar biasa jauhnya dari pintu masuk, belum naik turun tangganya,” tutur Supriyadi.

Tapi, penghasilan Supriyadi dan kebanyakan porter lain kala itu memang luar biasa, ia bahkan bisa menabung dan menikah hingga tinggal di kontrakan yang lebih layak.

Rata-rata per hari penghasilannya bisa sampai Rp350 ribu, dengan jam kerja mulai dari pukul 8.00 pagi hingga pukul 19.00.

Upah yang ia dapatkan juga beragam, tergantung jumlah koper dan berat barang yang harus ia pikul.

Masa liburan dan arus mudik adalah masa dimana para porter bisa ‘panen’ penghasilan. Dari dua momen itu, Supriyadi bahkan bisa mengumpulkan uang lagi untuk menyekolahkan anaknya hingga kuliah di Bandarlampung.

Tingginya aktivitas porter pelabuhan ini pula yang sempat memicu keributan besar di tahun 2000-an awal.

Saat itu, banyak orang yang kemudian beralih menjadi porter, di sisi lain, banyak juga pelaku kejahatan yang berkedok porter dan mencuri barang-barang milik penumpang.

Kondisi makin semrawut ketika sesama porter kerap kali terjadi gesekan hanya karena saling berebut jasa dengan penumpang.

Puncaknya, keributan besar antar kelompok porter terjadi di Pelabuhan Bakauheni, belakangan pula diketahui adanya sejumlah preman yang secara khusus ‘mengelola’ porter-porter di pelabuhan yang kemudian mendominasi jasa porter di Pelabuhan Bakauheni.

Karena merasa memiliki beking kuat, porter-porter yang dikelola oleh oknum-oknum ini lebih banyak mendapatkan penghasilan. Tapi disisi lain, banyak pula penumpang kapal yang mengeluhkan karena banyaknya barang yang hilang.

Sementara, Supriyadi dan porter lainnya yang tak terafiliasi dengan kelompok-kelompok porter ini makin tersisih.

Semakin lama, kondisi makin tak teratur hingga pecah keributan dalam skala yang lebih besar yang bahkan sempat memakan korban jiwa.

ASDP yang memiliki otoritas penuh di pengelolaan pelabuhan, kemudian melakukan penataan, termasuk melakukan pendataan porter-porter secara resmi, jumlahnya juga mulai dibatasi, mereka dikelola secara khusus.

BACA JUGA  Jejak Orang Lampung di Sihanoukville; Berangkat Sehat, yang Pulang Cuma Nama (2) 

“Dari situ mulai bagus tuh, porter-porternya dikasih seragam sebagai tanda porter resmi yang sudah disetujui ASDP”.

Tapi, baiknya pengelolaan jasa porter sudah tak lagi diiringi dengan tingginya minat penumpang untuk menggunakan jasa mereka, ada yang trauma dengan mahalnya jasa, ada pula yang takut barangnya hilang.

Pelabuhan Bakauheni di masa lalu memang tak ubahnya kawasan angker yang menakutkan buat penumpang kapal, stigma itu terus terbentuk hingga saat ini, meski pengelolaannya sudah jauh lebih baik.

Kondisi itu berdampak hingga sekarang, Supriyadi yang dulu bisa membawa pulang uang hingga ratusan ribu, kini paling banyak hanya bisa membawa pulang uang Rp100 ribu.

“Dulu cari uang buat anak masuk kuliah itu, mudah bener, tapi sekarang cari uang seratus ribu itu bisa dari pagi sampai tengah malam,” akunya.

Meski demikian, ia bersyukur, setidaknya anak-anaknya bisa menempuh pendidikan dengan layak dari hasil porter yang ia geluti selama puluhan tahun.

“Sekarang tinggal dua anak lagi yang harus dibiayai, yang nomor dua tinggal nunggu wisuda, yang bungsu sebentar lagi lulus SMA, alhamdulillah kakaknya yang tua ikut bantu biaya sekolahnya, jadi agak ringan dikit”.

Tapi, ia dan porter-porter lain masih merasakan ‘bulan madu’ saat musim libur dan arus mudik. Dua momen itu menjadi waktu buat mereka bisa tersenyum dan sedikit bernapas untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang kian mahal.

Saat arus mudik, jasa pramu barang memang banyak dibutuhkan, bawaan penumpang kapal memang cenderung banyak.

“Arus mudik dan arus balik itu sudah pasti rame, semua teman-teman (porter) pasti dapat uang,” jelas Supriyadi lagi.

Saat itu, ia yang biasa hanya bekerja 12 jam per hari, bisa lembur hingga 24 jam, karena jumlah pengguna jasa lumayan ramai.

 

Further reading

  • Persiapan Sebelum Masuk Sekolah

    Juni hingga Juli adalah masa-masa tersibuk bagi orang tua yang memiliki anak usia sekolah, terutama yang merasakan kenaikan jenjang pendidikan. Ada yang dari SD ke SMP, SMP ke SMA, SMA ke universitas. Banyak biaya yang harus dipersiapkan. Uang masuk, seragam sekolah, buku, dan perhitungkan pula memiliki kendaraan setidaknya roda dua untuk anak yang SMA dan […]
  • Hindari Penangkapan Liar yang Kacau, Herman Bersahabat dengan Penangkar Burung Kicau

    Burung kicau digemari banyak orang. Peluang ini yang ditangkap oleh para penjual. Namun apa jadinya nasib burung-burung kicau di alam bebas, bila kerap diburu dan nasibnya mesti berakhir di dalam kandang? (Lontar.co): Keindahan burung tidak hanya pada rupanya, tapi banyak yang mengandalkan kemerduan kicaunya. Bagi penggemar burung kicau, hewan peliharaan ini tak ubah “anak sendiri”. […]
  • gunung

    Gunung Bukan untuk Orang Fomo!

    “Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan obyeknya” (Menaklukan Gunung Slamet, Soe Hok Gie, Kompas 14-18 September 1967) (Lontar.co): Sepanjang 1 Januari 2013 sampai Juni 2025 ada sebanyak 171 pendaki gunung yang meninggal saat mendaki, termasuk Juliana Marins. Itu artinya, gunung memang bukan tempat untuk sekedar fomo, mengikuti tren atau patah […]