Dua jam terasa singkat saat bincang santai dengan Agung Purwandono. Pemimpin Redaksi (Pemred) Mojok.co ini kasih bocoran, dia pernah ngobrol mendalam dengan seorang pegiat media yang dikenal sukses membidani kemunculan banyak media online, dan setelah kesohor medianya lantas dijual dengan tarif mahal, bahkan sangat mahal. Menurut tokoh yang kerap berkeliling ke daerah untuk bersua para pengelola media setempat itu, ada “petaka” bagi masa depan media lokal. “Media lokal nggak ada harapan,” ucap Agung menirukan ucapan sosok tersebut.
(Lontar.co): Blanco Coffee and Books. Sesuai namanya ada kopi dan buku di ruang yang letaknya tak jauh dari Tugu Jogja itu. Di tempat ini Agung mengaku kerap menghabiskan waktunya. Selain tempat kongkow, bertemu dan ngobrol ngalur-ngidul dengan rekan-rekannya, dia juga sering memilih lantai dua untuk merampungkan berbagai tugas seperti monitoring, evaluasi dan menganalisis berita di media tempatnya bekerja, Mojok.co.
Tapi saat menemui Lontar.co dia memilih untuk bercengkrama di teras cafe. “Di sini bisa sambil ngudut,” ucapnya, Sabtu (5/6/2025), kendati dia sendiri sudah cukup lama berhenti merokok.
Dari kursi di teras, pandangan kami masih bisa tembus sekat kaca untuk melihat aktivitas barista meroasting biji kopi Gayo dan para pengunjung yang berkoloni di beberapa meja. Dari sini juga masih terlihat koleksi buku yang tersusun rapih di rak, juga beberapa totebag yang tergantung manja di dinding mencoba menggugah selera pengunjung untuk membelinya.
Di sinilah Agung menceritakan kembali obrolannya bersama pegiat media itu. Demi etika, nama tokoh yang dimaksud tidak bisa disebutkan dalam tulisan ini. “Iya, kondisi media lokal sudah begitu memprihatinkan rupanya. Apalagi yang bilang begitu memang orang yang sudah ngelotok abis di media online,” imbuh Agung.
Dari obrolan panjang itu pula dia mencoba menarik benang merah bahwa fenomena kemunculan banyak media online di daerah yang digarap apa adanya, bahkan satu orang merangkap banyak pekerjaan di media yang dibuatnya sendiri, telah berkontribusi besar melahirkan gelombang berita seragam. Itu bisa dipahami lantaran keterbatasan personil redaksi membikin media bersangkutan mengandalkan pemberitaannya pada rilis atau malah copy paste berita lain.
Melencengnya pola pengelolaan media serupa ini, masih menurut Agung, yang memunculkan keprihatinan pegiat media tersebut. Dengan kata lain, sudah tidak ada harapan, atau lebih tepatnya, tak ada lagi yang bisa diharapkan dari model pemberitaan semacam itu.
“Benar ini era informasi. Tapi informasi yang sesak dan setiap saat berganti, bila tidak dikemas dan tidak ditangani secara semestinya, bisa menimbulkan antipati pembaca. Jangan disalahkan kalau publik kemudian lebih doyan mantengin intormasi via media sosial,” urai Agung.
Terkait media sosial. Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wilayah Yogyakarta ini menyebut, masih banyak wartawan yang keliru memandang keberadaan media sosial (medsos). Bahkan menganggapnya sebagai lawan, musuh. Padahal, hari ini medsos merupakan keniscayaan yang tak terhindarkan.
“Harus diakui, meski menguasai berbagai teknik jurnalistik, mayoritas pengelola media masih lemah atau malah sangat tertinggal dalam penguasaan medsos. Padahal, pengalaman jurnalistik serta pemahaman memadai pada dunia pers yang dimiliki redaksi merupakan modal penting dalam membangun dan mengembangkan medsos berkualitas,” urai Agung.
Ceruk Pembaca Tulisan Panjang
Sementara tentang maraknya berita seragam pada banyak media online, menurut Agung, merupakan bukti kegagalan pengelola media dalam menentukan perspektif atau sudut pandang terhadap sebuah peristiwa. Mungkin pula, sambungnya, sebagai cerminan atas tumpulnya kemampuan sumberdaya redaksi dalam membuat tulisan kreatif.
Kondisi tersebut sangat mungkin karena media-media sudah terlanjur terjebak pada spirit memposting berita cepat. Tak pelak berita-berita semacam itu disuguhkan secara singkat dan bahkan dangkal.

“Ini mestinya bisa dilihat sebagai sebuah kesempatan, peluang, bagi pengelola redaksi yang memiliki kepekaan serta kepiawaian dalam membuat tulisan kreatif. Salah satunya menulis berita yang disampaikan dengan metode story telling, berkisah. Tentu saja dengan tetap menjadikan data dan fakta sebagai fondasi,” kata Agung.
Mengenai teknik penulisan story telling yang cenderung dikemas sebagai tulisan panjang, bagi Agung merupakan keunggulan sebuah media agar bisa keluar dari jebakan berita singkat dan seragam.
Terlebih dirinya meyakini masih sangat besar segmentasi pembaca yang menyukai tulisan panjang. Itu terbukti dari makin tingginya trafik pengunjung di Mojok.co yang kiblat tulisannya merujuk pada teknik penulisan story telling.
“Makin ke sini semakin menunjukkan kecenderungan tumbuhnya pembaca tulisan panjang,” kata Agung.
Keyakinan itu pula sesungguhnya yang membuat Agung, sebelumnya bergabung dengan koran Kedaulatan Rakyat (KR) di Yogyakarta, untuk hijrah ke media tempat kerjanya sekarang.
“Waktu itu saya garap website-nya KR. Sepertinya saya sudah jenuh dengan ritme pemberitaan serba cepat seperti itu. Makanya waktu saya pindah ke Mojok.co yang memang sudah menerapkan teknik penulisan story telling, saya merasa nyaman. Bahkan saat Mojok kemudian ikut menyajikan news, saya usulkan agar tetap menerapkan story telling pada penulisan berita. Ternyata kemasan seperti itu tetap diterima pembaca sekaligus makin menguatkan karakter Mojok,” ungkap Agung.
Hanya saja, dia melanjutkan, memang tidak mudah untuk bisa mengundang banyak pembaca singgah ke Mojok. Ada proses panjang yang butuh nafas panjang pula agar bisa pada fase itu.
“Kami sempat setahun penuh mengalami stagnasi. Pembaca tidak menunjukkan peningkatan. Berbagai cara kami pelajari untuk mendongkrak viewers. Tidak bisa dipungkiri juga ada tambahan ongkos untuk itu. Terutama di ranah IT. Redaksi juga mesti lebih keras menganalisis kecenderungan minat pembaca terhadap sebuah isu. Berbagai aspek kami benahi. Sampai kemudian kami bisa tiba di posisi sekarang,” pungkas Agung, sebelum menyudahi obrolan. (*)