perempuan pengojek

Perempuan Pengojek, Mereka yang Hidup di Tengah Ketidakpedulian Kota

perempuan pengojek
Salah satu driver ojol perempuan di Kota Bandarlampung. Foto: Meza Swastika

Perempuan Pengojek, Mereka yang Hidup di Tengah Ketidakpedulian Kota

Himpitan beban hidup, trauma keluarga dan kemampuan untuk bisa bertahan, menjadi sekelumit eksistensi perempuan pengojek di Bandarlampung. Mereka bekerja dalam diam dan ketidakpedulian kota terhadap perspektif gender.

(Lontar.co): Adalah Yanti (38), ibu dua anak yang pada akhirnya harus memilih menjadi driver ojol demi menghidupi dua anaknya.

Ia tak punya keahlian, tak pula menggenggam ijazah sarjana. Ia hanya perempuan biasa yang pernah menikah dan memiliki dua anak, dari laki-laki yang kemudian selalu lebih banyak bicara kepadanya dengan tangan dan kaki.

Tepat setahun setelah bercerai dari suaminya. Ia kembali ke orang tuanya, tapi keadaan orangtuanya juga tak lebih baik darinya, sampai kemudian memilih tinggal dan membesarkan kedua anaknya sendiri di rumah kontrakan kecil di daerah Sukarame.

Dua pekerjaan sudah pernah ia jalani, berdagang online hingga bekerja di rumah makan, tapi hasilnya tak memuaskan, sementara kedua anaknya sudah semakin besar.

Akhirnya, ia nekat, sisa gaji hasil bekerja di rumah makan, ia pakai untuk kredit sepeda motor, berhutang sana sini untuk membuat Surat Izin Mengemudi, demi bisa menjadi driver ojol.

“Nggak pernah mikir bakal diapa-apain, yang penting anak-anak saya bisa hidup, bisa makan,” ujarnya optimis.

Di komunitas ojol, Yanti juga istimewa, kebanyakan driver menghormatinya sebagai perempuan dalam profesi yang sama.

Ada batasan-batasan gender yang dibangun dengan sendirinya, ada pula perlindungan yang kemudian membuat Indah merasa jauh lebih aman justru saat bersama dengan para driver ojol di basecamp mereka di Jalan Mata Intan, Segala Mider.

Hubungan kekerabatan terbangun, ada yang bertindak menjadi orang tua, kakak sekaligus adik buat Indah, tapi semuanya melindungi.

“Dulu pernah digangguin sama cs (customer), waktu temen-temen tau, langsung di ijoin cs-nya,” kenang Indah.

Ia punya banyak pengalaman yang membuatnya kuat sampai saat ini, terkadang pula ia harus terpaksa menutup identitasnya sebagai perempuan demi bisa mendapat orderan.

BACA JUGA  Standar Miskin BPS cuma ABS?

“Kebanyakan memang seperti itu, kalau dapat orderan, terus tahu kita perempuan langsung di cancel,” ceritanya.

Tapi ia pernah pula diperlakukan layaknya pria, saat customer memaksanya mengangkat barang bawaan yang lumayan banyak.

Kota memang tak melulu bicara tentang simpati dan empati yang makin sulit dicari untuk perempuan-perempuan kuat yang dikuatkan oleh keadaan seperti Yanti.

Bahkan, ada sinisme luar biasa terhadap Yanti dan pekerjaan yang sebenarnya terpaksa ia jalani, apalagi di lingkungan tempatnya tinggal, yang bahkan tak peduli sedikit pun dengan keadaannya.

Karena sejatinya, kota membagi ruang-ruangnya dengan sudut-sudut yang lebih banyak angkuh, seperti gedung-gedung yang mulai banyak yang menjulang di Bandarlampung. Sejak itu, karakter masyarakat kota terbentuk, cenderung sinis, buta dalam segala hal kecuali keduaniawian dan kemudian tak peduli pada sekitarnya atau bahkan mencemooh.

Selain Yanti, ada pula Indah, perempuan pengojek di Bandarlampung. Tapi, ia lebih tangguh dari Yanti. Bekerja sebagai driver ojol menggantikan suaminya yang sedang sakit, di saat yang sama ia pula harus menafkahi tiga anaknya.

Yang ada dipikiran Indah saat ini adalah, bagaimana suami dan anak-anaknya bisa hidup dari tangannya, dari keringatnya yang rela berpanas-panasan dari pagi hingga malam hari mencari nafkah di jalan.

Sama dengan Yanti, Indah bersama driver ojol lainnya saling menguatkan satu sama lain, memilih peran untuk mereka masing-masing agar bisa terus menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang kuat melalui kepedulian satu sama lain di tengah situasi ekonomi yang terus menghimpit seperti sekarang.

Buat Indah, teman-teman sesama ojol, adalah ‘hiburan’ penting buatnya, di saat lelah merawat keluarganya, di saat lelah mencari orderan.

Ia bahkan pernah terharu, mana kala teman-temannya sesama ojol patungan untuk membantu biaya pengobatan suaminya, justru di saat penghasilan memang sedang sulit.

BACA JUGA  Sutrisno, Kyai Song dan Gerabah yang Nyaris Punah oleh Pikiran 

“Tau sendiri orderan sekarang seperti apa, apalagi musim libur sekolah begini, di kuat-kuatin cari uangnya, ada suami sama anak-anak yang harus saya nafkahi, untungnya saya punya teman-teman yang baik, seperti keluarga sendiri, sakit satu sakit semua,” katanya pelan.

Indah justru was-was dengan customernya, karena ia beberapa kali punya pengalaman yang tak menyenangkan dan cenderung melecehkan pekerjaannya meski secara verbal, baik secara langsung maupun melalui chat di aplikasi.

Ironinya, kebanyakan dari ‘pelaku-pelaku’ pelecehan terhadapnya justru oleh sesama gendernya sendiri.

Entah kenapa perempuan pekerja seperti Indah dan Yanti, apalagi menjadi driver ojol, kerap kali tak dianggap oleh kebanyakan orang.

Padahal keberadaan mereka, yang tak pernah bisa menakar kepastian penghasilan mereka sendiri, kerap kali menentukan hidup banyak orang.

Sebagai ibu, istri sekaligus pencari nafkah, beban mereka jelas berat, apalagi tak ada pemisahan waktu antara pekerjaan dan tanggung jawab mereka sebagai ibu rumah tangga.

Indah dan Yanti misalnya, mereka sudah harus bangun sejak dini hari, untuk menyiapkan kebutuhan makan dan keperluan sekolah, setelah benar-benar siap, baru mereka bisa memulai mencari nafkah, dan itu mereka lakukan setiap hari sebagai kepatuhan akan tanggung jawab mereka sebagai pekerja domestik sekaligus tulang punggung keluarga.

Secara tidak langsung ada tekanan baik fisik apalagi mental yang harus mereka rasakan dan hadapi setiap hari, beban yang besar dan tanggung jawab yang tidak kecil.

Peran perempuan di Indonesia, khususnya bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan memang terus mengalami pergeseran dengan amat signifikan.

Perempuan tak lagi terstigma dalam stereotip lama, sebagai tulang rusuk yang hanya hidup dalam lingkup; dapur, sumur dan kasur semata, tapi telah menjadi tulang punggung utama dalam lingkaran keluarga.

BACA JUGA  Jejak Orang Lampung di Sihanoukville; Berangkat Sehat, yang Pulang Cuma Nama (2) 

Mereka, kaum perempuan, hadir dengan ‘keterpaksaan, untuk memastikan bahwa kebutuhan hidup keluarganya terpenuhi, meski sistem sosial dan sistem kerja belum sepenuhnya memihak.

Data BPS tahun 2024 lalu, menjadi indikator, betapa tingginya jumlah pekerja perempuan khususnya di sektor informal, termasuk menjadi driver ojol. Terdapat sekitar 14,37 persen pekerja adalah perempuan, atau rata-rata tiap 10 orang pekera, 1 diantaranya adalah perempuan, dan semuanya bekerja sebagai tulang punggung keluarga.

Saat tuntutan kebutuhan hidup keluarga yang terus mendesak, mereka juga terpaksa harus membenturkan diri mereka dengan sistem patriarkal yang masih kuat di Indonesia, apalagi di Bandarlampung khususnya.

Pengorbanan demi pengorbanan yang mereka lakukan kerap kali tak mendapat penghargaan yang layak, utamanya dari masyarakat sekitar, yang sebenarnya bersikap tak peduli.

Atau, dalam bentuk stigma sosial yang cenderung konservatif, perempuan pekerja sektor informal yang lebih banyak di dominasi oleh laki-laki, sering kali dianggap melanggar norma.

Apalagi untuk Yanti, sebagai orang tua tunggal, ia kerap kali mendapat penilaian negatif dari lingkungan sosial tempatnya tinggal karena sering kali pulang malam hari hanya karena penghasilan yang ia dapat hari itu belum memadai,”kalau dituduh macem-macem mah sudah biasa, tapi mau gimana lagi, sudah dijelasin kita kerja ngojol, tapi kalau tetangga kontrakan liat kita pulang malem-malem itu, pandangannya kayak gimana gitu,” aku Yanti.

Dalam situasi penuh tekanan seperti itu, mereka tetap harus bekerja meski jenis pekerjaan itu jauh dari sesuai untuk mereka.

Indah, Yanti dan masih banyak lagi perempuan pengojek di Bandarlampung adalah pekerja yang selama ini tak terlihat oleh kebanyakan orang apalagi sistem.

Eksistensinya tak pernah dilihat, dianggap semu, tak diakui, kerap dilecehkan serta jauh dari perlindungan, tapi mereka menjadi bagian penting dari perekonomian yang masih terus bergerak sampai saat ini.

Further reading