harimau sumatera
Kyai Batua, Harimau Sumatera jantan yang ditemukan terjerat kawat seling milik pemburu di TNBBS. Foto: BKSDA

Mengapa Kematian Bakas Begitu Mengkhawatirkan 

About Author
0 Comments

Bakas, harimau sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) yang dievakuasi dari Lampung Barat mati di lokasi penampungannya di Lembaga Konservasi Lembah Hijau Bandar Lampung. Kematian harimau ini makin menunjukkan betapa mengkhawatirkannya populasi Harimau Sumatera yang masih tersisa saat ini, yang jumlahnya diperkirakan sekitar 400 ekor, atau bahkan sebenarnya kurang dari itu.

(Lontar.co): Yacht mewah berlogo “AG” berkelir putih itu lincah bermanuver membelah Samudera Hindia yang hari itu gelombangnya lumayan tinggi. 

Di dalam kapal pesiar pribadi milik Tommy Winata yang kabinnya amat senyap itu, ada Menteri Kehutanan MS Kaban dan beberapa pejabat serta seorang pengusaha kenamaan asal Lampung yang terafiliasi dengan jaringan usaha Artha Graha milik Tommy Winata yang ada di Lampung. Mereka, seperti tak merasakan gelombang samudera yang terus menerus menghantam lambung kapal dengan kuatnya.

Hari itu, pada Juli 2008, agendanya, MS Kaban akan melepasliarkan Harimau Sumatera di kawasan Tampang Belimbing (Tambling), di resort Tambling Wildlife Nature Conservation, Tommy Winata sudah menunggunya. Taipan ini sudah bermalam sejak sehari sebelumnya.

Pelepasliaran ini menjadi begitu penting, sebagai upaya pelestarian populasi Harimau Sumatera. Momen ini bahkan disebut sebagai yang pertama kali dilakukan di dunia. 

Ada dua harimau jantan yang dilepasliarkan, Pangeran dan Agam. Keduanya, berasal dari Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Aceh.

Selama di TWNC, kondisi dua harimau ini dipantau oleh dokter khusus yang didatangkan dari Taman Safari Indonesia, yang diawasi langsung oleh direkturnya, Tony Sumampau.

Progresnya bagus. Harimau-harimau itu sehat, tubuh keduanya juga besar, hampir sebesar kerbau. Selama proses karantina, dokter-dokter hewan memang terus berupaya mengembalikan sifat buas kedua harimau ini, agar benar-benar siap ketika dilepasliarkan.

Pelepasliaran dua harimau di tahun 2008 ini yang kemudian dianggap sukses, sehingga tempat ini menjadi tempat pelepasliaran Harimau Sumatera, setidaknya ada tiga kali pelepasliaran kembali di tempat ini, setelah tahun 2008, kemudian di tahun 2010, 2015 dan terakhir di tahun 2017.

Pasca pelepasliaran pertama, reaksi penolakan dari warga yang mendiami kawasan Tampang dan Belimbing, utamanya dari Marga Belimbing sudah mulai resah.

Karena, sejak Agam dan Pangeran dilepaskan, warga kerap kali melihat harimau masuk ke permukiman mereka.

Berkebun jadi was-was, di malam hari pun, warga tak ada yang berani keluar rumah seperti biasa. Tapi, kekhawatiran warga ini dianggap angin lalu.

Konflik manusia dan harimau lambat laun mulai menjadi, sejak translokasi pelepasliaran harimau di Tampang Belimbing, yang dianggap warga berada terlalu dekat dengan areal permukiman dan perkebunan.

BACA JUGA  Perhutanan Sosial Bukan cuma Soal Lahan Garapan dan Pendanaan Tapi juga Rasa Aman

Padahal, sebagai marga, eksistensi Marga Belimbing di tempat itu sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Marga yang menjadi bagian dari Kepaksian Buay Belunguh ini, pada tahun 2000-an lalu, pernah melakukan perlawanan dengan menolak upaya relokasi pemerintah karena dianggap mendiami kawasan konservasi.

Entah kenapa kemudian, program translokasi Harimau Sumatera dilakukan justru berdekatan dengan lokasi warga, yang pada akhirnya memicu konflik antara manusia dan harimau yang terus menerus berulang. Banyak korban jiwa dari konflik ini.

Di tahun 2008 pula, sedikitnya 500 warga di Tampang dan Belimbing akhirnya menyerah, dan meminta untuk direlokasi karena takut akan serangan harimau.

Di sisi lain, penyempitan habitat harimau akibat alih fungsi lahan dan aktivitas manusia di kawasan hutan TNBBS yang makin marak juga menjadi salah satu pemicu masuknya harimau ke kawasan perkebunan dan permukiman.

Padahal, populasi harimau di TNBBS justru semakin bertambah, program pelepasliaran Harimau Sumatera di TNBBS memang efektif untuk menjaga kelestarian satwa endemik asli Pulau Sumatera ini.

Data Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) menyebut populasi harimau sampai dengan tahun 2025 ini memang terpantau padat.

Tiap 36 ribu kilometer persegi TNBBS ada 10-11 ekor populasi harimau. Populasi ini diketahui lebih tinggi dari indikator idealnya, yang seharusnya hanya 3-4 ekor saja.

Kondisi ini yang kemudian memicu konflik manusia dan harimau, yang tiap tahun terjadi rata-rata 22 kasus, dengan wilayah konflik meliputi 14 desa yang tersebar di sekitar kawasan TNBBS, yang meliputi dua kabupaten; Tanggamus dan Lampung Barat.

Konflik makin menjadi ketika tingkat kerusakan hutan terus bertambah dari tahun ke tahun, sepanjang tahun 1972 hingga 2006 saja, hutan lindung ini sudah kehilangan sebanyak 22 persen tutupan hutan, akibat perambahan, pembukaan lahan, hingga ilegal logging.

Sampai beberapa tahun terakhir, laju deforestasi TNBBS berlangsung amat marak, setiap tahun 7 ribu hektar kawasan TNBBS dirambah untuk perkebunan. Luas tutupan hutan primer di TNBBS kini kian menyusut. Kondisi ini yang kemudian memicu konflik manusia dan harimau menjadi tak berkesudahan.

Fakta lain seputar konflik harimau dan manusia yang terjadi di Lampung juga membuka kenyataan bahwa, hewan yang populasinya masuk dalam kategori kritis oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) karena populasinya yang disebut hanya tersisa kurang dari 400 ekor ini, kerap kali menjadi incaran pemburu maupun warga yang marah seiring terjadinya konflik.

BACA JUGA  Tubaba Art Festival #9; Machine of Memory, Sebuah Arsip Individual Pembentuk Identitas Kolektif 

Pada tahun 2019, di TNBBS, seekor Harimau Sumatera jantan bernama Kyai Batua, ditemukan petugas terjerat kawat seling yang sengaja dipasang oleh pemburu. Dalam penanganannya, salah satu kaki Kyai Batua terpaksa diamputasi.

Kasus serupa yang dialami oleh harimau jantan Kyai Batua ini juga terjadi di tahun 2024.

Tak hanya itu saja, pada tahun 2023, petugas BKSDA Bengkulu-Lampung mengungkap jaringan penjualan kulit harimau hasil perburuan ilegal di TNBBS. Selain kulit, anggota tubuh harimau juga jadi incaran pemburu, seperti taring dan cakarnya.

Tahun-tahun sebelumnya, menurut data patroli Balai Besar TNBBS dan Wildlife Conservation Society (WCS) mengungkap sepanjang tahun 2003-2018, ditemukan sebanyak 320 jeratan yang sengaja di pasang pemburu di TNBBS, semuanya mengarah pada perburuan ilegal untuk tujuan komersil.

Perburuan juga tak hanya mengarah pada harimau semata, pemburu juga mengincar hewan-hewan lain yang selama ini menjadi mangsa harimau.

Tahun 2019 lalu, WCS sudah mengidentifikasi penyebab konflik manusia dan harimau di sekitar kawasan TNBBS, selain karena deforestasi, perburuan juga menjadi pemicu.

“Ketika hewan-hewan yang selama ini menjadi makanan harimau makin habis diburu oleh manusia, konsekuensinya hewan-hewan ternak milik warga yang ada di sekitar TNBBS jadi incarannya,” kata Landscape Manager WCS-IP Bukit Barisan, Firdaus.

Kondisi ini yang kemudian memantik konflik berkepanjangan, warga yang marah juga pada akhirnya ikut-ikutan memburu harimau. Motifnya ada dua; membalas dendam dan menjual kulit dan organ tubuh harimau.

Meski tak memiliki insting untuk membalas dendam, layaknya manusia, harimau memiliki memori yang kuat terhadap perilaku tindak kekerasan yang pernah dialaminya dari manusia hingga upayanya untuk bertahan hidup.

Kemampuan memori yang kuat dari harimau ini yang kemudian menjadikan manusia sebagai musuh maupun upaya defensif dari kemungkinan manusia yang pernah memburunya serta cara untuk mempertahankan teritorinya dari ancaman yang pernah mereka alami di masa lalu. Kehilangan habitat sebagai bagian dari teritori harimau ini yang membuat harimau kerap kali masuk ke wilayah permukiman dan perkebunan warga.

Jika menilik karakternya, harimau sebenarnya amat menghindari konflik dengan manusia. Tapi, karena teritori mereka terus terancam oleh aktivitas perambahan, konflik memang tak terelakkan.

Seekor harimau memiliki daya jelajah hingga hingga 10 ribu hektare, dengan rata-rata kemampuan jelajah per hari hingga ratusan kilometer, dan teritori itu wajib steril dari aktivitas manusia.

Dalam teori 5 domain animal walfare atau kesejahteraan satwa, termasuk aspek fisik dan mental hewan yang mutlak harus terpenuhi tiap unsurnya termasuk habitat dan sumber makanannya, sehingga ketika ada satu aspek itu tak terpenuhi dan kemudian harimau merasa tidak nyaman, maka ia akan berusaha mencari aspek itu di tempat lain, termasuk masuk ke wilayah permukiman dan perkebunan.

BACA JUGA  Membayangkan Bandar Lampung sebagai Kota Tanpa Kabel Udara

Jumlah populasi Harimau Sumatera di TNBBS seperti yang disebut Balai Besar TNBBS yang menyebut ada 10 hingga 11 ekor harimau tiap 36 ribu kilometer per segi juga, sebenarnya masih amat meragukan, karena seiring dengan konflik berkepanjangan dan aktivitas perambahan maupun perburuan ilegal yang marak, membuat populasinya semakin mengkhawatirkan.

Potensi besarnya angka perburuan ilegal hingga matinya harimau akibat konflik dengan manusia yang tak teridentifikasi dan terdokumentasi bisa jadi jauh lebih besar dari yang selama ini diketahui oleh Balai TNBBS maupun BKSDA.

Apalagi, sebagai satwa dilindungi, aktivitas perburuan ilegal termasuk upaya perlawanan warga terhadap harimau memiliki konsekuensi ancaman hukum yang serius, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, yang dapat dikenai hukuman penjara hingga lima tahun dan denda hingga Rp100 juta, karenanya aktivitas perburuan baik ilegal maupun ekses dari konflik tak pernah ada data yang pasti pengungkapan kematian Harimau Sumatera akibat perburuan ilegal maupun akibat konflik dengan manusia.

Harimau Sumatera adalah satu-satunya subspesies harimau yang masih tersisa di Indonesia yang ada di daerah endemik aslinya, Pulau Sumatera, setelah Harimau Bali dan Harimau Jawa punah.

Tak pernah ada angka pasti jumlah populasi sesungguhnya dari Harimau Sumatera, jumlah sisa populasi yang disebut kurang dari 400 ekor pun hanya perkiraan yang diperoleh dari dokumentasi kamera jebakan (camera trap), angka populasinya kini, mungkin bisa jauh di bawah itu.

Pada kasus harimau jantan Bakas misalnya, yang kemudian mati di lembaga konservasi Lembah Hijau, diketahui pernah berulang kali berkonflik dengan manusia di Lampung Barat. Data ini mengidentifikasi bahwa pasca Bakas berhasil dijerat, intensitas konflik manusia dengan harimau di sekitar TNBBS cenderung menurun atau bahkan tak ada lagi kasus serupa.

Kondisi ini makin menunjukkan bahwa populasi Harimau Sumatera di TNBBS sebenarnya memang sudah amat mengkhawatirkan, karena tanda keberadaan Harimau Sumatera khususnya yang menjadikan 14 desa di sekitar kawasan TNBBS yang masuk dalam wilayah Kabupaten Tanggamus dan Lampung Barat, sebagai teritorinya, justru makin mengarah bahwa sebenarnya hanya tersisa beberapa ekor saja lagi yang masih tersisa di TNBBS, termasuk Bakas yang kemudian mati di penangkaran.

Further reading