Zainal Abidin Pagaralam sebagai Gubernur Lampung menggantikan Koesno Dhanoepojo. (Foto: ist)

Membiarkan Daswati Musnah adalah Kejahatan Sejarah

Rumah Daswati makin tak jelas, Walikota Eva Dwiana memang tak punya niat untuk melestarikan rumah Daswati, ini kejahatan sejarah!

(Lontar.co): Sekembalinya dari Palembang, suasana hati Ketua DPRD Gotong Royong (DPRD-GR) Lampung, Zainal Abidin Pagaralam tak menentu. Ia gusar, marah sekaligus kecewa.

Zainal Abidin berang. Pasalnya, tak ada satupun nama perwakilan dari Keresidenan Lampung disebut dalam komposisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) Sumatera Selatan yang dilantik di awal tahun 1961 itu.

Padahal, ia sudah berharap Nasir Rahman dari Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) bisa duduk menjadi wakil dari Keresidenan Lampung, yang bisa membawa misi rakyat Lampung di DPR GR, utamanya soal pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Bukan cuma Zainal, bupati, pimpinan partai dan tokoh masyarakat yang berangkat ke Palembang juga ikut marah dengan komposisi keanggotaan di DPR GR Sumatera Selatan yang tak ada satupun dari Lampung.

Memang ada nama, Mayor. Inf HM Noerdin Panji, eks Kepala Staf Resimen 41 Lampung dan Kepala Staf Brigade Garuda Hitam Sub-Teritorium Lampung yang ikut dilantik di DPR GR Sumatera Selatan, tapi Zainal Abidin dan yang lainnya, belum sreg benar.

Tak Ada Wakil Lampung di DPR GR Sumatera Selatan

Idealnya, komposisi keanggotaan DPR GR Sumatera Selatan juga mengakomodir anggota DPR GR perwakilan dari Keresidenan Lampung, karena sebagai daerah dengan status keresidenan yang berada di bawah daerah swatantra tingkat I Sumatera Selatan, harus ada anggota DPR GR yang mewakili tiap keresidenan, bersama dengan keresidenan Bengkulu, Jambi, dan Bangka Belitung.

“Satu per satu nama ditetapkan sebagai anggota DPR GR, tapi sampai nama-nama yang akan dilantik sebagai anggota DPR GR itu habis, tak ada satupun nama perwakilan dari Karesidenan Lampung!” seperti dikutip dari edisi kedua buku biografi “Zainal Abidin Pagaralam, Jejak Perjalanan Gubernur Lampung 1966-1972′ yang ditulis Anshori Djausal dkk.

Sejak itu, kemarahan Zainal Abidin memuncak, hanya hitungan hari pasca pelantikan anggota DPR GR Sumatera Selatan itu atau tanggal 23 Januari 1961, pemerintahan Keresidenan Lampung membuat petisi khusus ke pemerintah pusat dan mendesak agar Lampung dipisahkan dari Sumatera Selatan dengan status provinsi sendiri. Inisiator petisi; Zainal Abidin dan tiga bupati; Bupati Lampung Utara, A.Samad, Bupati Lampung Selatan Hasan Basri dan Bupati Lampung Tengah Hasan Basri Darmawidjaya, plus Residen Lampung R. Muhammad.

Tekad mereka bulat, memisahkan diri dari Sumatera Selatan, berjuang sampai tuntas, sampai selesai, ini bukan lagi soal egosentris tapi sudah pi’il!

Tak Direspon Soekarno

Tapi, sejak petisi pertama dikirim ke istana, Soekarno tak pernah merespon surat itu. Ini wajar, karena kala itu, dalam periode 1960-an konsentrasi Soekarno memang benar-benar tengah terpecah.

Gejolak politik di dalam dan luar negeri terus terjadi. Di dalam negeri, benih-benih pemberontakan mulai muncul, konflik hingga ketegangan internal di tubuh TNI membuat angkatan-angkatan perang itu terpecah, isu PKI mulai hadir pelan-pelan.

Sementara dalam hubungan Indonesia dengan luar negeri, Soekarno juga tengah bermanuver dengan keluar dari keanggotaan PBB akibat konflik dengan Malaysia yang selalu dikobarkan Soekarno dengan yel-yel heroik; Ganyang Malaysia!

BACA JUGA  Heboh Penghapusan Uang Komite Bisa Turunkan Inflasi Lampung, Ini Respons Kadis Pendidikan

Dalam masa Demokrasi Terpimpin itu pula, Soekarno memang terlena dengan isu-isu politik, sementara sektor fundamental perekonomian kurang diperhatikan, akibatnya kenaikan harga kebutuhan pokok meluas di semua daerah, rakyat menjerit, hiperinflasi tak terkendali, Indonesia kacau luar biasa.

Panitia Daswati I Lampung

Akan halnya tuntutan pemisahan diri dari Sumatera Selatan yang tak pernah mendapat tanggapan dari Soekarno itu, tak lantas membuat Zainal Abidin Pagaralam dkk surut, sebaliknya, rapat-rapat yang fokus pada perjuangan perubahan status kewilayahan Lampung justru makin intens dilakukan.

Bahkan, panitia khusus perjuangan telah pula terbentuk pada 26 Februari 1963 di salah satu rumah yang ada di Jalan Imam Bonjol No.4 Tandjoengkarang.

Panitia ini ditunjuk sebagai wakil resmi masyarakat Lampung yang akan membawa misi pemisahan wilayah ke pemerintah pusat, namanya; Panitia Daswati I Lampung.

Panitia Daswati I Lampung dilingkupi banyak unsur; dari unsur partai; Radja Syah Alam dari PNI (Ketua Panitia), R. A. Basyid dari Masyumi, Husin Gani dari NU, M.A. Pane dari PKI, Sabda Pandji Negara dari Partindo, Nasjir Rachman dari IPKI, Mustafa Sangadji dari PSII, Uba H. Pandjaitan dari Parkindo, F.X. G. Ai Warsito dari Partai Katolik, dan Basir Amin dari Murba.

Selanjutnya, unsur dari non partai, ada Achmad Ibrahim dari veteran dan Zainal Abidin Pagaralam mewakili birokrat.

Keputusan Penting

Pasca terbentuknya Panitia Daswati I Lampung, praktis frekuensi pertemuan makin tinggi, panitia butuh tempat yang lebih representatif untuk rapat-rapat penting dan rahasia itu dilakukan, akhirnya pertemuan pertama kalinya di luar rumah di Jalan Imam Bonjol No.4 berlangsung pada 7 Maret 1963 dilakukan, di rumah Achmad Ibrahim di Jalan Toelangbawang No. 175A, Enggal.

Ada tiga keputusan penting dalam pertemuan di rumah Achmad Ibrahim yang kemudian dikenal dengan Rumah Daswati ini, yakni; Panitia Daswati segera mengajukan permohonan Keresidenan Lampung menjadi Daswati I Lampung.

Kemudian, mengangkat Achmad Ibrahim sebagai perwakilan panitia Daswati I Lampung di Djakarta, dan terakhir, Kantor sekretariat Daswati I Lampung ditetapkan di Jl. Toelangbawang No. 175A, Enggal, Tanjungkarang dan kantor perwakilan di Djakarta di Jl. Ki. Mangunsarkoro No. 33, Djakarta Poesat.

Rumah milik Achmad Ibrahim di Jalan Toelangbawang No.175A, Enggal dianggap lebih representatif untuk menggelar rapat-rapat strategis panitia, sekaligus efektif untuk melakukan korespondensi dengan kantor perwakilan di Jakarta, karena pada waktu itu desakan demi desakan dari masyarakat Lampung ke pemerintah pusat memang terus dilakukan, tak hanya melalui lobi, tapi juga melalui korespondensi surat-surat resmi yang dilakukan secara berantai dari Rumah Daswati ke kantor perwakilan di Jakarta kemudian bermuara di istana.

Rapat Umum Raksasa Rakyat Lampung

Tiga keputusan penting yang dirumuskan Panitia Daswati I ini juga disambut oleh aktivis-aktivis pelajar Lampung yang ada di Palembang, Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur, semua bulat; Lampung harus lepas dari Sumatera Selatan.

Puncaknya, 1 Mei 1963, gelombang masyarakat menggelar musyawarah besar di Lapangan Enggal yang hanya berjarak beberapa meter dari Rumah Daswati.

BACA JUGA  Dari Bengkel Ecobrick untuk Ikhtiar Menjaga Teluk Lampung dari Sampah Plastik

Rapat umum raksasa di Lapangan Enggal ini amat jarang dilakukan oleh seluruh elemen rakyat jika tak ada masalah yang genting dan besar, karenanya sepanjang tahun 1946-1966, rapat umum raksasa seperti ini baru dua kali dilakukan, yang pertama ketika rakyat Lampung menggulingkan Mr. A.Abbas turun dari jabatannya sebagai Residen Lampung.

Mestika Zed dalam buku Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan, menulis sebagai keresidenan di bawah Sumatera Selatan, Lampung, Jambi dan Bengkulu terus menerus terperangkap dalam konflik internal, belum lagi soal administrasi yang kacau.

Mr. A. Abbas tak mampu mengakomodir kepentingan rakyat Lampung dari melambungnya harga kebutuhan pokok yang makin menggila.

Pada 9 September 1946, Panitia Perbaikan Masyarakat menggerakkan lebih dari 15 ribu rakyat Lampung yang dikonsentrasikan di Lapangan Enggal untuk menurunkan Mr.A. Abbas sebagai residen Lampung, karena dianggap tak mampu menangani berbagai persoalan politik dan ekonomi khususnya di Lampung, melalui rapat umum raksasa.

Akan halnya, rapat umum raksasa yang kedua tanggal 1 Mei 1963 ini, rakyat Lampung mengeluarkan resolusi yang amat bersejarah dengan mendukung secara penuh perjuangan panitia Daswati I Lampung agar Lampung berubah statusnya di tahun 1963. Benih ide rapat umum raksasa itu muncul dari Rumah Daswati, sebagai upaya membuka ‘paksa’ mata Soekarno terhadap tuntutan rakyat Lampung.

Gentarnya Soekarno

Gemuruh rapat umum raksasa rakyat Lampung yang visioner itu, sukses menggaung hingga ke Jakarta, surat kabar-surat kabar ramai memberitakan rapat raksasa itu, gemanya mendapat dukungan penuh dari Front Nasional yang amat berpengaruh waktu itu, mereka juga menilai Keresidenan Lampung sudah amat layak menjadi provinsi sendiri.

Presiden Soekarno seketika terhenyak dengan rapat raksasa rakyat Lampung itu, sampai pada tanggal 18 Mei 1963, ia akhirnya mau menerima delegasi Daswati I Lampung di Istana Bogor pada 18 Mei 1963.

Mereka yang menghadap Presiden Soekarno kala itu, yakni; Radja Syah Alam, M. Husni Gani, M.A. Pane, M. Nasyir Rahman, FX Adiwarsito, Kamaruddin, Achmad Ibrahim, Achmad Zaini, R.A. Hamid, dan Mochtar. Akhirnya, Soekarno menyetujui peningkatan status Lampung dari keresidenan menjadi provinsi.

Persetujuan Soekarno itu kemudian ditindaklanjuti dalam sidang tahunan MPRS pada akhir Mei 1963 dengan menerbitkan resolusi pengesahan Provinsi Lampung paling lambat dilakukan tahun 1964.

Pada 13 Februari 1964, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 3 Tahun 1964 pada 13 Februari 1964, isinya menetapkan Lampung menjadi Daswati I Lampung.

Koesno Dhanoepojo Gubernur Lampung

Sebulan kemudian, 18 Maret 1964, Koesno Dhanoepojo dilantik menjadi pejabat gubernur Lampung oleh Menteri Dalam Negeri. Malam harinya, Gubernur dan Ketua DPR GR Sumatera Selatan menyerahkan kedaulatan Lampung kepada Koesno Dhanoepojo.

Setahun kemudian, pasca gerakan PKI 1965 tumbang, Koesno Dhanoepojo yang terindikasi terlibat gerakan makar itu, pergi dari Lampung dan memilih tinggal di Jawa.

Menteri Dalam Negeri Dr. Soemarno Sosroatmodjo akhirnya mengeluarkan surat pemberhentian terhadap Koesno Dhanoepojo sebagai Gubernur Lampung sekaligus menerbitkan Surat No.UP.12/2/24-467 tertanggal 20 Juli 1966 tentang pengangkatan Zainal Abidin Pagaralam sebagai pejabat sementara Kepala Daerah Tk. I Provinsi Lampung.

BACA JUGA  ‘Partai Ijo’ Diintimidasi Opang dan Aplikator Tapi Punya Solidaritas Jalanan yang Kuat

Rumah Daswati Kini

Masih ada nada optimis dari Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Lampung, Anshori Djauzal ketika menyebut rumah Daswati, meski sedikit, sedikit sekali bahkan.

“Kami akan terus di depan, sampai bangunan bersejarah (Daswati) ini benar-benar rubuh,” kata Anshori Djauzal pelan.

Padahal, katanya, rumah Daswati sudah layak menjadi cagar budaya, bahkan ketika pertama kali diajukan tahun 2021 lalu.

Saat hendak diusulkan sebagai cagar budaya milik provinsi, TACB terkendala aturan, karena merujuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, proses pengajuan cagar budaya harus dilakukan secara berjenjang, itu berarti tanggung jawab ada di Kota Bandar Lampung.

Tak banyak syarat untuk sebuah situs menjadi cagar budaya, Anshori mencontohkan Situs Pugung Raharjo.

Tak Direspon Pemkot

Tapi, Pemkot Bandar Lampung tak bergeming, bahkan tak merespon apa-apa soal usulan ini, pemkot juga tak berniat membentuk tim cagar budaya–meski kebutuhan tim khusus cagar budaya ini bisa diambil alih TACB Lampung, TACB bahkan sudah berkonsultasi ke Pemkot Bandarlampung, tapi Eva Dwiana diam saja,”terkunci semua di Pemkot Bandarlampung,” ujar Anshori.

Anshori juga meyakinkan bahwa Pemkot Bandarlampung tak lantas harus memiliki Rumah Daswati secara langsung, siapa saja pemilik sahnya tetap bisa mengelola rumah itu asalkan wajib menjaga hal yang terkait langsung dengan nilai cagar budaya di Rumah Daswati itu.

“Pemerintah tak perlu membeli rumah itu, tapi antara pemerintah dengan pemilik harus ada kesepakatan tentang cagar budaya,” tutur Anshori Djauzal pada salah satu media.

Rumah Daswati Sudah Musnah

Faktanya, kekhawatiran Anshori Djauzal tentang Rumah Daswati makin menjadi. Rumah Daswati kini tak ubahnya puing bangunan tua yang nilai sejarahnya nyaris hilang karena terus dibiarkan berlarut.

Banyak sisa-sisa sejarah yang seharusnya bisa menjadi instrumen penting pembangun nilai kesejarahaan pemisahan Lampung dari Sumatera Selatan pada masa lalu, yang semakin hilang digerus oleh waktu dan kepentingan.

Fungsi ruang, detail sejarah hingga rekam jejak perjuangan para tokoh di rumah ini sudah punah seluruhnya, yang tersisa hanya bangunan sebagai simbol, sebagai penanda bahwa dari rumah ini pernah ada pergerakan dan pergulatan besar yang epik hingga bisa membentuk Lampung seperti sekarang.

Rumah Daswati bukanlah rumah biasa yang biasa saja. Ia adalah jejak teks tersisa tentang Lampung. Di tembok-temboknya bersemayam nama-nama, intelektualitas, pergulatan pikiran, jejak-jejak, tempat para pejuang negeri bergumul dalam diskusi-diskusi panjang yang dinamis tentang masa depan Lampung yang terang nan cerah.

Di Rumah Daswati pula, pergerakan untuk kehidupan Lampung yang lebih baik dan setara dengan daerah-daerah lain melalui tiap ruang-ruangnya yang penuh dengan ikatan emosional kolektif, sebagai representasi rakyat Lampung, pernah hidup.

Hari ini, Rumah Daswati adalah bangkai arsitektural yang pernah menjadi sebuah kekuatan dan nostalgia sekaligus simbol perjuangan rakyat Lampung yang bahkan pernah menggetarkan nyali sosok besar seperti Soekarno.

Further reading

  • biogas

    Nyala Api Biogas di Desa Rejobasuki, Dari Kotoran untuk Masa Depan

    Puluhan keluarga di Desa Rejobasuki, Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Lampung Tengah, sukses mengembangkan biogas sebagai pengganti gas elpiji, tak hanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga tapi juga untuk kelangsungan industri UMKM yang lebih hemat dan ramah lingkungan. (Lontar.co): Pagi-pagi sekali, Suhana sudah menyambangi kandang sapi di belakang rumahnya. Tak lama, ia keluar dari kandang membawa […]
  • sawah hilang akibat penduduk yang tak terbilang

    Sawah Hilang Akibat Penduduk yang Tak Terbilang

    Lahan persawahan di Bandarlampung, Lamsel dan sebagian Pesawaran makin tergerus akibat adanya alih fungsi lahan untuk permukiman. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi hingga arus urbanisasi ke kota yang marak, menjadi penyebabnya. (Lontar.co): Dua backhoe itu bekerja terus dari pagi hingga sore, meratakan sehektar lahan di wilayah Tanjungsenang itu, sejak tiga hari lalu. Rencananya, lahan yang […]
  • Nepal Bukan Kita

    Nepal bukan kita. Kita adalah Indonesia; santun dan beradab. Jauh dari pikiran Nazi (Naziisme). Jijik pada keinginan pembantaian! (Lontar.co): Viral, video-video unjuk rasa besar-besaran di Nepal. Demo yang tak lagi mengetengahkan misi perdamaian, menjelma jadi sungai darah, bantai, dan pengrusakan. Yang dihakimi massa adalah keluarga pejabat. Beginikah cara orang Nepal turun ke jalan? Nepal adalah […]