Disadari atau tidak, kian hari jumlah manusia gerobak di Bandarlampung makin ramai. Ini bukan kebetulan, bisnis eksploitasi ‘iba’ ala manusia gerobak ini, sebenarnya bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi lebih ke gaya hidup. Pemkot Bandarlampung tak punya solusi akhir untuk penanganannya.
(Lontar.co): Di balik gerobak kayu, di salah satu sudut parkiran Puskesmas Rawat Inap Way Halim yang jembar, dua perempuan paruh baya itu, terlihat serius menghitung tumpukan uang kertas di pangkuan mereka masing-masing. Jumlahnya lumayan banyak, nominalnya juga tak ada yang kecil.
Sesekali mereka terlihat gelagapan menutupi uang-uang itu dengan karung, dan saling tertawa, saat ada yang melintas di dekatnya.
Sementara dua anak kecil yang selalu mereka ‘gendong’ di gerobak dibiarkan bermain pasir.
Tak berselang lama, salah satu diantaranya menarik smartphone hitam berkamera boba yang disimpan di dalam tas selempang yang diletakkan di bagian depan gerobak.
Ia terlihat sedang menghubungi seseorang, mimik wajahnya sesekali serius, tapi sebentar kemudian tertawa.
Perempuan 40-an tahun itu juga seperti tak leluasa memainkan ponsel pintarnya, sesekali matanya awas melirik ke segala arah, sejenak kemudian matanya serius memandangi layar ponsel berkelir putih miliknya.
Semakin sore, tiga gerobak lain yang penuh dengan tumpukan kardus dan kipas angin rusak, menyusul. Semuanya perempuan, pakaian mereka terlihat lusuh, tapi wajah mereka lebih banyak cerah.
Suara percakapan antarmereka juga kerap terdengar riuh. Ada pula yang santai menyantap nasi kotak.
Mendekati Maghrib, satu per satu mereka pulang membawa gerobak, sementara tiga lainnya dijemput dengan sepeda motor matic keluaran terbaru.
Entah sejak kapan, halaman parkir Puskesmas Rawat Inap Way Halim itu jadi titik kumpul manusia-manusia gerobak ini, namun yang jelas, pemandangan ini selalu rutin terlihat tiap sore hari.
Lokasinya yang teduh oleh pepohonan dan berada tepat di belakang Masjid Al Muhajirin membuat lahan parkir ini diminati.
Tapi, pengelola masjid dan puskesmas kerap jengah dengan tingkah mereka,”sering diingatkan, kalau disini bukan tempat untuk ngemis, tapi bukannya pergi malah ngelawan, akhirnya malah tambah banyak yang nongkrong di parkiran puskesmas ini,” ujar salah seorang warga.
Kemarin saja, saat bulan Ramadhan, manusia-manusia gerobak ini tumpah di parkiran ini, sejak siang hari hingga mendekati waktu berbuka. Tak ada satupun dari mereka yang puasa.
Mereka hanya sekedar duduk dengan wajah memelas, kemudian menunggu jemaah-jemaah masjid selesai shalat.
Di hari-hari biasa, rutinitas itu tetap berlangsung tapi tak terlalu intens, kecuali hari Jum’at, biasanya manusia-manusia gerobak ini akan berkumpul di pintu-pintu keluar Masjid Al Muhajirin.
Pemandangan yang kurang lebih sama juga terlihat di depan Masjid Ad-Du’a Jalan Sultan Agung yang bahkan sudah ‘hadir’ jauh sebelum shalat Jum’at digelar.
Mereka memenuhi trotoar-trotoar di depan masjid, bahkan ada yang masuk hingga ke dalam komplek masjid dengan beragam mimik yang kebanyakan dibuat murung.
Sebenarnya, ‘profesi’ utama manusia-manusia gerobak ini bukanlah pengemis, mereka adalah pemulung yang kemudian bersalin rupa setelah melihat peluang lain dari gerobak yang mereka pakai untuk mengangkut barang-barang bekas ini, efektif menarik empati penduduk kota terhadap hal-hal yang cenderung mengundang simpati.
Awalnya, ada sebagian dari manusia gerobak ini berulah dengan memanfaatkan situasi saat mencari barang rongsok di lingkungan perumahan. Banyak peralatan rumah yang sebenarnya masih digunakan justru dicuri oleh mereka, saat pemiliknya lengah.
Keadaan ini membuat banyak warga kesal dan menutup akses bagi para pengumpul barang bekas ini. Banyak perumahan-perumahan yang memasang larangan ke tukang-tukang rongsok untuk tak masuk ke dalam komplek.
Makin sempitnya ruang gerak mereka, membuat pengumpul rongsok ini merangsek ke daerah kota.
Pakaian yang lusuh, kerap membawa anak di dalam gerobak saat bekerja inilah atribut-atribut yang kemudian memantik empati dari kebanyakan orang.
Maka kemudian, mereka mengeksploitasi diri melalui singgungan empati berbalut keyakinan-keyakinan yang dominan, seperti Jum’at berkah hingga hari-hari keagamaan yang kental, untuk mendulang pundi-pundi uang yang tak kecil.
Kini mereka melegitimasi dan menjadi penghias wajah kota. Di beberapa ruas jalan arteri di Bandarlampung yang tingkat kepadatannya amat tinggi, pemandangan manusia gerobak menjadi amat lazim kini.
Lihat saja, di sepanjang Jalan Raden Intan, yang nadi ibukota bisa dirasakan di jalan ini, manusia gerobak bertebaran, duduk santai di trotoar-trotoar, sembari makan, sembari tidur atau sekedar ‘memancing’ iba pengendara dengan anak-anak mereka yang sengaja dibuat kumuh.
Di Bundaran Gajah, realitas serupa juga terlihat. Gerobak-gerobak mereka berjejer tak beraturan seperti hendak menahan laju kendaraan yang melintas untuk sekedar ‘menengok’ keadaan mereka.
Mereka-mereka ini, para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), setidaknya terlihat di jalan-jalan protokol Kota Bandarlampung yang ramai, seperti; Jalan Raden Intan, Bundaran Gajah, Jalan R.A Kartini, dan sebagian Jalan Pangeran Antasari.
Jumlahnya tak sedikit. Bahkan jika ditotal, ada hingga 30-an orang. Itu belum termasuk dengan anak-anak yang mereka bawa. Kadang, satu gerobak bisa membawa dua orang anak sekaligus.
Soal keadaan, mereka sebenarnya bukan orang yang tergolong tak mampu, beberapa diantara mereka bahkan hidup berlebih.
Selain beberapa manusia gerobak yang dijumpai di area parkir Puskesmas Rawat Inap Way Halim, Lontar juga pernah mendapati seorang manusia gerobak yang dijemput oleh anaknya dengan sepeda motor. Ia dibonceng sembari kedua tangannya menarik gerobak di belakang.
Karena merasa dibuntuti, perempuan tua dan anak perempuannya ini sempat berusaha kabur dengan masuk ke salah satu gang di Jalan Sultan Agung, Way Halim.
Tapi kemudian, diketahui tempat tinggal mereka terbilang mewah untuk ukuran manusia gerobak.
Rumah luas berwarna kuning emas dengan bangunan permanen di sudut gang, tak jauh dari rumah pribadi mantan Gubernur Lampung Arinal Djunaidi.
Ada pula dua unit motor yang masih relatif baru dan satu sepeda anak-anak, rumah ini bahkan jauh dari kesan sederhana.
Manusia gerobak, menurut psikolog Ceria Hermina adalah cermin kelompok masyarakat yang punya kecenderungan melihat hidup secara instan sehingga membuat mereka tak produktif apalagi kreatif.
“Mental manusia gerobak itu semuanya instan, mencari uang dengan cara mudah melalui rasa iba,” jelasnya.
Sebagai regulator, Ceria melihat pentingnya peran pemerintah yang tak hanya sekedar menertibkan manusia-manusia gerobak ini saja,tapi juga memberi solusi jangka panjang untuk manusia-manusia gerobak ini agar lebih produktif.
Masalahnya, Pemkot Bandarlampung memang tak punya solusi akhir untuk menangani penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), kecuali hanya sekedar proses penertiban yang terbatas pada pendataan, satu dua bulan kemudian manusia-manusia gerobak ini kembali mengais iba.
Akhirnya, upaya-upaya penertiban manusia gerobak, gepeng, manusia silver dan sejenisnya hanya menjadi rutinitas kerja yang terus berulang setiap kalinya.
Sebagai ibukota, Bandarlampung sudah selayaknya memiliki panti sosial yang khusus, bukan hanya untuk membina mereka, tapi juga sebagai efek kejut agar manusia-manusia gerobak ini tak berulah kembali.
Sebab, selama ini, panti yang digunakan adalah milik provinsi, sehingga otomatis, baik Dinas Sosial maupun pemkot terkesan melepas proses pembinaan ke panti yang secara struktural tak hanya sekedar menangani penyandang masalah kesejahteraan sosial asal Bandarlampung saja.
Faktanya, upaya pembiaran yang dilakukan Pemkot Bandarlampung terhadap anak-anak yang dibiarkan ikut orang tuanya mengemis atau bahkan ikut menjadi pengemis sebagai tindakan yang tak ideal apalagi untuk kota yang meng-klaim sebagai kota layak anak.