Lampung Mencari Nafas Baru, Bertumpu pada Sisa atau Utang. (Ilustrasi: Netizenku.com)

Lampung Mencari Nafas Baru, Bertumpu pada Sisa atau Utang

About Author
0 Comments

Di tengah tekanan fiskal nasional, di mana belanja wajib menyerap hampir seluruh ruang anggaran dan belanja fleksibel nasional hanya tersisa 11 persen, maka Lampung perlu mencari napas baru. Ketergantungan pada SiLPA adalah sinyal bahwa mesin fiskal bekerja di mode bertahan, bukan bertumbuh.

***

Bayangkan sebuah keluarga yang setiap tahun hidup dari uang sisa bulan lalu. Sementara pendapatannya tidak bertambah, harga kebutuhan terus naik. Awalnya mungkin terasa aman, tapi lama-lama, uang sisa itu habis juga. Begitulah kira-kira kondisi fiskal Lampung hari ini.

APBD 2026 disusun dengan target pendapatan Rp7,6 triliun. Namun untuk menutup kekurangan anggaran, pemerintah daerah mengandalkan sisa uang tahun lalu atau SiLPA. Jumlahnya lebih dari Rp1 triliun. Langkah ini memang sah dan menunjukkan kehati-hatian, tetapi juga mengungkap kenyataan pahit, bahwa keuangan daerah belum benar-benar mandiri.

Mengandalkan SiLPA ibarat menghidupi masa kini dari sisa masa lalu. Kalau pendapatan tahun depan seret, bagaimana Lampung bisa menutup kebutuhan belanjanya? Di sinilah pentingnya mencari “nafas fiskal baru”, yakni sebuah mitigasi agar Lampung tidak terus hidup dari sisa.

BACA JUGA  Logika Sesat Tanam Singkong 1 Juta Hektare untuk E10

Sementara itu, pemerintah pusat melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan akan mengetatkan kebijakan fiskal berupa pemangkasan Transfer ke Daerah. Ia menjelaskan, pemangkasan TKD dalam Rancangan APBN 2026 bukan semata karena ingin menghemat, tetapi karena masih banyak ditemukan penyimpangan dalam penggunaan dana daerah. Katanya, banyak uang yang tidak dipakai dengan benar, jadi pusat ingin mengoptimalkannya. Optimalisasi tersebut tidak absolut disebut pemangkasan, karena, meski TKD turun, pemerintah pusat sebenarnya menambah anggaran program pembangunan daerah secara total, di mana pada 2026, program untuk daerah meningkat dari Rp900 triliun menjadi Rp1.300 triliun.

Di sinilah serunya, sebab hanya daerah dengan kinerja keuangan yang bersih dan efektif yang akan mendapat tambahan dukungan. Artinya, daerah harus membuktikan bahwa uang yang dikirim dari pusat benar-benar bekerja. Kalau kinerja ekonomi daerah membaik di awal 2026 dan penyerapan anggaran berjalan baik, pemerintah pusat membuka peluang menambah alokasi dana.

BACA JUGA  Bagaimana Mungkin Walikota Bandarlampung “Dirujak” Netizen di “Rumah” Helmy Yahya?

Kondisi ini memberi pesan keras, era hidup dari “jatah pusat” sudah berakhir. Sekarang, daerah dituntut lebih mandiri, transparan, dan kreatif mencari sumber pendapatan baru. Realitas fiskal Indonesia makin sempit akibat belanja wajib yang yang terlalu besar. Pada 2024, hanya sekitar 11,5 persen dari total belanja negara yang bisa digunakan secara fleksibel, sementara pada 2026 hampir 37 persen APBN diperkirakan habis untuk program populis.

Bagi Lampung, keadaan ini menjadi ujian nyata. Memaksa Lampung memilih berhemat sambil menunggu tambahan TKD (jika pusat menilai penyerapan baik) atau mencari “nafas baru” melirik opsi berutang.

Selama ini, kata “utang” sering dianggap tabu. Padahal, kalau digunakan dengan tepat, utang bisa menjadi “bensin tambahan” bagi mesin pembangunan.

Yang terpenting bukan apakah Lampung berutang, tetapi untuk apa utang itu digunakan. Jika digunakan untuk proyek produktif, seperti memperkuat BUMD, membangun infrastruktur ekonomi, atau menggerakkan industri daerah, utang justru bisa mempercepat pertumbuhan dan menambah penerimaan pajak di masa depan.

BACA JUGA  Jejak Mata Oeang Lampung

Sebaliknya, tanpa keberanian mengambil langkah baru, Lampung akan terus berada dalam lingkaran yang sama. Menyusun APBD, menunggu dana pusat, menambal defisit dengan SiLPA, lalu mengulangnya lagi tahun depan.

Penyertaan modal Rp140 miliar ke BUMD menjadi contoh langkah cerdas yang bisa dikembangkan. Namun Lampung tetap membutuhkan inovasi pajak daerah, digitalisasi retribusi, dan optimalisasi aset untuk memperkuat pendapatan asli. Tanpa langkah-langkah tersebut, APBD akan terus bergantung pada sisa masa lalu yang tidak selalu bisa diulang.

Keuangan daerah tidak bisa diselamatkan hanya dengan kehati-hatian. Butuh keberanian, inovasi, dan integritas. Karena pada akhirnya, kekuatan fiskal Lampung bukan diukur dari seberapa besar dana yang dikirim dari Jakarta, melainkan dari seberapa efektif uang itu bekerja untuk rakyat di Sai Bumi Ruwa Jurai ini.***

Further reading