Pembaca fiksi tentu tahu seri Harry Potter. Yups, seri yang terdiri dari 7 buku utama ini, telah terjual lebih dari 500 juta eksemplar di seluruh dunia. Buku karya J.K. Rowling itu juga sudah diterjemahkan ke dalam 80 bahasa. Sungguh fantastis. Lantas bagaimana cara penulisnya melahirkan karya fenomenal tersebut?
(Lontar.co): Nama lengkapnya Joanne Kathleen Rowling. Pasca merampungkan kuliah, dia sudah banyak menyicipi berbagai pekerjaan. Namun sesungguhnya tidak satu pun yang benar-benar disukainya. Joanne, panggilan akrabnya, sejatinya seorang yang cepat jenuh dengan rutinitas. Di isi kepalanya hanya ada satu hal yang paling diidamkan, menjadi penulis.
Bahkan dia sangat terobsesi dengan cita-cita itu. Apa yang ada dalam pikirannya hanyalah tema, alur cerita, serta nama-nama yang cocok bagi tokoh rekaannya. Tak pelak, dia kerap mencuri-curi waktu untuk dapat menulis pada saat jam kerja.
“Apapun pekerjaanku, aku selalu menulis dengan menggila,” kata Joanne seperti dikutip dari buku “Kisah Sukses J.K Rowling, Di Balik Proses Penulisan Harry Potter” yang disusun Indra Ismawan, Gagas Media, 2003.
Tak pelak masa-masa itu dilaluinya dengan ke luar masuk satu kantor ke kantor lain. Joanne tidak pernah betah lama di satu tempat kerja. Dia tetap memprioritaskan menulis sebagai “tuan” di dalam pikirannya. Namun, pada taraf itu, menulis baginya hanya berperan sebagai satu-satunya penghiburan atas dunianya yang suram.
“Aku menulis banyak cerita pendek dan novel yang sudah kumulai tetapi kemudian kuabaikan,” katanya kepada School Library Journal mengenai periode kehidupannya yang tak menentu itu.
Biarpun terobsesi dengan dunia menulis, tapi menulis baru menjadi sesuatu yang tak pernah selesai. Kertas-kertas hasil karyanya, kebanyakan masuk kotak sampah. Dia tidak puas dengan pencapaiannya.
Padahal roda kehidupan terus berlanjut. Joanne membutuhkan sumber penghasilan untuk menopang kehidupannya. Semua kerja kerasnya dari menulis, belum menghasilkan apa-apa. Inilah saatnya untuk bersikap realistis, walaupun sangat berat hati, untuk menerima peran sebagai pekerja kantoran.
Suatu ketika, tak lama setelah dia keluar dari pekerjaan untuk kesekian kalinya, dia kembali harus mencari pekerjaan, dan lowongan itu ada di Manchester. Dia harus mencobanya.
Sebenarnya selain butuh pekerjaan, Joanne memiliki alasan lain mengapa dia memutuskan pergi ke kota itu. Dia telah menerima surat dari mantan pacarnya sewaktu masih kuliah di Exeter University yang menyatakan bahwa dia berada di Manchester, dan akan sangat senang jika bisa bertemu denganJoanne lagi. Tak pelak surat itu membuat hati Joanne berbunga-bunga.
Di Manchester, kemampuan Joanne untuk mengatur waktu yang terbatas, seolah mendapat ujian. Dia tinggal di London. Harus naik kereta bolak-balik Manchester-London. Dengan sendirinya, beberapa jam waktunya habis di atas rel.
Padahal, pekerjaannya tidak memberi banyak waktu luang. Disela-sela waktu kerjanya, Joanne selalu berusaha memenuhi keinginan hatinya, yaitu menemui mantan kekasihnya. Mengherankan sekali bagaimana semua itu dapat berjalan dengan lancar.
Joanne bisa menyediakan waktu untuk mantan kekasihnya, selain juga tetap rajin menulis. Dia tetap bisa menyisihkan waktu di jam makan siangnya, untuk pergi ke pub atau café terdekat, duduk di meja yang jauh dari keramaian dan menulis di sana.
Menurut Joanne, waktu yang dia gunakan untuk perjalanan bolak-balik dari rumahnya di London ke Manchester sebagai waktu pribadinya. Saat-saat itu teramat penting untuk memikirkan obsesinya menjadi seorang penulis. Dia seringkali melewatkan waktunya untuk membaca buku, mengerjakan cerita terbarunya, atau sekadar melemparkan pandangan menerawang ke luar jendela.

Suatu hari, sewaktu dia pulang ke London setelah melakukan pekerjaannya yang tidak berguna, keretanya tiba-tiba berhenti. Terjadi semacam kerusakan mekanis yang membuat jadwal kedatangan molor sekitar empat jam. Bagi Joanne, mogoknya kereta berarti blessing in disguised yang harus dimanfaatkan. Biasanya tenggang waktu seperti ini akan jadi waktu yang ideal untuk mengerjakan kesenangannya, membaca atau menulis.
Tapi kali ini tidak. Pekerjaannya begitu berat hari ini. Joanne terlalu lelah untuk menulis atau bahkan sekadar membaca. Dia hanya memandang ke luar jendela, memusatkan perhatian pada sekelompok sapi yang sedang merumput. Ini adalah satu titik yang paling menentukan bagi kehidupan Joanne Rowling.
“Aku sedang duduk di kereta, memandangi sapi-sapi lewat jendela. Mereka bukan subyek yang paling membangkitkan inspirasi. Tiba-tiba gagasan cerita Harry Potter muncul di pikiranku. Aku tidak bisa mengatakan mengapa atau apa yang memicunya. Namun ide tentang Harry dan sekolah penyihir sangatlah jelas. Aku tiba-tiba mendapatkan ide dasar mengenai seorang anak laki-laki yang tidak mengetahui siapa dia sebenarnya,” katanya di sebuah perbincangan di School Library Journal.
Joanne terpesona dengan penglihatan yang baru saja diadapatkan. Tiba-tiba dia ingin meraih bolpoin dan kertas, dan mulai menuangkan baris-baris pemikirannya. Sayang, Joanne tidak memiliki keduanya. Tanpa alat, dia hanya bisa mengandalkan ingatannya. Dia duduk diam dan bermain-main dengan pikirannya tentang karakter, nama-nama lucu dan kemungkinan jalan cerita.
Sewaktu kereta berhenti di stasiun King’s Cross di London, Joanne memiliki dasar pemikiran cerita pertama Harry Potter. Dari mana Joanne mendapat gagasan?
“Kuharap aku tahu,” katanya terheran-heran sendiri. “Kadang-kadang gagasan itu datang begitu saja (seperti sihir) dan disaat lain aku harus duduk dan berpikir selama kira-kira seminggu sebelum aku memutuskan bagaimana sesuatu harus terjadi.
Dari mana sesungguhnya gagasan Harry Potter itu datang, aku sungguh-sungguh tak dapat mengatakannya. Aku tak dapat mengatakan apa yang memicu kemunculannya -kalaupun memang ada yang memicu. Aku melihat Harry dalam profil yang sangat jelas. Gagasan itu langsung tertuju pada sekolah sihir, dan aku melihat sosok Harry sangat jelas.”
Dia juga berkata, “Harry berjalan-jalan dalam kepalaku, dalam bayangan yang utuh. Aku masih tak tahu dari mana dia datang. Gagasan tentang Harry jatuh begitu saja di kepalaku. Pada titik itu, aku hanya melihat seorang anak yang tidak tahu apa-apa tentang dunia sihir, tetapi tiba-tiba tahu dirinya adalah seorang penyihir hebat.”

Bahkan pada saat itu, Joanne telah memikirkan kemungkinan membuat kisah Harry Potter sebagai cerita serial. “Ya. Bahkan ketika masih di kereta api itu aku telah melihat sebuah rangkaian cerita mengenai Harry sampai ia menyelesaikan sekolahnya tujuh tahun di Hogwarts. Jadi di buku terakhir, Harry akan memasuki usia yang memungkinkannya memasuki dunia sihir yang sesungguhnya, dan telah siap meninggalkan keluarga Dursley.”
Detail mengenai kisah Harry, diakui Joanne, memang masih perlu dipikirkan lagi. Banyak novelis top melakukan riset (yang bisa makan waktu bertahun-tahun) agar rincian jalan ceritanya dapat dibangun sedemikian rupa. Untuk menemukan sebuah gambaran besar plot, perlu waktu lama bagi seorang novelis. Namun Joanne mengerjakannya dengan begitu mudah.
“Aku menghabiskan waktu empat jam untuk berpikir seperti apa nanti Hogwarts digambarkan. Sungguh, itu perjalanan kereta yang paling menarik yang pernah kunikmati. Pada saat aku turun di stasiun, beberapa tokoh dalam buku itu telah ketemu dengan sendirinya. Aku teringat betapa bersemangatnya aku ketika kereta memasuki stasiun King’s Cross, aku cepat-cepat pulang dan menuliskan konsep-konsep awal ceritaku sebelum aku melupakannya.
Ya, ide itu datang begitu saja, seperti lambaian tongkat penyihir. Harry Potter lahir begitu saja, ada dari tiada. Namun, upaya mewujudkan ide itu ke dalam rangkaian cerita, masih membutuhkan kerja yang sangat keras. Joanne juga harus menempuh ujian hidup yang begitu berat.(*)
Â







