Daftar petinggi BUMD yang masuk ke penjara kian bertambah. Setelah Direktur BUMD Lampung Selatan Maju, terbaru Direktur BUMD Way Kanan juga masuk hotel prodeo, motifnya sama.
(Lontar.co): Suatu hari di penghujung tahun 2020, saat Covid-19 sedang mewabah, W yang punya latar akuntan, dihubungi oleh seorang temannya. Ia diminta untuk membantu membuat laporan keuangan badan usaha milik daerah (BUMD) di salah satu kabupaten di Lampung.
Semula, karena hanya ingin membantu teman semasa sekolah, W mau-mau saja, meski bayarannya pakai ‘harga teman’.
Data laporan di breakdown, angka-angka disebut, item-item dijabarkan, tapi seketika ia langsung membatalkan permintaan itu, karena setelah melihat sekilas dan ada arahan yang tak masuk akal, ia baru tahu, ternyata banyak pos-pos anggaran yang manipulatif, indikasi mark up juga kentara betul.
Ia langsung mundur, tak berani terlibat, bukan karena tak solider,”uang negara soalnya, selip-selip masuk penjara kita,” tutur W bercerita.
Benar saja, lima tahun kemudian, kekhawatirannya terbukti. Dari layar ponselnya, ia melihat, sahabat karibnya yang kala SMP duduk sebangku dengannya itu, hanya tertunduk lesu dengan tangan terborgol.
Deret Direksi BUMD yang Berakhir di Bui
Teman W, menjadi salah satu dari sejumlah petinggi BUMD yang ada di Lampung yang harus berakhir di penjara.
Sejumlah kasus yang membelit kebanyakan BUMD di Lampung makin menunjukkan jika peran BUMD masih amat lemah untuk berperan mengerek pendapatan daerah dari pengelolaan sejumlah sektor, sebaliknya justru terus merugi, tapi pemerintah seperti tak peduli, dan terus memboroskan anggaran daerah dengan menyuntik BUMD dengan anggaran-anggaran hingga miliaran rupiah dengan dalih investasi.
Sampai akhirnya, direktur PT Lampung Selatan Maju, ES yang punya latar jurnalis dan dikenal amat dekat dengan eks Bupati Lamsel Nanang Ermanto ditahan kejaksaan.
Beberapa hari kemudian, direktur PT Way Kanan Makmur, AM yang disebut punya akses kuat dengan salah satu petinggi di Lampung, juga harus berakhir di penjara.
Kedua direktur dipenjara karena kasus korupsi yang membelit mereka semasa memimpin perusahaan daerah, alih-alih bisa membawa BUMD untung, tapi malah membuat buntung dan memboroskan anggaran daerah, hanya untuk sesuatu yang tak punya dampak untuk daerah, kecuali mengakomodir kepentingan segelintir orang.
Way Kanan Makmur
Pada kasus BUMD Way Kanan Makmur, Pemkab Way Kanan sebenarnya sudah tahu betul, jika BUMD itu tak menguntungkan sejak lama, namun baru dihentikan pengoperasiannya pada tahun 2021 lalu. Padahal, bermiliar-miliar uang rakyat dibenamkan ke perusahaan daerah itu, fokus bisnisnya pun tak masuk akal, hanya mengandalkan penjualan tiket pesawat dan pengolahan unit penggilingan padi.
Dalam Perda Kabupaten Way Kanan Nomor 7 Tahun 2019 tentang penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Way Kanan Makmur disebut bahwa Pemkab Way Kanan mengalokasikan anggaran hingga Rp8 miliar.
Rinciannya, Rp1,5 miliar modal diberikan dalam bentuk uang, sedangkan Rp6,5 miliar lainnya diberikan dalam bentuk barang secara bertahap yang sumber pendanaan seluruhnya berasal dari APBD murni.
Bupati Way Kanan kala itu, Raden Adipati menyebut ada setidaknya dua prospek bisnis yang bisa digarap PT Way Kanan Makmur, penjualan tiket pesawat di Bandara Gatot Subroto di Way Tuba dan pengelolaan Rice Milling Plant (RMP) di Kecamatan Buay Bahuga.
Tapi, sejak manajemen baru PT Way Kanan Makmur terbentuk melalui proses ‘seleksi’ tahun 2020 hingga dihentikan setahun kemudian atau tahun 2021, perusahaan ini bukannya untung malah buntung.
Eks Sekkab Way Kanan, Saipul yang juga mantan Komisaris PT Way Kanan Makmur menyebut, penghentian operasi dilakukan karena perusahaan daerah itu gagal menjalankan usahanya bersama pihak ketiga.
Tak hanya gagal, PT Way Kanan Makmur juga ternyata memiliki banyak sangkutan utang di pihak ketiga, nilainya bahkan hingga ratusan juta rupiah.
Selain itu, hasil audit juga menemukan selisih anggaran dana investasi yang diberikan Pemkab Way Kanan ke Way Kanan Makmur, angkanya tembus Rp600 juta, yang berasal dari dana investasi yang disetor pemkab ke Way Kanan Makmur tahun 2020 lalu.
“Kita setop karena nggak jalan, daripada menggaji mereka (direksi) tapi nggak ada yang dikerjakan, lebih baik dihentikan,” kata Saipul kepada wartawan Maret 2022 lalu.
Pemkab Way Kanan juga tak mau menggelar RUPS sebelum manajemen melaporkan detail penggunaan anggaran yang telah diberikan pemkab.
Saipul bahkan sempat kesal kala itu, karena ia sebagai komisaris PT Way Kanan Makmur, rela tak mengambil jatah gajinya sebagai komisaris hanya demi untuk kelancaran perusahaan daerah itu, tapi kenyataannya malah nihil,”saya nggak pernah ambil gaji saya sebagai komisaris, biar bisa membantu mereka (direksi) agar bisa menjalankan usaha, tapi malah tetap saja gagal,” tutur Saipul.
Anggota DPRD Way Kanan, Beta Juana juga turut menyesalkan bangkrutnya perusahaan daerah yang ia anggap sebagai kegagalan dari Pemkab Way Kanan.
Ia bahkan membayangkan seandainya penyertaan modal Rp1,6 miliar yang diberikan Pemkab Way Kanan ke PT Way Kanan Makmur dialokasikan untuk membuka lapangan kerja untuk masyarakat Way Kanan maka amat mungkin angka pengangguran bisa berkurang.
Beta melihat titik masalahnya sudah terjadi saat proses seleksi direksi BUMD itu, yang dianggapnya tak memiliki kredibilitas tinggi dalam mengelola perusahaan daerah hingga akhirnya bermasalah.
Proses ‘seleksi’ direksi BUMD PT Way Kanan Makmur memang kental dengan kepentingan, padahal selain AM yang kini ditahan oleh jaksa, ada tiga kandidat calon direksi lain yang dianggap lebih kapabel memimpin perusahaan daerah.
Sumber Lontar menyebut, bahwa seleksi direksi Way Kanan Makmur memang penuh kepentingan, kabarnya AM yang warga Bandarlampung itu bisa terpilih sebagai direktur PT Way Kanan Makmur karena ‘dititipi’ oleh salah satu orang besar yang ada di Lampung.
Lampung Selatan Maju
Akan halnya dengan BUMD PT Lampung Selatan Maju, dalam penelusuran dan dokumen yang diperoleh Lontar, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan menyertakan modal ke perusda Lampung Selatan Maju tahun 2022 lalu sebesar 3,1 miliar lebih.
Tapi, sama halnya dengan Way Kanan Makmur, perusahaan daerah itu juga merugi, merugi terus bahkan.
Sementara, beban gaji yang harus ditanggung Pemkab Lamsel melalui penyertaan modal untuk manajemen juga terbilang tinggi, rata-rata tiap tahun, alokasi gaji mencapai Rp422 juta, untuk membayar gaji manajemen meliputi komisaris, direksi dan karyawan selama satu tahun.
Sedangkan total biaya administrasi termasuk gaji dan biaya kebutuhan operasional lain PT Lampung Selatan Maju, nilainya mencapai Rp700 juta lebih untuk satu tahun.
Dari neraca keuangan PT Lampung Selatan Maju yang diperoleh Lontar itu pula, menunjukkan jika dana investasi yang disetor Pemkab Lamsel ke PT Lampung Selatan Maju, memang hampir 25 persen habis tersedot untuk biaya-biaya rutin saja.
Selain itu, dalam dokumen neraca yang masuk dalam klasifikasi khusus itu pula, ditemukan sejumlah biaya-biaya operasional yang terlalu janggal dan tak relevan dengan bisnis yang dijalankan perusahaan daerah ini dengan nilai yang amat besar.
Biaya perjalanan misalnya, tercatat pengeluaran sebesar Rp22,1 juta lebih. Kemudian, ada pula biaya seragam yang nilainya mencapai hingga Rp18 juta lebih.
Selanjutnya, biaya konsumsi yang nilainya mencapai Rp9 juta, biaya kebersihan yang nilainya sebesar Rp6 juta hingga biaya rumah tangga yang juga nilainya mencapai Rp6 jutaan lebih.
Laporan neraca keuangan ini juga terkesan dipaksakan sebagai pertanggungjawaban akhir penggunaan dana investasi penyertaan modal dari Pemkab Lampung Selatan, tujuannya untuk ‘mengunduh’ dana investasi baru dari APBD Kabupaten Lamsel.
Dibeking Bupati
Konsentrasi bisnis PT Lampung Selatan Maju juga hanya sekedar berjualan beras ke ASN di Lampung Selatan, dengan embel-embel harga yang murah, sekaligus diberi nama khusus yang identik ‘Si Jago Merah’, agar membuat ASN ‘segan’ untuk tak membeli beras dari PT Lampung Selatan Maju.
Padahal, harga beras Si Jago Merah yang dijual PT Lampung Selatan Maju sebenarnya sama saja dengan harga beras di pasaran, Rp15 ribu per kilo.
Merasa ‘dibeking’ Nanang Ermanto, saat masih menjabat Bupati Lamsel, manajemen juga menjalankan bisnis dengan serampangan, utamanya dalam hal pemotongan gaji ASN yang membeli beras di PT Lampung Selatan Maju yang tak sesuai mekanisme.
Saat itu, ASN yang tersebar di 47 organisasi perangkat daerah, yang berlangganan beras di PT Lampung Selatan Maju, mengeluh karena proses pemotongan gaji mereka dilakukan tak sesuai prosedur, karena dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
“Padahal, kalau bukan karena perintah, saya juga tidak mau beli beras di situ,” ujar seorang ASN, April 2025 lalu.
BUMD di Lampung Sakit dan Bermasalah
Masalah yang dialami PT Lampung Selatan Maju dan PT Way Kanan Makmur semakin menambah daftar panjang BUMD di Lampung yang sakit dan bermasalah.
Hingga kini, Kejati Lampung juga tengah mengusut kasus dana Participating Interest (PI) PT. Lampung Energi Berjaya, anak usaha milik BUMD PT Lampung Jasa Utama.
Kemudian, ada pula PT Wahana Raharja yang terindikasi dalam penjualan lahan warga secara tidak sah serta terjadinya penurunan aset yang signifikan.
Belakangan, PT Lampung Jasa Utama juga diketahui menunggak gaji karyawan hingga 20 bulan.
Padahal, tiga BUMD di bawah Pemprov Lampung ini sebenarnya sudah merugi sejak tahun 2018 lalu, tapi pemerintah terus saja memanjakan perusahaan-perusahaan daerah ini dengan kucuran dana APBD yang amat besar dan sangat membebani APBD di saat banyak sektor prioritas yang harus diperbaiki.
Tapi, pemerintah provinsi tetap jalan terus. Bahkan kemarin, Pemprov Lampung melalui Biro Perekonomian baru saja menetapkan tiga komisaris baru untuk PT Lampung Jasa Utama; 1 komisaris utama dan dua komisaris independen, mereka yakni; Mulyadi Irsan (Komut) dan Asrian Hendi Caya serta Mahrizal Sinaga sebagai komisaris independen.
Penetapan komisaris ini terasa aneh, ditengah pusaran kasus yang tengah membelit perusahaan daerah ini dan kerugian demi kerugian yang terus menjadi beban tiap tahun APBD.
Karenanya amat wajar jika kemudian Ketua Aliansi Komunitas Aksi Rakyat (Akar) Lampung mendesak evaluasi menyeluruh kinerja BUMD itu,”lebih baik ketiga BUMD ini dibubarkan saja, daripada jadi beban dan merugikan masyarakat,” kata Indra Musta’in, Mei 2025 lalu.
Indikatornya, tambah Indra lagi, sudah sangat terlihat jelas, penyertaan modal yang selalu diberikan Pemprov Lampung ke BUMD ini realisasinya tak pernah sebanding dengan hasil yang dicapai.
Banyak Kepentingan
Eks Ketua DPD Golkar Lampung, Alzier D Thabranie akhir tahun 2024 lalu bahkan pernah menyoroti BUMD di Lampung yang hanya jadi tempat bancakan para pejabat yang tidak profesional, sehingga BUMD terus merugi.
Merujuk pernyataan Alzier itu, faktanya kebanyakan manajemen BUMD memang dikelola secara serampangan oleh orang-orang yang memang tidak profesional.
Selain itu, kebanyakan pengisi kursi direksinya adalah orang-orang yang pernah berjasa semasa pilkada, punya hubungan dekat dengan penguasa hingga titipan dari mereka-mereka yang berkuasa.
BUMD telah sejak lama menjadi saluran untuk penguasa mengucapkan ‘terima kasih’ kepada tim suksesnya semasa pilkada, tanpa melihat kapabilitas orang yang mengisi jabatan direksi di BUMD tersebut, itulah mengapa, meski terus merugi, BUMD tetap dipertahankan eksistensinya.
Pengamat BUMD yang juga Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Toto Pranoto, menyebut kerugian demi kerugian yang dialami BUMD adalah cerita lama yang terus berulang.
Ketiadaan upaya untuk membangun tata kelola perusahaan yang baik membuat kepala daerah semaunya saja menempatkan ‘orang-orangnya’, mulai dari tim sukses, kerabat hingga teman dekat. Ada malpraktik kronis salah urus korporasi BUMD hanya demi kepentingan.
Padahal, pengamat BUMN Herry Gunawan menilai seandainya BUMD dikelola dengan ‘lurus’, BUMD akan sangat strategis untuk kemajuan daerah, tapi karena salah urus jadi tak lurus. Dan akhirnya BUMD hanya jadi ajang bancakan dan ketika kepala daerahnya tak lagi menjabat, direksi-direksi itu kemudian berujung di penjara.
Sudah Sakit tapi Masih Disayang
Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan sebanyak 300 BUMD dari total 1.091 BUMD di Indonesia merugi.
Total aset sebanyak 1.091 BUMD itu tak main-main, nilainya mencapai Rp1.240 triliun, sementara laporan labanya cuma seujung kukunya, yakni hanya; Rp29,6 triliun, itupun belum dikurang dengan beban biaya lain-lain, sehingga laba bersihnya hanya sekitar Rp24 triliun.
Mendagri Tito Karnavian juga mengakui adanya praktik tidak sehat dari keberadaan tim sukses pendukung kepala daerah terpilih yang disisipkan di jajaran direksi BUMD.
“BUMD itu diisi tim sukses yang bukan orang profesional, itu fakta lapangannya,” kata Tito saat raker dengan Komisi II DPR pertengahan Juli 2025 lalu.
Tapi, meski mengeluh BUMD merugi, Mendagri Tito alih-alih melakukan evaluasi terhadap keberadaan BUMD malah usul agar BUMD dikuatkan.
Cara menguatkannya pula, masih belum teruji, karena hanya mengandalkan pengawasan langsung dari Mendagri, sementara diketahui ada seribu lebih BUMD di Indonesia.
Selain itu, proses pengawasan juga dilakukan saat seleksi pengangkatan komisaris dan direksi agar lebih menjamin hanya orang-orang profesional yang terpilih.