Jalan, Komoditas Politik yang Tak Pernah Mulus

About Author
0 Comments

Sebagai komoditas politik paling seksi, kenyataannya jalan memang tak pernah benar-benar mulus seperti harapan kebanyakan. Arinal pernah menjadi tumbal dan tumbang karena jalan pula.

(Lontar.co):  Politisasi jalan sebenarnya sudah berlangsung sejak masa Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan memulai pembangunan jalan Anyer-Panarukan pada Mei 1808. 

Ketika itu, ia mendapat perintah langsung dari Napoleon Bonaparte untuk membangun goote postweg (jalan raya) untuk memudahkan mobilisasi tentara agar lebih cepat menyebar di Pulau Jawa seiring dominasi pasukan Inggris yang telah menguasai Samudera Hindia, sehingga menyulitkan Prancis memindahkan tentaranya melalui jalur laut.

Setidaknya ada dua pihak yang punya kepentingan politis di balik pembangunan jalan dari ujung barat hingga ke ujung timur Pulau Jawa ini; Daendels dan bupati-bupati di jalur lintasan pembangunan jalan.

Perintah pembangunan jalan dari Napoleon Bonaparte kepada Daendels, menjadi momentum buatnya agar terus bisa mempertahankan posisinya di kekaisaran Prancis. Ini terbukti setelah tak lagi menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Daendels memproleh semacam promosi dalam jabatan militer sekaligus politik, ia ditunjuk sebagai jenderal divisi (mayor jenderal) dan diberi komando Divisi ke-26 dari Grande Armee (Tentara Besar) Napoleon yang melakukan invasi ke Rusia pada tahun 1812. Setelah itu, pada tahun 1815, ia diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Elmina, sebuah koloni Belanda di pantai barat Afrika (sekarang bagian dari Ghana). Posisi kekuasaannya selalu mulus, pasca pembangunan jalan Anyer-Panarukan. Bisa dibilang, pembangunan jalan ini adalah momentum politik buat Daendels kepada Napoleon.

Sebagaimana halnya Daendels, para bupati yang wilayahnya dilalui jalur pembangunan Anyer-Panarukan juga memiliki kepentingan politis untuk mempertahankan jabatan mereka di hadapan Daendels, selain itu tentu saja memanfaatkan peluang-peluang korupsi dari upah yang seharusnya dibayarkan kepada pekerja pembangunan jalan dari Daendels kepada bupati-bupati itu.

Sejak itu, politisasi jalan, infrastruktur memang terus berlangsung. Di era Soekarno, politisasi infrastruktur juga subur. Selain bangunan-bangunan ikonik di Jakarta yang kemudian dikenal dengan istilah ‘Politik Mercusuar’ yang lebih menitik pada pengaruh Soekarno di dunia internasional. 

BACA JUGA  Lada Lampung, Rempah yang Pernah Begitu Mempengaruhi Dunia

Sedangkan, pembangunan infrastruktur jalan menjadi motif politik bagi Soekarno untuk menancapkan pengaruhnya di dalam negeri, apalagi ia sadar, sebagai negara kepulauan, Indonesia harus disatukan, tiap pulau-pulaunya perlu diintegrasikan sebagai sebuah kepulauan, yang menjadi satu kesatuan dari Indonesia.

Apalagi, selama ini, dalam ‘Politik Mercusuar’, Soekarno cenderung senang membangun infrastruktur hanya di Pulau Jawa, sehingga kesan Jawa-sentris kemudian muncul dengan sendirinya.

Ketika sentimen itu muncul, proyek raksasa pembangunan jalan pertama pasca kemerdekaan di Pulau Sumatera diinisiasi Soekarno pada tahun 1965. 

Proyek nasional pembangunan jalan di Pulau Sumatera yang membentang dari Lampung hingga ke Aceh dalam delapan segmen proyek dengan panjang keseluruhan jalan hingga 2.400 kilometer yang selesai selama 10 tahun itu, kemudian lebih dikenal dengan nama; Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum). Meski dilanjutkan di era orde baru, tapi rakyat lebih mengenal Soekarno sebagai penggagas urat nadi Pulau Sumatera ini.

Di era orde baru, praktis, politisasi infrastruktur, tak berlaku, karena saat itu, Soeharto mutlak menjadi sosok kepemimpinan tunggal, sejak dari level bupati hingga menteri, semua dalam kendalinya, maka infrastruktur tak dipolitisasi, sebaliknya justru dibiarkan terbengkalai.

Tapi, semasa Soeharto pula, kesan pembangunan yang cenderung jawa-sentris kembali terulang. Pulau-pulau lainnya terpinggirkan dalam hal infrastruktur, porsinya kecil ketimbang di Pulau Jawa.

Namun, apa daya, hegemoni Soeharto kala itu adalah segalanya. Ia mengontrol semua tindakan dan pikiran semua rakyat. Bahkan untuk sekedar bermimpi memiliki jalan yang baik pun, rakyat tak berani.

Setelah Soeharto tumbang, perlahan politisasi terhadap infrastruktur mulai muncul kembali. Ia berjalan beriringan dengan akumulasi tuntutan kebanyakan rakyat, yang menginginkan infrastruktur berkualitas, sejak lama, setelah 32 tahun dibiarkan hanya dalam pikiran.

Jalan, adalah isu paling seksi yang paling bisa dijual kepada pemilih, untuk kaya maupun miskin. Jalan layaknya urat nadi penting bagi siapa saja, karenanya siapapun yang bisa menjanjikan perbaikan, maka ia bahkan dianggap melebihi ratu adil.

BACA JUGA  Jejak Mata Oeang Lampung

Keputusan tentang jenis infrastruktur apa yang dibangun, di mana lokasinya, dan siapa yang akan mengerjakannya, seringkali tidak murni berdasarkan studi kelayakan teknis atau kebutuhan mendesak. Banyak faktor seperti aliansi politik dan konsesi ekonomi kepada kelompok tertentu bisa menjadi penentu utama. 

Proyek-proyek raksasa ini dapat berfungsi sebagai kampanye politik efektif menjelang pemilu, janji manis untuk menarik suara, atau bahkan simbol kekuatan dan prestise sebuah rezim.

Pun di daerah, jalan adalah komoditas politik yang paling cepat laku dijual kepada publik. Isu jalan adalah isu lima tahunan yang terus dieksploitasi sedemikian rupa, meski realitanya tak pernah benar-benar dilakukan.

Dalam studi longitudinal yang dilakukan peneliti BRIN sekaligus Dosen Pascasarjana Unas, Syarif Hidayat di beberapa daerah, kebanyakan elite penyelenggara daerah mulai dari partai politik hingga pengusaha yang bergantung dari proyek-proyek infrastruktur yang digelontorkan pemerintah memang punya kecenderungan untuk terus mengontrol sektor infrastruktur, karena dianggap punya nilai politis yang tinggi, dan ini sejalan dengan elektabilitas.

Sehingga kemudian, bandul dukungan dari masyarakat pada saat pilkada, lebih mudah dicapai, dan bisa lebih mudah diraih. 

Tapi, di sisi lain, Syarif Hidayat juga melihat, efek domino dari infrastruktur yang dijadikan dagangan politis, karena bukan hanya berimplikasi pada keuntungan politik tapi juga keuntungan ekonomi jangka pendek, yang oleh Syarif Hidayat disebut sebagai praktik rent seeking.

Praktik ini didukung pula dengan payung hukum sebagai penguatnya, melalui dokumen-dokumen resmi seperti rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), yang selanjutnya diturunkan ke dalam program/kegiatan dalam alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) serta berbagai regulasi yang menyertainya.

Anggaran fantastis yang menyertai proyek infrastruktur membuka celah lebar bagi praktik korupsi, nepotisme, dan kolusi. Pembengkakan biaya, kualitas yang dipertanyakan, hingga penundaan proyek bisa jadi indikasi adanya “permainan” di balik layar. 

Sampai kemudian, banyak pejabat pada lembaga eksekutif dan politisi di lembaga legislatif, yang kemudian berakhir di dipenjara lantaran terbukti melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam penggunaan alokasi anggaran untuk infrastruktur. 

BACA JUGA  Mencari “Ahmad Lampung” & “Abdul Malik Krui”, Tareqat Qadiriyah Naqsabandiyah & Jaringan Ulama di Lampung

Dari Sabang sampai Merauke, tak kurang-kurang bupati, walikota hingga gubernur berujung di bui karena korupsi infrastruktur. Nilainya tak kecil, hingga ratusan miliar, ada pula yang mendekati angka triliun.

Di Lampung pun demikian. Provinsi ini bahkan lebih dikenal sebagai daerah dengan jalan rusaknya ketimbang hal yang positif.

Bermula dari kicauan Bima Yudho Saputro melalui akun @awbimax, yang menelanjangi betapa buruknya kualitas infrastruktur di Lampung, sampai-sampai Presiden Jokowi harus turun ke Lampung, mobil kepresidenan yang ia tumpangi bahkan sampai ‘nyangkut’ karena ruas jalan yang rusak parah.

Tumbalnya, tentu saja Gubernur Arinal, ia tak bisa melanggengkan kekuasaannya untuk periode kedua, jalan rusak jadi musuh utama buatnya bisa maju. Ia kemudian identik dengan jalan rusak.

Setelah kekuasaan Arinal tumbang, masyarakat memang punya harapan baru, kepada Rahmat Mirzani Djauzal, sebagai pemimpin muda, ia diharapkan bisa membenahi urat nadi yang rusak parah. Pertaruhan Mirza memang dimulai di tahun depan, sebab anggaran tahun 2025 adalah hasil rancangan pemerintahan sebelumnya.

Tapi, untuk tahun depan, ganjalannya bukan cuma anggaran daerah yang terbatas saja, efisiensi anggaran dari pemerintah pusat membuat anggaran perbaikan jalan nasional berkurang drastis, dari semula Rp400 miliar turun hingga menjadi Rp82,6 miliar.

Demikian halnya dengan perbaikan jalan provinsi yang panjangnya hingga 1.700 kilometer, menurut estimasi, untuk melakukan perbaikan sekitar 22 persen jalan provinsi yang rusak, dibutuhkan anggaran setidaknya Rp4 triliun, tapi dampak efisiensi membuat rencana itu berubah.

Soal anggaran memang kerap kali jadi masalah klasik, yang dijadikan dalih untuk menawar janji politik, yang selalu saja mengiming-imingi jalan sebagai komoditas di masa kampanye dengan tajuk program unggulan. Tapi kenyataannya, jalan memang tak pernah benar-benar bisa mulus. Jalan hanya mulus sebagai janji.

Further reading

  • jalan rusak

    Jalan, Komoditas Politik yang Tak Pernah Mulus

    Sebagai komoditas politik paling seksi, kenyataannya jalan memang tak pernah benar-benar mulus seperti harapan kebanyakan. Arinal pernah menjadi tumbal dan tumbang karena jalan pula. (Lontar.co):  Politisasi jalan sebenarnya sudah berlangsung sejak masa Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan memulai pembangunan jalan Anyer-Panarukan pada Mei 1808.  Ketika itu, ia mendapat perintah langsung dari Napoleon Bonaparte […]
  • gele harun

    Tak Ada Gele Harun ‘daripada’ Soeharto

    Acting Residen Lampung Mr Gele Harun gagal ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Semula, ia berada di urutan ke empat di nominasi itu, tapi tetiba muncul nama Soeharto. (Lontar.co): Rabu, 5 November 2025, Menteri Kebudayaan yang juga Ketua Dewan Gelar, Fadli Zon, dengan tergopoh-gopoh menuju Istana Presiden untuk bertemu dengan Prabowo. Ia membawa 40 daftar nama yang […]
  • Drama Menegangkan Kadek Widiaseh, Sebelum Membawa SMAN 1 Pagar Dewa Juara Hapkido

    Mental nge-drop sebelum tanding. Gugup, kehilangan rasa percaya diri menjadi momok terbesar Kadek Widiaseh, siswi SMAN 1 Pagar Dewa. Langkahnya tersendat saat memasuki arena Kejuaraan Beladiri Hapkido Tingkat Kabupaten Lampung Tengah. Tak pelak, pelatih nyaris melempar kursi dipicu rasa greget! (Lontar. Co): Sampai akhirnya spirit “be the best” menyusup dan mampu membalik keadaan. Rasa gusar […]