Dianggarkan 20 Persen di APBN, Potret Pendidikan Indonesia Masih Kayak Begini  

0 Comments
Anggaran pendidikan disebut dialokasikan 20 persen pada APBN, nyatanya penggunaan dibelokkan ke peruntukkan lain. (Ilustrasi: Lontar.co)

Dianggarkan 20 Persen di APBN, Potret Pendidikan Indonesia Masih Kayak Begini  

0 Comments

Wajah keempat orang di meja itu tegang. Mereka tak habis pikir, bagaimana mungkin dana pendidikan Rp724 triliun tega dibelokkan cuma dengan menyusupkan frasa “fungsi pendidikan”.

(Lontar.co): Melchias Marcus Mekeng, anggota DPR RI dari Fraksi Golkar, langsung tunjuk hidung. Menurutnya, biang kerok dari nelangsanya dunia pendidikan di Tanah Air, tiada lain adalah Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Mekeng mengaku punya bukti atas ucapannya itu.

“Ini memang harus disampaikan. Kalau memang Indonesia serius mau maju. Harus ada yang gerak (mengungkapkan), kalau enggak ini mau sampai kapan?” tukas wakil rakyat dari Dapil Nusa Tenggara Timur itu.

“Hari ini kita masih lihat ada banyak guru honorer yang terima gaji Rp300 ribu. Kita juga masih punya sekolah-sekolah yang kondisinya hancur. Padahal, setahun kita punya anggaran pendidikan Rp724 triliun. Kemana uangnya pergi?” sergahnya.

Mekeng kemudian merunut fakta yang melatarbelakangi penilaiannya. Dia menyebutkan, dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada awal reformasi lalu disebutkan, negara diwajibkan mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Untuk makin meneguhkan perintah tersebut pada tahun 2007 keluar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 24. Isinya menegaskan bahwa alokasi 20 persen untuk pendidikan bersifat wajib dan pemerintah tidak bisa menafsirkan angka ini secara fleksibel. 

Dengan kata lain, anggaran mutlak sepenuhnya dialokasikan untuk membiayai kebutuhan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. 

Keputusan MK diharapkan bisa menjadi pagar penjaga, benteng terakhir untuk tetap mengawal kesetiaan terhadap amanah UU. Guna mengamankan anggaran pendidikan benar-benar dialokasikan ke dunia pendidikan.

Tapi jangan cepat senang dulu. Kemunculan keputusan MK itu saja mestinya bisa dilihat sebagai sebuah isyarat. Bahwa negeri ini tidak terlalu memprioritaskan urusan pendidikan. Maka sangat mungkin akan ada pihak yang tidak happy dan boleh jadi kemudian mengatur siasat agar bisa mengakalinya.

BACA JUGA  Singkong dan Negara yang Dibuat Tak Berdaya Menghadapi Korporasi

Kekhawatiran ini terbukti. Tanpa menunggu berlama-lama, tepatnya di tahun 2009 muncul Peraturan Menteri Keuangan yang menambah frasa “fungsi pendidikan” pada penggunaan anggaran pendidikan.

Itu artinya, semenjak itu anggaran 20 persen dari APBN yang diperuntukkan bagi dunia pendidikan, tidak melulu dialokasikan ke Kementerian Pendidikan. Tetapi bisa dialamatkan pada kementerian atau lembaga lain yang memiliki program bernuansa “fungsi pendidikan”.

Penjelasan Mekeng dipaparkan pada podcast Akbar Faizal Uncensored yang ditayangkan pada Jumat (1/8/2025). Pada session yang mengangkat tema Menggugat Sri Mulyani ‘Belokkan’ Anggaran Pendidikan itu, Akbar Faizal selaku host mengundang narasumber Mekeng.

Lalu ada pula mantan anggota DPR RI Ali Hardi Kiaidemak, kemudian Arif Satria selaku Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) juga mantan Ketua Forum Rektor Indonesia.

Melalui frasa “fungsi pendidikan”, sambung Mekeng, penggunaan anggaran 20 persen pendidikan menjadi melebar kemana-mana, bahkan mengalir jauh seperti aliran air Bengawan Solo.

“Kita lihat APBN 2025 Rp3.621 triliun. Dari anggaran pendidikan yang 20 persen tersedia Rp724 triliun. Sebarannya Rp104 triliun mengalir untuk pendidikan kedinasan bagi 13 ribu orang yang berada pada 17 kementerian dan kelembagaan. Jadi kalau ada yang mau naik pangkat, kan harus ikut dulu pendidikan kedinasan, anggaran pendidikan dipakai untuk itu.

Sedangkan untuk mengurusi pendidikan 64 juta siswa di Indonesia hanya kebagian Rp94 triliun. Ini kan tidak proporsional,” terangnya.

BACA JUGA  Lampung Krisis Regenerasi Petani

Kementerian dan lembaga yang dimaksud di antaranya seperti Kementerian Agama, Perhubungan, dan Kementerian Pekerjaan Umum. Para peserta didik kedinasan ini sepenuhnya dibiayai oleh negara.

“Mulai dari seragamnya, sepatu, bahkan dikasih uang sekolah, dikasih biaya penginapan, biaya semuanya. Sementara anak didik kita kan harus bayar,” terang Mekeng.

Dia menambahkan, dari anggaran 20 persen yang tersisa ternyata tidak juga dialokasikan untuk kepentingan pendidikan dasar, menengah dan atas serta perguruan tinggi, tapi malah didistribusikan ke bidang-bidang lain.

“Intinya tidak dipakai untuk pendidikan,” tegasnya, “Jadi ini sangat tidak adil. Bahkan sudah tidak sesuai dengan semangat Undang-Undang Sisdiknas dan amandemen UU.”

Tak heran, imbuhnya, kalau potret sebelum dan setelah ada amandeman tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Masih banyak sekolah hancur, fasilitas pendidikan seadanya, itu karena ada siasat menyusupkan frasa “fungsi pendidikan”.

“Kondisi ini yang saya sebut telah terjadi pelanggaran konstitusi secara serius!” ucap Mekeng.

Secara politis, dia juga berkeyakinan, isu pendidikan ini bisa diperjuangkan. “Saya dengar dari Ketua MPR, bahwa Presiden yang salah satu program unggulannya adalah pendidikan, sudah sadar kalau ada sesuatu yang enggak benar. Katanya, Pak Prabowo tanya, kenapa sudah dialokasikan anggaran 20 persen, tapi potret pendidikan kita kok masih seperti ini?” ujar Mekeng.

“Jadi jangan pernah bermimpi cita-cita Presiden bisa terwujud, kalau pendidikan enggak dikasih anggaran yang sesuai,” tegasnya.

Anggaran Riset Minimalis

Penggunaan anggaran pendidikan yang sudah melenceng dari amanah konstitusi, juga menimbulkan dampak negatif bagi dunia pendidikan tinggi. Itu dirasakan oleh Rektor IPB, Arif Satria.

“Bagi pendidikan tinggi yang paling kerasa adalah terkait alokasi beasiswa dan riset,” katanya.

BACA JUGA  Perhutanan Sosial Bukan cuma Soal Lahan Garapan dan Pendanaan Tapi juga Rasa Aman

Dia lantas memberi perbandingan. Untuk urusan riset sebuah universitas, sebut saja Singhua University di Cina, per tahun mengalokasikan anggaran riset Rp30,8 triliun. Sedangkan Oxford University Rp19,3 triliun. Lalu University of Tokyo Rp13,6 triliun. Sedangkan NUS Singapura Rp12 triliun, serta Sal National University Rp7,8 triliun.

“Sementara di Indonesia untuk kebutuhan sekian ribu kampus, negara hanya menganggarkan dana riset Rp1,28 triliun. Jumlah itu setara 10 persen alokasi dana riset satu kampus di Singapura,” terang Arif.

Kondisi tersebut, sambungnya, menggambarkan betapa sulitnya Indonesia mendorong skor global innovation index. Padahal berbagai inovasi unggul dihasilkan dari riset.

Sementara inovasi punya korelasi terhadap ekonomi dan GDP per kapita per tahun. Artinya, negara-negara yang memiliki inovasi yang bagus hampir pasti memiliki tingkat ekonomi yang bagus pula.

“Sehingga kalau kita ingin ekonomi yang bagus, mau tidak mau harus ada inovasi. Kalau kita mau inovasi harus ada riset yang kuat. Kalau ada riset maka harus ada budget yang kuat. Jadi anggaran, infrastruktur, kemudian SDM serta tema riset yang kuat akan bisa membuat kita memiliki daya saing,” urai Arif.

Saat ditanya apakah sesungguhnya Indonesia sudah memiliki blue print di ranah pendidikan untuk menyambut masa depan yang bermartabat dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain?

Arif menyebut Kementerian Pendidikan sudah memiliki road map untuk mewujudkan pendidikan yang mengarah pada pembentukan kemampuan skill, kompetensi, serta punya akhlak dan ketakwaan yang baik.

“Tapi persoalannya pada level eksekusi. Visi sudah ada. Tinggal lagi soal eksekusi,” katanya. (*)

Further reading

  • eva dwiana

    Eva Tak Punya Legitimasi yang Kuat, Ia Hanya Didukung oleh Kurang dari 30 Persen Warga Bandarlampung

    Sebagai walikota, Eva sebenarnya tak punya akar legitimasi yang kuat untuk memimpin kota. Kondisi ini, berkorelasi dengan kebijakannya yang cenderung ngawur dan egosentris. (Lontar.co): Sejak pagi, backhoe itu terus mengeruk aspal yang digali di pelataran gedung Kejati Lampung. Sementara, sejumlah pekerja konstruksinya terlihat mondar-mandir mengangkut material dengan angkong. Meski masih relatif pagi, aktivitas konstruksi di […]
  • 60 Penulis ‘Menelisik Lampung’ Penuh Warna

    Masih sedikitnya ketersediaan buku yang membicarakan ke-Lampung-an, kini terjawab. Dinas Perpustakaan Lampung meluncurkan buku ini, Menelisik Lampung, berisi karya puisi, cerpen, dan esai (opini). Dikemas apik. (Lontar.co): Bangga jadi ulun Lappung (orang Lampung). Lampung, sebagai etnis, sangat kaya seni budaya. Daerah ini saja memiliki dua jurai bagi etnis Lampung, yakni pepadun dan saibatin — pedalaman […]
  • bahan pangan tersandera mbg

    Bahan Pangan yang Tersandera MBG

    Tingginya permintaan harian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis, memicu naiknya harga bahan pokok di sejumlah pasar. Masyarakat dan pedagang tradisional mengeluh. (Lontar.co): Meski sudah menunggu sejak pagi, Erni hanya mampu membeli sekilo telur dan 5 kilogram beras di pasar murah yang digelar di Kantor Kecamatan Bumi Waras itu. Banyak bahan pokok yang […]