Isbedy Stiawan ZS, berjuluk Paus Sastra Lampung, kembali menjadi pembicaraan. Kali ini karyanya bertajuk “Menungguku Tiba” yang merupakan himpunan sajak dari rentang 2022—2025 dibedah oleh orang-orang di Tanah Pasundan di Bale Rumawat Unpad, Senin (17/8/2025).
(Lontar.co): Orang-orang itu adalah Ipit Saefidier (dosen ISBI Bandung) dan Baban Banita (dosen prodi sastra Indonesia Unpad). Berikut ini ulasan Baban Banita atas sajak-sajak Isbedy yang diterima Lontar.co.
Laut
Banyak yang menarik dari sajak-sajak Isbedy yang terkumpul pada antologi Menungguku Tiba Sehimpun Sajak 2022—2025. Bukan saja tema dan cara mengungkapkannya yang beragam, namun sesuatu yang menjadi latar dari sajak-sajaknya yang kemudian menjadi cara memandang persoalan kehidupan baik dengan cara yang denotatif maupun dengan cara konotatif yang menjadi semakin memperkaya keindahan sajak.
Latar yang menarik itu adalah laut. Ntah kebetulan atau disengajakan antologi sajak ini diawali oleh laut dan diakhiri oleh laut atau sesuatu yang mengandung laut.
Dari laut atau dengan laut Isbedy bisa mengungkapkan tentang rindu, kesendirian, hiruk-pikuk kehidupan, kesabaran, kematian dan lain-lain. Laut begitu dekat dengannya. Mengapa laut?
Dalam tradisi puisi yang beragam budaya, laut menjadi salah satu lanskap dan metafor yang sering hadir. Laut bukan sekadar pemandangan alam, tetapi medan makna yang luas, kontras, dan penuh kedalaman simbolik. Ia mampu menampung beragam emosi dan gagasan, dari rasa kebebasan yang tak berbatas hingga keterasingan yang sunyi.
Para penyair menyukai laut karena di dalamnya terkandung banyak ragam dan lapis-lapis filosofi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan kehidupan manusia.
Barangkali karena laut menggambarkan ketakterbatasan yang mencerminkan hakikat kehidupan yang penuh misteri. Laut adalah metafor perjalanan hidup, ombaknya yang naik turun merupakan gambaran yang mengingatkan pada naik turunnya kehidupan, naik turunnya emosional.
Laut yang luas memunculkan rasa yang bebas sekaligus kesendirian dan kesepian yang mendalam. Laut tenang bisa melambangkan kedamaian batin, sedangkan laut bergelora mencerminkan kegelisahan, amarah, atau kegairahan.
Air yang memantulkan langit menjadi simbol refleksi diri, sementara kedalaman laut yang gelap mengisyaratkan bagian-bagian jiwa yang sulit dijangkau. Laut adalah rahim yang luas, laut adalah batas antara keberangkatan dan kepulangan.
Dalam konteks simbolik, laut menjadi “ambang” antara dunia yang diketahui dan dunia yang misterius, antara kenyataan dan impian.
Dengan demikian, laut sebagai medan ekspresi yang sangat kaya bagi penyair. Laut tidak hanya menggambarkan dunia luar, tetapi juga dunia dalam; tidak hanya mengisahkan perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin. Dalam setiap gelombang dan pasang surutnya, laut mengundang pembaca untuk merenungi hakikat kehidupan yang penuh misteri.
Mari kita lihat laut pada sajak pertama Isbedy yang berjudul ”Di Tubuhku Terdalam Kapal Telah Karam”. Sajak yang berbicara tentang kehampaan ini saya kutip dengan lengkap karena cukup pendek.
DI TUBUHKU TERDALAM
KAPAL TELAH KARAM
bahkan di tubuhku terdalam
kapal-kapal telah karam
air yang melayarkan
tak lagi sisa. Terkuras
lalu apakah angin
mesti kuundang
agar kapal berlayar?
pada tubuhku
yang sudah kaukuras
aku tak dapat bercermin
2022
Sajak yang terdiri dari tiga bait di atas mengajak saya untuk berpikir dan berimajinasi tentang suatu peristiwa. Ada banyak celah atau ruang yang bisa dimasuki pembaca sehingga berpeluang untuk memunculkan berbagai imajinasi dan tafsir.
Sajak kadang sering menjadi ruang di mana penyair menggunakan bahasa untuk mengolah pengalaman batin menjadi citraan yang dapat disentuh pembaca. Dalam sajak Di Tubuhku Terdalam Kapal Telah Karam, Isbedy Stiawan ZS menempatkan laut bukan sebagai lanskap geografis atau fisik, melainkan sebagai lanskap batin yang mengalami kehampaan.
Keindahannya terbangun di antaranya dari kepadatan simbol, kesederhanaan bentuk, dan kontras imaji yang mengundang resonansi emosional.
Isbedy memilih simbol-simbol kelautan yang lazim—kapal, air, angin, layar—namun menempatkannya dalam kondisi yang tidak lazim: karam, terkuras, dan kehilangan daya gerak.
Kapal dalam banyak sajak umumnya adalah tanda perjalanan dan harapan. Namun di sini, kapal menjadi bangkai yang diam di dasar batin, di tubuhku terdalam kapal-kapal telah karam.
Air yang biasanya memberi hidup justru hilang, meninggalkan laut kering. Angin yang biasanya memberi dorongan menjadi tanda tanya, bukan jawaban, lalu apakah angin mesti kuundang agar kapal berlayar.
Keindahan simbol-simbol ini muncul karena kesederhanaannya. Penyair tidak membebani pembaca dengan detail geografis atau teknis, melainkan memberi ruang kosong yang dapat diisi tafsir emosional. Dengan hanya tiga elemen itu, ia membangun dunia yang lengkap: kapal (manusia/jiwa), air (sumber hidup), dan angin (penggerak eksternal).
Laut dalam tradisi puisi sering dilihat sebagai ruang luas, bergerak, penuh kehidupan. Chairil Anwar dalam ”Cintaku Jauh di Pulau” misalnya, menggunakan laut sebagai metafor jarak dan kesunyian yang tetap mengandung kemungkinan pertemuan.
Rivai Apin pada 1946 dalam ”Pelarian” dengan sangat keras dan gagah menyebut laut sebagai tempat mengembara yang menginginkan ombak tinggi, taufan gila, dan segala kecamuk ketegangan bagi petualangan.
Dalam hal ini, Isbedy memutar balik asosiasi itu: laut menjadi ruang mati. Kapal karam bukan di tengah badai heroik, melainkan di “tubuh terdalam” yang sunyi. Air tidak bergejolak, malah hilang sama sekali.
Dengan cara ini, penyair telah menciptakan keindahan dengan memelihara ketegangan yang terus-menerus, ia menciptakan keindahan melalui inversi makna—pembaca yang berharap pada citra laut yang dinamis justru dihadapkan pada diam yang mutlak; suatu keindahan yang kontras.
Sajak ”Di Tubuhku Terdalam Kapal Telah Karam” memanfaatkan metafor laut dengan cara yang intim dan personal. Laut di sini bukan sekadar bentang geografis, melainkan tubuh batin—sebuah lautan internal tempat riwayat, harapan, dan perjalanan hidup pernah berlayar.
Melalui simbol kapal, air, angin, dan cermin, penyair membangun lanskap sunyi yang kaya makna dan menghadirkan keindahan yang memesona. Laut adalah metafor yang diciptakan Isbedy sebagai tubuh batin.
Penyair mengubah laut dari ruang luar menjadi ruang dalam, menegaskan bahwa manusia memiliki samudra emosinya sendiri, dengan gelombang, pasang surut, dan potensi karamnya atau kita semua menyimpan lautan yang kadang luas dan penuh gerak, namun juga dapat mengering dan menjadi sunyi.
Ukuran sajak ini termasuk pendek, tiga bait dengan larik-larik yang singkat dan berhenti nyaris cepat. Struktur seperti ini memberi ritme terputus, seolah meniru terhentinya gerak kapal. Tidak ada aliran panjang atau repetisi yang mendayu, melainkan jeda-jeda yang tajam. Efeknya adalah rasa kering yang menyatu dengan isi sajak, kehampaan yang gersang.
Pada bait dua misalnya, dari baris satu ke baris dua hanya sedikit kesempatan untuk diam, begitu juga dari baris dua ke baris tiga. Jeda-jeda tajam ini diperkuat oleh musikalitas lariknya yang muncul dari pengulangan bunyi vokal a dan u (tubuhku, karam, kuras, angin, undang), yang memberi kesan berat dan dalam, selaras dengan citra karam dan kering.
Ciri estetika puisi ini di antaranya adalah keindahan yang lahir dari ketiadaan. Tidak ada gemuruh ombak, tidak ada kilauan matahari di permukaan laut. Justru kekosongan—kapal yang karam, air yang hilang, cermin yang tak memantul—yang menjadi sumber daya tariknya.
Kehampaan ini bukan pasif; ia memaksa pembaca merasakan kehilangan secara visual dan emosional. Hal ini mengingatkan pada estetika sajak-sajak cinta yang sering merayakan keindahan dalam kesunyian dan kehilangan (jangan-jangan fungsi sajak secara umum adalah merayakan keindahan dalam kesunyian dan kehilangan).
Jadi, saat sajak dibuat atau dibaca seseorang yang tidak hadir itu sama pentingnya dengan seseorang yang hadir; sama-sama kuat menekan perasaan.
Pada sajak ini, kombinasi antara kepadatan simbol, kontras makna, kesederhanaan bentuk, dan pemanfaatan kehampaan adalah sebagai pusat keindahan. Isbedy berhasil menempatkan laut sebagai tubuh batin yang karam, memaksa pembaca merenungi bahwa kehilangan tidak selalu hadir dalam bentuk gemuruh, tetapi juga dalam kesunyian yang tunggal.
Inilah laut yang tidak biru, tidak berombak yang memantulkan pengalaman manusia dengan lebih jernih.
Laut sebagai Latar dan Alat untuk Mengungkakan Berbagai Perasaan dan Peristiwa
Dalam sajak-sajak lainnya yang menggunakan dunia laut, Isbedy berhasil memandang kehidupan atau peristiwa lain dengan ungkapan-ungkapan yang keluar masuk antara laut yang denotatif dan laut yang konotatif.
Sajak-sajak lain (12) yang mengandung laut adalah ”Sebelum Ada Lambaianmu”, ”Dalam Tubuh laut”, ”Pada Ombak”, ”Wajahmu Jauh”, ”Biarkan Ia Mengembara Seperti Dulu Saat Sendiri”, ”Kapal yang Sesaat Lagi Sandar”, ”Ingin Menulis Puisi”, ”Laut Boleh Bergelombang”, ”Sebab Pantai untuk Pergi dan Pulang”, ”Tentang Cerita Bertitimangsa: 5 Juni XXXZ”, ”Pulang ke Pantai Sebelum Datang Badai”, ”Sekiranya Hujan Sungguh-sungguh Datang”.
Semuanya ada 13 sajak yang mengandung laut. Paling banyak dari yang diciptakan penyair dalam antologi ini. Isbedy sebagai penyair ingin menulis tentang laut karena baginya laut tak pernah congkak paling asin. tak juga membuat tubuh ikan berlumur garam.
Laut tidak sombong meskipun dirinya mempunyai kelebihan yang berguna bagi banyak makhluk, laut tidak menggunakan kelebihannya untuk membuat makhluk lain sama dengan dirinya. Laut adalah kerendahan hati.
Selain itu, laut selalu mengantar kapal-kapal/ ke bandar demi bandar/ tanpa pernah ingin disebut paling berjasa. Laut selain, rendah hati juga mempunyai sifat yang baik, dia mau mengantarkan kapal-kapal ke tujuan yang dikehendaki penumpangnya. Dengan demikian, kerendahhatian laut menjadi dasar yang kuat bagi munculnya sajak-sajak berlatar laut.
Kisah cinta dan kerinduan dengan imaji yang kuat digambarkan melalui laut misalnya dalam sajak ”Sebelum Ada Lambaianmu”, ”Pada Ombak”, ”Wajahmu Jauh”. Laut adalah jalan bagi cinta bagi rindu, sebelum ada lambaianmu/ tak kulayarkan kapal ini/ ke pelukanmu.
Kapal adalah metafor diri yang mencintai seseorang. Kulayarkan adalah proses si aku bagi terjadinya cinta dengan kekasihnya. Selain itu digunakan kata-kata jangkar, dermaga, temali untuk menggambarkan proses mencintai itu.
Fungsi dan benda-benda yang biasa digunakan dalam dunia laut, lingkungan yang berada di laut selain difungsikan sesuai dengan kegunaannya atau denotatif, kata-kata tersebut juga dimainkan dalam bentuk konotatif atau metafor.
Beberapa metafor yang kuat daya imajinasinya misalnya kau seperti cintaku/ pada laut jadi garam/ pada karang jadi mutiara. Bentuk ungkapan cinta yang positif, cinta yang menjadikan kehidupan dunia menjadi lebih bermanfaat dan bermakna.
Selat Sunda yang berwarna biru diibaratkan sebagai kekasih yang menunggu malu-malu. Ada gambaran yang indah tentang kuatnya hubungan cinta dan kerinduan antara sepasang kekasih dalam ”Sebelum Ada Lambaianmu”.
Berikut adalah kutipannya.
…di dermaga
masih ada yang belum
ingin lepas dari rindumu
ingin berpelukketat
temali dalam laut
jangkar hunjam didadanya
Pada kutipan sajak di atas ada dermaga, temali, jangkar yang disusun untuk memperkuat daya imajinasi tentang rindu, yakni bagaimana segala unsur tersebut saling membahu membangun kenyamanan bagi kerinduan. Kesatuan antara dermaga, tali, dan jangkar yang membuat kapal itu bisa aman dan nyaman berlabuh telah digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang bernama rindu.
Rindu yang kuat dan nyaman menjadi nyata ketika adanya saling memberi dukungan dan saling menguatkan seperti halnya dermaga, temali, jangkaryang membuat kapal nyaman berlabuh.
Dalam kehidupan dan dalam hubungan cinta dan kemanusiaan laut memperkaya cara memandang. Tokoh aku dalam lirik mengungkapkan tentang diri sebagai seseorang yang rendah atau gambaran kerendahhatian dalam kehidupan.
Si aku selalu menganggap diri seorang kelasi, yakni pekerja yang paling rendah dalam kapal. Lebih luas hal itu menggambarkan jika si aku bukan siapa-siapa di dunia ini. Sebagai kelasi si aku tidak bisa berbuat lebih tapi dia mandiri dan tabah sebab laut yang luas, bergelombang telah menempanya menjadi jiwa yang terbiasa dalam kesendirian, sebagai kelasi aku biasa sendiri.
Bahkan dalam cinta, sebagai kelasi, tampaknya si aku tidak berani meminta untuk bertemu. Dia tidak percaya diri dan menyerahkan cintanya pada keinginan kekasihnya, si aku hanya berkata; …jika kau mau/ membiarkan aku sendiri, kibarkan kain putih. aku biasa sunyi. aku akan kembali semdiri,/ mengeja jalan/.
Selain tentang cinta, laut atau pantai digambarkan sebagai tempat memulai perjalanan dan tempat untuk pulang dan tempat atau jalan untuk perubahan. Hal ini digambarkan dalam ”Sebab Pantai untuk Pergi dan Pulang”.
Perjalanan berlayar meninggalkan pantai dan pulang menemui pantai adalah untuk cinta, untuk keluarga yang setia menanti. Mula-mula pantai untuk pergi dan pulang itu jelas penandanya, sudah ditandai/ segala pasir selagi siang/ dan rasi pada malam/ segala cinta atau ciuman/ perempuan di rumah/.
Kemudian datang perubahan, laut adalah dunia, tempat untuk bekerja, berjuang demi cinta yang sedang menanti di rumah. Laut dalam hal ini bukan sebagai tempat yang indah dan nyaman, laut merupakan tempat yang menggelisahkan, penuh risiko, dan pantai selain tempat pergi dan pulang juga menjadi tempat terbuka bagi perubahan; …, kelak kota baru dibangun/ di sini dalam warna lain/ orang-orang lalu lalang/ beragam warna tubuh/ bermata yang angluh/.
Suatu kekhawatiran sebab pantai tidak bisa lagi menjadi tempat untuk segala cinta atau ciuman/ perempuan di rumah/ yang menunggu kabar/.
Selain cinta, maut juga muncul dalam sajak yang berlatar laut. Huruf-huruf kecil dalam sajaknya.
Ibu atau Rindu Ibu
Ibu diungkapkan dalam sajak oleh Isbedy begitu dekat dan kuat hubungannya, penuh rasa hormat, kasih sayang yang melimpah, kerinduan yang agung, mendalam sekaligus mempesona.
Ungkapan kedekatan dengan ibu ini terutama terdapat dalam sajak yang paling panjang ”Sajak-sajak Pendek Ditulis Ketika Kau Menungguku Tiba (Tentang Mudik) yang kemudian sebagian judul sajak tersebut dijadikan judul buku antologi ini, yakni Menungguku Tiba (Sehimpun Sajak 2022—2025). Keutamaan ibu taktergantikan.
Sebelum ke sajak panjang tentang ibu, pada antologi ini terdapat beberapa sajak yang kuat kerinduannya dan menggunakan imajinasi yang memberi celah bagi pembaca untuk mereka-reka tentang rindu itu. Ibu bagi penyair adalah jalan pulang yang takkan pernah dilupakan (”Aku Tak Lupa Jalan Pulang”) sebab katanya, di dadaku ada namamu, ibu, alamat yang tak pernah hilang tintanya.
Gambaran yang takkalah kuat dan indahnya menyebutkan jika mudik atau pulang ke ibu itu adalah perjalanan menuju rumah ariariku; hati ibu yang kurindu. Ada hubungan batin dan fisik yang tak mudah atau tak mungkin dipisahkan.
Ungkapan ariari diulang lagi dalam sajak “Sebab Ibu, Pesona Kampung Menggoda”. Kita tahu, ari-ari adalah segumpal benda seperti daging yang menyertai kelahiran bayi. Benda yang terbentuk bersamaan dengan tumbuhnya bayi ini mempunyai fungsi sangat penting bagi bayi dan ibunya. Ari-ari menghubungkan kehidupan ibu dengan anak yang dikandungnya.
Ari-arilah yang mengantarkan atau menyediakan nutrisi, oksigen bagi bayi. Dia sangat penting dalam kehidupan bay di dalam kandungan. Ari-ari pada banyak etnis di Indonesia biasanya dikuburkan ketika sudah keluar dari rahim ibu. Pada beberapa masyarakat Sunda, ari-ari sering disebut kembaran si bayi karena saking pentingnya kedudukan ari-ari.
Maka ketika Isbedy menyebut rumah ari-ari atau ungkapan seorang ibu bahwa sejauh-jauh/ anak tinggalkan rumah/ akan ke pangkuan ibu/ sebab ariari masih sisa/ dalam tubuh ini/.
Ini adalah ungkapan yang sangat berhasil untuk membangun imajinasi tentang kerinduan anak kepada ibu, tentang kepastian jika dalam diri ibu selalu ada kekuatan untuk tetap membangun kehidupan bagi anaknya dengan ari-ari atau sumber kehidupan yang tersisa dalam tubuhnya.
Betapa ari-ari itu mengikat, terutama sang anak, untuk terus mengingat dan berhubungan dengan ibu. Kerinduan untuk pulang dan bertemu ibu juga disebabkan oleh ibu yang menciptakan kampung/ untuk anak-anak kembali/ yang di dalamnya ada ari-ari yang telah ditanam oleh ayah.
Dalam hal ini ayah dilibatkan namun tidak disebut-sebut dirindukan, ayah hanya bertugas untuk menanam ari-ari di kampung yang diciptakan ibu agar anak tetap rindu untuk pulang.
Pesona yang membuat anak ingin pulang ke pangkuan ibu juga karena perjalanan yang digoyang gelombang/ +awan +jalan berlubang/.
Ingin pulang karena sesuatu yang ada pada diri ibu dan terus melekat sebagai kenangan yang tidak akan hllang, merindukan kecupan ibu/ sejuk kaki ibu, lembut tangan/ ibu saat mencubit pahaku/ ketika aku nakal. saat kecil/. Juga merindukan karya ibu yang khas seperti ketupat anyamanmu, sayur daging/ juga kue di hidangan hari lebaran.
Dan hal yang paling penting mengenai hubungan ibu dan anak ini adalah kesadaran si anak jika dirinya belum berbuat apa-apa untuk ibunya sehingga dirinya harus terus-menerus meminta maaf, meminta ampunan. Hal ini diungkapkan dalam baris yang indah dan penuh imajinasi,…aku anak/ yang belum pernah memulangkan ayunan/ kepadamu/.
Ayunan adalah tempat yang biasanya digunakan untuk bayi tidur, bisa juga disebut buaian. Dalam sebuah ungkapan jika tidak salah disebutkan tuntutlah ilmu dari ayunan hingga liang lahat.
Jadi, ayunan adalah awal dari proses hidup seorang anak. Sesuatu yang krusial karena ayunan sangat menentukan keberadaan anak selanjutnya. Memulangkan ayunan untuk ibu berarti pula membalas jasa besar seorang ibu yang telah merawat dan membesarkannya.
Konon, seorang anak sampai kapan pun takkan sanggup membalas jasa ibunya. Karena itu, ungkapan penyair yang belum pernah memulangkan ayunan kepada ibunya sungguh tepat. Dia menggunakan kata belum bukan tidak, artinya masih tetap ada proses untuk terus membalas kebaikan dan jasa seorang ibu meski tidak akan pernah sampai.
Ketika sesuatu yang bernama rindu terhadap ibu itu muncul maka perjalanan adalah hal yang tak terbantah. Maka anak-anak yang merantau, mengembara mengadakan perjalanan atau mudik untuk menemui kembali ihwal ibu di kampung halamannya.
Isbedy menuliskan kepulangan itu sangat imajinatif, lembut, dan mendalam pada bait /1/ ”Sajak-sajak Pendek Ditulis Ketika Kau Menungguku Tiba (Tentang Mudik)”
Selebihnya hanya kenangan tentang jalan
beriburibu depa yang kutinggal di belakang
aku kini kembali pada nol dan setitik peluh
tumpah di dadamu, terbuka. seperti lorong
membawaku paling kosong
Bait di atas menggambarkan jika mudik dan sampai di tujuan itu seperti kembali pada nol. Sejauh-jauh melangkah di saat kembali dan tiba itu adalah nol. Berada lagi di sumber di tempat awal saat dilahirkan saat dibesarkan oleh ibu. Semuanya menjadi kosong.
Mudik adalah menghidupkan kenangan pada kampung halaman, pada rumah, pada ibu. Berikut bait /4/ yag sangat visual, lembut dan indah.
tungku yang ibu pamerkan setiap hari
padaku, sejak aku kanak-kanak
telah mengekal di diriku; sebagai tulah
agar aku tahu pulang ke tungku ibu
terbuat dari tanah dan kayu
bahan bakarnya
; kenanganku ditanak di situ
Bayangkanlah tungku yang terbuat dari tanah yang digunakan untuk memasak setiap hari di masa kita kanak-kanak (untuk yang usia 40-50 ke atas dan dari kampung) oleh ibu.
Mungkin kita melihat kembali warna api, bara, asap, bentuk dan warna tungku, ukuran, kayu yang digunakan sebagai bahan bakar, wangi api dan asap sesuai dengan jenis kayu, kuali, jenis masakan dengan rasa dan baunya, cara menyalakan api, cara memelihara api agar senantiasa menyala dll.
Semuanya tak mudah atau tak bisa untuk dilupakan, telah mengekal di diriku. Dan itu telah menjadi semacam hukuman agar kita tahu pulang ke haribaan ibu. Isbedy berhasil menghidupkan kenangan pada ibu dari satu titik yang sederhana namun sangat berguna dan setiap hari pasti taklepas dan berhubungan dengan benda tersebut, tungku.
Bait /4/ diakhiri dengan baris yang bukan saja indah dan imajinatif namun tak disangka-sangka dan terasa sangat hidup, ;kenanganku ditanak di situ. Sesuatu yang menggambarkan proses yang terus-menerus ada.
Banyak keindahan yang disusun Isbedy dalam kerinduannya terhadap ibu, baik dalam bentuk metafor maupun yang langsung.
Pada bait /5/ disebutkan bahwa pulang ke rumah tua/ adalah memunguti lagi/ sisa ciuman dan cubitan ibu/ yang kini sangat kurindu/. Pada bait /7/ diungkapkan aku masih terus mudik/ sebab amatlah asyik/ mencari ingatan/ yang selalu hilang/. Pada bait /8/ disebutkan habis kata-kata yang kuperah dari hidup/ bayang terang dan hitam membentang/.
Pada bait /9/ perjuangan mudik itu menuangkan peluh/ tumpah di pangkuan ibu/. Saking cintanya kepada ibu Isbedy mengambarkannya atau menulis ”ibu, jika perjalanan mudik/ ini untuk mencari cinta pertama/ izinkan aku tiba dipangkuanmu,”.
Pada bait /10/ ibu disebutnya sebagai perempuanku yang setiap waaktu di saat pintu lain tertutup, ibu dengan tangan membentang/ ”datanglah, rumah adalah/ kunjunganmu setiap waktu!”/. Pada bait /10/ diungkapkan, ibu adalah warna bagi kampung –kelahiran–/ tak akan terhapus oleh jutaan waktu/ atau terik/ berpayahpayah akan memburu, memburu/ untuk memeluk/.
Kematian atau maut juga banyak muncul dalam sajaknya. Misalnya pada ”Saatnya Kunikmati”, ”Duka itu Seperti Bah”, ”Apakah yang Disebut itu Namaku”, ”Buka Pintu yang Rahasia”, ”Petang, Kamboja, dan Duka”. Gambaran kematian itu misalnya terdapat dalam bait berikut (”Petang, Kamboja, dan Duka”).
Ini petang kulihat bunga kamboja
putih-kuning-mrah gugur
ia disambut lekat oleh tanah
itu duka yang kuterima
tentangmu jalan lebih dulu
Hubungan ayah dan anak sangat mesra, mengibaratkan Ibrahim dan Ismail dalam sajak ”Aku Kini Sendiri. Anak-anak Pergi Jauh”, sajak ulang tahun untuk gadis kecilnya yang penuh haru dan kemesraan pada sajak ”Di Pelukanku, Air Matamu Mengalir”.
Mengapa atau dalam rangka apa Isbedy menulis sajak juga tergambar pada beberapa sajaknya. Bersajak adalah menjalani keheningan setiap selesai keriuhan.
Dalam sajak ”Ingin Menulis Puisi” dia mengatakan bahwa yang ditulisnya adalah yang mempunyai kekuatan untuk memberi kebaikan dan setia pada kehidupan, dia tidak menuliskan kebencian, tidak menulis untuk memuji, dia menulis sesuai dengan hati yang menggerakkannya.
Yang terakhir ada sajak cinta yang sederhana berjudul ”Rahasia Cinta”. Mungkin ini bisa menjadi penting dan saya kutipkan utuh.
RAHASIA CINTA
beri pujian berkalikali
mendung akan berganti
dan wajahmu terang
jalan menjadi lempang
saling memuji
gugur duka
gugur sunyi
pada rahasia cinta
perjalanan misteri. (*)