Dari Perpustakaan HB Jassin ada begitu banyak pelajaran, bahwa perpustakaan tak melulu harus dengan konstruksi yang kaku apalagi angkuh, nilai estetik juga penting untuk membangun suasana. Setidaknya, Sabtu dan Minggu perpustakaan ini masih tetap buka dan melayani.
(Lontar.co): Siang itu, Sabtu (20/9/2025), atmosfer Jakarta yang padat saat akhir pekan, mengular sampai Perpustakaan Jakarta HB Jassin, tapi suasana dan udaranya jelas saling kontradiktif.
Di lantai empat yang riuh, terbelah dengan ruang buku koleksi umum, seratusan lebih anak-anak dengan riang menjelajah tiap rak buku, sebagian lainnya duduk dan diam pada satu titik, mencermati tiap kata dari buku yang mereka baca, berjajar, rapih sekaligus tenang.
Di sisi tengah ruang buku koleksi anak, hari itu, Karya Raya juga sedang menghelat story telling, lima buku anak yang lolos kurasi Karya Raya dan pilihan pembaca, salah satu buku yang dibacakan hari itu, adalah milik Moammar Raaga Bani Swastika, siswa sekolah dasar di Bandarlampung, satu-satunya dari Lampung, yang naskahnya juga berhasil lolos kurasi dari 1.800 naskah buku yang diseleksi.

Karyanya, Brani dan Lukisan Malamnya dibacakan bersama dengan Haya dan Putri dari Lingkar Baca Jakarta. Raaga lancar saja membedah proses kreatif pertamanya itu sampai tuntas.
Hari itu, Hans Bague seperti hidup kembali melalui semangatnya, seperti ketika ia susah payah membangun Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) Jakarta yang kemudian menjelma menjadi salah satu pusat dokumentasi sastra terlengkap yang ada di dunia, yang kemudian dikenal dengan PDS HB Jassin serta juga membangun keseluruhan ruh tentang perpustakaan itu sendiri, dari Perpustakaan Jakarta, dan kemudian menjadi Perpustakaan HB Jassin.
Mengukur Perpustakaan HB Jassin
Bahwa benarlah kiranya, perpustakaan adalah pusat peradaban kedua manusia setelah masjid, meski tak ideal karena hanya mengukur dari satu perspektif saja, tapi setidaknya diantara rimbunnya konstruksi pustakalaya di Indonesia yang kebanyakan hampir seperti artefak, Perpustakaan HB Jassin setidaknya masih ‘diziarahi’ oleh 4 ribu orang tiap akhir pekan, di hari Sabtu, di hari Minggu angkanya mungkin bisa lebih dari itu.
Dan melihat setiap orang masih memegang meski satu buku di tempat itu, rasanya sedikit lebih tentram. Dibanding Jakarta yang lainnya, mereka memang terasa seperti marginalia yang sengaja memilih menyisih, tapi sebenarnya mereka sedang menggenggam dunia itu sendiri.
Tiap-tiap ruang di perpustakaan ini, selalu saja ada orang-orang yang damai dengan bukunya sendiri, mengisi tiap ruang kosong tiap-tiap mereka, di sebaris jalan yang sebentar lalu pernah terasa begitu horor oleh amarah dari pongahnya aparat.
Melihat perpustakaan ini, tiap ruangnya, tiap detailnya, seperti mengenang kembali memori ketika HB Jassin membangun imajinya sendiri kala itu, akan pentingnya sebuah locus yang pada gilirannya menjadi lumbung kesusastraan, dengan bahkan menggunting tiap-tiap artikel-artikel sastra dari koran, dari majalah, dari apa saja, dengan tangannya sendiri.
Konstruksinya otentik, seperti menampung aspirasi tiap lapisan zaman, agar bisa terjangkau, seperti rumah sendiri; datang melepas sepatu, mencari buku, kemudian duduk dengan buku tertumpu pada meja-meja berwarna lembut yang seperti ranjang-ranjang yang damai, untuk beristirahat, setidaknya dari tekanan glorifikasi dunia.
Ada lebih dari 190 ribu koleksi buku yang terus dibarui setiap waktu, siapa yang ada di sana, selamanya tak akan pernah berhenti dalam gerak waktu yang dinamis, seperti rak-rak buku yang berjajar rapi, memanjang, sekali diberi jeda, ruang kosong yang terasa seperti gelombang, sekali datang, melandai, tapi sering kali kuat.
Jakarta yang keras memang terkadang selalu dilihat dari sisi hidupnya semata, padahal masih ada obyek-obyek yang meski sedikit, selalu menerima kehadiran siapa saja dengan lembut dalam bentuk lain dari Jakarta dari perspektif kepustakaan tentunya, bahwa semua sepakat, siapapun yang ada di sini, adalah orang atau kelompok orang yang terus berusaha membangun hidupnya dalam kedalaman ilmu untuk membangun nalar mereka.
Perpustakaan Kini
Yang lucu dari Perpustakaan HB Jassin adalah totalitas mereka sebagai ruang peradaban yang tetap saja ada kapan pun waktunya, termasuk di Sabtu dan Minggu, karena konsep ini, jelas terasa lebih lucu diantara kebanyakan perpustakaan yang memilih ‘mengistirahatkan dirinya’ di dua hari itu, sementara di lima hari lainnya, statistika pengunjungnya hanya dapat dihitung dengan jemari, perpustakaan ini beda, karenanya lucu.
Perpustakaan HB Jassin adalah anomali, ia justru bersemangat menampung orang-orang yang haus di dua hari itu, loker-loker penuh, lorong-lorong rak padat, kursi-kursi terisi, meja-meja selalu saja penuh dengan buku yang tertumpuk.
Entah ada yang salah dengan perpustakaan kini, rasa-rasanya keingintahuan tiap orang lebih terasa seperti sedang dibatasi oleh waktu, bahwa pengetahuan terasa hanya ada di hari kerja, sedang di dua hari lainnya, otak dipaksa beristirahat untuk berpikir terlalu keras.
Padahal, perpustakaan adalah ruang hidup untuk bertamasya ke banyak dimensi yang mengalir dalam satu tempat, yang memang terus dihidupkan sampai kapan pun, ia tak boleh dibatasi oleh waktu yang sementara, karena buku bahkan hidup melampaui ruang waktu yang amat jauh, melebihi dekade, kata-katanya terawat oleh waktu, yang kadang berputar, berbalik, tapi tak pernah diam, karenanya perpustakaan adalah ruang yang terus bertumbuh yang wajib menumbuhkan pikiran setiap orang.
Belajar dari Perpustakaan HB Jassin
Dalam perspektif kedaerahan, perpustakaan memang harus banyak dievaluasi secara serius, dalam banyak hal bahkan.
Perpustakaan bukan hanya dianggap sebagai entitas biasa yang biasa saja, dan orang-orang yang bekerja didalamnya harus punya kesepakatan, juga tanggung jawab.
Mereka bukan hanya sekedar menjaga buku, tapi juga menjaga pertumbuhan peradaban dari buku-buku yang mereka jaga itu sendiri, karena selama ini konsepsi seperti itu tidak pernah ada, perpustakaan dianggap kotak sampah buat yang terbuang, dan bekerja disana dianggap sebagai hal yang formal, buku pula dianggap sebagai hal biasa yang tak punya nyawa apa-apa sebagai benda dan kebendaan.
Belajar dari Perpustakaan HB Jassin, sebagai konstruksi peradaban ia berhasil membangun peradaban itu sendiri, melepas begitu banyak sekat pemisah apalagi untuk ukuran sebuah megapolitan sekelas Jakarta yang selalu saja kaku, perpustakaan ini jelas tak pernah gentar, tetap kokoh, membuka diri untuk siapa saja.
Dari Perpustakaan HB Jassin pula, setidaknya bisa jadi ukuran untuk perpustakaan lain kebanyakan, yang setidaknya tetap membuka diri, setiap hari. Waktu memang terbatas, tapi seharusnya ia tak punya kuasa untuk membatasi.
Perpustakaan memang hanya tentang rak-rak buku tapi idealnya tidak seperti itu, ia harus punya ruh untuk menggerakkan tiap orang menuju ke sana. Buku-buku di pustakalaya terawat dan tak akan pernah lapuk oleh rayap, sebaliknya ia makin menguat di pikiran tiap pembacanya.