“Seluruh hamparan bumi adalah masjid, kecuali kuburan dan tempat pemandian” (HR. Tirmidzi)
(Lontar.co): Di saat masjid terus tumbuh sebagai pusat ritual muslim, di saat yang sama pula manusianya sebagai muslim, sebagai makhluk sosial, runtuh…
Masjid masih dianggap sebagai bagian dari pelarian (eskapisme) kehidupan duniawi yang kompleks dengan masalah. Sementara yang lainnya memandang masjid sebagai prasasti, simbol kehadiran personal semata, untuk di puja-puja.
Maka kemudian muncul masjid-masjid yang condong eksklusif, untuk segmen, untuk kelompok hingga untuk prestise, padahal sejatinya masjid adalah rumah Nya, yang tak terbatas pada apa pun juga, yang disekat hanya pawestren—tempat ibadah untuk kaum perempuan, selebihnya tidak dan jangan pernah ada.
Hari ini masjid memang mengandung konotasi orang per orang, ia tak lagi murni sebagai hamparan suci untuk orang-orang bertemu dan mengadu kepada Allah, melainkan simbol puncak buat individu yang secara terang bermaksud riya’.
Adalah jamak ketika melihat masjid kini cenderung eksklusif, dimana, oleh siapa dan bagaimana. Masjid dibangun dalam keangkuhan superior tapi menghilangkan begitu banyak harapan orang lain lewat keyakinannya.
Allah tak hendak diistimewakan dalam bangunan-bangunan kaku yang angkuh dalam selimut-selimut material yang mahal, Allah itu sederhana, sesederhana pikiran dan konsep dari dzat Allah sebagai sebuah teologi proses untuk menciptakan segala sesuatu yang baik, bukan hanya iman tapi perangai dan tindak tanduk.
Islam melalui masjid bukanlah tempat untuk eskapisme atas segala kebobrokan dunia, karena Islam disampaikan oleh Rasulullah melalui konsep perubahan sosial yang tak sederhana dan bukan hanya meliputi jazirah tapi untuk seluruh makhluk yang hidup di bumi ini.
Seandainya, Muhammad menerima wahyu dan bersikap tak peduli dengan kehidupan sosial yang (awalnya) ada di sekitarnya, maka eskapisme pasti ada.
Dari wahyu-wahyu yang disampaikan Jibril kepada Muhammad atas perintah Allah, tatanan perubahan sosial ke arah yang lebih baik pun dibangun, meski perlahan dan mendapat perlawanan, tapi Rasulullah berhasil menyusun manuskrip Piagam Madinah, sebagai pondasi tentang aturan terhadap seluruh aspek kehidupan, hubungan antar suku, kebebasan beragama, hak dan kewajiban tiap warga termasuk sistem pemerintahan.
Di masa itu, Nabi Muhammad SAW sudah merumuskan garis aturan yang jelas dan kemudian menjadi inspirasi bagi konstitusi modern saat ini.
Sekarang, masjid di maknai sebagai simbol keberhasilan (duniawi) seseorang, dibuat dengan bermiliar-miliar uang, untuk menghasilkan kemewahan, sementara Sang Pemilik-Nya bisa saja enggan berada di sana.
Motif hamba yang seperti apa yang lebih memilih mendermakan sepersen kekayaannya demi menjulangnya menara-menara masjid, sementara di dekat matanya, masih banyak orang papa yang membutuhkan bantuan sekedar untuk bertahan hidup hari ini.
Aliran agama yang seperti apa yang dianutnya sehingga meyakini ibadah hanya sebagai ritual semata, sementara hubungannya sebagai makhluk sosial (habluminannas) hanya berjarak koma dalam hubungannya dengan Allah (habluminallah).
Nabi Muhammad tak hanya membawa misi menyembah Allah SWT semata, ia juga menjadi simbol pembebas belenggu-belenggu manusia yang jahil, dan sistem sosial yang kerap kali menindas.
Demikian Al-Qur’an sebagai wahyu, yang begitu banyak dalam ayat-ayatnya menitahkan umat manusia untuk saling terkait antar sesama manusia apalagi dengan kaum miskin, berdiri bersama mereka yang tertindas dan mengecam segala bentuk diskriminasi ras dan strata sosial.
Umat akhir zaman cenderung jauh dari sikap dan sifat kesalehan sosial dan hanya melingkupi dirinya dengan kesalehan ritual, padahal Islam adalah universal, yang mengajarkan cara hidup, cara pandang dan cara laku tiap-tiap insannya.
Muslim yang seperti apa yang tak peduli terhadap lingkungan sosialnya sekalipun keningnya setiap panggilan waktu menempel di tanah.
Ada kecenderungan pula, Islam terus terjebak dalam simbolisasi masjid-masjid yang besar dan megah, yang dibangun dengan ambisi dan enggan untuk melihat orang-orang kecil yang hidupnya makin susah. Sementara Allah dekat dengan mereka-mereka yang nestapa, kalah dan dikalahkan, kenapa tak mengejarnya kesana.
Keberislaman seseorang yang mampu, hanya dipandang dari seberapa mewah masjid yang ia bangun, bukan soal keterbukaan nuraninya terhadap manusia lainnya yang hidup dalam kemiskinan, sementara kepekaan sosial menjadi dimensi yang paling penting dalam ajaran Islam itu sendiri.
Pembangunan masjid-masjid yang dibuat semegah mungkin dalam banyak hal kerap kali menjadi momen kontestasi sebagai ekspresi dari dorongan personal yang secara tersirat menjadi kolektivitas ambisi, untuk mempertahankan eksistensi tentang nama, keluarga, tentang riwayat dan apa saja yang menyangkut identitas secara personal, tapi bukan masjid yang dibentuknya.
Karenanya, Kuntowijoyo dalam Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, menyebut masjid lebih mirip stanplat bus—tempat pemberhentian bus, dalam konteks ini, masjid hanya dilihat sebagai ritual yang rutin; datang, berwudhu, shalat kemudian pulang.
Sebagai stanplat, ia lebih seperti ritme aktivitas biasa yang harus dijalani sebagai kewajiban, tak ada semangat sosial, entah pada konsep ini dorongan personal kemudian (mungkin) berusaha hadir dalam sekat antara ritme dan semangat itu.
Setiap waktu pula, masjid terus mengalami pergeseran, ia hanya berdiri sebagai ibadah an sich, tak ada ruang diskusi, interaksi sosial, seperti ketika Rasulullah membangun Masjid Nabawi yang menjadi pusat untuk berbagai dimensi kehidupan yang tak melulu bicara tentang nilai-nilai keagamaan.
Pada masa lalu, konsep Rasulullah terhadap fungsi masjid masih lestari, kita kemudian mengenal Masjid Al Anwar di Telukbetung yang menjadi pusat perlawanan sekaligus gerakan ulama dan pejuang untuk melawan penjajah.
Pada waktu itu bahkan, masjid tak semegah seperti sekarang, ia hanya berupa surau-surau kecil yang temaram, berdinding geribik berlantai tanah, sesederhana itu, kekhusu’an dan perlawanan itu dibangun dengan efektif.
Masjid postkolonialisme yang ideal seharusnya menjadi pusat gerakan perubahan sosial dan ekonomi, melalui infaq-infaq yang dihimpun untuk kemudian disalurkan kepada mereka yang berhak, bukan terus menerus diendapkan untuk membangun dan meluaskan masjid sebagai simbol yang pada akhirnya menjadi kaku dengan kemegahannya.
Kita kemudian mengenal Masjid Jogokariyan di Jogjakarta atau Masjid Sejuta Pemuda di Sukabumi yang menjadi pusat kehidupan umat, yang jauh lebih ‘hidup’ dengan interaksi sosial yang menggema tanpa sekat keyakinan maupun ras.
Yang salah tentang masjid pada hari ini adalah, masjid (dianggap) hanya bisa dibangun oleh mereka yang merasa pemenang saja. Padahal, hidup bukan cuma soal dunia dan keduniawiannya, karena nama seperti debu yang bisa dan mudah pergi begitu saja ketika ruh diminta kembali oleh pemilik-Nya.
Ruang-ruang sosial dirobohkan. Tempat dimana semua orang bertemu, tersenyum dan bertegur sapa, hilang begitu saja menjadi bangunan kaku yang tak pernah selesai memori kenangannya.
Anak-anak yang dulu bebas berlari kesana kemari di sudut yang hanya sepetak ikut pula roboh bersama kenangannya, tak membekas melainkan pada paku-paku beton yang keras kokoh itu.
Masjid seharusnya otonom, tak bergantung pada kelompok atau personal apapun dalam konteks nilai apapun pula. Sebagai rumah Allah, ia bukan hanya bicara tentang ritual tapi simbol agama berciri sosial yang seharusnya paling kuat untuk menyebar sebagai rahmat.
Seperti kata Cak Nun, masjid ada dua; satu ruh yang lainnya badan. Tapi terkadang dan kebanyakan masjid dibangun dengan keangkuhan, mengorbankan ruh dan badan orang lain yang dihilangkan begitu saja. Lepas nurani demi kesombongan keyakinan.
Hamparan bumi Allah ini adalah tempat kening sujudmu bertemu dengan kemahaa-Nya, tapi di saat yang sama riya’ mu berani menyelisihi takdir-Nya.
Kodrat manusia adalah makhluk yang hidup dari orang lain. Ia adalah konsep sedekah dalam wujud hablumminannas. Sebuah konsep relativitas tiap-tiap kita yang bernyawa untuk melepas katarsis diri menjadi ukuwah, pada sosok-sosok yang kemudian disebut sebagai beriman.
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita…
(Seribu Masjid Satu Jumlahnya: Emha Ainun Nadjib, Puisi Khilafah 1987)