Balada Pilu Media, Masih Pula Diminta “Belah Semangka”

0 Comments

Balada Pilu Media, Masih Pula Diminta “Belah Semangka”

0 Comments

Betapa menterengnya pamor pers di Indonesia. Disanjung pelabelan sebagai pilar keempat demokrasi. Hari Pers Nasional pun diperingati dan senantiasa dihadiri presiden. Tapi selepas itu, pers (perusahaan media) dibiarkan berjibaku menentukan nasibnya sendiri. Tidak ada insentif sama sekali. Nasib perusahaan media tidak semujur mobil listrik made in China.

Publik mungkin masih teringat dengan tayangan yang memperlihatkan presenter televisi swasta sesunggukkan menahan tangis sambil pamit pada pemirsa di penampilan terakhirnya. Dia bersama puluhan, bahkan ratusan rekan kerjanya, terimbas kebijakan perusahaan yang terpaksa menerapkan efisiensi, perampingan awak media.  

Nyaris beriringan dengan peristiwa tersebut, tidak sedikit bisnis media yang juga bergelimpangan, dan banyak jurnalis yang hatinya remuk redam. Profesi mereka mendadak diamputasi. Dalam sekejap mata pencarian mereka raib. Mau pindah kerja ke media lain juga bukan hal mudah. Lantaran banyak perusahaan media pun memberlakukan hal yang sama; efisiensi.

Di tengah kepanikan, tidak sedikit di antara mereka yang kemudian berhimpun dalam kelompok-kelompok kecil dan berinisiatif membuat website berita. Selain berupaya menyambung hidup bagi diri dan keluarganya, upaya ini diharap bisa memenuhi passion mereka untuk tetap berkiprah di dunia jurnalistik.

Namun, membuka portal berita juga bukan perkara mudah. Terutama bagi yang menerapkan model perusahaan media secara profesional yang di antaranya ditandai dengan keberadaan awak redaksi dan personil di bidang usaha.

Karena melibatkan karyawan di dalam kegiatannya, sudah barang tentu mesti mendistribusikan insentif kepada karyawan. Di sini persoalan besar mulai menampakkan batang hidungnya.

Terlebih pada era disrupsi digital seperti sekarang, persaingan terberat media digital bukan semata berkompetisi dengan media-media berita serupa lainnya. Melainkan justru menghadapi agresivitas media sosial yang dikelola tidak seketat media pers.

Celakanya lagi, porsi kue iklan lebih cenderung dibagikan pada konten kreator media sosial. Sementara media pers, kalau pun kebagian, hampir bisa dipastikan hanya peroleh remah-remahnya saja.

Arogansi Platform Digital

Balada perusahaan media digital yang tersaruk-saruk, makin diperberat dengan ulah platform digital, seperti Google dan Meta. Peran mereka semakin dominan dalam mendistribusikan konten sesuai minat audiens.

BACA JUGA  Dana Komite di Lampung Dihapus, Kepala Sekolah Meriang Kepingin Balik “Menyerang”?

Tak heran bila jangkauannya bisa sangat luas. Ketersebaran yang luas dan presisi dalam menyasar calon konsumen inilah yang membikin pemilik produk (industri) lebih demen beriklan di platform mereka.

Hanya saja penambahan jumlah audiens dan iklan tersebut, tidak serta merta meningkatkan pendapatan bisnis perusahaan pers. Media yang memproduksi berita (konten) justru mendapat bagian keuntungan paling kecil dibanding profit Google dan Meta selaku makelar.

Untuk memberontak, posisi tawar media di Indonesia masih sangat lemah di hadapan pihak platform digital. Sebab, tidak bisa dipungkiri, untuk mendistribusikan berita-berita atau konten yang mereka produksi masih sangat tergantung pada infrastruktur yang dikuasai Google dan Meta (facebok dan instagram).

Benar, dalam konteks ini, pemerintah terlihat turun tangan untuk membantu. Itu ditunjukkan dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) No.32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas (Publisher Rights).

Maksudnya, pemerintah berupaya memberikan jaminan atas keadilan ekonomi dalam distribusi konten di platform digital. Harapannya, kalau ini berhasil setidaknya pembagian keuntungan antara publisher (media) dengan Google dan Meta bisa lebih proporsional. Tapi sampai tulisan ini dibuat, belum ada titik terang secara konkrit dari implementasi Publisher Rights tersebut.

Artinya, sampai sekarang media/pers masih harus terus berjuang sendiri untuk mempertahankan eksistensinya. Lantas di mana posisi pemerintah?

Kalau melalui regulasi Perpres 32 pemerintah meminta platform digital bertindak adil, apakah pemerintah -baik di level nasional dan pemerintahan daerah- sudah menunjukkan sikap adil atau kepeduliannya terhadap nasib perusahaan pers. Apakah ada insentif khusus dari pemerintah untuk perusahaan media pers?

Yang ada malah perusahaan media terus dikuntit, untuk tidak menyebut dikejar-kejar, petugas kantor pajak. Sudahlah pemasukan terus mengecil sementara biaya produksi tak bisa lagi diminimalisir. Lalu masih harus mendistribusikan insentif kepada karyawan. Dalam hal ini perusahaan media turut meringankan beban pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi anak bangsa. Lantas dimana keberpihakan konkrit pemerintah terhadap perusahaan media?

BACA JUGA  Stereotip Identitas Perantau Asal Lampung di Jakarta dan Falsafah Otak, Otot, Ngotak, Ngotot 

Belum lagi, melalui berbagai regulasi dan ketentuan Dewan Pers, perusahaan media harus menjalankan berbagai kewajiban yang tidak bisa dibilang ringan. Perusahaan media harus terverifikasi administrasi dan verifikasi faktual. Untuk memenuhi ketentuan ini saja tidak kecil biayanya.

Lalu awak redaksi mesti melewati berbagai standarisasi kompentensi melalui saringan Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Mulai dari level muda, madya hingga utama. Dan, lagi-lagi, untuk bisa melewatinya bukan hal gampang dan tidak murah.

Sementara setelah semua itu terpenuhi, lantas apa yang diperoleh perusahaan media pers dan individu jurnalis?

Seberapa Penting Pers di Mata Negara

Seperti yang sudah disampaikan pada awal tulisan ini. Jurnalis dan perusahaan media/pers mesti berjibaku sendiri untuk menentukan nasibnya. Penentu untuk tetap bisa survive atau terlempar ke luar bidang jurnalistik ada di tangan masing-masing. Alangkah mirisnya nasib martir pilar keempat demokrasi di negeri ini.

Tapi mungkin ada yang menanggapi sinis pemaparan pada tulisan ini dengan menyoal mengapa begitu lembek mental jurnalis atau perusahaan media pers, sampai harus meminta-minta uluran tangan pemerintah dalam bentuk insentif.

Pertanyaan ini akan lebih menarik bila dikaitkan dengan konteks kerja sama pemberitaan atau publikasi dengan pemerintah (pusat maupun daerah) yang selama ini sudah terjalin dengan perusahaan media pers. Apa masih kurang?

Iya, masih SANGAT KURANG, bahkan tidak tepat sasaran.

Silakan tengok anggaran yang ada pada APBD pemerintahan daerah yang dialokasikan untuk kerja sama dengan perusahaan media. Apakah sebanding dengan tugas berat yang disandang pers sebagai pilar keempat demokrasi? Belum lagi pers yang dituntut menjalankan tiga fungsi utamanya untuk mengedukasi, menginformasikan, sekaligus menghibur. 

Dalam ranah ini, media massa disebut-sebut memiliki peran krusial dalam menyediakan informasi yang akurat dan mendidik, serta memberikan hiburan yang sehat. Dengan tugas seberat itu mengapa masih ada pemikiran perusahaan media tidak pantas meminta insentif yang layak dari pemerintah?

(Ilustrasi: Lontar.co)

Sedangkan untuk urusan mobil listrik buatan China yang jelas-jelas bersifat konsumtif dan hanya menyasar kepentingan kalangan tertentu, pemerintah sampai rela “menyingsingkan lengan baju” untuk membantu.

BACA JUGA  Riwayat Intoleransi di Bandarlampung 

Pada tahun 2024, pemerintah cepat tanggap merespon mobil listrik China yang ingin masuk ke Indonesia. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2024 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.010/2022 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.

Melalui regulasi itu, impor kendaraan bermotor listrik berbasis baterai diberikan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen). Pengenaan tarif ini diberlakukan hingga 31 Desember 2025.

Dikutip dari media Kontan, insentif dalam bentuk pembebasan bea impor mobil listrik CBU tersebut menciptakan gelombang tsunami di pasar Indonesia. Data Gaikindo pada tahun 2023 menunjukkan, mobil listrik yang diimpor secara CBU hanya sejumlah 2.807 unit saja. Namun pada Oktober 2024 data menunjukkan, sudah ada 12.536 unit mobil listrik yang diimpor dalam kondisi CBU atau naik sekitar 347 persen dari impor tahun lalu.

Artinya, keringanan impor yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia saat ini cenderung memberikan keuntungan lebih besar bagi produsen China.

Mengapa uluran tangan serupa tidak kunjung diberikan pemerintah kepada perusahaan media/pers?

Alih-alih memberi insentif tambahan, tidak sedikit aparat pemerintah yang malah mengambil manfaat dari sebentuk kerja sama dengan perusahaan media pers. Misalnya, dengan meminta “belah semangka” kepada perusahaan media yang ditawari kerja sama publikasi.

Kalau perusahaan media tidak bersedia membagi dua nilai kerja sama, maka ganjarannya kerja sama akan dialihkan ke perusahaan media lain yang bersedia dijadikan “sapi perahan”.

Ironisnya, kalau praktik “kompeni” semacam itu digugat oleh media, oknum aparat pemerintah justru memainkan lakon Playing victim. Seakan justru menjadi korban atas arogansi media massa.

Yang paling menyakitkan bila sesama media malah menunjukkan keberpihakan kepada si oknum dan justru turut menyudutkan media yang hanya ingin menegakkan haknya.

Kalau sudah begini, maka tak heran kalau nasib media tidak pernah lepas dari balada memilukan. Karena urusannya masih sependek urusan sejengkal perut untuk sekadar survive.(*)

 

Further reading