eksploitasi anak

Selamat Ulang Tahun Bandarlampung, Kota Layak Anak yang Masih Banyak Eksploitasi Anaknya

eksploitasi anak
Seorang ibu di persimpangan Jalan Sultan Agung, Way Halim membawa dua anaknya untuk mengemis. Foto: Meza Swastika

Selamat Ulang Tahun Bandarlampung, Kota Layak Anak yang Masih Banyak Eksploitasi Anaknya

Masih banyak persoalan serius yang melingkupi Kota Bandarlampung di saat usianya yang sudah 343 tahun, salah satunya adalah soal maraknya eksploitasi anak yang terus terjadi di sejumlah ruas jalan di Kota Bandarlampung, padahal kota ini pernah dinobatkan sebagai kota layak anak.

(Lontar.co): Udara panas bercampur debu dan asap knalpot membuat bayi perempuan berusia kurang dari lima tahun itu terus menangis di gendongan ibunya. Wajah mungilnya terlihat tak nyaman, beberapa kali pula ia seperti meronta.

Sementara sang ibu tak menghiraukannya. Perempuan muda itu terus saja menengadahkan tangannya dan beralih dari satu mobil ke mobil lainnya di irisan Jalan Sultan Agung dan Ki Maja, Way Halim.

Di dekatnya, di atas median jalan, seorang anak laki-laki berusia 10-an tahun terlihat kelelahan, matanya lamat-lamat makin sayu menahan kantuk, di pangkuannya, sebuah topi badut besar berwarna merah yang ukurannya melebihi tubuhnya yang kurus.

Keringat pula, terus mengalir dari sela-sela kulit kepala yang membanjiri kening dan rahangnya yang keras.

Sesekali ia juga terlihat seperti tengah dimarahi oleh ibunya yang sedari tadi sibuk menghitung gumpalan uang dua ribuan di tangannya.

Di seberangnya, ada Dina (12) penjual tisu di lampu merah Jalan Ki Maja yang sudah sejak usia 9 tahun ‘menetap’ di persimpangan itu dari pagi hingga sore. Sejak kecil, ia memang sudah dibesarkan oleh jalanan bersama sang kakak.

Setidaknya sudah tiga profesi yang ia jalani, dari yang awalnya mengemis, berjualan tisu hingga menjadi pengamen.

Tubuhnya kecil dan ringkih, kulitnya juga sudah tak lagi cerah, jilbab yang ia kenakan juga sudah semakin lusuh.

Di tempat lain, hanya berjarak kurang dari 2 kilometer, di bawah flyover Mall Boemi Kedaton, pria hampir paruh baya itu meng-iba pada siapa pun yang melintas.

BACA JUGA  Ketika Jalan di Bandarlampung Dikuasai Sekelompok Orang 

Ia tak sendiri, ada anak kecil, usianya mungkin di bawah 10 tahun, yang selalu diam saja di atas pangkuannya. Tak bicara, tak juga bergerak. Tapi, dari matanya ada tekanan luar biasa yang membuatnya harus seperti itu.

Di lampu merah menuju Terminal Rajabasa, ada pula Indah (12) pengamen yang harus bekerja dari pagi hingga sore hari, mengais iba dari pengendara.

Pergaulannya cenderung bebas. Ia seringkali santai menghisap rokok bersama anak-anak seusianya yang lain, saat lampu sedang hijau.

Indah tak pernah sekalipun mencicip bangku sekolah, ia juga sama sekali tak punya keinginan untuk sekolah.

“Kalau disuruh sekolah, yang nyari duit untuk ibu siapa,” katanya polos.

Kemudian di Bundaran Rajabasa, Rio (9) yang seperti sedang bermain-main dengan maut.

Ia semaunya, berlari ke tepi maupun ke tengah jalan, meski truk-truk muatan dari arah Natar melintas kadang dengan kecepatan tinggi.

Di persimpangan Jalan Urip Sumoharjo yang beririsan dengan Jalan Soekarno-Hatta juga begitu.

Ada dua orang anak kecil yang tubuhnya dilumuri cat berwarna silver yang dicampur dengan minyak jelantah. Baunya menusuk, tapi anak-anak itu tak peduli, mereka tetap meminta-minta di persimpangan yang padat itu.

Di Bandarlampung, eksploitasi anak sudah menjadi pemandangan kota yang lazim. Tak ada yang peduli, tak ada pula petugas yang bertindak. Lucunya, kota ini pernah dinobatkan sebagai kota layak anak tahun 2024 lalu.

Itu belum termasuk kasus kekerasan terhadap anak yang tidak terdata dan yang berhasil diungkap polisi. Bagaimana pula dengan kasus siswa SMK yang terjatuh dari atas mobil crane saat memperbaiki lampu jalan flyover yang menguap begitu saja.

BACA JUGA  Kekeliruan dalam Memahami Pi’il Pesenggiri

Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dirumuskan untuk menjamin sepenuhnya hak anak dan perlindungan khusus anak yang dilakukan secara menyeluruh dengan tujuan utama melindungi hak anak, hak tumbuh kembangnya, haknya untuk memperoleh pendidikan dan haknya untuk hidup.

Tapi faktanya, sebagai peraih Kota Layak Anak (KLA) kategori Nindya, eksploitasi anak di Bandarlampung begitu masif. Dan sekarang, kota ini sedang mengejar predikat kota layak anak dari nindya ke utama, tapi mereka malah melupakan dan menutup mata terhadap obyek yang sedang mereka incar.

Padahal, kota ini juga punya tim gugus tugas kota layak anak yang pembentukannya diinisiasi langsung oleh walikotanya.

Kenyataannya, pemerintah kota tak pernah benar-benar berniat untuk membangun kota yang bebas dari eksploitasi anak, kecuali hanya untuk mengejar predikat semata.

Ketidakpedulian pemkot terhadap anak-anak di bawah umur yang dipaksa bekerja ini pula yang membuat orang tua yang seharusnya bertindak melindungi, tapi justru memaksa anaknya bekerja, dengan dalih ekonomi.

Seperti yang terjadi Februari 2025 lalu, seorang ibu dengan santai melumuri tubuh anaknya dengan cat minyak berwarna silver yang kemudian viral, meski sempat diburu oleh petugas Pol-PP, tapi hanya sesaat, setelahnya ia dan anaknya masih leluasa.

Realitas pilu ini seringkali luput dari pemerintah, anak-anak yang selayaknya bisa menikmati masa kecil dipaksa untuk menghadapi tantangan kerasnya hidup di jalanan yang tak jarang membentuk karakternya di masa depan, menjadi lebih liar dan cenderung tersangkut pada kasus-kasus kriminalitas di usia yang masih amat dini.

Seperti Indah, meski mengaku masih memiliki orang tua, tapi ia lebih suka bermalam di Terminal Rajabasa, bersama dengan sejumlah anak jalanan lain, mereka hidup dan tidur bersama dengan bebas, di emper-emper loket bus,”pulang cuma kasih duit ke ibu, terus begadang di terminal”.

BACA JUGA  Bom Waktu Itu Bernama Silent Treatment

Indah dan juga banyak anak jalanan lainnya di Bandarlampung rentan dengan ancaman lain eksploitasi kekerasan hingga seksual antar sesama anak jalanan maupun orang dewasa. Indikatornya, Indah sudah mulai mengenal rokok, ia juga mengaku pernah menghisap lem aibon.

Anak-anak jalan yang juga rantai kemiskinan kota di tengah embel-embel kota layak anak menjadi indikator lemahnya pengawasan, sementara status kota layak anak hanyalah predikat semu yang tak diiringi dengan tindakan.

Kemiskinan ekstrem hingga indikasi perdagangan anak yang bersifat semu, baik oleh orang tua secara langsung maupun oleh orang lain kini menggejala pada anak yang tak punya kemampuan untuk mengendalikan diri mereka apalagi di tengah himpitan ekonomi.

Sementara pemerintah Kota Bandarlampung, selepas gegap gempita kota layak anaknya selesai, berusaha menormalisasi keadaan dan justru menjadikan anak-anak ini sebagai ciri sebuah kota yang dianggap besar, dengan kompleksnya permasalahan sosial.

Eksploitasi anak adalah indikasi serius hilangnya masa depan sebuah bangsa yang jika dibiarkan dan diakumulasi terus-menerus maka akan mempengaruhi masa depan kota yang riuh oleh masalah-masalah sosial yang tak terurai.

Eksploitasi anak juga makin tersisih mana kala pemimpin kota cenderung mengedepankan ambisi pribadinya daripada tanggung jawabnya terhadap masalah sosial yang melingkupi warga kota.

Eksploitasi anak sampai hari ini masih terjadi di Bandarlampung, kota layak anak yang dipimpin justru oleh permimpin yang selama ini selalu bangga dengan sebutan bunda…

Further reading