Bahasa Lampung, di Tepi Jurang Terancam Punah?

0 Comments
Melestarikan tradisi Lampung, termasuk bahasanya, harus dipastikan terus berlangsung. (Ilustrasi: Lontar.co)

Bahasa Lampung, di Tepi Jurang Terancam Punah?

0 Comments

“Apa benar bahasa Lampung terancam punah, Mbak?” tanya seorang teman. Kami sedang duduk di salah satu sudut gedung Nuwo Baca Zainal Abidin Pagaralam, Bandar Lampung. Menikmati empuknya kursi berwarna cokelat, sesekali menjawab beberapa sapa petugas yang lewat. Suasana siang yang nyaman walau di luar terlihat matahari cukup menyengat.

(Lontar.co): Saya menganggukkan kepala dengan pilu. Berdasarkan data dari Badan Bahasa Kemendikbud tahun 2022, memang ada 139 bahasa daerah yang nyaris punah, termasuk bahasa Lampung.

Teman saya itu, sebut saja Manggis, awalnya kurang sependapat. Menurutnya bahasa Lampung tidak akan punah karena di kampung-kampung dan pelosok, hampir semua masyarakatnya masih aktif menggunakan bahasa yang memiliki dua puluh aksara itu.

“Tapi kalau makin lama anak-anak muda banyak yang ke luar dari kampungnya, bisa jadi sih bahasa Lampung akan punah walau sepertinya tak mungkin pula dalam waktu dekat ini. Ratusan tahun lagi, barangkali,” lanjutnya pelan.

Perbincangan kami tak selesai karena saya harus segera pulang, dan Manggis harus ke suatu tempat untuk meliput berita.

Bimtek Kepenulisan Berbasis Konten Budaya Lokal

Hari itu, Senin, 14 Juli 2025, saya dan Kak Fitri Anggraini dipercaya menjadi narasumber mendampingi Pak Riski Sofyan, yang pada 23 Juni 2023 lalu dilantik menjadi Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Lampung.

Dalam sambutannya, beliau menyampaikan dua hal penting, yaitu kekhawatiran dan pengharapannya yang besar terhadap keberlangsungan bahasa dan budaya Lampung.

“Kita berharap, kegiatan ini mampu menggerakkan semangat berkarya dan melahirkan tulisan berbasis budaya Lampung dalam berbagai versi, baik esai, cerpen, maupun puisi. Semoga semangat ini menular dan menjalar ke berbagai lapisan sehingga budaya Lampung akan abadi dan bisa diwariskan ke anak cucu.”

BACA JUGA  Mengapa Walikota Bandarlampung Bungkam Perihal Indikasi Pemalsuan Data Kembarannya?

Pak Riski juga merespons tulisan saya tentang Pi’il yang sering disalahartikan maknanya (https://lontar.co/kekeliruan-dalam-memahami-piil-pesenggiri). Menurut beliau, sudah saatnya kita semakin gencar mengedukasi bahasa daerah agar generasi muda tidak salah sikap dan langkah. Jujur, sebagai kontributor Lontar.co, kami merasa tersanjung. Terima kasih, Pak.

“Hal yang tak kalah penting adalah fakta bahwa tingkat literasi kita masih rendah. Adalah tanggung jawab kita bersama untuk memperbaiki keadaan ini. Pemerintah, akademisi, penulis, pegiat literasi, pun masyarakat. Kita semua harus bersinergi. Tak peduli apa latarbelakangnya. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” lanjut Pak Riski tegas.

Saya teringat pengalaman beberapa tahun belakangan ini ketika mengikuti kegiatan-kegiatan literasi di luar kota. Saya selalu mengaku orang Lampung keturunan Minang. Namun, ketika ditanya bahasa Lampung, saya hanya bisa tersipu pilu. Lah, yang saya tahu hanya sekadar panggilan-panggilan dan kalimat sapa alakadarnya. Bagaimana mau menjawab yang lainnya.

Tersebab itu, saya mendaftar kelas daring bahasa Lampung yang digagas oleh Udo Z. Karzi dan Rilda Taneko. Di kelas itu, kami belajar kosa kata tematik dan beberapa percakapan sederhana. Materi dipaparkan dengan sangat jelas dan disertai contoh serta praktik. Beberapa kali pertemuan, alhamdulillah ada pelajaranyang nyangkut di kepala.

Merasa masih kurang, saya ikut kelas sesi kedua. Ini lebih menantang karena kami juga diarahkan melakukan percakapan bahasa Lampung. Ucapan yang salah, langsung diperbaiki. Siapa yang paling sering kena teguran sayang? Saya, hihihi.

Apalagi pengucapan ‘gha’ dan ‘kha’. Rasa-rasa ada yang tersangkut di tenggorokan.

Namun, di balik tantangan itu, saya merasa bersyukur dan bangga. Bangga pada mereka yang berdedikasi penuh terhadap pelestarian bahasa Lampung, juga pada para peserta yang berasal dari berbagai suku dan mau mempelajari bahasa yang memiliki dua dialek ini.

BACA JUGA  Merenung Menatap Bakung

Bersyukur karena bisa belajar bahasa Lampung dengan cara yang menyenangkan. Apalagi grup Whatsapp-nyamasih aktif hingga sekarang, Cawa Lappung.

Minimnya Jumlah Penutur Muda

Kembali lagi ke bahasan bahasa Lampung yang dinyatakan terancam punah. Ada beberapa alasan yang memungkinkah hal itu bisa terjadi.

Pertama, bahasa Lampung dipakai untuk kalangan internal saja. Ada keengganan untuk memunculkan bahasa, atau setidaknya istilah-istilah Lampung, ke dalam percakapan sehari-hari. Ini bisa jadi karena memang tak mau memopulerkan, atau merasa malu. Justru yang sering yang dimunculkan hanya cengkoknya saja yang sayangnya malah dijadikan bahan candaan.

Kedua, minimnya penutur dari golongan muda. Tahun 2023, saat saya mengikuti Bimtek Penulisan Buku Cerita Anak Dua Bahasa yang digagas Balai bahasa Provinsi Lampung, hanya tercatat dua lelaki muda yang menjadi penutur. Selebihnya adalah para sepuh yang sudah jelas tak diragukan lagi kelampungannya.

Ketika saya tanya mengapa, dengan logat kentalnya seorang penutur senior menjawab, “Anak-anak muda di pekon saya sudah pada merantau, Mbak. Biarlah mereka ke luar kampung, asal tetap jaga nama baik dan pulang nanti nggak lupa adat.”

Ketiga, faktor multikultural. Di satu sisi, keberagaman budaya mengindikasikan kekayaan bangsa. Pada bagian lain, jika penggunaannya tak proporsional, akan mengakibatkan sebagian budaya menjadi minoritas, bahkan di daerahnya sendiri. Ini yang dialami Lampung sebagai provinsi yang terbuka secara pemikiran juga wilayah.

Keempat, rendahnya rasa kepemilikan (sense of belonging) sebagian pendatang terhadap Lampung. Tak mau mempelajari Lampung dan parahnya lagi tak peduli apa yang terjadi di tanah kelahiran ini selama masih bisa hidup nyaman, aman, damai, dan sejahtera.

BACA JUGA  Dana Komite di Lampung Dihapus, Kepala Sekolah Meriang Kepingin Balik “Menyerang”?

Agar Bahasa Lampung Tak Terancam Punah

Untuk itu, kiranya perlu formula yang tepat untuk mengatasi terancam punahnya bahasa Lampung. Satu, belajar menggunakan bahasa Lampung dalam percakapan sehari-hari, setidaknya menyelipkan beberapa diksi Lampung bagi yang belum bisa berbahasa Lampung.

Dua, meningkatkan sosialisasi dan praktik nyata payung hukum penggunaan bahasa Lampung di berbagai sektor dan satuan pendidikan.

Tiga, menciptakan bahan bacaan bahasa dan aksara Lampung sesuai perjenjangan buku. Misal, buku pelajaran Bahasa Lampung untuk kelas satu sekolah dasar, harus berwarna dan tidak berbentuk kalimat panjang, baik aksara maupun kata.

Berdasarkan pengamatan dan obrolan dengan para guru, buku cetak Bahasa Lampung untuk SD kelas bawah, didominasi dengan aksara yang menjejal. Hal ini tentu tidak menarik minat anak-anak untuk mendekat, apalagi mempelajari.

Empat, menguatkan sinergi antar pemangku dan pelaksana kebijakan, seperti Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, Balai Bahasa Provinsi Lampung, lembaga adat, komunitas, pegiat literasi, dan akademisi. Revitalisasi bahasa yang semakin masif dilakukan akhir-akhir ini, diharapkan akan menjadi penerang dalam gelapnya keberlangsungan bahasa Lampung.

Sebagai provinsi yang memiliki aksara, Lampung merupakan aset bangsa yang sangat berharga. Beragam budaya sejatinya membuat kita bangga menjadi bagian dari nusantara ini.

Saatnya lebih aktif melestarikan dan menginternalisasikan bahasa Lampung ke dalam berbagai sektor kehidupan. Bahasa Lampung bukan sekadar penghubung. Ia adalah kekayaan yang wajib dijunjung. (@FR)

(Fitri Restiana, penulis)

 

Further reading

  • rampai

    Pada Rampai (Seharusnya) Kita Berjaya

    Sambal Lampung itu otentik, justru karena rampainya. (Lontar.co): Suatu ketika, dalam kontestasi memasak, Chef Renatta pernah mengomentari sambal buatan salah satu peserta yang menurutnya tak punya sensasi apa-apa kecuali pedas,”akan lebih berkarakter jika diberi tomat ceri,” kata Chef Renatta. Tomat ceri yang dimaksud Chef Renatta merujuk pada entitas buah rampai yang amat melimpah di Lampung. […]
  • Gitar yang Belum Punya Nama

    Dino, mahasiswa semester tiga di sebuah kampus negeri, duduk termenung di sudut warung kopi. Kopi hitamnya sudah dingin, tapi uap resah dari dalam dirinya masih hangat. Di antara denting sendok pengaduk dan suara motor lewat, dia mendengar getar suara hati, “Kapan aku bisa punya gitar sendiri?” Dino bisa bermain gitar, tapi tidak memiliki gitar. Sejak […]
  • Bahasa Lampung, di Tepi Jurang Terancam Punah?

    “Apa benar bahasa Lampung terancam punah, Mbak?” tanya seorang teman. Kami sedang duduk di salah satu sudut gedung Nuwo Baca Zainal Abidin Pagaralam, Bandar Lampung. Menikmati empuknya kursi berwarna cokelat, sesekali menjawab beberapa sapa petugas yang lewat. Suasana siang yang nyaman walau di luar terlihat matahari cukup menyengat. (Lontar.co): Saya menganggukkan kepala dengan pilu. Berdasarkan […]