Kekeliruan dalam Memahami Pi’il Pesenggiri

0 Comments

Kekeliruan dalam Memahami Pi’il Pesenggiri

0 Comments

Piil Pesenggiri merupakan falsafah hidup masyarakat Lampung yang berarti sikap pantang menyerah dalam mempertahankan harga diri, martabat, dan kehormatan.

Pi’il berasal dari kata bahasa Arab –fi’il, yang berarti perangai atau tingkah laku. Ada lima prinsip dalam Pi’il Pesenggiri yang sejatinya dipegang teguh terutama oleh masyarakat Lampung, yaitu Pi’il Pesenggiri(kehormatan), Juluk Adek (gelar adat), Nemui Nyimah (ramahtamah), Nengah Nyappur (sikap berbaur), dan Sakai Sambayan(gotong royong).

Secara sederhana, Pi’il adalah upaya menjaga dan melindungi harga diri dan martabat keluarga dari tindakan-tindakan yang merugikan dan berpotensi mencoreng nama baik.

Sebagai falsafah hidup, Pi’il Pesenggiri mempunyai kekuatan mengikat untuk ditaati dan dipatuhi. Ia bukan saja berfungsi sebagai rambu, melainkan juga sebagai media pemberian sanksi sosial dalam masyarakat.

Namun, akhir-akhir ini defisini Pi’il menjadi kian kabur dan samar. Banyak yang menyalahartikan bahwa Pi’il sekadar nilai dan mendefinisikannya hanya sebatas gengsi, bukan sesuatu yang harus dipatuhi secara sadar dan bertanggungjawab.

Sebagai contoh. Seorang perempuan muda bersungut-sungut ketika ibunya menyuruh ke pasar. “Lah, Bu. Masa aku disuruh belanja ke pasar tempel yang becek? Bagaimana nanti kalau ketemu teman kantor? Aku ini kan wanita karir. Pi’il, geh!”Sang gadis menganggap bahwa permintaan ibu bisa menjatuhkan harga dirinya sebagai perempuan pekerja yang berpenampilan necis dan rapi.

BACA JUGA  Twitter Sudah Pernah, Kini Facebook “Beri Ruang” Fantasi Sedarah, Normalisasi Inses?

Ke pasar dan becek-becekan, membuat ia merasa reputasinya turun dan tak pantas dilakukan oleh seorang wanita karir.

Hingga tahun 1990-an, dalam tradisi Lampung, adalah lumrah jika seorang ayah atau laki-laki dewasa ke pasar untuk membeli bahan sayur dan lauk pauk. Hal ini basanya dilakukan sebelum atau sesudah menggarap ladang. Sampai di rumah, mereka istirahat, istri masak.

Walaupun tak tertulis dan tak semua melakukannya, hal ini berlangsung dengan aman dan baik-baik saja. Tanpa hitung-hitungan apatah perdebatan panjang. Ada kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri karena mampu melaksanakan tugas sebagai kepala keluarga dengan baik dan benar.

Makin ke sini, fenomena itu semakin jarang dijumpai, apalagi di perkotaan. Banyak pasangan menganggap yang bertanggung jawab urusan dapur adalah istri, itu tak boleh dan tak bisa diganggu gugat.

Suami yang mencari, istri yang membelanjakan. Suami yang pergi pagi pulang malam, istri di rumah berkutat dengan urusan domestik. Sesaklek itu.

BACA JUGA  IPM Lampung Paling Buncit se-Sumatera, Mampukah Literasi Berkontribusi Mendongkrak Peringkat?

Jika suami sedang di rumah dan memiliki waktu luang, tak mau sama sekali turun tangan untuk membeli kebutuhan dapur. Bila mau pun, biasanya yang berat-berat dan ‘tak menodai’ keberadaan mereka sebagai kepala keluarga, misalnya membeli air minum isi ulang dan gas. Beli minyak? Malas. Telur? Takut pecah. Cabai? Tomat? Sayur? Apalagi. Nehi-nehi!

Pi’il saya mau dikemanain kalau disuruh-suruh ke warung?  Itukan urusan ibunya anak-anak. Tugas saya hanya mencari uang,” begitu pledoi seorang ayah dengan tiga anak balita ketika istrinya yang sedang menggosok baju meminta tolong membeli sabun cuci ke warung.

Pi’il dipahami sebagai tameng agar dirinya tak melakukan pekerjaan ‘remeh’ yang bisa membuat harga dirinya jatuh.  

Melihat dua contoh tersebut, maka muncullah pertanyaan penting, bagaimana bisa kata Pi’il disandingkan dengan ‘gengsi’ secara brutal? Sementara dua kata itu memiliki pemahaman yang berbeda? Pi’il bermakna fokus pada menjaga martabat diri, keluarga, dan kelompok/komunal, kata yang menempatkan manusia sebagai makhluk berakal budi.

Sementara, gengsi lebih berorientasi pada penampakan, penampilan luar kekayaan, status sosial, seringkali tanpa nilai –walaupun gengsi tak selalu berarti negatif.

BACA JUGA  Riwayat Intoleransi di Bandarlampung 

Menurut Mawardi –budayawan, Pi’il Pesenggiri bukan sekadar gengsi, tetapi juga mengandung nilai-nilai yang dapat menjadi benteng dalam menghadapi budaya asing dan mendorong masyarakat untuk memiliki visi dan tujuan yang jelas.

Kekeliruan pemahaman ini harus segera diluruskan agar tidak menjadi warisan yang salah kaprah. Salah satu satu caranya adalah menyosialisasikan dan menginternalisasikan bahasa daerah ke dalam program-program pembelajaran baik formal maupun informal.

Kita semua harus meningkatkan tanggung jawab dan bergerak bersama dalam menjaga bahasa daerah. Pemerintah, akademisi, budayawan, penulis, lembaga bahasa, media massa, dus masyarakat umum. Penggunaan bahasa yang baik dan benar akan melahirkan generasi yang literat, berpikir kritis, dan memiliki keingintahuan yang besar. Ini menjadi modal penting demi melahirkan manusia-manusia beradab dan berkemajuan.

Penggunaan dan pemahaman terhadap bahasa yang baik dan benar, merupakan suatu kewajiban sekaligus kebutuhan agar nilai-nilai dan budaya tidak terputus begitu saja. Hal ini selaras dengan Trigatra Bangun Bahasa yang dicetuskan oleh Kemendikbudristek, yaitu utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.

Kik mak kham, sapa lagi? Kik mak ganta kapan lagi?

(Fitri Restiana, penulis)

Further reading