sekolah rakyat

Antara Sekolah Rakyat dan Sekolah Siger, Ada Sekolah Swasta yang Dibuat Sekarat

sekolah rakyat
Mensos Syaifullah Yusuf saat mengunjungi Salah satu calon siswa Sekolah Rakyat di Lampung. Foto: ist

Antara Sekolah Rakyat dan Sekolah Siger, Ada Sekolah Swasta yang Dibuat Sekarat

Sekolah Rakyat dan Sekolah Siger sama-sama terlalu dipaksakan, kental segregasi sosial dan indikasi saling tarik menarik kebutuhan siswa, yang pada akhirnya berimbas ke sekolah-sekolah swasta.

(Lontar.co): Sudah tiga hari ini, W malas-malasan pergi ke sawah. Ia bingung dan kerap uring-uringan, pasal anaknya yang bakal melanjut ke Sekolah Rakyat.

Sebenarnya W senang, anaknya bisa tetap sekolah, tapi ia kurang setuju dengan konsep sekolah asrama, karena selain jauh dari rumah, sebenarnya anaknya itu juga kerap membantu banyak pekerjaan rumah, saat ia dan istrinya pergi bekerja.

“Kalau saya sama istri ke sawah, dia yang jagain adek-adeknya, kalau harus tinggal di asrama, kami yang kerepotan,” tutur warga Pesawaran itu.

Ia tak hendak mengekang pendidikan putranya, karena sebenarnya anaknya itu sudah ia daftarkan di sekolah yang masih satu kecamatan dengan tempat tinggal mereka.

Sekolah Rakyat dan Penolakan

Tapi, karena ada tawaran dari petugas PKH, ia akhirnya tertarik, meski ia sendiri tak tahu konsep Sekolah Rakyat itu seperti apa,”petugas PKH bilang anak saya masuk kriteria, tapi rupanya sekolahnya asrama, di (tanjung) karang pula, jauh bener,” ujarnya.

W tak sendiri, ada sejumlah orang tua calon siswa Sekolah Rakyat di Lampung yang kurang rela anaknya harus tinggal di asrama, beberapa diantaranya–termasuk anak W, bahkan sudah masuk calon siswa utama Sekolah Rakyat atau Sekolah Rakyat Menengah Atas 32 (SRMA 32) Lampung.

Faktor jarak yang lumayan jauh jadi kendala utamanya, karena sebagian besar calon siswa berasal dari luar Kota Bandarlampung. Seperti W misalnya, seandainya ia setuju anaknya sekolah di SRMA 32, maka konsekuensinya bakal ada biaya tambahan untuk ongkos,”istri saya itu orangnya kangenan, apalagi tau anaknya mau di sekolahin jauh, bawaannya nangis terus,” kata W pusing.

Apalagi, konsep Sekolah Rakyat yang menganut sistem asrama penuh selama 24 jam membuat tiap siswa hanya bisa keluar asrama saat hari besar saja, keadaan ini makin memberatkan orang tua siswa.

Tak Tembus Target Kuota

Penolakan konsep sekolah berasrama ini pula yang menjadi alasan serius susahnya Dinas Sosial Lampung menjaring calon siswa untuk Sekolah Rakyat.

Awalnya, Wagub Jihan Nurlela menyebut bakal ada empat rombongan belajar (rombel) yang masuk di gelombang pertama Sekolah Rakyat di Lampung, dengan asumsi satu rombel 25 siswa, tapi kenyataannya sampai waktu yang semakin mepet, petugas PKH hanya bisa menarik 85 calon siswa, tapi tak semua bisa masuk, karena 10 calon siswa diantaranya, masuk dalam calon siswa cadangan, untuk mengantisipasi jika ada orang tua siswa dari calon siswa utama yang batal menyekolahkan anaknya di Sekolah Rakyat.

Itu berarti, target kuota 4 rombel seperti yang dijanjikan Jihan Nurlela sebelumnya, bakal tak terpenuhi.

Bukan hanya kuota 4 rombel yang tak terpenuhi, Dinsos juga masih harap-harap cemas menunggu persetujuan dari 85 orang tua calon siswa, karena kebanyakan dari orang tua masih belum timbang-timbang melepas anaknya tinggal di asrama.

Masalah ini pula yang diakui Kepala Dinas Sosial Lampung, Aswarodi. Kepada wartawan, ia mengaku masih menunggu proses registrasi lanjutan, salah satunya surat pernyataan kesanggupan dari orang tua calon siswa untuk menyekolahkan anaknya di Sekolah Rakyat sampai selesai.

Ia juga mengakui, faktor keberatan orang tua siswa yang mewajibkan anak-anak mereka harus tinggal di asrama.

“Masih ada orang tua siswa yang keberatan, karena anaknya harus tinggal di asrama, jadi atau tidaknya, harus menunggu surat persetujuan dari orang tua,” kata Aswarodi.

Awalnya pula, Dinsos Lampung mengalokasikan kuota minimal 5 siswa dari tiap kabupaten/kota, tapi karena ada reaksi dari orang tua, beberapa daerah bahkan hanya mampu mengirim dua calon siswa.

Akibatnya, komposisi jumlah siswa berdasarkan jenis kelamin terpaksa diubah lagi, Dinas Sosial akhirnya terpaksa menambah lebih banyak porsi jumlah siswa laki-laki daripada siswa perempuan.

Belum Siap Luar Dalam

Masalah kian kompleks mana kala gedung BPSDM yang ada di Desa Hajimena, Natar, sebagai gedung sementara pelaksanaan Sekolah Rakyat di Lampung belum rampung sepenuhnya, otomatis metode boarding school belum bisa dilakukan sepenuhnya. Alhasil, siswa masih tetap pulang ke rumah mereka masing-masing.

BACA JUGA  Bahan Pangan yang Tersandera MBG

“Siswa belum bisa tinggal di asrama karena fasilitasnya belum siap, setelah pemeriksaan kesehatan, siswa dikembalikan ke rumah mereka masing-masing, dan akan dikabari saat sudah siap,” kata Kepala Sekolah Rakyat Lampung Selatan, Asis Prasetyo kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Praktis, orang tua 85 calon siswa, termasuk 10 calon siswa cadangan harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membawa pulang kembali anak-anak mereka, karena gedung dan asrama belum siap sama sekali.

Sebelumnya, dalam kunjungan Mensos Syaifullah Yusuf yang didampingi Wagub Jihan Nurlela sempat meninjau gedung Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Lampung yang ada di Desa Hajimena, Natar, Lamsel yang akan dijadikan lokasi sementara Sekolah Rakyat Menengah Atas Lampung.

Gedung ini disebut memiliki luas 8,6 hektare, dan dilengkapi sejumlah fasilitas, termasuk asrama dengan kapasitas hingga 81 kamar yang tiap kamar bisa menampung hingga 4 siswa. Kebutuhan ruang lain, untuk ruang makan dan ruang pembelajaran, gedung ini juga dianggap sudah memenuhi standar.

Sepintas Mensos Saifullah Yusuf melihat gedung BPSDM sudah ideal untuk Sekolah Rakyat, meski demikian keputusan akhir menjadi hak prerogatif Kementerian Pekerjaan Umum.

Belakangan diketahui, saat peluncuran dan dimulainya aktivitas kegiatan belajar mengajar tanggal 14 Juli lalu, ditunda prosesnya, dan diperkirakan baru akan efektif akhir Juli 2025.

Masih banyak fasilitas gedung yang belum bisa digunakan, proses renovasi bahkan masih terus dilakukan, khususnya untuk ruang belajar.

Di lokasi itu, masih banyak terlihat sejumlah pekerja yang beraktivitas, puing-puing bangunan juga banyak yang terserak, dan sejumlah bangunan lama yang konstruksinya mengalami perubahan.

Jika melihat kondisi perbaikan dan penambahan sejumlah fasilitas di Sekolah Rakyat itu saat ini, akan amat riskan jika memaksakan memulai aktivitas belajar dan mengajar di akhir Juli 2025 sekalipun, karena masih banyak bagian bangunan yang belum rampung dan butuh waktu yang lama.

Kepala SRMA 32 Lampung Selatan, Asis Prasetyo kepada wartawan berdalih saat ini memang masih dalam proses pengenalan lingkungan sekolah.

“Kegiatan belajar mengajar memang belum dimulai karena renovasi belum selesai. Targetnya, akhir Juli sudah jalan,” kata Asis.

Dia juga mengakui SRMA 32 memang belum memenuhi standar kelayakan untuk diterapkan sistem asrama.

Sebagai sekolah berbasis asrama, Sekolah Rakyat disebut Saifullah Yusuf saat melakukan tinjauan kesiapan gedung Sekolah Rakyat, akan beroperasi penuh 24 jam dengan pendekatan metode pembelajaran berbasis pendidikan karakter, penguatan kompetensi hingga life skill.

Sekolah Rakyat Bukan Solusi

Di Lampung, sebanyak 188 ribu anak dari jenjang SD hingga SMA masuk kategori desil 1 dan 2 yang masuk dalam kategori penerima manfaat Sekolah Rakyat. hal ini merujuk data dari Kementerian Sosial melalui Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DT-SEN).

Sepintas, Sekolah Rakyat terkesan matang, siap luar dalam dan bakal sukses besar, padahal ada begitu banyak tantangan yang menghadang sekolah yang dibuat cenderung hanya untuk menarik simpati rakyat.

Tidak adanya kajian yang mendalam, terkesan terburu-buru hingga ketidakjelasan kurikulum dan kesiapan tenaga pendidik bisa jadi masalah serius di program ambisius berbiaya mahal ini.

Diketahui, Kementerian Keuangan secara khusus mengalokasikan anggaran hingga Rp2,3 triliun sebagai operasional awal Sekolah Rakyat tahun ajaran pertama 2025/2026, asumsinya tiap siswa menerima bantuan Rp48 juta per tahun. Sedangkan untuk pembangunan sekolah definitifnya, tahun ini sudah dianggarkan pula, Rp10,9 triliun.

Pengamat Pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Itje Chodidjah bahkan menilai Sekolah Rakyat bukanlah solusi, tapi justru memantik masalah segregasi sosial.

Fenomena segregasi sosial ini cenderung diskriminatif karena pemerintah cenderung membangun kelompok sosial di masyarakat melalui Sekolah Rakyat.

BACA JUGA  “Tersisih”

“Ini segregasi sosial. Anak yang berlatar dari rakyat miskin ekstrem harus dipisahkan sekolahnya, kondisi ini bisa menimbulkan masalah psikologis yang besar untuk kejiwaan anak,” kata Itje seperti dikutip dari BBC Indonesia.

Demikian pula dengan konsep asrama yang diterapkan Sekolah Rakyat yang memaksa anak akhirnya berpisah dari orang tua seperti kasus yang terjadi di Lampung, juga menurut Itje amat tidak mudah secara psikologis.

Proses adaptasi yang dibangun di lingkungan Sekolah Rakyat terhadap lingkungan baru yang bakal ia jalani selama bertahun-tahun, berpotensi membuat anak stres.

Apalagi, Kepala SRMA 32 Lampung, Asis Prasetyo menyebut Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di Sekolah Rakyat berbeda dengan sekolah biasa, yang umumnya hanya hitungan hari, sedang di Sekolah Rakyat bisa sampai 3 bulan.

Mekanisme, ketika fasilitas SRMA 32 siap secara infrastruktur, proses pengenalan sekolah baru akan dilakukan, tiap siswa akan menjalani sejumlah tes seperti tes DNA, asesmen kesiapan belajar, termasuk memetakan minat dan bakat siswa.

“Kalau MPLS di sekolah umum hanya 3-5 hari, di Sekolah Rakyat bisa berlangsung 2 hingga 3 bulan. Ada tes DNA, asesmen kesiapan belajar, dan pemetaan potensi minat serta bakat masing-masing siswa,” kata Asis dikutip dari Liputan 6.

Sekolah Rakyat Tak Siap, Sekolah Siger Terburu-buru

Di tengah ketidaksiapan fasilitas Sekolah Rakyat yang masih terus dikebut, tiba-tiba Walikota Bandarlampung Eva Dwiana malah memunculkan polemik baru dengan membuat Sekolah Siger yang mengesankan sebagai sekolah tandingan dari Sekolah Rakyat.

Meski belum memiliki legalitas, Pemkot Bandarlampung bahkan sudah membuka pendaftaran untuk jenjang SMA tahun ajaran baru ini, 2025/2026 pada tanggal 9-10 Juli 2025 lalu.

Sekolah yang disebut berada di bawah naungan Yayasan Siger Prakarsa Bunda ini diklaim sepenuhnya gratis karena ditanggung sepenuhnya oleh Pemkot Bandarlampung.

Soal lokasinya, pemkot menyiapkan empat lokasi yakni; di SMPN 38 di Bumiwaras, untuk lokasi SMA Siger 1, SMPN 39 Panjang untuk SMA Siger 2.

Kemudian, lokasi SMA Siger 3 di SMPN 44 di Way Halim, serta SMA Siger 4 di SMPN 45 Rajabasa.

Tak hanya itu saja, Walikota Eva Dwiana juga bakal mengalihfungsikan sekolah yang minim murid untuk disulap jadi SMA Siger, termasuk SDN 1 Gedongmeneng yang tahun ini hanya menerima 5 siswa baru dan beberapa sekolah lain yang bakal di evaluasi olehnya.

Eva menyebut alihfungsi ini untuk mengoptimalisasi aset. Ia pula akan membangun SMA Siger dengan bangunan bertingkat tiga agar ruang kelas bisa terakomodasi.

Sekolah Siger; Berbagi Sekolah, Berbagi Guru

Operasional SMA Siger yang terkesan terburu-buru dan belum berizin ini juga sempat menimbulkan polemik soal kesiapan izin hingga manajemen sekolah.

Selain itu, meski gratis, jumlah pendaftar di empat SMA Siger juga amat minim, padahal proses pendaftaran terpantau masih dibuka sampai dengan 18 Juli 2025 kemarin.

“Belum ada instruksi lagi, apakah tetap lanjut dengan jumlah murid yang ada atau digabung dengan SMA Siger yang lain, tapi memang kalau sekarang kita masih nerima pendaftaran murid,” ujar guru di salah satu SMP yang bakal jadi salah satu lokasi SMA Siger.

Belakangan diketahui pula, pengelolaan kegiatan belajar mengajar SMA Siger ini bakal dilakukan dengan sistem kelas pagi dan kelas siang, karena SMA Siger masih harus berbagi ruang kelas dengan sekolah-sekolah yang ditumpanginya.

Ironinya, bukan hanya harus berbagi ruang kelas, SMA Siger juga masih memanfaatkan guru yang sama di lokasi sementara tiap SMA Siger berlokasi. Mengajar siswa SMP pagi, siangnya dilanjut mengajar siswa SMA Siger.

Secara psikologis, ini bakal mempengaruhi beban kerja dan kinerja guru yang ditugaskan mengajar di dua tempat sekaligus yang berpotensi berpengaruh terhadap kualitas pendidikan yang didapat siswanya, tapi kebanyakan dari guru yang mendapat beban tambahan mengajar di SMA Siger tak ada yang mau berkomentar soal ini.

BACA JUGA  Omon-omon Penanganan Sampah Plastik di Lampung

Sekolah Rakyat, Sekolah Siger, dan Sekolah Swasta yang Dibuat Sekarat

Itu belum termasuk permasalahan perizinan yang sempat menuai kritikan dari banyak pihak, Walikota Bandarlampung dianggap terlalu memaksakan kehendak, padahal pemerintah pusat sudah meluncurkan Sekolah Rakyat,

Idealnya, Pemkot Bandarlampung memaksimalkan kewenangan pendidikannya sampai di jenjang TK, SD dan SMP saja, karena sesuai Undang-Undang Nomor 23 tentang Pemerintahan Daerah menyebut kewenangan pengelolaan dan perizinan sekolah menengah atas berada di bawah kewenangan pemerintah provinsi.

Apalagi, diketahui sejumlah sekolah dasar negeri di Bandarlampung mengalami banyak kekurangan murid, SDN 1 Gedongmeneng misalnya, tahun ajaran ini mereka hanya menerima 5 murid baru.

Proses pendaftaran yang ribet hingga syarat yang rumit, membuat kebanyakan orang tua lebih memilih swasta ketimbang negeri, mahal sedikit tak masalah asal terjamin mutu pendidikannya.

Tapi, walikota tetap jalan terus, saat polemik soal perizinan SMA Siger mengemuka, ia bermanuver menemui Gubernur Lampung, mencari dukungan, apalagi kewenangan pendirian sekolah menengah atas jadi hak prerogatif provinsi.

Eva mengaku, legalitas SMA Siger sudah diajukan di Kemendikbudristek, tapi memang ia belum berizin ke Dinas Pendidikan Lampung.

Ia berdalih, memaksakan SMA Siger segera beroperasi di tahun ini, agar siswa yang tak tertampung di SMA negeri bisa masuk ke SMA Siger. Padahal, sampai pendaftaran diperpanjang hingga lebih dari sepekan, jumlah pendaftar di SMA Siger masih jauh dari harapan, di SMA Siger 2 misalnya, meski pendaftaran masih dibuka sampai saat ini, tapi jumlah pendaftarnya berhenti di angka 11 pendaftar saja, di 3 SMA Siger lainnya pun kurang lebih sama, jumlah pendaftarnya masih jauh dari mimpi kuota 100 pendaftar.

Jika mau jujur, kemunculan Sekolah Rakyat dan Sekolah Siger, berdampak secara langsung untuk kelangsungan sekolah swasta di Bandarlampung.

Dari total 14 ribu lulusan SMP di Bandarlampung, 12 ribu lebih lulusannya habis disedot oleh sekolah-sekolah negeri, SMA dan SMK.

Sementara sisanya, 2 ribu lulusan SMP itu yang harus diperebutkan oleh 54 SMA swasta dan 50 SMK swasta.

Untuk sekolah swasta unggulan, seperti SMA Al-Kautsar, Global Madani, Al Azhar dan beberapa lainnya, mereka mungkin bisa memiliki posisi tawar tinggi untuk jadi pilihan favorit lulusan SMP utamanya bagi orang tua yang ekonominya lebih baik, sementara banyak sekolah swasta lainnya, harus berdarah-darah mencari siswa baru tiap tahunnya.

Secara eksplisit pula, sekolah swasta non unggulan, jelas tak mungkin bersaing dengan sekolah swasta unggulan, apalagi bersaing dengan SMA negeri, tapi disisi lain mereka butuh siswa agar bisa bertahan, mengandalkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) saja jelas jauh dari cukup untuk menghidupi sekolah, terlebih banyak syarat dalam hal penggunaan dana BOS.

Ketika sekolah-sekolah swasta ini terseok-seok mencari siswa, mereka masih harus dihadapkan lagi dengan Sekolah Rakyat dan Sekolah Siger, amat wajar jika kemudian muncul reaksi keras dari sekolah-sekolah swasta.

Akibatnya kini, ada 4 dari 50 SMK swasta yang tidak mendapat siswa baru, kemudian untuk SMA swasta, diketahui hanya ada 11 dari 54 sekolah yang masih bisa bersaing.

Maryadi Saputra dari SMA Gajah Mada dihadapan Komisi V DPRD Lampung, menyebut ketimpangan yang dialami oleh sekolah-sekolah swasta di Bandarlampung sudah ada di titik yang mengkhawatirkan.

“Eksistensi sekolah swasta di Bandarlampung terancam, bayangkan ada sekolah yang hanya mendapat 20 siswa di satu angkatan,” katanya.

Proses PPDB SMA kemarin juga dianggap tak mencerminkan semangat akreditasi, karena sekolah negeri dengan akreditasi rendah jauh di bawah sekolah swasta ternyata leluasa menampung ribuan siswa,”lantas, untuk apa akreditasi itu,” kata Maryadi.

Kini, banyak SMA dan SMK swasta yang diambang sekarat, dipaksa bertahan tapi butuh biaya besar, SMK Bhakti Utama dan SMK Bina Mulya bahkan sudah terancam tutup karena tak ada siswa baru yang mendaftar.

Further reading

  • eva dwiana

    Eva Tak Punya Legitimasi yang Kuat, Ia Hanya Didukung oleh Kurang dari 30 Persen Warga Bandarlampung

    Sebagai walikota, Eva sebenarnya tak punya akar legitimasi yang kuat untuk memimpin kota. Kondisi ini, berkorelasi dengan kebijakannya yang cenderung ngawur dan egosentris. (Lontar.co): Sejak pagi, backhoe itu terus mengeruk aspal yang digali di pelataran gedung Kejati Lampung. Sementara, sejumlah pekerja konstruksinya terlihat mondar-mandir mengangkut material dengan angkong. Meski masih relatif pagi, aktivitas konstruksi di […]
  • 60 Penulis ‘Menelisik Lampung’ Penuh Warna

    Masih sedikitnya ketersediaan buku yang membicarakan ke-Lampung-an, kini terjawab. Dinas Perpustakaan Lampung meluncurkan buku ini, Menelisik Lampung, berisi karya puisi, cerpen, dan esai (opini). Dikemas apik. (Lontar.co): Bangga jadi ulun Lappung (orang Lampung). Lampung, sebagai etnis, sangat kaya seni budaya. Daerah ini saja memiliki dua jurai bagi etnis Lampung, yakni pepadun dan saibatin — pedalaman […]
  • bahan pangan tersandera mbg

    Bahan Pangan yang Tersandera MBG

    Tingginya permintaan harian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis, memicu naiknya harga bahan pokok di sejumlah pasar. Masyarakat dan pedagang tradisional mengeluh. (Lontar.co): Meski sudah menunggu sejak pagi, Erni hanya mampu membeli sekilo telur dan 5 kilogram beras di pasar murah yang digelar di Kantor Kecamatan Bumi Waras itu. Banyak bahan pokok yang […]