tubaba art festival

Tubaba Art Festival #9; Machine of Memory, Sebuah Arsip Individual Pembentuk Identitas Kolektif 

0 Comments

Tubaba Art Festival #9; Machine of Memory, Sebuah Arsip Individual Pembentuk Identitas Kolektif 

0 Comments

Machine of Memory bukanlah istilah tunggal yang hanya memiliki definisi tetap, melainkan sebuah metafora yang merujuk pada konsep dari individual pembentuk identitas kolektif yang bisa dipanggil kapan saja, selayaknya teknologi penyimpanan yang mirip dengan cara kerja ingatan manusia. Pada gilirannya, mesin memori ini, hampir saja terdampak oleh efisiensi. Padahal, amat jarang, sebuah perayaan diminta langsung oleh publik.

(Lontar.co): Analoginya seperti meja kerja dan lemari arsip, mesin memori kemudian bekerja, kadang melampaui jangkauannya, ia dirancang seperti mendekati otak, menyimpan dan mengolah, tapi tak pernah benar-benar membuangnya sebagai ingatan yang pernah ada.

Tahun ini, hampir saja, Tubaba Art Festival #9 seperti memori yang hampir saja terbuang, tapi tak pernah benar-benar hilang dalam ingatan, terdampak efisiensi, memilih menunda, tapi tak hilang, hingga kemudian datang, seperti dipanggil (kembali) dari memori. Prosesi memang seperti itu, kerap kali dipaksa bersinggungan dengan hal-hal yang (tak) penting.

Tubaba Art Festival adalah ruang ekspresi yang selalu bertumbuh dalam setiap momentum perayaannya. Ini sebenarnya bentuk konsistensi yang payah jika diterjemahkan selama bertahun-tahun. Tapi, hampir sedekade Tubaba Art Festival, ruang itu semakin meluas saja, menjadi titik temu banyak disiplin, yang dirangkum dalam ingatan tiap individu sebagai kolektivitas memori, yang senafas dengan ruh TAF #9 tahun ini, Machine of Memory.

Masih soal memori juga, seperti de javu, Tubaba Art Festival #9, juga menjadi sebuah peristiwa tentang mengulang, memanggil memori, sebagai refleksi, dari satu hingga delapan, Tubaba Art Festival terus bergerak semakin dinamis, sebagai mekanisasi pikiran yang terus memanggil pembaruan, yang bukan hanya sekedar kompleks tapi semakin mapan dalam banyak hal, komposisi maupun gerak.

BACA JUGA  Nasib Petani Anak Tuha yang Tetap Merana

Tubaba Art Festival #9 memang terasa lebih seperti ulasan untuk memanggil memori-memori sebelumnya yang berhasil, di apresiasi sebagai ruang ekspresi yang begitu penting terhadap perkembangan seni, di Lampung yang dimulai dari arah barat Tulangbawang.

Sebagai mana Machine of Memory, dalam seni, bisa pula merujuk pada karya atau konsep yang mengeksplorasi hubungan antara ingatan manusia, arsip, dan teknologi untuk merekam, memicu, dan merekonstruksi kenangan. 

Konsep ini melibatkan proses bagaimana ingatan dibentuk, disimpan, dan diakses kembali, baik secara biologis maupun melalui bantuan mesin atau media.

Seperti kata Direktur Tubaba Art Festival, Semi Ikra Anggara, sebagai festival, tentunya ini bukan sekedar hiburan, melainkan ruang bagi pertumbuhan apresiasi, imajinasi, intelektual dan perayaan kesadaran bersama.

Ikra sampai pada kesimpulan, bahwa sejatinya akses terhadap seni musti dibuka seluas-luasnya agar api kebudayaan selalu menyala.

Oleh karenanya, Tubaba Art Festival, dalam sudut pandang Ikra, memiliki karakter yang tak mungkin bisa disandingkan dengan umumnya festival lain, karakternya amat khas, selain tradisi, ia juga bertindak sebagai laboratorium penciptaan yang panjang, pelibatan warga, residensi, kurasi dan kolaborasi lintas displin seni dengan seniman nasional maupun internasional. 

Ruang pertemuan bagi seni, pendidikan, pariwisata, ekonomi kreatif dan diplomasi budaya. Seperti grha, yang menampung begitu banyak aspirasi gerak dan ekspresi pada tubuh dan pikiran tiap manusia, yang diterjemahkan dalam cerita, murung atau bahkan marah, sebagai sikap, yang kadang tak pernah bisa disampaikan dengan lugas.

Dalam sembilan tahun eksistensinya, Tubaba Art Festival layakanya segmen-segmen yang membentuk lapisan nyaris utuh tapi terus saja berproses dan bahkan selalu meregenerasi tiap pikiran individunya sebagai bentuk entitas yang bernyawa.

BACA JUGA  Hari-Hari Bahagia: Surga yang Jatuh ke Tong Sampah, Membongkar Mitos Kebahagiaan

Karenanya, festival ini bagi pegiatnya pula, seperti proses-proses sedang menuju yang akan selalu mendekati hampir sempurna yang tak bersudut tapi lebih memilih melingkar.

Ia dibangun bukan cuma sebagai perayaan semusim yang sekedar memenuhi unsur ‘festive’ tapi dibangun melalui diskusi-diskusi yang matang, perihal akan seperti apa bentuk pertanggungjawaban festival ini ada.

Setiap bahasan, memunculkan wacana arsip, yang dipahami sebagai sumber inspirasi penciptaan karya seni kontekstual. Yang luar biasa, Tubaba Art Festival diminta oleh publik, bukan muncul dari latar belakang program-program formal yang didikte, buktinya, sempat tertunda (postpone).

Arsip pula, menurut Ikra Negara, seharusnya tidak dipahami sebagai dokumen mati.

Arsip memiliki pengertian yang luas, dia adalah apapun yang bernilai, mengandung memori dan hidup di tengah masyarakat.

“Kehadirannya berada dalam tulisan, ujaran, laku keseharian, ingatan atau apa pun, Arsip tidak pasif, dia aktif,” tegasnya.

Begitu pula, ketika Tubaba Art Festival #9 kemudian mengerucutkan Machine of Memory sebagai ruhnya, dimaksudkan sebagai metafor dari hasil diskusi panjang tentang arsip dan bagaimana kita bertindak terhadapnya. 

“Riset yang mendalam terhadap arsip yang berserak di tengah masyarakat akan menjadi karya-karya inspiratif yang megah,” imbuh Ikra Negara.

Dalam hitung-hitungan fase, sejak Tubaba Art Festival pertama, perayaan ini selalu berjalan dalam tema-tema yang kuat sekaligus mapan, ada rekonstruksi, ada perenungan, kadang pula merayakan kegembiraan.

Sebagai perayaan atas keberagaman, festival ini mengarahkan pikiran maju pada setiap orang melalui lapis-lapis kebudayaan yang majemuk, lewat “Menuju Kota Multikultural-100 Tahun Harapan”. Festival pertama ini sekaligus merayakan seabad transmigrasi sekaligus semaraknya keberagaman di Tulangbawang Barat yang sudah lebur.

Ada pula trilogi tematik “Self & Space” yang tiap serinya bercerita detail tiap langkah yang berpijak pada kesadaran mutlak, melalui edisi yang bercerita, fokusnya pada perenungan hubungan antara diri dan ruang.

BACA JUGA  Latah PLTSa di Lampung

Ketiga trilogi dipecah dalam sub-sub tema yang spesifik, ada soal “Mesin Ingatan yang Terus Bergerak”, “Interface of The Living Room” hingga ramuan “Festivity from The Kitchen” yang setiap orang kerap kali lupa, bahwa dapur juga menyumbang kehadiran dari tiap individu sehingga perlu dirayakan dengan serius.

Dalam “Festivity from The Kitchen”, dapur dihadirkan sebagai konsep yang menjembatani keindahan dan ekspresi seni dengan kondisi sosial budaya yang hadir di Tulangbawang Barat yang tak serta merta ada, melainkan tumbuh dalam periode yang lama sejak masa lampau.

“Machine of Memory”. Ingatan dan imajinasi  bekerja dalam lapis-lapis kebudayaan. 

Ingatan sebagai nilai  personal: tentang masa kanak, cerita keluarga, pengalaman emosional yang membekas. Namun di balik itu, ingatan juga merupakan konstruksi sosial. Dijaga oleh bahasa, dipelihara oleh ritual, diturunkan lewat cerita, ditanamkan dalam simbol-simbol kolektif.

Ingatan bekerja seperti mesin yang merangkai individu ke dalam komunitas, lalu menghubungkan komunitas dengan sejarah panjangnya. Tetapi seperti semua mesin, ia tidak pernah bekerja netral. Ada bagian yang disorot, ada yang dipinggirkan, bahkan ada yang disembunyikan.

Ingatan kolektif masyarakat kerap ditentukan oleh kekuasaan: arsip yang disimpan negara, narasi sejarah resmi, atau pengetahuan yang diajarkan di sekolah.

Di sisi lain,  ingatan yang hidup di luar institusi—ingatan warga, cerita pinggiran, pengetahuan lokal, atau kisah yang diwariskan lewat tubuh dan praktik sehari-hari. Perayaan ini menempatkan semua lapisan itu sebagai bagian dari mesin yang sama, yang selalu bergerak dan tidak pernah selesai.

Further reading