indo eropa
Keluarga Karl Emile August Kloer ketika pertama kali tiba di Gisting. Foto: Dok. Foto Jadoel

Mister ‘Setengah’ Eropa di Kampung Gisting

0 Comments

Daerah Gisting di Tanggamus menjadi daerah kolonisasi pertama untuk masyarakat Indo Eropa. Kocar-kacir setelah Jepang meng-invasi dan periode Masa Bersiap, yang tersisa kini hanya keturunannya saja.

(Lontar.co): Terletak di atas ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (Mdpl), Gisting layaknya surga bagi orang-orang Indo Eropa asal Batavia yang tersisih karena faktor warna kulit yang ‘terjepit’ oleh diskriminasi dan keadaan.

Sebagai keturunan campuran Eropa dan Indonesia, posisi mereka sejak sebelum kemerdekaan memang kerap kali tidak beruntung, dipinggirkan dan tidak diterima dimana-mana. Ini karena, adanya diskriminasi ras hingga ketakutan akan perlawanan rakyat Indonesia. 

Disisi lain, kebijakan Belanda yang menekan kelompok ini untuk berasimilasi, selamanya tak pernah mendapatkan penerimaan oleh masyarakat.

Maka, tak ada pilihan lain buat mereka kecuali berkolonisasi.

Untungnya, sejak 1905, Belanda telah pula menginisiasi program-program kolonisasi rintisan, dari Pulau Jawa ke Lampung, sebagai uji coba pertama.

Karena, tak diterima di kedua belah pihak, kelompok-kelompok Indo Eropa yang tergabung dalam komunitas Indo-Europeesch Verbond (IEV) kemudian mensponsori, mencari tanah baru yang lebih layak dan lebih bisa menerima, untuk mereka tinggali.

Upaya melakukan koloni mandiri ini pun tak mendapat tentangan dari Belanda, mereka dibiarkan saja. Tapi disisi lain, kelompok besar orang-orang Indo Eropa ini tak mungkin pula bergabung dalam kolonisasi masyarakat asal Jawa yang membuka wilayah Gedongtataan, karena resikonya akan amat besar. Dendam sebagai orang terjajah dari mereka yang merasa asli pribumi masih amat membara kala itu.

Konsekuensinya, orang-orang setengah Eropa ini kemudian memilih mengalah dengan memanjangkan perjalanan, tak berhenti di Gedongtataan apalagi di Gadingrejo, tapi memilih terus hingga ke wilayah Talangpadang.

Alih-alih melalui jalur laut dengan mendarat di Teluk Semaka, orang-orang indo ini lebih memilih menempuh perjalanan darat yang panjang, dengan titik pertemuan pertama berlangsung di Batavia, kemudian kelompok besar ini mulai bertolak.

BACA JUGA  Heboh Penghapusan Uang Komite Bisa Turunkan Inflasi Lampung, Ini Respons Kadis Pendidikan

Sahdan, setiba di Talangpadang yang sejuk, seketika mereka merasa cocok dengan atmosfer wilayah subur berhawa segar nan dingin di kaki Gunung Tanggamus itu.

Kala itu, Talangpadang yang pertama kali dibuka oleh keluarga Hi.Yusuf yang hijrah bersama keluarganya ke daerah ini, selepas meletusnya Gunung Krakatau, dan menyerahkan kepemimpin (Pesirah) Marga Goenoeng Alip kepada putranya, Hoesien gelar Batin Singa Makhga. 

Adalah Karl Emile August Kloer, sebagai perintis orang indo yang datang di tahun 1925, dan kemudian menjadikan bagian dari wilayah Talangpadang ini sebagai tanah harapan baru buat mereka.

kolonisasi indo eropa di gisting
Karl Emile August Kloer ketika tiba pertama kali di Gisting. Foto: Dok. Foto Jadoel

Karl Emile August Kloer yang kemudian dikenal dengan sebutan Tuan Kloer dan memimpin perjalanan kelompok Indo Eropa itu, mengaku betah di daerah ini. Ini ia sampaikan dalam Winschoter Courant edisi 2 Juli 1949.

Saat tiba di sana, pemerintah kolonial melalui wakil-wakilnya kemudian memberi pinjaman sebanyak 11 bidang tanah yang dihitung sebagai sewa dengan masa sewa lahan selama 75 tahun terhitung sejak pertama mereka datang, tahun 1925.

Ketentuan sewa lahan bagi orang indo ini pula yang kemudian pada gilirannya membuat jejak-jejak mereka amat minim.

Kehadiran kelompok semi Eropa ini kemudian memulai kehidupan barunya, keterbatasan akses informasi penduduk di sana, khususnya terkait stigma orang-orang Indo Eropa di Pulau Jawa, membuat mereka lebih cepat diterima oleh penduduk di sana. 

Dalam Het Nieuw van den dag voor Nederlandsch Indie dan De Locomotief edisi 17 Oktober 1925, daerah yang masih masuk dalam wilayah Marga Goenoeng Alip berkembang sebagai sentra-sentra perkebunan baru yang digarap komunitas Indo Eropa di sini.

Kehadiran mereka pula yang kemudian membentuk wilayah administrasi lebih kecil yang baru, yang kemudian dikenal dengan nama Gisting.

BACA JUGA  Lampung Ethnica, Merawat Tradisi dan Asa Para Penenun Tapis

Tak ada yang tahu, asal penamaan Gisting. Tapi, dalam peta wilayah Lampung yang dibuat pemerintah Hindia Belanda, daerah ini dalam wilayah topografi Karesidenan Sumatera Distrik Lampung ditandai dengan huruf “G” saja. Belanda, menamai daerah ini dengan sebutan Giesting, tak ada arti spesifik yang sesuai dengan karakter wilayah ini, tapi jika merujuk arti Giesting dalam bahasa Belanda artinya adalah penggilingan atau fermentasi.

Selanjutnya, daerah kaki Gunung Tanggamus yang awalnya belantara ini kemudian dibuka menjadi lahan perkebunan-perkebunan baru yang subur, kopi, karet hingga perkebunan teh jadi komoditas unggulan di sini. 

Kopi asal Gisting dikenal hingga penjuru nusantara, De Indisch Courant edisi tanggal 10 Juli 1939, menyebut ada pabrik kopi di areal perkebunan.

Lahan yang subur, udara yang sejuk dan suplai air tawar yang melimpah membuat Gisting memang menjadi tanah impian buat mereka. Jalan poros antara Kotaagung dan Gisting sepanjang 16 km sebagai akses juga serta merta dibangun. 

Pada perkembangannya, ada seluas 3 ribu hektar lahan perkebunan dengan berbagai komoditas dibudidayakan oleh masyarakat Indo Eropa di sini, ada pula sayur dan buah termasuk bunga yang dikirim hingga ke Palembang. 

Majunya Gisting kala itu bahkan sempat membuka wacana untuk memanjangkan jalur kereta api ke sini, utamanya untuk distribusi komoditas hasil perkebunan.

Di tahun 1939 pula, sebuah kapal SS Rooseboom milik maskapai Belanda Koninklijk Packetvaart Maatschappij (KPM) berlayar ke daerah Lampung. Para penumpangnya kemudian berpelesir ke Gisting. 

Cerita sukses orang-orang Indo di Gisting menyebar cepat, sehingga memantik gelombang-gelombang kolonisasi baru sampai dengan tahun 1940, sudah ada 550 lebih orang Indo Eropa di Gisting, yang sudah maju.

Wajah Gisting berubah muram ketika kecamuk Perang Dunia II pecah, banyak kaum pria di sini yang ikut berperang bersama tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) melawan tentara Jepang. 

BACA JUGA  Namanya juga UMKM…

Kecamuk perang juga berlangsung di Gisting. Di sini, pertempuran rakyat berlangsung di pusat kota Talangpadang. 

Tapi, karena kalah dalam persenjataan dan pasukan, perlawanan-perlawanan rakyat itu berhasil digagalkan, tak sedikit orang Indo di Gisting banyak yang ditawan di Tanjungkarang, Bandar Lampung. Setelah tiga bulan, mereka dikembalikan. Namun lahan mereka sudah porak-poranda ketika mereka kembali. Mereka terpaksa memulai perkebunan mereka lagi dari nol.

Kemudian, pasca kemerdekaan dalam periode yang kemudian dikenal dengan Masa Bersiap–sebuah istilah dari Belanda yang merujuk pada kekacauan dan kengerian akibat dari revolusi di Jawa, yang terjadi pada tahun 1945–1947, memaksa penduduk Indo Eropa yang ada di sini, terpaksa melakukan emigrasi, meski tak sedikit yang memilih bertahan di Gisting, beberapa lainnya menyebar ke berbagai daerah di Lampung, bahkan hingga ke Mesuji.

Pada April 2024 lalu, influencer Tri Sujarwo (Jarwo Songha) pernah menyambangi Gisting untuk bertemu dengan keturunan Indo Eropa yang masih tersisa, termasuk dengan Heidy Kloer dan Betty Kloer, cucu dari perintis kolonisasi Indo Eropa di Gisting, Karl Emile August Kloer.

Kunjungannya itu, tak sendiri, ia bersama dengan Andre Kuik yang masih berdarah Indo Eropa yang kini tinggal di Belanda.

Di Gisting, Heidy dan Betty Kloer hidup berbaur dan sudah menjadi penduduk Gisting sesungguhnya. Logatnya sudah sepenuhnya kental dengan logat kebanyakan, meski wajah dan perawakannya masih mewarisi gen Eropa.

Di rumahnya yang teduh dan masih kental dengan nuansa bangunan khas tempo dulu, Heidy mengenang sang kakek, Karl Emile August Kloer sebagai sosok yang pernah begitu gigih bersama rakyat melawan penjajah.

Further reading

  • Perkara Eka Afriana “Si Kembar Ajaib”, FML Desak Mabes Polri Ambil Alih Penanganan

    Eka Afriana dan Eva Dwiana dikenal kembar. Tapi data tahun kelahiran keduanya berbeda. Ajaib! Tak pelak Forum Muda Lampung (FML) gemas dibuatnya.  (Lontar.co): Kasus dugaan pemalsuan identitas diri Eka Afriana, mantan kepala Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung, sudah dilaporkan ke Polda Lampung. Publik menunggu tindak lanjutnya. Namun, berbulan-bulan berlalu, tak jua jelas juntrungan penanganannya. Tak ingin […]
  • Setahun Masa Jabatan Prabowo, Deras Diterpa Deepfake dan Scam

    Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) menggelar Diskusi Media bertajuk “Potret Hoaks Setahun Pemerintahan Prabowo–Gibran”. (Lontar.co): Meningkatnya deepfake, konten hoaks yang diproduksi teknologi AI, baik untuk politik maupun tema lain, menjadi ancaman serius bagi ekosistem informasi digital. Bersamaan dengan itu, scam dan modus penipuan digital berkembang semakin kompleks dan menyebabkan kerugian finansial besar bagi masyarakat. Mafindo menilai, […]
  • indo eropa

    Mister ‘Setengah’ Eropa di Kampung Gisting

    Daerah Gisting di Tanggamus menjadi daerah kolonisasi pertama untuk masyarakat Indo Eropa. Kocar-kacir setelah Jepang meng-invasi dan periode Masa Bersiap, yang tersisa kini hanya keturunannya saja. (Lontar.co): Terletak di atas ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (Mdpl), Gisting layaknya surga bagi orang-orang Indo Eropa asal Batavia yang tersisih karena faktor warna kulit yang ‘terjepit’ […]