Duet Kembar Eva Dwiana & Eka Afriana, Mengapa Begini?

0 Comments
Walikota Bandarlampung Eva Dwiana dan mantan Kadisdik Eka Afriana. (foto: ist)

Duet Kembar Eva Dwiana & Eka Afriana, Mengapa Begini?

0 Comments

Kurang murah hati apa warga yang telah memilih kembali Eva Dwiana sebagai Walikota Bandarlampung. Kurang legowo apa publik yang tidak menyoal praktik nepotisme dengan mendudukkan kembarannya, Eka Afriana, sebagai kepala Dinas Pendidikan.

(Lontar.co): Tapi untuk timbal balik sekadar menjaga perasaan publik pun kok rasanya enggan. Malah melulu retorika yang disodorkan.

Apa pernah Walikota Bandarlampung, Eva Dwiana, benar-benar menyelami perasaan warganya saat terbersit di benaknya mau menggelontorkan hibah Rp60 miliar kepada Kejati Lampung?

Atau mungkin walikota merasa sudah banyak memberi untuk warga. Di sisi lain dia melihat isi pundi-pundi APBD Bandarlampung berlebih, sehingga tidak menjadi soal bila menjumputnya sebagian untuk dihibahkan kepada Kejati Lampung yang bangunan gedungnya dianggap sudah kelewat miris. Oleh karenanya perlu lekas-lekas diberi uluran tangan untuk membangun gedung baru yang lebih mentereng.

Angka Rp60 miliar itu tidak sedikit. Mengapa anggaran yang notabene hak milik masyarakat Bandarlampung itu, justru dialokasikan untuk mengurusi Kejati yang jelas-jelas merupakan lembaga vertikal. Apa sudah yakin berbagai keperluan kota dan masyarakatnya telah tertangani tuntas?

Ah, tak perlu kita berdebat kusir soal jawabannya. Karena ABG pelajar SMA sekalipun akan langsung menggeleng bila diajukan pertanyaan serupa itu. Sebab memang tidak perlu harus punya otak cerdas cemerlang seperti tenaga-tenaga ahli yang mengelilingi walikota untuk secara lugas menjawabnya.

Ini semata soal sensibilitas. Punya atau tidak kepekaan itu? Kalau benar punya, tak akan pernah ada polemik hibah Rp60 miliar ini.

Kalau kemudian ada sanggahan bahwa hibah pemkot Rp60 miliar untuk Kejati masih sebatas usulan yang sedang dibahas bersama para anggota dewan terhormat, itu pun sesungguhnya tidak menjelaskan apa-apa. Karena intinya tetap saja ketiadaan rasa peka. Niatan mengguyur hibah puluhan miliar buat aparat penegak hukum sudah ada di kepala dan diutarakan secara eksplisit.

Tapi apa iya semua ini lantaran sensibilitas mereka hanya semu? Jangan-jangan walikota justru menganggap sebaliknya. Saya dan publik yang memiliki kepedulian terhadap penggunaan anggaran daerah malah dianggap demen nyinyir. Dinilai cuma bisa mengkritik. Banyak omong! Coba kalau disuruh kerja, belum tentu bisa.

Lha-lha, kalau kita yang disuruh mengkonsep dan menjalankan pembangunan, terus siapa walikotanya? Lagi pula saat kepingin jadi kepala daerah bukankah atas kehendak politik sendiri. Tidak ada yang memaksa. Kalau pun kemudian ternyata dipilih, itu perkara lain. Masih ada ruang debatable untuk menjelaskan urusan tersebut.

Namun kalau pun mau di-spill sedikit, bolehlah. Sangat mungkin publik memilih walikota lantaran warga selalu berprasangka baik atau husnudzon. Itu bukti konkrit betapa baiknya warga. Tentu, sambil memendam harapan, agar walikotanya kelak lebih peka terhadap persoalan warga.

Kalau belakangan ternyata kepekaan itu dinilai tidak terlihat, apa lantas warga menyesali pilihannya? Sangat mungkin iya. Sebab, jangan lupa, warga tidak dungu. Kalaupun sekarang diam, bukan berarti setuju. Bisa saja lantaran sedang khusyuk berdoa mengadu kepada Penciptanya. Nah, lho!

Perkara Dugaan Pemalsuan Data Eka Afriana

Publik juga paham ketika muncul fenomena Eka Afriana -saat masih definitif sebagai Kepala Dinas Pendidikan- mengakui telah mengubah data identitas diri, mulai dari KTP sekaligus akta kelahiran dan hingga kini pernyataan tersebut belum pernah diralat olehnya.

BACA JUGA  Sawah Hilang Akibat Penduduk yang Tak Terbilang

Tukang sapu jalanan di Bandarlampung juga bakal termangu saat tahu alasan yang diutarakan Eka, bahwa dia mengubah data identitas karena sebelumnya sering kesurupan. Sebab setahu rakyat jelata, macam tukang sapu jalanan ini, anak kampung biasanya kesurupan kalau abis main di sumur tua atau pohon besar.

Untuk menghalau dedemit yang nempel biasanya mereka membawa anaknya ke orang pintar atau ustad buat didoain atau disyaratin. Bukan malah pergi untuk mengubah tanggal lahir di data administrasi.

Entah logika macam apa yang dipakai Eka? Yang jelas dia malah meminta publik untuk dapat memaklumi tindakannya. Lagi-lagi warga yang dituntut harus bisa memahami.

Lantas bagaimana respon walikota saat mengetahui perkara yang merundung saudara kembarnya itu disoal dan dilaporkan ke Polda Lampung?

Sampai sekarang belum pernah ada sepatah kata pun klarifikasi yang disampaikannya ke publik atau pers. Mengapa publik menunggu itu?

Ya jelas, dong. Secara struktur birokrasi kepala dinas dipilih dan diangkat oleh kepala daerah. Terlepas mereka saudara kembar atau bukan, tetap saja mestinya kepala daerah cepat menyikapi ketika integritas kepala dinasnya diragukan.  

Lho, bukankah walikota sudah mengambil sikap. Dia telah menarik Eka Afriana dari institusi Dinas Pendidikan setelah saudara kembarnya itu bercokol selama 5 tahun di sana?

Benar, Eka memang telah dicopot dari Disdik, tapi tetap memperoleh jabatan. Dia didapuk sebagai Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan. Namun bukan berarti Disdik sudah lepas dari campur tangan Eka.

Ternyata tidak seperti itu alur ceritanya. Eka tetap “harus” menangani Dinas Pendidikan. Walikota menjadikannya Plt Kepala Disdik. Itu sama artinya Eka masih punya kewenangan di sana. Nah, model-model begini, bukan berarti publik tidak paham. Jangan sangsikan nurani rakyat. Intuisi rakyat itu tajam, lho.

Sebaliknya, publik justru sangsi kalau walikota -sebagai saudara kembar Eka- tidak mengetahui bila data identitas Eka pernah dirubah. Kalaupun umpamanya sudah tahu sejak awal, mengapa tetap diangkat sebagai Kepala Dinas Pendidikan?

Atau, boleh jadi, walikota memang tidak tahu-menahu perubahan tersebut. Oke-lah kita pakai asumsi itu. Hanya saja setelah persoalan ini diangkat ke permukaan dan menjadi sorotan khalayak luas, mengapa tetap tidak diambil langkah tegas, sebagai bentuk penegakkan integritas ASN di lingkup kerja Pemkot Bandarlampung?

Jangan salahkan pula kalau akhirnya muncul pertanyaan-pertanyaan spekulatif di benak publik. Apakah sikap serupa tetap akan diambil oleh walikota seandainya ada pejabat pemkot yang melakukan perubahan identitas diri dan orang itu bukan saudara kembarnya?

Legal Opinion

Publik juga menjadi paham ketika kemudian beredar -meski masih di kalangan terbatas- legal opinion. Pendapat hukum atau nasihat tertulis ini dibuat oleh seorang doktor di bidang hukum dari sebuah universitas swasta di Bandarlampung.

Dia mengawali pandangan hukumnya dengan mengemukakan intisari dari isu hukum yang beredar belakangan ini. Disampaikannya, berdasarkan informasi yang beredar, Eka Afriana diduga memalsukan dokumen pribadinya, yakni KTP dan akta kelahiran, untuk memenuhi persyaratan usia maksimal 35 tahun dalam proses seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada tahun 2008.

BACA JUGA  Manuver Walikota Bandarlampung Bikin Publik Termangu  

Perubahan data tanggal lahir dari 25 April 1970 menjadi 25 April 1973 dianggap sebagai upaya untuk memenuhi syarat usia tersebut. Dugaan pemalsuan ini diperkuat oleh kesamaan tanggal lahir saudari kembarnya, Eva Dwiana, yang diketahui lahir pada 25 April 1970.

Selanjutnya pakar hukum ini mulai menelisik perkaranya. Dia menyoal apakah perbuatan pemalsuan identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263–264 KUHP, Pasal 95B UU No. 24 Tahun 2023 (Administrasi Kependudukan), UU No. 27 Tahun 2022 (Perlindungan Data Pribadi), dan UU ITE masih dapat dituntut atau telah kedaluwarsa?

Pertanyaan berikutnya, apakah penggunaan instrumen hukum untuk memproses pejabat publik dapat dikualifikasikan sebagai bentuk kriminalisasi karena kepentingan politik?

Dalam analisis hukumnya doktor bidang hukum ini membedah dari aspek Daluwarsa Tindak Pidana Pemalsuan Identitas. Termasuk ketentuan Daluwarsa (Verjaring).

Disebutkan juga ketentuan pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP) diancam dengan pidana maksimum 6 tahun, sehingga daluwarsanya 12 tahun. Lalu pemalsuan KTP-el (Pasal 95B UU 24/2023) diancam pidana penjara 10 tahun, sehingga daluwarsanya 18 tahun. Kemudian pemalsuan data pribadi (UU 27/2022 & UU ITE) memiliki ancaman 4–12 tahun, sehingga rata-rata daluwarsanya 12–18 tahun.

Berikutnya dijelaskan perihal dimulainya perhitungan Daluwarsa. Diuraikan menurut Pasal 79 KUHP, daluwarsa dihitung sejak hari perbuatan dilakukan. Namun, untuk tindak pidana berkelanjutan (misalnya penggunaan identitas palsu dalam jangka panjang), daluwarsa dihitung sejak perbuatan terakhir dilakukan.

Implikasi, doktor itu menambahkan, jika perbuatan pemalsuan identitas dilakukan dalam kurun waktu kurang dari 12–18 tahun yang lalu, maka belum kedaluwarsa dan masih dapat dituntut secara hukum.

Lebih lanjut dia juga mengutarakan sisi pandang hukum lainnya, yakni dugaan kriminalisasi pejabat karena kepentingan politik.

Dia menjelaskan definisi kriminalisasi dalam konteks politik yang dimaksud adalah penggunaan instrumen hukum (proses pidana) bukan semata-mata untuk menegakkan keadilan, tetapi untuk menjatuhkan, menekan, atau menghambat pejabat publik karena kepentingan tertentu.

Dalam perkara serupa ini, imbuhnya, pendekatan prinsip-prinsip hukum yang relevan ialah, asas Due Process of Law (Pasal 28D ayat 1 UUD 1945): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.

Lantas asas Equality Before the Law dimana semua orang sama kedudukannya di hadapan hukum, tanpa diskriminasi.

Kemudian ada Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 mengatur bahwa penyidik dilarang melakukan kriminalisasi pejabat publik hanya karena perbedaan pendapat atau kebijakan, kecuali terdapat indikasi nyata perbuatan pidana murni.

Doktor bidang hukum ini juga mengulas cakupan indikator kriminalisasi karena politik. Dia mencontohkan misalnya proses hukum muncul mendadak pada momentum politik tertentu, seperti saat menjelang pemilu.

Lalu proses penyidikan terkesan dipaksakan atau tanpa bukti kuat. Kemudian terdapat intervensi kekuasaan atau kepentingan kelompok tertentu dalam proses penegakan hukum.

Pada uraian tersebut juga disampaikan implikasi jika proses hukum terhadap pejabat publik dilakukan bukan murni karena perbuatan pidana, tetapi karena tekanan politik, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai bentuk abuse of process dan mengarah pada kriminalisasi.

Dibagian akhir disimpulkan, bahwa Daluwarsa atas perbuatan pemalsuan identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHP, UU Adminduk, UU PDP, dan UU ITE memiliki daluwarsa 12–18 tahun, sehingga sepanjang belum melewati jangka waktu tersebut, proses pidana masih dapat dilakukan.

BACA JUGA  Belajar dari Raya, Alesha dan Hanina, Hak Dasar Kesehatan itu Memang Tak Pernah Ada

Sebaliknya jika kecenderungan yang berlangsung adalah kriminalisasi pejabat, dimana penegakan hukum dilakukan bukan demi kepentingan keadilan, tetapi untuk kepentingan politik (misalnya menjatuhkan pejabat), maka hal ini dapat dikualifikasikan sebagai kriminalisasi.

Oleh karenanya dalam isu hukum Eka Afriana ini, doktor tersebut merekomendasikan kepada aparat penegak hukum untuk memastikan setiap proses penyelidikan dan penyidikan berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 1 angka 14 KUHAP). Seraya menghindari penyalahgunaan hukum sebagai alat politik.

Sedangkan terhadap pihak yang dituduh, doktor tadi merekomendasikan untuk menempuh langkah mengajukan praperadilan jika terdapat indikasi kriminalisasi atau penyalahgunaan proses hukum (Pasal 77–83 KUHAP).

“Siapkan pembelaan hukum dengan menekankan pada asas proporsionalitas dan prinsip praduga tak bersalah,” pesannya.

Kepentingan Politik Macam Apa?

Sebagai pendapat hukum atau nasihat tertulis, sah-sah saja legal opinion itu disampaikan. Bahkan bisa dijadikan sebagai sebuah referensi atau pijakan untuk menyikapi perkara dugaan pemalsuan identitas yang menyangkut Eka Afriana.

Berangkat dari penjelasan legal opinion di atas bahwa menurut Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat diancam dengan pidana maksimum 6 tahun, sehingga daluwarsanya 12 tahun. Lalu pemalsuan KTP-el (Pasal 95B UU 24/2023) diancam pidana penjara 10 tahun, sehingga daluwarsanya 18 tahun.

Kemudian pemalsuan data pribadi (UU 27/2022 & UU ITE) memiliki ancaman 4–12 tahun. Maka rata-rata daluwarsanya 12–18 tahun.

Sekarang mari ditelusuri, dugaan pemalsuan identitas diri Eka Afriana berlangsung pada 2008. Saat isu hukum itu diangkat terjadi di tahun 2025. Artinya ada selisih rentang waktu 17 tahun. Kalau merujuk pada penjelasan legal opinion di atas, maka angka 17 tahun masih masuk dalam ketentuan batas waktu daluwarsa 12 sampai 18 tahun.

Sedangkan bila menelaah kemungkinan adanya indikasi kriminalisasi pejabat karena kepentingan politik, kiranya juga menarik dibahas.

Hari-hari ini bisa dibilang hubungan Eva Dwiana sebagai walikota (eksekutif) terbilang kondusif dengan perwakilan partai (legislator) yang berhimpun di DPRD Kota Bandarlampung. Malah bisa dibilang kedua belah pihak sangat harmonis dan kompak, terutama menyangkut “rencana” hibah Rp60 miliar untuk Kejati Lampung.

Kalau relasi kembaran Eka Afriana dengan para perwakilan partai politik terbilang baik-baik saja, justru terasa janggal bila kemudian dibangun narasi sebaliknya. Dimana seolah-olah ada kemungkinan besar perkara ini memiliki kadar tinggi ditunggangi oleh kepentingan politik.

Benar, menelaah suatu persoalan memang harus dilihat dari berbagai sudut pandang. Kalau pun ternyata indikasi kepentingan politik itu dianggap nyata, maka publik perlu tahu kepentingan politik macam apa yang dimaksud.

Sebab di negara penganut demokrasi seperti di Indonesia, semua hal bisa saja dikait-kaitkan dengan urusan poltik. Namun penjelasannya mesti masuk akal dan faktual.

Lalu, kalau disebutkan jangan sampai proses penyidikan perkara Eka Afriana terkesan dipaksakan atau tanpa bukti kuat, lantaran terdapat intervensi kekuasaan atau kepentingan kelompok tertentu, ini juga menarik.

Sebab kita sama-sama tahu siapa yang berkuasa saat ini. Sehingga poin ini justru terasa dipaksakan kalau mau dipakai sebagai dalih. (*)

Further reading

  • bahan pangan tersandera mbg

    Bahan Pangan yang Tersandera MBG

    Tingginya permintaan harian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis, memicu naiknya harga bahan pokok di sejumlah pasar. Masyarakat dan pedagang tradisional mengeluh. (Lontar.co): Meski sudah menunggu sejak pagi, Erni hanya mampu membeli sekilo telur dan 5 kilogram beras di pasar murah yang digelar di Kantor Kecamatan Bumi Waras itu. Banyak bahan pokok yang […]
  • Duet Kembar Eva Dwiana & Eka Afriana, Mengapa Begini?

    Kurang murah hati apa warga yang telah memilih kembali Eva Dwiana sebagai Walikota Bandarlampung. Kurang legowo apa publik yang tidak menyoal praktik nepotisme dengan mendudukkan kembarannya, Eka Afriana, sebagai kepala Dinas Pendidikan. (Lontar.co): Tapi untuk timbal balik sekadar menjaga perasaan publik pun kok rasanya enggan. Malah melulu retorika yang disodorkan. Apa pernah Walikota Bandarlampung, Eva […]
  • kopi intan

    Bersama BRI, Kopi Intan Sukses Naik Kelas

    Di bawah binaan BRI, Kopi Intan berhasil menapaki pemasaran kopi Lampung hingga ke berbagai daerah di Indonesia. (Lontar.co): Aroma harum biji-biji kopi yang sudah selesai di roasting itu menguar kemana-mana, asalnya dari arah salah satu rumah di Kampung Empang, Pasir Gintung, Bandar Lampung. Dari dalam rumah sederhana yang terus menebarkan semerbak harum biji kopi itu, […]