Meski pemerintah daerah di sejumlah kabupaten/kota di Lampung membebaskan sanksi denda keterlambatan pembayaran PBB P2, kenyataannya tarif PBB P2 tetap naik hampir 100 persen. Cara jitu mengkamuflasekan kenaikan pajak untuk daerah dengan ruang fiskal yang sangat rendah tapi membebani rakyatnya.
(Lontar.co): Meski Pemkab Lamsel membuka program pembebasan sanksi administratif atau denda terhadap tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), tapi Yusron tak tergerak sedikit pun untuk membayar pajak.
Ia kecewa, pasalnya tarif PBB P2 yang sebelumnya rutin ia bayarkan ternyata naik hingga hampir 100 persen.
Padahal, tahun-tahun sebelumnya, ia tak pernah terlambat membayar pajak.
Tahun lalu, ia membayar pajak untuk dua hektar sawahnya hanya Rp200 ribu, tapi sekarang tagihan pajaknya naik hingga Rp400 ribu.
“Kaget aja, kok bisa naik sampai 100 persen seperti itu, nggak ada solusi sama sekali lagi,” ujarnya.
Buat Yusron, tagihan pajak yang naik hingga satu kali lipat dari tarif sebelumnya, jelas dirasa berat, apalagi di tengah harga hasil panen singkong yang ia peroleh tak sebanding dengan modal yang ia keluarkan.
“Harga singkong aja masih murah seperti ini, jangankan untung, sudah balik modal aja syukur, masih pula dibebankan PBB segini mahal”.
Dulu, lanjutnya, meski harga singkong anjlok luar biasa, ia tetap menyisihkan pendapatan dari kebun singkongnya untuk membayar PBB P2, tapi sekarang untuk membayar PBB P2 yang naiknya hingga 100 persen, ia jelas keberatan.
Bukan cuma Yusron, S warga Palas, Lamsel juga terkejut saat tiba-tiba tagihan PBB untuk rumahnya seluas seperempat hektar dikenakan hingga Rp109 ribu, tahun lalu ia masih membayar Rp60 ribu.
“Naiknya banyak sekali. Apalagi, SPPT PBB P2 yang jatuh tempo bulan Juni sudah dikirim bulan Maret, padahal saya nggak pernah nunggak, tapi kalau naiknya tinggi seperti ini, kok berat juga,” tutur S.
Bukan Kenaikan tapi Penyesuaian
Tapi, Badan Pengelola Pendapatan dan Pajak Daerah (BPPRD) Lamsel berdalih, bahwa PBB P2 bukan naik melainkan penyesuaian.
Kepada wartawan beberapa waktu lalu, Kabid PBB-P2 dan BPHTB BPPRD Kabupaten Lampung Selatan, Aulia Rahman menyebut kenaikan itu sebagai penyesuaian nilai Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2).
“Tapi, tidak sampai seratus persen,” ujarnya.
Ia beralasan, sejak tahun 2017, PBB P2 memang tak pernah mengalami kenaikan tarif, di sisi lain, nilai hasil panen yang diperoleh petani memang amat berpengaruh terhadap kewajiban mereka membayar pajak.
Aulia Rahman juga berdalih bahwa tarif PBB P2 yang dibebankan ke masyarakat sebelumnya memang amat ringan, sehingga ketika terjadi penyesuaian tarif, kebanyak masyarakat khususnya petani mengeluh.
“Penyesuaiannya itu maksimal dua grade (dari tarif sebelumnya)”.
Tapi, Yusron tak sependapat dengan kenaikan yang disebut BPPRD Lamsel sebagai penyesuaian tarif itu, karena harga komoditas pertanian khususnya singkong yang diperoleh petani saat ini masih jauh dari harapan.
“Kalau harga singkongnya aja masih di bawah seribu, sedangkan modal yang dikeluarkan lebih dari seribu per kilo, bagaimana kami bisa bayar pajak”.
Penyesuaian tarif PBB, menurutnya, harus disesuaikan dengan keadaan petani, bukan semaunya saja.
Tak Pernah Capai Target
Jika merunut realisasi Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) di Kabupaten Lampung Selatan, periode 2022 hingga 2023, realisasinya memang masih jauh dari harapan, rata-rata di periode itu, realisasinya bahkan kurang dari 80 persen untuk total 17 kecamatan di Lampung Selatan.
Kecamatan-kecamatan seperti; Natar, Tanjungsari, Katibung, Candipuro dan Penengahan, realisasi PBB P2 pada periode tersebut bahkan kurang dari 70 persen.
Karenanya, untuk mengantisipasi tak terealisasinya target PBB P2 tahun 2025 ini, BPPRD Lamsel bahkan menerbitkan program pembebasan sanksi administratif berupa denda PBB P2 untuk periode tahun 2020-2024, meskipun tarif PBB P2 mulai tahun 2025 dinaikan.
Dalam Keputusan Bupati Lamsel Nomor: B/240/IV.04/HK/2025 Tentang Pembebasan Sanksi Administratif Berupa Denda Atas Tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) Golongan I dan II di Kabupaten Lampung Selatan Masa Pajak 2020-2024 yang berlaku sampai tanggal 31 Juli 2025 lalu itu, kenyataannya tak efektif menggugah masyarakat untuk membayar pajak.
Termasuk Yusron dan S, yang memilih menahan diri untuk tak membayar PBB P2 karena kenyataannya beban pajak yang harus mereka bayar cukup tinggi,”kalau mau jujur, saya ini taat pajak, baru tahun 2025 ini saya tak bayar pajak karena ada kenaikan ini, tahun-tahun lalu saya tak pernah menunggak pajak, selalu tertib. Karenanya, kalau ada penghapusan denda pajak, itu tak ada artinya buat saya,” tuturnya.
Kenaikan Pajak Merata
Jika mau jujur, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), sebenarnya dilakukan oleh hampir merata semua kabupaten dan kota di Lampung.
Hanya saja, pasca gejolak di Kabupaten Pati, kebanyakan pemerintah memilih menahan diri untuk melakukan sosialisasi kenaikan pajak ini. Bahkan, alih-alih melakukan sosialisasi kenaikan tarif pajak, kebanyakan pemerintah kabupaten dan kota justru mengkamuflasekan kenaikan pajak itu dengan memberikan keringanan berupa denda pajak tertunggak, seperti di Lamsel.
Pemerintah Kota Bandarlampung juga menerapkan aturan yang sama, BPPRD Bandarlampung memberi keringanan dengan menggratiskan PBB P2 untuk golongan I dengan tagihan hingga Rp150 ribu, sedangkan untuk golongan II dan III, diberi potongan diskon hingga 50 dan 30 persen, ini berlaku sampai tanggal 31 Agustus 2025 lalu.
Pasca kasus aksi massa besar-besaran yang melanda Kabupaten Pati akibat kebijakan menaikan PBB P2 hingga 250 persen, Kemendagri memang langsung meresponnya dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) 900.1.13.1/4528/SJ Tentang Penyesuaian Penetapan Kebijakan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah.
Dalam beleid itu, disebutkan penetapan kebijakan pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah wajib memperhatikan kondisi masyarakat agar tidak menimbulkan beban bagi masyarakat khususnya kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Selain itu, penyesuaian tarif, nilai objek pajak daerah dilakukan sesuai dengan asas keadilan serta penyesuaian tarif pajak daerah juga harus disertai dengan analisis dampak sosial ekonomi masyarakat serta hasil penilaian atas objek pajak.
Tak hanya itu, pemda juga wajib menyosialisasikan penyesuaian tarif pajak kepada masyarakat.
Surat edaran itu sesuai dengan tuntutan Yusron, yang harus mempertimbangkan kondisi ekonomi petani dan harus disosialisasikan terlebih dahulu,”jangan seenaknya saja naikan pajak, kondisi rakyat sedang susah seperti sekarang,” tegas Yusron.
Kenaikan Pajak Jalan Instan Pemda Lepas dari Tekanan Efisiensi
Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diketahui menjadi cara instan pemerintah daerah untuk melepaskan diri dari tekanan efisiensi anggaran dari pemerintah pusat.
Diketahui, ada sebanyak 104 daerah di Indonesia yang memilih opsi menaikan PBB P2 pasca pemangkasan transfer daerah dari pemerintah pusat. Apalagi, tekanan kapasitas fiskal kebanyakan daerah termasuk di Lampung termasuk rentan.
Gubernur Mirza saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, menyebut realisasi PAD 15 kabupaten/kota di Lampung jauh dari harapan, hanya 6 persen dari total APBD 15 kabupaten/kota yang mencapai Rp32 triliun.
Bahkan, ada beberapa kabupaten/kota yang realisasi Pendapatan Asli Daerahnya ada yang hanya 3 persen, beberapa daerah lainnya hanya mampu merealisasikan PAD di angka 10 persen.
Oleh karenanya, kenaikan pajak ini menjadi cara paling mudah yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menggenjot pendapatan asli daerah meskipun perekonomian masyarakat tengah melesu luar biasa.
Solusi instan ini pula seolah mendapat dukungan dengan terbitnya Permenkeu Nomor 85 Tahun 2024 yang dalam salah satu poinnya mengatur tarif maksimum PBB-P2 bisa dinaikkan hingga 0,5 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Kenaikan hingga 0,5 persen ini bahkan melampaui tarif lama yang berada di kisaran 0,1 hingga 0,3 persen yang banyak diberlakukan di banyak daerah, termasuk di Lamsel yang terakhir kali menaikan tarif pajak di tahun 2017.
Permenkeu yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), menjadi pintu masuk untuk pemerintah daerah untuk memperluas ruang fiskal dan menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD), salah satunya melalui instrumen pajak PBB-P2.
Tapi, lucunya meski dinaikan hingga 100 persen lebih, Kemenkeu justru menilai kontribusi PBB terhadap PAD selama ini cenderung stagnan.
Selain itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira juga melihat kebijakan efisiensi anggaran memang dirasakan amat menekan pemerintah daerah.
Saat ini, pemerintah daerah dalam keadaan terjepit, seiring pemangkasan anggaran oleh pemerintah pusat yang bahkan akan berlangsung hingga tahun anggaran 2026 mendatang dengan target efisiensi mencapai Rp269 triiliun.
“Efisiensi untuk resentralisasi keuangan dan membayar utang jatuh tempo dan bunga yang melonjak hingga Rp1.350 triliun per tahun. Ruang fiskal daerah jadi kering,” jelas Bhima seperti dikutip dari BBC Indonesia.
Dalam indeks kapasitas fiskal daerah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65 Tahun 2024 Tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah, tiga daerah yakni; Lampung Tengah, Lampung Utara dan Pringsewu masuk dalam kategori rasio kapasitas fiskal sangat rendah.
Kemudian, 7 kabupaten/kota masuk dalam kategori rasio kapasitas fiskal rendah yang meliputi; Lampung Barat, Lamtim, Tanggamus, Tulangbawang, Way Kanan, Pesawaran dan Pesisir Barat.
Sedangkan, Lamsel, Bandarlampung, dan Tulangbawang Barat masuk dalam kategori rasio fiskal sedang.
Hanya Kota Metro yang masuk dalam kategori rasio fiskal sangat tinggi, kemudian disusul Kabupaten Mesuji yang masuk dalam kategori rasio fiskal tinggi.
Kategori rasio fiskal tinggi merujuk kondisi keuangan suatu daerah yang memiliki kemampuan keuangan yang mapan untuk mendanai berbagai urusan pemerintahan dan pembangunan yang ditopang dari sektor PAD yang memadai.
Sebaliknya, kategori rasio fiskal sangat rendah, rendah dan sedang, merujuk pada kondisi keuangan yang terbatas untuk menggunakan sumber keuangannya secara efektif. Pada kondisi ini, pemerintah daerahnya memang melakukan berbagai macam cara untuk menggenjot PAD termasuk menaikan tarif PBB P2 hingga ratusan persen hingga membuat rakyatnya menjerit.
Karenanya, amat wajar jika Yusron dan kebanyakan warga memilih tak membayar pajak di tengah situasi ekonomi yang sulit seperti sekarang,”jangankan mau bayar pajak, buat makan sehari-hari aja, susahnya minta ampun”.