Karya Raya platform ekspresi kreatif anak yang fokus pada bakat kepenulisan dan ilustrasi, menginisiasi gerakan urgensi sebagai kesungguhan untuk memperbaiki kemampuan berliterasi anak Indonesia dengan cara yang luar biasa; menulis buku. Dan, salah satu dari sedikit karya yang lolos kurasi itu, ada nama Raaga, penulis kecil satu-satunya dari Lampung.
(Lontar.co): Setahun lalu, di rak buku Perpustakaan Jakarta yang nyaman, mata Raaga seketika tertuju pada deret koleksi buku anak yang mengganggu rasa keingintahuannya, bukan cuma judul, tapi juga penulisnya.
Ia melihat ada begitu banyak judul buku, yang ternyata ditulis oleh anak-anak seusianya. Ia penasaran, tangan kecilnya tak sabar menenteng buku dan membuka tiap lembar kisah Nara Space’s Adventure, karya Ayrashanum Sabria Malayeka dan The Smart Farmer and The Naughty Worm karya Orlando, yang sungguh menyita perhatiannya.
Keingintahuannya membuncah tak hanya pada kisah yang ditulis di dua buku itu, tapi juga menjawab pertanyaan untuk dirinya sendiri, tentang bagaimana seorang anak yang sebaya dengannya bisa menulis buku, yang menurutnya amat luar biasa.
Kegelisahan lama yang selalu ia pendam tentang kesetaraan ‘hak’ antara orang dewasa dan anak-anak dalam hal menulis buku yang seharusnya punya hak yang sama, akhirnya terjawab di Perpustakaan Jakarta itu.
Kegelisahan ini, sebenarnya menjadi bentuk protes yang muncul dalam dirinya, bahwa buku anak-anak idealnya memang dikisahkan oleh segmen yang sama dengan pembacanya.
Rasa ketidakpuasan itu, sebenarnya muncul sejak lama ketika banyak koleksi buku yang ia miliki justru bercerita tentang dunia anak dalam sudut pandang orang dewasa, ia masih merasa ada yang ‘kurang’ dari itu semua, kurang menggigit dan tak hidup.
Sebagai pembaca, Raaga memang selalu menempatkan dirinya sebagai obyek di cerita itu, jadi ia punya kesimpulan sendiri, bahwa buku anak-anak memang seharusnya ditulis oleh anak-anak itu sendiri.
Sejak itu, nalar kreatifnya muncul dan mengalir, tapi bukan sebagai pembaca lagi, melainkan sebagai penulis sekaligus.
Setiap hari, ia bukan hanya menulis tiap kata, tapi juga membuat ilustrasi-ilustrasi yang ia fungsikan sebagai penerjemah dari tulisannya.
Ia intens berdiskusi dengan ayah dan bundanya soal alur, kadang pula, ia keras mempertahankan ide cerita yang menurutnya menarik.
Pergulatan-pergulatan kecil itu pula yang pada akhirnya melahirkan ide cerita Brani dan Lukisan Malamnya, meski sederhana tapi banyak pesan yang ingin disampaikan oleh Raaga di cerita itu.
Dari naskahnya itu, ia bertutur dengan cara yang sederhana, mudah dipahami, tentunya buat anak-anak sebayanya.
Plot-plotnya ia narasikan dengan gaya keseharian yang khas dengan anak kebanyakan, dengan berbagai permasalahan yang melingkupi keseharian mereka pula.

Ekspresi kreatifnya itu bahkan tak berhenti sampai di situ saja, ide ceritanya itu diikutsertakan pula di eksebisi kreatif oleh platform digital kreatif anak terkemuka di Indonesia, Karya Raya, yang memberi ruang amat besar untuk tiap anak berkreasi utamanya dalam dunia kepenulisan hingga ilustrasi.
Dalam proses kurasinya, naskah yang dibuat Raaga bahkan mampu bersaing dengan lebih dari 4 ribu naskah cerita yang ditulis oleh anak-anak seusianya dari seluruh Indonesia.
Raaga juga menjadi satu-satunya penulis dari Lampung yang berhasil lolos dalam kurasi itu.
Akhir September 2025 mendatang, naskah buku Brani dan Lukisan Malamnya akan dipamerkan di Perpustakaan Jakarta bersama dengan karya-karya lain anak Indonesia hasil kurasi ketat, yang masing-masing akan dibuat menjadi sebuah buku resmi yang dilekatkan dengan International Standard Book Number (ISBN).
Dalam seleksi lanjutan, buku-buku terpilih dalam eksebisi ini juga akan ditempatkan secara khusus sebagai koleksi resmi Perpustakaan Jakarta untuk kategori buku anak-anak.
Eksebisi kreatif yang sudah berlangsung sejak tahun 2023 ini menjadi sumbangsih serius Karya Raya dalam menggerakan minat literasi khususnya kepada anak-anak Indonesia yang diketahui masih amat rendah.
Masalah literasi di Indonesia sejatinya memang belum tuntas.
Indonesia memang darurat membaca, rendahnya literasi berdampak serius pada masa depan kebanyakan anak-anak Indonesia.
Merujuk data UNESCO tahun 2022, tingkat literasi di Indonesia berada diurutan kedua paling bawah, dengan minat baca yang hanya 0.001 persen atau sedehananya, dari 1.000 orang Indonesia hanya ada 1 orang saja yang minat bacanya baik.
Dalam riset yang lebih mendalam tentang level literasi Indonesia yang dilakukan oleh World’s Most Literate Nations Ranked oleh Central Connecticut State University, Indonesia berada diurutan ke 60 dari 61 negara dengan minat baca paling rendah di dunia.
Dalam hal skor Program for International Student Assessment (PISA), Indonesia juga masih relatif rendah dan jauh tertinggal dengan negara-negara lain, termasuk dalam level Asia, puncaknya pada tahun 2022 lalu, skor literasi Indonesia yang dirilis PISA menjadi yang paling rendah jika dibanding tahun-tahun sebelumnya, yang bahkan tak mampu bersaing dengan negara-negara seperti Filipina maupun Vietnam.
Rendahnya literasi ini pula yang kemudian berkorelasi dengan kualitas pendidikan di Indonesia, dalam penilaian Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang secara konsisten meneliti kualitas pendidikan suatu negara termasuk Indonesia melalui proses evaluasi prestasi siswa tiap tiga tahun sekali menempatkan posisi Indonesia dalam posisi yang memprihatinkan.
Dalam skala yang lebih luas, rendahnya literasi suatu negara, juga menjadi ganjalan pengembangan pendidikan nasional yang terhubung secara langsung dengan rendahnya tingkat produktivitas secara personal yang kemudian berdampak secara kolektif dalam konteks sebuah bangsa.
Dari gerakan ‘kecil’ yang menggugah harapan membaiknya literasi ini pulalah, yang kemudian merumuskan upaya Karya Raya yang secara perlahan menjadi sebuah eksebisi besar yang kemudian diminati oleh banyak anak dari seluruh Indonesia.
Sepanjang prosesnya, sejak dari tahun 2023 hingga saat ini, Karya Raya bahkan sudah menjelma sebuah wadah besar bagi anak-anak di Indonesia yang menaungi lebih dari 1.000 kreator muda utamanya anak-anak dalam proses berkarya yang berhubungan langsung dalam gerakan membangun literasi sejak dini yang dimulai dari ujung pena setiap anak Indonesia.
Sedang, dari Raaga, ada pesan bahwa anak bukan entitas yang hidup dalam bayang-bayang dan dibentuk berdasarkan keinginan tiap orang tua. Karena, sejatinya bahwa mereka juga punya hak sekaligus nalar kreatif, yang memang harus diarahkan dalam ruang-ruang bakat untuk masa depan mereka yang lebih besar.
Belajar dari Raaga dan Karya Raya, sejatinya gerakan literasi memang sudah harus disegerakan sebagai sesuatu yang darurat, bukan cuma sekedar jargon atau program di atas kertas yang tak pernah punya makna apa-apa apalagi buat masa depan anak-anak.