Ini kisah tentang seorang Pejabat Perikanan Lampung yang baru saja dilantik kembali menjadi Kepala UPTD Perikanan Labuhan Maringgai Lampung. Itu adalah jabatan lama yang pernah bertahun-tahun dilakoninya. Apa salahnya hingga harus disisihkan?
***
Suasana Balai Keratun pada Jumat siang (22/8/2025) terasa lebih khidmat dari biasanya. Ruang pelantikan pejabat dipenuhi puluhan wajah baru, ada yang sumringah penuh semangat, ada pula yang tegang menanti giliran dipanggil. Dari 96 pejabat yang dilantik, terdiri atas 62 Pejabat Administrator dan 34 Pejabat Fungsional, masing-masing berdiri rapi, mendengarkan deretan sumpah jabatan yang dibacakan.
Namun, di tengah barisan itu, berdirilah seorang sosok yang berbeda. Wajahnya tidak menampakkan ekspresi berlebihan, hanya tenang, nyaris tanpa emosi.
Padahal, ia tahu persis bahwa siang itu adalah titik balik kariernya. Sebuah kabar sudah lama ia dengar: dirinya akan “ditendang” dari jabatan Kepala Bidang Perikanan Tangkap di Dinas Perikanan dan Kelautan (DPK) Lampung.
Kata “tersisih” memang menyedihkan. Kata “ditendang” juga terdengar kasar. Tapi begitulah realitas mutasi dalam birokrasi. Kadang naik, kadang turun. Kadang, bahkan kembali ke kursi lama yang sudah pernah dipanaskan bertahun-tahun.
Ia bukan pejabat muda. Usianya sudah mendekati senja. Tiga tahun lagi pensiun.
Namanya tak asing di kalangan nelayan Lampung. Ia dikenal cakap mengurus perikanan tangkap. Puluhan tahun denyut nadinya tercurah di pesisir.
Salah satu kiprah besarnya adalah mendorong pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) di 10 titik. Program ini lahir dari gagasan gubernur, dipercayakan kepadanya.
Ia telah menyiapkan perencanaan matang baik lokasi, teknis distribusi, hingga jaminan keberlanjutan.
“Secara prinsip itu sudah oke semua. Bisa tuntas kok tahun ini,” ucapnya suatu hari, dengan penuh keyakinan.
Sayang, belum sempat melihat program itu rampung, ia harus melepas kursinya.
Usai pelantikan, ia resmi ditugaskan sebagai Kepala UPTD Perikanan di Labuhan Maringgai. Jabatan ini bukanlah hal baru baginya. Bertahun-tahun lamanya ia pernah duduk di kursi itu, bahkan mengantongi Surat Keputusan dari tiga gubernur berbeda untuk posisi yang sama. SK terbaru kembali menjadi Ka UPTD Laburan Maringgai adalah untuk keempat kalinya.
Pertanyaan pun bergulir, mengapa seorang pejabat dengan catatan prestasi gemilang justru “dikembalikan” ke jabatan lama?
Selama menjabat Kabid Tangkap, ia berhasil mengangkat Nilai Tukar Petani (NTP) sektpr perikanan Lampung. Indikator yang sering kali diabaikan itu justru melonjak di tangannya.
Bukan hanya itu, ia juga menjadi tokoh di balik geliat perdagangan Benur Bening Lobster (BBL) dan rajungan. Bisnis yang sebelumnya kerap berada di “wilayah abu-abu” itu ia dorong menjadi legal, sehingga mampu memberikan kontribusi sah bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Ia juga getol mengupayakan adanya penerimaan dari dari SDA ikan melalui TPI dan penerimaan dari sektor kepelabuhanan perikanan dan kesejahteraan nelayan melalui minyak subsidi.
Berkat langkahnya, Lampung kini memiliki sumber PAD baru dari retribusi BBL, yang disahkan gubernur tahun lalu. Sebuah capaian yang jelas tidak bisa dianggap sepele.
Namun, dalam birokrasi, capaian tak selalu sejalan dengan jabatan.
Heran, mengapa kapasitas sosok itu tidak dimaksimalkan? Mengapa justru diparkir kembali di jabatan lama?
Ia hanya menanggapi dengan rendah hati.
“Saya sudah bekerja dengan baik, tidak pernah melakukan pelanggaran. Tapi apa pun tugas yang diberikan pimpinan harus dikerjakan dengan baik,” ujarnya pelan, dengan logat khas Sumatera Barat yang kentara.
Tak ada amarah, tak ada perlawanan. Ia memilih tenang, meski jelas ada getir di balik kata-katanya.
Dalam acara pelantikan itu, Sekretaris Daerah Provinsi Lampung, Marindo Kurniawan, mewakili Gubernur Rahmat Mirzani Djausal, menyampaikan pesan penting.
Pelantikan, katanya, adalah bagian dari memperkuat tata kelola pemerintahan agar lebih efektif dan adaptif.
“Seorang pejabat harus punya tiga hal, yakni kompetensi, etos kerja, dan profesionalitas. Tidak cukup hanya duduk di kursi jabatan, tetapi harus menunjukkan kinerja yang terukur, berorientasi hasil, dan benar-benar memberi manfaat nyata bagi masyarakat,” tegas Marindo.
Ia menambahkan, jabatan bukanlah tempat beristirahat, melainkan amanah. ASN harus terus belajar, mengasah diri, dan tidak boleh tertinggal oleh perkembangan zaman, khususnya di era digital yang menuntut birokrasi lebih cepat dan transparan.
Pesan itu memang mulia. Dan sangat mungkin gubernur membutuhkan sosok ini kembali ke habitatnya, mengurusi nelayan langsung di garis depan. Bukankah, dia punya pengalaman yang hebat selama menjadi Ka UPTD. Mumpuni dan sudah terbukti.
Tetapi, bukankah dia masih punya peer yang harus diselesaikan. BBM subdidi untuk nelayan belum sepenuhnya rampung. Retribusi BBL dan rajungan mesti harus dimaksimalkan. Sayang sekali, jika akhirnya berjalan lamban.
Dari semua itu, kisah pejabat perikanan tangkap ini memberi cermin lain, bahwa birokrasi tak selalu berjalan lurus sesuai prestasi. Itu biasa terjadi.
Ada dinamika yang membuat seorang pejabat bisa melambung, lalu tiba-tiba kembali ke kursi lamanya.
Begitulah jalan pengabdian. Kadang berada di puncak, kadang kembali ke titik awal. Pejabat yang baik wajib memilih menerima dengan lapang dada, seperti sosok ini yang tetap amanah dalam diamnya.
Dan di situlah martabat seorang abdi negara diuji. Bukan pada kursi yang diduduki, melainkan pada kesetiaan bekerja hingga titik akhir.***







