Hampir setiap hari, informasi lomba menulis berseliweran di media sosial. Pemerintah, penerbit, lembaga, dan komunitas berkejaran mengambil peran sebagai pelaksana kegiatan. Namun, tak sedikit pula kita jumpai penyelenggara nakal yang mengadakan lomba abal-abal. Berdalih memfasilitasi, ternyata malah melakukan penipuan atas nama mengembangkan literasi.
Menurut data dari BPS dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2024 jumat pengguna internet di Indonesia mencapai 221, 56 jiwa atau sekitar 79 persen dari total penduduk.
Persentase yang fantastis bagi suatu negara dengan jumlah populasi terbesar keempat di dunia. Jutaan jiwa ini merupakan pangsa pasar yang menjanjikan dalam menarik minat masyarakat terhadap sesuatu produk dan mengikuti berbagai kegiatan, lomba menulis salah satunya.
Lomba menulis cerpen, puisi, esai, cerita anak, naskah drama, blog, konten kreatif, dan sebagainya merupakan kompetisi yang cukup digandrungi. Pergerakannya semakin masif saja. Bisa jadi karena tingginya animo masyarakat juga mudahnya akses informasi. Berbondong-bondong calon peserta mangirimkan naskah. Hadiah yang besar, menambah poin dan portofolio, mengasah kemampuan, memperluas jaringan, menjadi alasan yang tepat untuk mengikuti lomba.
Namun, di tengah semangat itu, kita harus memasang alarm hati-hati dan teliti. Terkadang, lomba-lomba tersebut ternyata tidaklah seperti yang dibayangkan. Ada beberapa hal yang wajib diperhatikan sebelum kita memilih terlibat di dalamnya.
Pertama, ketentuan ‘semua naskah yang tidak menang tetap akan dibukukan tanpa melalui proses seleksi’. Tanpa seleksi artinya semua naskah akan diterbitkan dan bersembunyi di balik kata originalitas. Tak peduli apakah itu tak sesuai tema, tak bertentangan dengan SARA, rapi atau tidak, menggunakan AI atau sejenisnya, yang penting cetak, terbit, dapat uang.
Sering menemukan hal seperti ini di media sosial, kan? Nah, hati-hati, ya. Jangan percaya pada kemudahan-kemudahan apalagi yang tak realistis. Tak ada lomba yang tak memberi penilaian.
Dua, ketentuan ‘harus menandai setidaknya dua puluh akun medsos’. Jika hanya tiga, sangat wajar sebagai metode menyebarkan informasi, tapi kalau sampai puluhan, nanti dulu. Itu mau mengajak menulis, atau menjaring peserta jalan sehat?
Tiga, ketentuan ‘harus membayar sejumlah uang di luar biaya cetak’. Benar bahwa tak semua lomba berbayar itu tak baik. Beberapa penyelenggara memang ada yang jujur mengatakan bahwa hadiah berasal dari biaya pendaftaran. Itu bisa dan sah-sah saja asal memang demikian adanya. Bisa jadi penyelenggara memang memiliki niat baik tapi kondisi keuangan belum memadai.
Namun, tetap saja harus diwaspadai. Misalnya, jika uang yang terkumpul hanya 500.000 sementara hadiah pemenang satu juta, bagaimana mekanismenya? Apakah dibatalkan dan uang dikembalikan? Apakah penyelenggara tetap mau membiayai? Ataukah uangnya dibawa lari seperti kasus yang makin marak belakangan ini?
Empat, ketentuan ‘naskah yang sudah masuk menjadi milik penyelenggara’. Ow, ini bukan kudu hati-hati lagi, tapi harus langsung ditanyakan dan ditolak. Menulis itu sebuah karya hasil kerja olah otak, fisik, dan hati. Kita bukan sedang bersedekah yang memang tak boleh diambil lagi. Bahkan haram hukumnya.
Kita sedang memantik isi kepala untuk dituangkan ke pembaca. Ini tidak main-main, butuh usaha keras dan perjuangan yang sungguh-sungguh. Mengambil karya orang lain dengan cara dan dalam bentuk apa pun, adalah sebentuk kezaliman.
Lima, pelajari bagaimana proses seleksinya. Jika di persyaratan usia minimum peserta 17 tahun, berarti yang masih 16 tahun tidak boleh. Jika harus berdomisili di provinsi A, artinya yang di luar itu tak bisa ikut.
Konsistensi menumbuhkan kepercayaan calon peserta bahwa penyelenggara bersikap profesional dan visioner. Hati-hati jika penyelenggara membolehkan siapa saja ikut. Ada kemungkinan itu adalah orang dalam atau ‘orang-orangan’.
Enam, lomba berbayar dengan berkali-kali memperpanjang waktu pengumpulan naskah dengan alasan demi mencapai kuota dan mendapatkan tulisan yang bervariatif. Ini benar-benar mencurigakan. Kita bisa menduga penyelenggara ingin mendapat untung sebanyak-banyaknya dengan modal sedikit-dikitnya.
Tujuh, cermati siapa penyelenggaranya. Lihat profil, kapasitas, dan even yang pernah mereka kerjakan. Jika memang baru pertama kali mengadakan lomba, setidaknya mereka cukup aktif di dunia literasi. Nama besar bisa dipercaya, tapi waspada juga tetap harus dijaga. Penyelenggara baru juga tak mengapa. Intinya aktif memantau seperti apa kinerja, kapasitas, dan track record-nya selama ini.
Banyak oknum penyelenggara yang menggunakan media sosial untuk melakukan penipuan, termasuk menuliskan alamat palsu dan rekayasa kegiatan melalui unggahan-unggahan yang meyakinkan di akunnya.
Apakah harus sewaspada itu? Tentu saja. Pilih dan ikutilah lomba-lomba yang jelas keberadaan dan realistis persyaratannya. Baca, pelajari, pahami, tindak lanjuti. Jika menemukan keanehan, tanya panitia secara tertutup atau terbuka. Jika tak direspons, abaikan. Jika ragu, tinggalkan. Kita manusia literat, kan? (@fr)
