Dibungkam. Ironis, jurnalis masih temui upaya pembungkaman dengan cara ‘santun’. (Ilustrasi: Lontar.co)

Kepala Daerah Keranjingan Takedown Berita?

0 Comments

Konon, 100 hari masa jabatan kepala daerah adalah masa “bulan madu”. Semua masih tampak indah dan mengagumkan. Selepas fase itu, bak layar panggung teater yang ditutup, mulai muncul pula watak asli kepemimpinan. Seiring tumbuhnya rasa pede. Dia akan berani menunjukkan sikap. Bahkan sikap tidak populis sekalipun. Termasuk memberangus pemberitaan melalui permintaan takedown.

(Lontar.co): Seorang wartawan senior bercerita. Rekannya di redaksi lagi mesah-mesuh. Dia sedang berang pada seseorang. Seseorang yang dulu dikenal sebagai wartawan yuniornya.

Tapi roda kehidupan berputar. Si yunior sudah menanggalkan pena. Dia bersalin profesi. Kini dia mengklaim sebagai orang lingkar satu kepala daerah. Orang penting. Saking pentingnya dia tak ubahnya penentu nasib kepopularitasan kepala daerah junjungannya.

Tak sebatas urusan mem-branding, yunior yang sudah menjadi pembesar atau lebih dulu besar kepalanya itu, sekaligus mengemban tugas suci untuk menjaga maruah kepala daerah.

Maksudnya, selain mengurusi poles-memoles citra kepala daerah, dia dan timnya juga memikul tanggung jawab segunung. Mereka wajib waspada. Awas. Memasang mata. Bila perlu 24 jam non-stop. Tujuannya untuk mengendus segala potensi ancaman, termasuk pemberitaan miring dari media.

Sayangnya, seperti sedang mengalami euforia tingkat dewa, tindak-tanduk si yunior ini semakin kebablasan. Belakangan malah cenderung menjijikan. Itu yang dirasakan rekan redaksi wartawan senior tadi.

Menurut cerita wartawan senior ini, beberapa waktu lalu yunior yang sudah berlagak seperti Teddy Indra Wijaya mantan pengawal Presiden Prabowo itu, pernah menelepon rekan di redaksinya.

Kali pertama menelepon, si yunior to the point “minta tolong”. Dia sebutkan judul berita yang ditayangkan media online mereka. Lalu bilang, kepala daerah tidak berkenan dengan berita itu. Baiknya berita itu segera diturunkan. Istilah bekennya takedown.

Karena diawali ucapan “minta tolong”, lantas yang memohon adalah mantan yuniornya, setidaknya pernah sama-sama menjadi wartawan, permintaan itu lalu dipenuhi.

Tak dinyana, beberapa hari berselang, yunior itu kembali menghubungi via telepon. Kali ini kata pembukanya tidak lagi minta tolong. Tapi langsung bertanya, apakah media mereka telah bekerja sama dengan Diskominfo?

Kalau sudah, si yunior minta saling pengertian. Agar tidak usah lagi memposting berita miring tentang pemerintahan. Lalu dia menyebut judul sebuah berita. Kemudian sama seperti sebelumnya. Meminta untuk di-takedown. Sebelum mengakhiri pembicaraan, si yunior itu masih sempat bilang, kepala daerah tidak berkenan dengan berita tersebut.

Meski sudah mulai merasa keberatan, tapi atas dasar satu-dua pertimbangan, dengan berat hati permintaan itu kembali dipenuhi.

BACA JUGA  Dianggarkan 20 Persen di APBN, Potret Pendidikan Indonesia Masih Kayak Begini  

Tapi ketika yunior itu menelepon lagi, masih menurut cerita wartawan senior, tingkat emosi rekan di redaksinya sudah sampai ke ubun-ubun. Dia sudah kehabisan stok kesabaran. Lantaran isi omongan mantan yuniornya itu masih template seperti sebelumnya.

Lagi-lagi dia meminta satu berita untuk segera di-takedown. Pesan ancamannya juga masih sama, “Kepala daerah tidak berkenan dengan berita itu”.

Kali ini permintaan tersebut tidak di-iya-kan. Usai menutup sambungan telepon, rekan redaksi itu langsung menelepon wartawan senior ini. Dia lantas menceritakan rangkaian kronologisnya.

“Saya kaget saat tahu itu,” kata wartawan senior ini kepada Lontar.co, Selasa (19/8/2025), seraya meminta agar namanya jangan dikutip dengan alasan demi menjaga etika pergaulan dengan kepala daerah.

Awalnya, wartawan senior ini merasa bangga karena produk jurnalistik redaksi yang dipimpinnya sampai dibaca kepala daerah. Buktinya, si yunior itu selalu saja bilang, kepala daerah tidak berkenan dengan isi pemberitaannya.

Tapi entah mengapa insting wartawan senior ini langsung berjalan. “Apa iya kepala daerah membaca isi pemberitaan kami? Terlebih kalau dilihat dari news value-nya, berita-berita yang minta di-takedown itu, bukan level untuk direspon kepala daerah. Semestinya di tataran kepala dinas saja sudah cukup. Saya agak aneh juga itu,” ungkap wartawan senior ini.

Tak ingin diombang-ambing rasa penasaran, sambung wartawan senior itu, dia lantas me-WhatsApp kepala daerah. Dia memang sengaja mengirim pesan tertulis. Agar tidak mengganggu kesibukkan kepala daerah.

Namun, tanpa dinyana, sebentar kemudian ponselnya berdering. Kepala daerah ternyata langsung meneleponnya.

“Inti obrolan itu, kepala daerah tidak pernah meminta yunior yang saya ceritakan tadi untuk menyuruh takedown berita-beita. Tidak pernah ke media kami, pun ke media lain,” cerita dia. Wajahnya terlihat memerah. Seperti sedang memendam sesuatu.

Dia melanjutkan, dari obrolan singkat dengan kepala daerah, dirinya menangkap kesan. Kepala daerah  tahu benar etika dan aturan. “Walau dia kepala daerah, punya kuasa anggaran kalau kita mau menghubungkan dengan urusan kerjasama media, tapi dia paham kalau permintaan semacam itu tidak pantas dia sampaikan,” imbuhnya.

Di sisi lain, wartawan senior ini berkesimpulan, si yunior yang dia ceritakan itu sudah offside. Kelewat batas. Menurutnya, mungkin si yunior itu beranggapan seluruh wartawan sudah sangat meyakini bahwa dia adalah orang kepercayaan kepala daerah. Sehingga kalau dia bicara hoaks sekali pun akan tetap dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Ditambah lagi dia sangat enteng membawa embel-embel “atas perintah kepala daerah”. Kiranya dia ingin makin meneguhkan posisi pentingnya kepada lawan bicaranya.

BACA JUGA  Mance: Apa sih Hebatnya SGC dan Ibu Lee?

“Ini fenomena buruk. Sinyalemen tidak baik buat kepala daerah. Saya dengar juga sudah mulai banyak terdengar keluhan-keluhan dari kawan-kawan wartawan di lapangan atas sepak terjang anak itu.

Kalau hal ini dibiarkan, saya khawatir yang akan terkena getahnya adalah kepala daerah. Nanti akan muncul sikap antipati terhadap kepala daerah,” sungut wartawan senior itu.

Meninggalkan Bekas Konotasi Negatif

Nyaris serupa dengan cerita wartawan senior, seorang wartawan yang kerap meliput di lingkup pemerintahan, juga mengeluhkan sikap “orang penting” itu.

Suatu kali, menurut cerita jurnalis yang meminta namanya tidak disebutkan ini, dirinya menerima rilis berita kegiatan kepala daerah. Kawan-kawan jurnalis lain juga menerima materi yang sama.

Setelah diracik dan atas persetujuan redaktur di redaksinya, berita lantas diposting ke website mereka. Apa lacur. Belum lagi dua jam berita tersiar, muncul permintaan dari “orang penting” melalui WhatsApp.

“Tolong berita yang saya kirim tadi di-takedown. Segera menyusul berita revisi penggantinya,” kata jurnalis ini, mengulang isi pesan yang diterimanya.

Menurutnya, peristiwa ini jelas menggelikan sekaligus menyebalkan. Bagaimana mungkin rilis yang dibuat “orang penting” itu atau tim asuhannya, justru dianulir sendiri oleh mereka.

Jurnalis tak jarang diminta manut atau keran kerja sama ditutup. (Ilustrasi: Lontar.co)

Ternyata, setelah cari tahu ke sana kemari, penyebabnya lantaran si “orang penting” telah mendapat teguran keras dari orang-orang dekat kepala daerah.

Kiranya rilis yang dibuat dan diedarkannya salah. Isinya tidak relevan dengan kegiatan yang dilakukan kepala daerah. Sungguh memprihatinkan!

Lalu ada cerita lain yang masih terkait dengan “orang penting” ini. Sumber kabarnya dari seorang seniman ternama di provinsi ini. Sayangnya, sama alasan dengan narasumber dua wartawan sebelumnya, demi etika pertemanan sang seniman emoh namanya dicantumkan.

Menurut ceritanya, suatu kali dia ingin mengundang kepala daerah untuk hadir di acara yang bakal dihelatnya.

“Saya tahu katanya dia orang dekat kepala daerah. Secara pribadi saya juga kenal dia. Makanya undangan saya titipkan ke dia. Saya bukan titip proposal, kok. Urusan acara sudah ke-handle semua. Kepala daerah tinggal datang saja. Begitu harapan saya dan kawan-kawan panitia,” urai seniman itu, sehari sebelum perayaan 17 Agustus lalu.

Selang tiga hari dari menitip undangan, sambung seniman ini, dia menanyakan perkembangan melalui pesan WhatsApp. Dijawab oleh “orang dekat” kepala daerah itu, bahwa undangan belum diserahkan karena kepala daerah sedang padat agenda.

“Saya bisa memaklumi. Sambil meminta ke dia agar sebisa mungkin undangan tetap disampaikan. Persoalan kemudian kepala daerah hadir atau tidak yang terpenting undangan sudah diterima,” harap seniman ini.

BACA JUGA  Guru dan Kepsek SMAN/SMKN di Lampung Wajib Tahu, Rendahnya Kualitas Anak Didik Akibat Ulah Mereka  

Namun, seminggu berlalu belum juga ada informasi yang diperoleh. Sementara saat dia menanyakan perkembangan, pesan WhatsApp-nya hanya dibaca. Tanpa berbalas.

“Saya kecewa. Seperti sudah tidak saling menghargai lagi. Sampai membalas pesan pun sudah enggan. Padahal kami tidak minta apa-apa. Tapi, ya mau bagaimana lagi. Namanya juga lagi dekat sama penguasa. Kadang sikapnya malah lebih sibuk dari penguasanya itu sendiri,” keluhnya.

Untungnya, imbuh seniman itu, seorang kenalan lain bersedia menyampaikan undangan itu kepada istri kepala daerah. Dan tanpa panjang cerita, ketua Dharma Wanita ini terbukti hadir di acaranya.

“Beliau sangat antusias dengan kegiatan kami. Ini bukti kalau sebenarnya orang-orang di atas respon dengan hal-hal postif untuk daerah. Cuma kadang-kadang orang di seklilingnya yang bersikap aneh,” tukas seniman itu seraya mengulum senyum simpul.

Men-takedown Berarti Memberangus

Mungkin sudah banyak yang tahu tentang Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Tapi mungkin juga sudah banyak yang tak menggubris isinya. Padahal di dalam regulasi tersebut, khususnya pada Pasal 18 ayat (1), dikatakan akan ada sanksi pidana bagi siapa pun yang secara melawan hukum menghalangi kerja jurnalistik. 

Kerja jurnalistik yang dimaksud ialah kegiatan mencari, mengolah, dan menyebarluaskan berita dan informasi melalui berbagai media massa. Sedangkan tindakan menghalangi wartawan dapat berupa menghalangi akses informasi atau mengintimidasi.

Adapun sanksi pidana yang bisa dikenakan terhadap pihak yang menghalang-halangi kerja jurnalistik dapat berupa pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Tentu, aturan ini bukan semacam olok-olok yang sering terlontar pada obrolan senggang pengisi waktu, bahwa aturan dibuat untuk dilanggar. Aturan, terlebih dalam bentuk Undang-Undang, sangat jelas kekuatan hukumnya.

Nah, kalau menghalang-halangi proses kerja jurnalistik saja sudah memiliki konsekuensi serius. Apalagi bila “menghilangkan” produk jurnalistik berupa berita melalui cara-cara men-takedown.

Jelas itu tak ubahnya memberangus kebebasan pers. Karena sudah menghilangkan atau membatasi secara paksa hak pers untuk menyampaikan informasi dan pendapat secara bebas. 

Bahkan, tindakan men-takedown berita, memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan praktik sensor, intimidasi, pembungkaman, atau penindasan terhadap media dan jurnalis. 

Sebab pada intinya, tindakan semacam itu memiliki satu tujuan yang sama. Apalagi kalau bukan mencegah pers menjalankan fungsinya secara independen dan kritis! (*)

Further reading

  • biogas

    Nyala Api Biogas di Desa Rejobasuki, Dari Kotoran untuk Masa Depan

    Puluhan keluarga di Desa Rejobasuki, Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Lampung Tengah, sukses mengembangkan biogas sebagai pengganti gas elpiji, tak hanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga tapi juga untuk kelangsungan industri UMKM yang lebih hemat dan ramah lingkungan. (Lontar.co): Pagi-pagi sekali, Suhana sudah menyambangi kandang sapi di belakang rumahnya. Tak lama, ia keluar dari kandang membawa […]
  • sawah hilang akibat penduduk yang tak terbilang

    Sawah Hilang Akibat Penduduk yang Tak Terbilang

    Lahan persawahan di Bandarlampung, Lamsel dan sebagian Pesawaran makin tergerus akibat adanya alih fungsi lahan untuk permukiman. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi hingga arus urbanisasi ke kota yang marak, menjadi penyebabnya. (Lontar.co): Dua backhoe itu bekerja terus dari pagi hingga sore, meratakan sehektar lahan di wilayah Tanjungsenang itu, sejak tiga hari lalu. Rencananya, lahan yang […]
  • Nepal Bukan Kita

    Nepal bukan kita. Kita adalah Indonesia; santun dan beradab. Jauh dari pikiran Nazi (Naziisme). Jijik pada keinginan pembantaian! (Lontar.co): Viral, video-video unjuk rasa besar-besaran di Nepal. Demo yang tak lagi mengetengahkan misi perdamaian, menjelma jadi sungai darah, bantai, dan pengrusakan. Yang dihakimi massa adalah keluarga pejabat. Beginikah cara orang Nepal turun ke jalan? Nepal adalah […]