Sekarang, yang hadir dan lebih bisa menyelamatkan, bukan mereka yang datang dengan pangkat yang bertingkat-tingkat dan imbalan yang berlembar-lembar, tapi mereka yang bekerja di ruang sunyi, jauh dari riuh eksistensi dan tanpa pamrih. Damkar memang menang lagi, di antara rimbunnya institusi yang memakai kedok ‘pelayanan’
(Lontar.co): Suara desis ular Sanca dari bawah saluran air itu menggema besar. Orang-orang di komplek perumahan mulai awas dan berjarak. Ada gurat kekhawatiran di wajah-wajah mereka.
Ular Sanca sepanjang 5 meter dengan diameter hampir 20 centimeter itu, menggeliat-geliat di bawah saluran air. Semua yang disana menjaga waspada. Mereka tak bisa gegabah apalagi bertindak.
Dua menit berselang, deru suara kendaraan besar berwarna merah mencolok, berjalan tergesa, semua mata yang melihat ke arah jalan itu, seketika melepas rasa khawatirnya.
Empat orang berseragam biru seketika merangsek menuju saluran air. Mereka tenang mengamati keberadaan ular itu, sedangkan seorang lainnya dengan senyum ramah mencoba menenangkan dan mengevakuasi warga ke tempat yang sedikit jauh.
Kurang dari 10 menit, evakuasi ular Sanca berhasil dilakukan, untuk kedua kalinya warga bisa melepas lega kembali. Sekali lagi, Damkar menang lagi.
…
Dering keras suara telepon itu memecah keheningan dini hari Kamis, 9 Juli 2025, pukul 1.41.
Dari posko Damkar Kalianda, petugas mendengar suara penuh tekanan, ada ketakutan. Ada teror mengganggu yang disebut pelapor sebagai ‘teror mistis’ di rumah kost tak jauh dari Komplek Perkantoran Pemkab Lampung Selatan.
Pelapor menyebut kerap mendengar suara orang menyapu di malam hari, ada pula suara ketukan di tengah malam.
Kabid Damkarmat Lamsel, Rully Fikriansyah yang sedang berdinas malam itu segera merespon, bergerak cepat menuju lokasi.
Tim menyebar, semua tempat disisir, sudut-sudut yang gelap mereka periksa berkali-kali untuk memastikan semua dalam keadaan aman.
Satu jam lebih proses itu berlangsung, setelah semuanya dirasa benar-benar aman, petugas kemudian kembali ke posko.
Tak ada kekecewaan di raut wajah mereka, meski laporan yang mereka terima tak masuk logika. Itu biasa, warga butuh rasa aman, dan hanya Damkar yang menyediakannya cuma-cuma.
Damkar dan Rindunya Sebuah Pelayanan Maksimal
Tak ada parade, tak pula ada keriuhan menyambut, Damkar bekerja dalam ketenangan luar biasa, konsentrasinya adalah keselamatan semua orang. Maka, kemudian semua orang menemukan sesuatu yang tak pernah bisa tergambarkan oleh perasaan, akan sosok yang selama ini mereka butuhkan, perlindungan.
Dari petugas Damkar yang bekerja dengan sunyi, kita tahu, ada terlalu banyak ruang kosong masyarakat yang seharusnya diisi oleh negara tapi kemudian diabaikan.
Panggilan kedaruratan bukan dibangun semata pada tugas rutin tapi sebuah kewajiban profesional sebagai panggilan moral untuk melindungi sesama dan semua makhluk, sebagai sikap altruisme pada diri petugas Damkar.
Saat ini, Damkar adalah jeda, dari hiruk pikuk birokrasi yang ruwet dan prosedural yang menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap hampir semua institusi dengan embel-embel pelayanan, kecuali Damkar yang hadir dalam kesungguhan dan nyaris tanpa cela, cepat dan bisa dipercaya.
Ada yang telah lama hilang di negeri ini, sampai semua orang merasa pelayanan itu memang tidak pernah ada untuk mereka, rasa aman yang begitu dibutuhkan oleh semua orang sebagai standar wajib, untuk mereka yang diklaim sebagai warga negara, yang menjadi hak tiap orang yang seharusnya bisa dipastikan hadir oleh negara.
Karena selama ini, institusi kebanyakan hanya mengeksploitasi kewajiban rakyatnya, tapi tak pernah berusaha memberikan apa yang seharusnya menjadi kewajiban mereka pula.
Dari Damkar, publik yang merindu, kemudian tahu bahwa tolak ukur paling ideal sebuah layanan adalah dan hanyalah Damkar, yang lain hanyalah omong kosong, dengan menempatkan pelayanan hanya sebagai jargon.
Dari Api Sampai Apa Saja
Damkar kini bukanlah fenomena apalagi anomali, mereka adalah entitas kedua setelah rasa aman itu sendiri, yang hadir untuk siapa saja, tak melihat siapa, kasta apalagi harta, kecuali pelayanan dengan hati, justru ketika negara memilih tak peduli.
Tugas Damkar melampau jauh, apa saja, dimana saja dan kapan saja; dari api hingga ular, dari tawon hingga mengusir setan, dari melepas cincin hingga mengambil raport. Dari api sampai apa saja, yang bertindak atas nama kemanusiaan itu sendiri.
Di Semarang, ada petugas Damkar yang mewujud sebagai orang tua, untuk seorang anak piatu yang butuh sosok orang tua untuk mengambil raport, karena, ayahnya sudah meninggal, ibunya sedang sakit.
Di Bekasi, seorang pria menangis harap kepada Damkar, karena kelaminnya yang tersangkut cincin.
Masih di Bekasi pula, Damkar menjadi penyelamat untuk seorang anak yang nyaris kehilangan ibunya yang hampir bunuh diri karena depresi kasus kekerasan dalam rumah tangganya tak pernah ditindaklanjuti oleh polisi.
Di Bogor, Damkar juga harus bertindak sebagai perukyah orang yang sedang kesurupan.
Di Lampung Selatan, Damkar juga harus ikhlas diminta mengusir hantu, di rumah seorang warga yang diklaim di teror hantu.
Mereka tak acuh, pada tiap laporan, semua direspon sebagai sebuah kekhawatiran serius pada fungsi penyelamatan sesungguhnya.
Ada kedekatan emosional yang dalam, yang amat dekat melalui simbol Damkar yang kuat dan sudah tertanam di benak setiap orang, bahwa hanya Damkar yang bisa berperan untuk mereka terhadap segala situasi apapun.
Damkar Dijaga Sebagaimana Mereka Menjaga
Di semua ruang publik, Damkar tak terbantahkan. Mereka dijaga dengan muruahnya oleh setiap orang, sama seperti ketika petugas Damkar menjaga setiap orang. Mereka adalah entitas tunggal yang hidup demi pelayanan yang sesungguhnya.
Dari Damkar yang menjaga itu, semua orang belajar apa itu dedikasi yang sesungguhnya.
Mereka dijaga oleh semua orang, setelah sekian banyak dan lamanya ruang-ruang yang selama ini kosong tapi tak pernah sekalipun diisi oleh institusi yang lama merespon dan lambat bertindak.
Mereka melepas relasi kuasa yang justru membedakan mereka dengan kebanyakan institusi lainnya, sebagaimana teori hubungan sosial, yang saat ini membuat ketidakseimbangan kuasa antara pelaksana kebijakan dan masyarakat yang membudayakan hubungan relasi yang selalu saja tak sehat dan rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, tapi Damkar justru tidak.
Mereka tak bertele-tele, ringkas, efisien dan bertindak hanya berselisih detik sejak dari laporan disampaikan. Ada kesan, kerja mereka adalah ketika membalik jika seandainya keadaan genting itu terjadi pada keluarga dekat mereka, sehingga respon dan reaksi adalah prioritas, bukan prosedur yang prosedural tapi tak pernah ada tindakan. Mereka tidak, bekerja tanpa lembaran imbalan, bahkan nyaris tanpa ucapan terima kasih, buat mereka jasa yang lunas adalah ketika wajah-wajah yang semula cemas itu kemudian mengulas lega luar biasa.
Menggadai Nyawa untuk Upah yang Tak Seberapa
Di balik tuntutan kehadiran Damkar yang nyaris tak pernah berhenti itu, ada sisi yang bahkan tak pernah diketahui, bahkan oleh orang-orang yang baru saja mendapat uluran tangan dari petugas-petugas Damkar ini.
Di saat mereka datang untuk menghadapi bahaya, melindungi semua orang, dan menanggalkan semua proses birokrasi yang berbelit, ada wajah-wajah istri dan anak-anak mereka yang selalu dengan cemas menanti sosok-sosok penyelamat itu pulang dengan sejumput senyum kemenangan.
Pada kenyataannya, api dan apa saja yang harus ditantang oleh Damkar adalah sebuah tindakan berani yang melepas sekat yang membelit, kecuali upaya segera demi keselamatan yang mutlak.
Sebagai simbol eksistensi yang selalu hadir, memenuhi ruang-ruang perlindungan untuk semua orang, kenyataannya petugas-petugas Damkar yang tangguh itu, justru rapuh pada kesejahteraan hidup untuk mereka dan keluarganya.
Mayoritas mereka yang hidup dari menggadai nyawa dalam situasi apapun ini, diupah dalam besaran yang kecil, beberapa diupah bahkan sebagai tenaga honorer daerah yang dibayar menyesuaikan kemampuan keuangan daerah, bahkan jauh dari upah minimum.
Karena, pada kenyataannya, hanya sedikit daerah yang membayar petugas-petugas Damkar dengan upah yang layak, oleh mereka-mereka yang setiap malam selalu tidur dengan nyenyak tanpa bising gangguan aduan yang selalu datang kapan saja.
Dari sekian banyak daerah dengan pemimpin-pemimpinnya yang berbalut dengan segala rupa kemewahan, hanya petugas Damkar di Jakarta saja yang diupah dengan sedikit lebih layak, selebihnya hidup dalam upah yang serba pas-pasan, untuk sekedar menyelamatkan nyawa mereka dan keluarganya pun, pada akhirnya mereka sendiri tak mampu.
Apa yang mereka dapat, jelas tak sebanding dengan resiko yang mereka hadapi.
Tapi, buat petugas-petugas Damkar, bekerja bukan soal upah, ini tentang pelayanan hidup dan mati semua orang yang berhak untuk dilindungi, bukan untuk apresiasi tapi soal menghargai hidup setiap orang di Indonesia ini dengan menjaga mereka tiap pagi, siang, sore dan malam hari sampai kapan pun.
Sekali lagi, Damkar memang menang lagi dari institusi-institusi dengan modus pelayanan yang sebenarnya enggan melayani.