Tiga LSM wira-wiri ke Jakarta. Mereka mendesak DPR RI agar mendorong pemerintah mengukur ulang hak guna usaha (HGU) yang dikelola Sugar Group Companies (SGC). Tuntutan keras juga disampaikan Abdurachman Sarbini. Mantan Bupati Tulangbawang (Induk) 2 periode itu, kini sebagai Ketua Masyarakat Adat Megou Pak. “Ukur ulang. Biar ada kepastian yang jelas!” tegasnya.
(Lontar.co): “Capek juga. Sebab kami mesti beberapa kali bolak-balik Jakarta-Lampung. Ada proses panjang sebelumnya,” ungkap Indra Musta’in, Ketua LSM Akar, kepada Lontar.co ketika disinggung pergerakan maraton yang mereka lakukan belakangan ini, Jumat (8/8/2025).
Bersama dua lembaga swadaya masyarakat lainnya, Koalisi Rakyat Madani (Keramat) dan Pergerakan Masyarakat Analisis Kebijakan (Pematank), aliansi ini getol menuntut pengukuran ulang HGU SGC.
Namun, rasa lelah yang mereka rasakan, diakui Indra akhirnya terbayarkan. Tidak dinyana, ungkapnya, upaya mereka baik sejak berunjuk rasa di Kantor Gubernur Lampung dan Kejaksaan Agung RI, hingga berinteraksi dengan legislator di gedung DPR RI mendapat perhatian dari media massa di Lampung.
“Dukungan pemberitaan luas dari kawan-kawan pers itu menjadi vitamin buat kami. Ibarat dapat tenaga tambahan,” akunya.
Padahal, imbuh Indra, mereka tidak memberi apa pun. Misalnya, bagi-bagi gulaku manis atau sembako ke wartawan. Sama sekali tidak. Selain tidak punya kemampuan untuk itu, Indra juga yakin dukungan kawan-kawan pers di Lampung terhadap upaya mereka murni atas asas independensi.
“Saya percaya karena gerakan ini dianggap sebagai wujud keberpihakan kami pada kepentingan publik dan Lampung. Makanya pers antusias mengabarkan,” urainya.
Hanya saja, sambung dia, kendati sudah mendapat dukungan dari legislator yang sepakat memenuhi tuntutan aliansi ini, tidak lantas urusannya rampung.
“Kita ini sedang menghadapi pebisnis kelas raksasa. Tentu mereka tidak akan berdiam diri. Itu pasti. Terlebih bila upaya kami yang menuntut ukur ulang HGU kebun tebu, dianggap telah mengusik kenyamanan mereka,” papar Indra.
Bahkan, dia mengingatkan, biarpun hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Senin (15/7/2025) lalu, Komisi II DPR RI telah memutuskan dan meminta Kementerian ATR/BPN segera melakukan inventarisasi, identifikasi, dan pengukuran ulang, faktanya pemerintah masih gamang terkait anggaran operasional.

“Bisa dibayangkan, selevel Kementerian Agraria dan tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional sekali pun, masih kikuk menyediakan anggaran untuk ukur ulang HGU PT SGC. Apa iya, negara tidak punya uang segitu. Terlebih ini menyangkut penegakkan hukum,” tukas Indra.
Negara Berharap ke Swasta
Kepala Kanwil BPN Provinsi Lampung, Hasan Basri Natamenggala, pernah buat hitung-hitungan. Menurut estimasinya untuk ukur ulang lahan HGU SGC yang luasannya hari ini disebut-sebut sekitar 84 ribu hektar, dibutuhkan biaya Rp10 miliar.
“Dana itu belum mencakup mobilisasi orang dan alat,” tuturnya, saat menghadiri rapat koordinasi Pemprov Lampung, Forkopimda, instansi vertikal, dan BUMN, Rabu (16/7/2025) di Hotel Akar.
Hasan Basri menguraikan, secara umum PT SGC membawahi 4 perusahaan. Untuk PT Sweet Indo Lampung (SIL), PT Garuda Panca Arta, dan PT Indo Lampung Perkasa yang berada di wilayah Kabupaten Tulang Bawang memiliki luas lahan sekitar 70.028,408 hektar.
Sedangkan PT Gula Putih Mataram yang berlokasi di Kabupaten Lampung Tengah, memiliki luas lahan 14.495,511 hektar. Total lahan keseluruhan mencapai 84 ribu hektar lebih.
Saat dimintai komentarnya, Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, membenarkan ada permohonan dari Komisi II DPR RI untuk melakukan ukur ulang. “Kalau DPRI RI yang memohon, artinya anggarannya dari APBN. Tapi, nggak bisa buru-buru. Kami akan cek dulu. Anggarannya tersedia atau tidak,” jawab Nusron kepada wartawan saat berkunjung ke Lampung, Selasa (29/7/2025).
Dia menambahkan, menjadi beda ceritanya, kalau pemohon berasal dari swasta. Maka biaya pengukuran sepenuhnya ditanggung swasta. “Kami masih menunggu pemohon lain. Misalnya, ada pemohon dari kalangan swasta,” ucap Nusron enteng.
Masyarakat Adat Megou Pak Menggugat
Menyimak perkembangan tersebut Abdurachman Sarbini atau akrab disapa Mance, merasa tak habis pikir. Bagaimana mungkin negara mengeluh, bahkan kebingunan menghadapi persoalan pembiayaan yang hanya Rp10 miliar.
“Apalah artinya dana Rp10 miliar (demi) kepentingan negara, kepentingan masyarakat,” ungkap Mance kepada Ferdi Gunsan, seperti dilansir dari akun YouTube Gunsan Talk, Sabtu (9/8/2025).
Dia menambahkan, kalau kepada negara sudah tidak bisa berharap lagi, lantas kepada siapa rakyat mesti mengandalkan pertolongan. Terlebih ini menyangkut nasib sedikitnya 810 ribu jiwa masyarakat Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat dan Mesuji.

Mengapa hingga mencakup 3 kabupaten? “Karena masyarakat adat Megou Pak sebarannya di ketiga wilayah itu. Ketika ada tanah adat yang dipakai SGC, maka segenap masyarakat adat punya keterpanggilan akan nasib tanah adatnya,” terang Mance, sebagai ketua masyarakat adat Megou Pak.
Dia juga mengutarakan, tuntutan pihaknya bukan tanpa alasan. Melainkan punya alas hukum berupa peta sejak era zaman Belanda. “Petanya sudah dilegalisir oleh agraria. Jadi punya kekuatan hukum. Bukan cuma dibuat-buat,” katanya.
Tak sekadar mengklaim, Mance menyebut, masyarakat adat di bawah koordinasinya sudah pernah melakukan pengukuran terhadap luasan lahan yang dipakai kebun SGC.
Sebagai patokan awal, terangnya, digunakan acuan HGU SGC seluas 84.263 hektar. Lalu pihak Mance menggunakan GPS untuk melakukan pengukuran lahan. Hasilnya, diperoleh luasan hingga 91 ribu hektar.
“Benar, pengukuran yang dilakukan masih secara tradisional. Cuma pakai GPS. Tapi tingkat akurasinya masih bisa sampai 95 persen. Dari hasil pengukuran 91 ribu sekian, berarti overlap-nya ada 16 ribu hektar,” kata Mance.
Kelebihan luasan lahan 16 ribu hektar yang dimaksud Mance, disebut mencakup dua kecamatan yakni Gedung Meneng dan Dente Teladas.
Mance mengakui, peralatan yang dipakai pihaknya untuk mengukur memang tidak canggih. Tentu akan ada plus-minusnya. Oleh karenanya, agar polemik tidak terus berlangsung, dia berharap pemerintah harus bisa menengahi. Dengan cara melakukan pengukuran ulang secara resmi, seperti yang diinstruksikan Komisi II DPR RI.
Kiranya Mance tidak menghendaki, bila hal ini dibiarkan terus berlarut, akan muncul persepsi di publik. Bahwa negara tidak berkutik terhadap korporasi besar.
“Apa sih hebatnya Sugar Group dan Ibu Lee (Purwanti Lee), itu? Saya masih ingat, besan Presiden SBY pun ditahan KPK. Artinya apa? Tidak ada di republik ini yang kebal hukum. Nah, sekarang saatnya penegak hukum melaksanakan sumpah janjinya.
Apalagi ini bukan kepentingan perorangan. Tapi kepentingan masyarakat adat yang sudah berpuluh-puluh tahun tertindas. Sekali lagi tertindas dan tersiksa oleh Sugar Group,” kata Mance.
Terkait pengukuran ulang, kepada Menteri ATR Nusron Wahid, dirinya berpesan,”Pak Menteri, Saudara jadi Menteri Agaria ini amanah rakyat, termasuk juga amanah rakyat Lampung. Wabil khusus amanat masyarakat adat Megou Pak. Semoga Bapak berkenan dan sependapat, lalu menyelesaikan tugas negara yang mulia ini. Selagi Bapak jadi Menteri ATR. Itu aja pesan saya,” pungkasnya. (*)