Kadar cinta mungkin tak berubah, hanya pemiliknya yang berbeda. (Ilustrasi: Tim Kreatif Lontar.co)

Perahu yang Tak Pulang

Hidup tak jarang menawarkan cerita nan meliuk-liuk. Tapi cinta sejati tak akan berkurang kadarnya. Kalaupun ada yang berubah, pemiliknya bisa saja berbeda.

Raga, lelaki itu, dulu bukan siapa-siapa di laut. Ia seorang pegawai di perusahaan ternama di Bandarlampung. Kariernya ia bangun sejak lulus kuliah. Delapan tahun ia habiskan untuk meniti jenjang, mengabaikan cinta dan percintaan demi mengejar target dan jabatan.

Waktu luangnya hanya dihabiskan untuk satu hal, memancing. Tapi bukan di kolam atau sungai. Hatinya selalu terpaut pada laut. Ada yang membuatnya tenang ketika umpan dilayangkan ke gelombang, entah apa.

Saking seringnya menyewa perahu, Raga tak hanya mahir memancing, tapi juga mengendarai perahu motor milik nelayan langganannya, Nirwan. Keduanya jadi akrab. Persahabatan tumbuh dari riak-riak laut, bukan dari tumpukan kertas kerja.

Sampai akhirnya, Raga tak lagi menyewa. Ia dan Nirwan memancing bersama, bukan sebagai pelanggan dan pemilik perahu, tapi sahabat.

Di tahun kesembilan kariernya, Raga menikah. Perempuan itu adik dari Nirwan, namanya Nadia. Raga tahu keluarga itu sederhana, hidup mereka penuh syukur. Dan Raga yang sudah kenyang hidup kota, lelah dengan intrik, menginginkan pasangan yang membumi. Ia menemukan itu pada Nadia.

Namun hidup tak selalu memberi jeda sebelum badai datang. Raga dituduh menggelapkan uang perusahaan. Jumlahnya tak tanggung sampai Rp700 juta. Dua pilihan disodorkan kepadanya. Dilaporkan ke polisi atau mengembalikan uang. Padahal Raga tak pernah merasa melakukan hal itu.

BACA JUGA  Harga Diri Wartawan

Nadia gemetar saat mendengar semuanya. Ia tidak ingin melihat suaminya dipenjara. Ia mendesak Raga agar memilih jalan damai. Kendati itu sama artinya mesti menjual rumah, menguras tabungan, lalu membayar uang yang dituduhkan padanya. Raga menurut. Semua ia relakan, termasuk pekerjaannya.

Dari saran Nirwan, mereka pindah ke pesisir Lampung Timur. Di sana, hidup baru mereka dimulai, di rumah semi permanen yang bersahaja. Tapi ada damai yang tak bisa dibeli di kota. Di sinilah Raga memilih menjadi nelayan.

Berkat Nirwan pula Raga bertemu Dendy. Lelaki ini adalah anak juragan ikan. Bapak Dendy kenal baik dengan Nirwan. Dendy menjual perahu kecil pada Raga dengan sistem cicilan. Raga menerimanya. Laut kini bukan lagi hobi, tapi ladang nafkah bagi Raga dan Nadia.

Awalnya tak mudah. Lima bulan berlalu, cicilan tak pernah lancar. Dendy mulai kehilangan sabar. Ia memberi ultimatum dua bulan ke depan. Jika tak dilunasi, perahu akan ditarik.

Suatu sore, Dendy datang ke rumah Raga. Tapi yang dicari sedang melaut. Nadia yang membuka pintu. Ia menyambut Dendy di luar, menjaga jarak yang sopan.

BACA JUGA  Gitar yang Belum Punya Nama

Ada ketegangan yang menggantung di udara. Bukan karena perahu. Tapi karena masa lalu. Dendy pernah mencintai Nadia. Ya, semasa kecil keduanya adalah tetangga sekaligus teman sekolah. Pertemanan yang berlangsung lama beralih menjadi rasa sayang, kemudian cinta.

Dendy bahkan pernah dua kali menyatakan perasaannya pada Nadia. Ketika itu semasa sekolah. Nadia menolaknya, bukan karena tak ada rasa, tapi karena tahu jurang perbedaan di antara mereka terlalu lebar. Ia menolak dengan memendam luka sendiri.

Setelah itu, Dendy menghilang. Sampai akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Namun dengan status yang berbeda.

Pertemuan itu membuat luka lama menganga. Cemburu diam-diam membakar dada Dendy. Ia ingin mengambil kembali perahu. Ingin menghancurkan Raga. Mungkin, berharap suatu hari bisa meminang Nadia.

Tapi setiap kali menatap wajah Nadia, niat jahatnya luruh. Ia melihat perempuan yang dulu ia cintai, masih dengan sorot mata yang sama. Namun kini sudah milik orang lain.

Suatu sore, Dendy datang lagi. Sekali lagi hanya bertemu Nadia. Tak ada kata, tapi banyak rasa yang bergemuruh. Hingga akhirnya Nadia bicara pelan, “Kalau perasaanku tak keliru, kamu datang untuk bicara soal perahu. Ambillah, Den. Aku paham. Itu hakmu. Kita memang pernah berteman. Tapi sekarang kita punya hidup dan keluarga masing-masing. Mungkin memang harus ada bab seperti ini dalam kisah hidupku.”

BACA JUGA  Desa yang Berputar, Rasa yang Menjalar

Kata-kata itu menggetarkan hati Dendy. Nadia masih mampu menyelami jalan pikirannya seperti dulu. Ia bungkam. Memori masa lalu sontak merubah jalan pikirannya. Sejenak ia menunduk, lalu mendongak. Yang keluar dari mulutnya bukan penarikan perahu.

“Kamu salah, Nadia. Aku justru ingin bilang, perahu itu aku hibahkan. Biar jadi milikmu dan Raga. Aku cuma minta satu, hasil tangkapan Raga dijual ke aku. Itu saja.”

Nadia terperanjat. Ia nyaris tak percaya. Tapi lalu ia bertanya, “Apakah ini karena kamu kasihan padaku?”

Dendy tak bisa menjawab. Ia hanya berdiri, menatapnya sejenak.

“Rasa waktu itu masih ada,” ujarnya lirih. “Tapi aku tak boleh meneruskannya. Jangan takut, Nad. Aku janji, pemberianku itu tak akan pernah aku minta imbalannya dari perasaanmu. Aku cuma ingin kamu tenang. Bahagia.”

Dendy pergi. Nadia berdiri membisu. Di ujung matanya, setetes air jatuh. Entah air bahagia, atau sedih, atau rasa yang tak bisa ia beri nama.(*)

 

Further reading

  • Tanpa Utang Hidup Kurang Menantang

    BACA JUGA  Bimo dan Laptop yang Tak Pernah Mati
  • Perahu yang Tak Pulang

    Hidup tak jarang menawarkan cerita nan meliuk-liuk. Tapi cinta sejati tak akan berkurang kadarnya. Kalaupun ada yang berubah, pemiliknya bisa saja berbeda. Raga, lelaki itu, dulu bukan siapa-siapa di laut. Ia seorang pegawai di perusahaan ternama di Bandarlampung. Kariernya ia bangun sejak lulus kuliah. Delapan tahun ia habiskan untuk meniti jenjang, mengabaikan cinta dan percintaan […]
  • gubuk seng

    Horor Krakatau di Gubuk Seng

    Saat gelombang tsunami Krakatau sampai di bagian selatan Lampung, Gubuk Seng sudah rata tanah. (Lontar.co): Permukiman yang luasnya kurang dari satu hektar itu terlihat suram. Nyiur-nyiur kelapa menyentuh ijuk atap rumah kayu di bawahnya. Suasananya gelap, terasa pilu. Gubuk Seng yang sunyi, dengan penduduk yang jarang dan selalu menghindar jika bertemu orang tak dikenal, masih […]